top of page

Search Results

232 item ditemukan untuk ""

  • Desa dan Jawaban

    SETAHUNAN, desa tak lagi terlalu diramaikan dengan piknik, pelesiran, atau pariwisata. Wabah “mengistirahatkan” desa-desa dari pengertian-pengertian keramaian, hiburan, kepuasan, dan kenikmatan selalu terkandung dalam kebijakan pariwisata. Orang-orang di desa menunaikan peristiwa-peristiwa keseharian dengan segala “bingung” dan ragu atas situasi wabah. Orang-orang masih mendatangi desa tapi membatasi hasrat menikmati pelesiran. Desa dalam jeda, sebelum ingin diramaikan lagi. Pembesaran “desa wisata” di Indonesia masih berlanjut, belum sampai kejenuhan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan: “Desa wisata merupakan salah satu program andalan kita yang difokuskan bagi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di tengah pandemi” (Joglosemar, 17 April 2021). Desa sedang istirahat tapi diminta menggeliat dan ramai lagi. Desa menentukan nasib Indonesia. Desa terlalu dipentingkan asal memenuhi pamrih-pamrih sudah terpikirkan pemerintah, pengusaha, dan warga. Desa-desa di seantero Indonesia perlahan memiliki pemeringkatan bernalar pariwisata. Kita sadar cara pemeringkatan itu mencipta sejarah baru, melampaui kebijakan-kebijakan desa pernah dibuat pada masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Menteri bermisi pemajuan pariwisata itu mengajukan daftar 5 desa wisata spesial: Panglipuran (Bali), Lerep (Jawa Tengah), Sade (Nusa Tenggara Barat), Osing Kemiren (Jawa Timur), Liang Ndara (Nusa Tenggara Timur). Desa-desa memiliki keunggulan, menanti dikunjungi para turis dari pelbagai negeri. Pikniklah ke desa-desa ketimbang bermanjaan dengan mengunjungi negara-negara asing! Kita menduga seruan piknik ke desa-desa menjadikan Indonesia bernasib terang setelah murung akibat wabah. Desa (wisata) itu keselamatan, kebaikan, kebahagiaan, dan keindahan. Desa memiliki pengertian besar, tak lagi sering “dikasihani” atau “diremehkan” oleh nalar kekuasaan masa lalu cenderung membesarkan Indonesia mengacu kota-kota. Kita mengingat kebijakan-kebijakan diterapkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, sekian tahun lalu. Dalih kebijakan: “Desa wisata merupakan salah satu pengembangan pariwisata yang sesuai dengan karakter Indonesia sebagai negara agraris yang eksotis, dari Sabang sampai Merauke, di mana anda dapat menikmati uniknya pesona alam desa, budaya, maupun seni.” Orang-orang diajak menikmati desa. Kita mengartikan “menikmati” belum wajib dimulai dengan “mengenali” dan “mengerti”. Kita tak belajar tentang desa tapi “menikmati” desa selaku turis. Predikat itu menjadikan orang memiliki permintaan dan pengharapan tanpa timbal balik setara. Penjelasan dari Jero Wacik pun agak mengelabui dengan mengatakan desa itu “eksotis”. Kita telanjur mewarisi julukan, pujian, atau anggapan condong berasal dari pihak luar atau asing dalam memberi pemaknaan desa. Penggunaan diksi “eksotis” terasa berlebihan. Pada masa lalu, pembuatan desa wisata mengandung janji-janji memajukan dan melindungi desa. Konon, pemerintah tak menginginkan desa wisata menghasilkan uang berlimpahan saja. Penjelasan dari masa lalu mungkin mengalami ralat melalui kebijakan Sandiaga Uno: “Desa wisata adalah kawasan pedesaan yang memiliki keunggulan dan beberapa karakteristik khusus sehingga berkembang menjadi daerah tujuan wisatawan. Penduduk di desa masih memegang tradiri dari budaya yang relatif masih asli, selain itu makanan ciri khas, sistem pertanian dan sistem sosial masyarakat setempat turut mewarnai menariknya kawasan desa wisata, begitu pula alam dan lingkungan yang masih terjaga keasliannya merupakan daya tarik terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata.” Kalimat panjang itu mungkin membuktikan pihak pemerintah telah berpikir “panjang” dan “matang” demi mengubah (nasib) desa-desa dengan nalar pariwisata. Di Jawa Pos, 26 April 2021, foto berwarna berukuran besar. Perbukitan dan permukiman ingin dijadikan tempat wisata. Di foto, kita membaca papan nama: “High Land Wonomulyo.” Tulisan sudah memastikan ingin menjadi tempat wisata terasa internasional. Terbacalah bahasa Inggris! Berita memuat keterangan dari Kepala Disparbud Magetan Joko Trihono: “… takjub dengan Highland Wonomulyo yang digagas warga. Dia sepakat dengan warga bahwa eksotisme pemandangan Wonomulyo layak diberi sebutan Nepal van Java.” Asing bertambah asing. Ingat, desa itu berada di Magetan, Jawa Timur, Indonesia. Desa di Indonesia ingin milik warga dunia. Kita mendingan mundur ke silam. Bacaan di buku-buku pelajaran digunakan sejak masa kolonial memuat cerita-cerita mengenai desa. Dulu, desa diceritakan dengan cap-cap “tradisional” atau “kuno”. Anggapan lanjutan adalah desa belum “maju” atau “modern” bila dibandingkan kota-kota. Sangkaan demi sangkaan menjadikan desa memiliki “ketetapan-ketetapan” terbentuk oleh masa lalu, nalar kolonial, dan impian sedang bertumbuh akibat imajinasi abad-abad “kemadjoean”. Pada awal abad XX, desa-desa perlahan memenuhi misi besar terpikiran oleh kalangan terpelajar, ulama, seniman, dan pelbagai kalangan untuk penentuan “Indonesia”. Desa-desa mengakarkan kemauan besar menjadi Indonesia meski lakon-lakon menggerakkan sejarah sering tercatat di kota-kota. Pada abad XXI, desa-desa ingin dinikmati jutaan turis. Mereka datang dengan kegembiraan, tak lupa mengabadikan desa-desa. Foto dan kata memoncerkan desa, mengabarkan ke segala penjuru. Desa dalam cerita membahagiakan. Indonesia ingin mencipta album desa “eksotis”, menerbitkan mimpi-mimpi indah. Tahun demi tahun, jumlah desa wisata bertambah. Sekian desa memikat turis-turis dunia. Sekian desa gagal, malu, dan merana. Desa-desa kadang tak lagi lugu setelah berpikiran wajib membuat tugu, memasang papan, memamerkan poster, mengadakan festival, dan lain-lain. Sekian hal dan peristiwa menggunakan bahasa asing agar mentereng, tergesa ingin menjadi desa digandrungi para turis. Pada masa Jero Wacik menjadi menteri, sekian desa diunggulkan di Indonesia sebagai desa wisata: Sade (Nusa Tenggara Barat), Panglipuran (Bali), Bena (Nusa Tenggara Timur), Senaru (Nusa Tenggara Barat), Sendangsari (Jawa Tengah), Alam Endah (Jawa Barat), Ujung Genteng (Jawa Barat), Kembang Arum (Jawa Tengah), Kopeng (Jawa Tengah), dan Kete Kesu (Sulawesi Selatan). Desa-desa itu diumumkan dan diceritakan sebagai “contoh” bagi desa-desa di seantero Indonesia ingin bercap desa wisata. Kita mengerti bahwa desa wisata itu berpatokan dan berkiblat duit. Pengertian bisa salah. Hari demi hari, desa-desa masih menjadi berita. Sekian desa telanjur desa wisata mengalami jeda atau sepi. Desa ingin meraih predikat desa wisata kadang terpuruk akibat wabah. Sekian hal mangkrak. Acara-acara belum mungkin diselenggarakan demi keramaian desa dan pendapatan. Pada 2020 dan 2021, desa-desa dirundung sedih tapi tetap memiliki kemungkinan-kemungkinan pulih. Kita masih memikirkan desa, masih menantikan kabar-kabar baik saat kebijakan-kebijakan besar mudah salah arah atau amburadul. Di Kompas, 21 April 2021, kita dikejutkan iklan tersaji sebagai “berita” berjudul “Tujuh Kali Berkantor di Desa, Bupati Ipuk Tuntaskan Hampir 10 Ribu Masalah Warga.” Iklan mengandung keajaiban atas kerja atau program birokrasi di Banyuwangi, Jawa Timur. Iklan tersaji bersamaan Hari Kartini. Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani ditampilan sebagai sosok tangguh dan pemberi jawaban. Pembaca bingung dengan cara menghitung “10 ribu masalah warga”. Ipuk mengadakan Bunga Desa (bupati ngantor di desa), dimulai 26 Februari 2021. Tujuh kali Ipuk berkantor di tujuh desa. Keterangan: “Di desa yang dituju, Ipuk tinggal seharian, dari pagi sampai azan magrib untuk membantu menuntaskan berbagai masalah di desa tersebut.” Di tujuh desa, Ipuk memberi jawaban dan pengharapan. Staf atau pegawai pun menghitung keberhasilan Ipuk atau masalah menjadi tuntas. Kita tak lagi diajak berpikiran desa wisata. Desa-desa justru membutuhkan jawaban. Bupati adalah penjawab. Wisata nanti dulu saja. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Debat dan Mufakat

    Radhar Panca Dahana tak pernah putus asa menyuarakan kegelisahannya, bahkan sampai mengembuskan napas terakhir pada Kamis (22/4/ 2021). (Kompas, 23 April 2021) PERTEMUAN demi pertemuan dan percakapan demi percakapan biasa teringat dengan kalimat-kalimat lazim tapi berterima. Sekian kalimat masa-masa awal bergaul dengan Radhar Panca Dahana masih terbawa sampai sekarang. Kita tak berebutan atau saling mendahului saat mengucap ungkapan: karep urip, nglakoni apa wae, ora usah sambat, dan lain-lain. Percakapan biasa diselingi bahasa Jawa. Radhar Panca Dahana mengaku marem mengatakan hal-hal pokok menggunakan bahasa Jawa, bahasa termiliki dan membentuk biografi. Pada suatu hari, percakapan malam di rumah Mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) di pinggiran Solo. Seru! Para lelaki mengaku mengerti Jawa, saling omong panjang. Malam mendebarkan dalam mengisahkan dan menjelaskan Jawa, “bersaing” acuan dan kematangan mengurutkan babak-babak pemikiran di Jawa. Tokoh-tokoh (Mangkunagoro I, Mangkunagoro IV, Mangkunagoro VII, Pakubuwono IV, Pakubuwono X, Jasadipura I, Jasadipura II, Ranggawarsita, Padmasusastra, Sosrokartono, Ki Ageng Suryomentaram) disebutkan memberi bobot percakapan memang kental Jawa, berlanjut ke masalah-masalah pelik di Indonesia. Penulis, Radhar Panca Dahana, dan Mbah Prapto mulai terikat sejenis janji bakal membuat pertemuan-pertemuan lanjutan ngomongke dan mikirke Jawa. Di hadapan dua orang tangguh, penulis pantang minder atau bercap “bocah ingusan” dalam debat. Kecerewatan diladeni kecerewetan. Terbukti! Pada setiap acara, kita bertemu untuk percakapan ruwet sambil cengengesan, misuh, dan berdoa. Tahun demi tahun, kita masih selalu berkiblat Jawa. Penulis menganggap Radhar Panca Dahana serius kepencut Jawa, menguak khazanah Jawa. Ia pasti bertemu orang-orang ampuh, khatam buku-buku penting, dan mengolah secara lentur untuk tergunakan dalam udar gagasan. Pengertian itu terlambat dimiliki penulis tapi ditebus dengan sering mengalami pertemuan dan percakapan di pelbagai kota. Tebusan mengesankan adalah Radhar Panca Dahana sregep dolan ke Bilik Literasi, sejak di rumah kontrak sampai ke alamat sekarang: Tanon Lor, RT 3 RW 1, Gedongan, Colomadu, Karanganyar. Kehadiran puluhan kali memunculkan ledekan berulang diucapkan: “Dirimu miskin, ngopo gawe sinau-sinau.” Perkataan mengena tapi ia memiliki lanjutan-lanjutan terbuktikan turut bertanggung jawab atas kehidupan penulis dan orang-orang sinau di Bilik Literasi. Kalimat menandai kita bermufakat melakukan kerja-kerja keaksaraan, tahun demi tahun. “Dirimu miskin, ngopo gawe sinau-sinau.” Perkataan mengena tapi ia memiliki lanjutan-lanjutan terbuktikan turut bertanggung jawab atas kehidupan penulis dan orang-orang sinau di Bilik Literasi. Kalimat menandai kita bermufakat melakukan kerja-kerja keaksaraan, tahun demi tahun. Penulis ingin bercerita pertautan dalam kerja keaksaraan berpatokan rumah. Tema rumah pernah membara saat penulis bercakap bersama Radhar Panca Dahana dan Mbah Prapto. Babak mendahului terjadi pada akhir 2007, penulis menikah tanpa ada janji dan mimpi indah menikmati hari-hari sebagai suami-istri. Perkara terberat tentu ketiadaan duit tapi memiliki utang dalam jumlah besar. Jawaban dari hari-hari sulit datang, berasal dari Dewan Kesenian Jakarta. Dua naskah kritik sastra garapan penulis diumumkan menang dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007. Naskah bertema rumah berada di nomor urutan dua. Konon, rezeki bagi orang berani menikah alias mendirikan rumah tangga. Sekian tahun, usaha menjadi penulis gagal dan gagal. Ratusan tulisan dikirimkan ke pelbagai koran. Sebiji tulisan tak pernah mejeng di halaman koran. Pada saat mendirikan Pawon (komunitas sastra di Solo) bersama teman-teman, keminderan terasa gara-gara berbaur dengan orang-orang sudah “resmi” dianggap penulis dan kondang. Penghiburan adalah kejatah menulis esai dalam terbitan buletin Pawon, edisi bulanan. Pengesahan sebagai penulis tetap belum terjadi. Kabar dari DKJ memungkinkan hidup masih bergerak. Kejutan pun terjadi awal 2008. Esai berjudul “Rumah” dimuat di Kompas, terbaca di rubrik “Teroka” dengan redaktur Radhar Panca Dahana. Dua tulisan di DKJ dan Kompas kelak bekal obrolan panjang saat mula-mula berkenalan dengan Radhar Panca Dahana di rumah Mbah Prapto. Dua tulisan bertema rumah mengantar penulis sampai ke puluhan koran dan majalah, memastikan hidup dari menulis: menghidupi istri dan anak-anak dengan menulis. Rumah mengikat hubungan penulis dan Radhar Panca Dahana. Pada saat remaja, Radhar Panca Dahana bercerita pergi dari rumah. Ia menunaikan janji menjadi manusia dengan meninggalkan rumah. Mbah Prapto pun mengisahkan pergi dari rumah, berkelana ke pelbagai negeri. Rumah-rumah pernah terpahamkan kungkungan, hukuman, paksaan, perintah, kejenuhan, ketertutupan, dan lain-lain. Pergi dari rumah, dua orang itu tenar. Seni dan pemikiran mereka berpengaruh, tak cuma di Indonesia. Pada saat menuju tua, mereka ingin berumah, tak kembali ke rumah masa lalu atau rumah asal. Konon, rumah-rumah makin sulit membuat betah. Mereka terus saja berkelana tapi memiliki rumah. Kita berpikiran bahwa seniman-seniman Indonesia terlalu bermasalah dengan rumah, dari masa ke masa. Mereka mengelak atau mengingkari kerasan di rumah. Bergerak dan bergerak ke pelbagai tempat, belum tentu merindukan rumah. Masalah itu bertambah pelik saat penulis bergaul dengan Afrizal Malna, sosok unik dalam perkara rumah. Ia penah mengatakan deretan kata mengejutkan saat menginap di Bilik Literasi edisi rumah kontrak. Ia mengatakan: “Hidupku dalam koper.” Ia tak memiliki rumah, susah mengatakan singgah atau pulang ke rumah. Afrizal Malna terbukti bergerak dari kota ke kota. Kita kembali menghormati dan mengenang Radhar Panca Dahana. Ia kerasan di Solo, sering ke Solo. Pada suatu hari, serial obrolan tak terjadwal dan menghasilkan peristiwa turut menentukan nasib Balai Soedjatmoko. Kita berbicang lama mengenai Soedjatmoko dan para pemikir sejak masa kolonial sampai revolusi. Pada babak terpenting, kita mulai berpikiran rumah. Ada rumah di Solo pernah dihuni keluarga Saleh Mangoendiningrat. Rumah dinamai Balai Soedjatmoko, selahan dengan Toko Buku Gramedia. Tempat sudah digunakan untuk acara-acara seni tapi belum tergarap serius. Pada hari terjanjikan, sekumpulan orang (Radhar Panca Dahana, Ardus M Sawega, Bandung Mawardi, Titus, dan teman-teman) bertemu di Balai Soedjatmoko, membahas pemajuan acara-acara seni dan keintelektualan di Solo. Pada babak awal Balai Soedjatmoko, Radhar Panca Dahana berperan meski perlahan tak teringat. Mulailah rumah dinamakan Balai Soedjatmoko digarap sebagai tempat mengadakan diskusi dan acara seni! Penulis ingat diskusi awal adalah peringatan seabad Sutan Sjahrir, 2009. Rumah lama itu makin bermakna, berlanjut sekian acara serial diskusi sastra, kota, dan Jawa. Pada saat resmi bergerak di naungan Bentara Budaya, ratusan acara diselenggarakan tapi mengalami situasi sulit pada 2020 dan 2021. Kini, orang-orang mungkin merindukan rumah bernama Balai Soedjatmoko. Pada babak awal Balai Soedjatmoko, Radhar Panca Dahana berperan meski perlahan tak teringat. Mulailah rumah dinamakan Balai Soedjatmoko digarap sebagai tempat mengadakan diskusi dan acara seni! Penulis ingat diskusi awal adalah peringatan seabad Sutan Sjahrir, 2009. Rumah lama itu makin bermakna, berlanjut sekian acara serial diskusi sastra, kota, dan Jawa. Radhar Panca Dahana menulis tema rumah dalam esai dan puisi, memiliki kesadaran besar tentang rumah menentukan arus peradaban Nusantara. Penulis membuktikan pertanggungjawaban Radhar Panca Dahana tentang rumah. Bermula dari rumah kontrak, penulis berpindah rumah. Obrolan Radhar Panca Dahana dan teman-teman sinau di Bilik Literasi terus digelar. Pada saat mendirikan rumah joglo (2013), Radhar Panca Dahana tetap membesarkan pikiran tentang rumah. Di tiga rumah, ia mengaku kerasan. Di rumah joglo, ia merasa “kembali” dan menikmati “hidup-berumah”. Radhar Panca Dahana terbiasa memberi infak untuk seri sinau di Bilik Literasi. Biografi teman-teman di Bilik Literasi perlahan terhubung dengan Radhar Panca Dahana. Satu demi satu, teman-teman tampil menjadi penulis di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Solopos, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain. Obrolan bersama Radhar Panca Dahana sering membuat teman-teman makin serius berpikir dan rajin menulis. Di luar menulis, kita mengerti cara memanjakan Radhar Panca Dahana: kopi dan makanan. Kita pun mengerti sulit menandingi kecerewetan Radhar Panca Dahana dan ketangguhan dalam bantahan-bantahan. Semua sering terselenggara di rumah bernama Bilik Literasi dan warung-warung sekitar. Di rumah, kerja-kerja keaksaraan berlangsung sederhana. Mufakat bahwa rumah itu asal dan muara kerja keaksaraan terbuktikan. Episode bertambah seru dengan kelonggaran Mbah Prapto dolan ke Bilik Literasi. Pada saat bertemu dan bercakap, kita membiasakan tak berpotret. Tulisan menggantikan potret. Kini, rumah (Bilik Literasi) tak lagi didolani Mbah Prapto dan Radhar Panca Dahana. Mereka sudah menuju “rumah” berbeda. Penulis tetap merawat omongan-omongan mereka bertema rumah sambil mencicil utang rumah. Biografi penting kelak diobrolkan dan diingat oleh tiga anak penulis (Abad Doa Abjad, Sabda Embun Bening, dan Bait Daun Takjub) bahwa dua pemikir rumah (Mbah Prapto dan Radhar Panca Dahana) memastikan penulis selalu “berumah” dan menjadi bapak rumah tangga. Rumah turut dimaknai mereka meski utang belum lunas. Rumah untuk sinau seribuan orang dari pelbagai desa dan kota di seantero Indonesia. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Sejarah "Mengecilkan" Masyarakat

    ORDE Baru mencipta imajinasi dan kerja “mengecilkan” Indonesia. Negara dengan ribuan pulau menjadi modal ketakjuban. Orang kesulitan untuk mengunjungi semua pulau atau menempuhi perjalanan keliling Indonesia secara sempurna. Di lembaran peta, Indonesia memberi kejutan-kejutan pengisahan pulau, gunung, sungai, kota, jembatan, bukit, hutan, dan lain-lain. Berimajinasi Indonesia memerlukan durasi. Waktu turut menentukan keinginan memiliki dan mengalami Indonesia meski sulit utuh atau penuh. Ketakjuban dan kesulitan dipikirkan Ibu Tien Soeharto dengan mengadakan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Penggunaan diksi “mini” diinginkan berbeda dari sangkaan “mengecilkan”. Keberhasilan membuat TMII mengesahkan Ibu Tien Soeharto berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan besar di Indonesia berurusan taman, makanan, busana, museum, pariwisata, dan lain-lain. Ibu Tien Soeharto memikirkan beragam hal, membuat kebijakan, melibatkan peran pejabat dan penguasaha, memoncerkan, dan menempatkan dalam kesuksesan pembangunan nasional. Pembuatan taman di lahan luas itu mendapat sokongan besar dari pelbagai kalangan dalam memastikan Indonesia bisa dijumpai di Jakarta tanpa perlu bepergian ke pelbagai tempat di ribuan pulau. Para penulis pun memberi sokongan dengan pembuatan buku-buku. Sekian buku bertema TMII mendapat pengesahan sebagai buku menggunakan dana pemerintah. Kita perlahan berpikiran TMII itu milik pemerintah atau memenuhi misi-misi besar Indonesia. Peran para pejabat dan tokoh penting di situ mengukuhkan kebermaknaan “indah” telah memicu polemik-polemik. Ibu Tien Soeharto pernah “dimusuhi” dan mendapat album kritik. TMII itu “taman polemik”. Pada 1983, terbit buku berjudul Mencintai Alam Indonesia Melalui TMII susunan M Saribi AFN dan gambar oleh Muryotohartoyo. Persembahan: “Kepada putra-putri kami, dan putra-putri di seluruh Nusantara.” Buku memiliki 208 halaman itu ingin terbaca para murid dalam memiliki Indonesia. “Lebih daripada sekadar tempat wisata (rekreasi), TMII terus tumbuh menjadi tempat pendidikan bagi masyarakat Indonesia, mengenali tanah airnya sendiri,” tulis Saribi. Indonesia ingin dipelajari dalam satu tempat. Keterangan: “TMII didirikan di atas tanah seluas 200 ha di sebelah tenggara ibukota Jakarta. Di tengah-tengah dibuat danau dengan pulau-pulau yang menggambarkan tanah air Indonesia. Di sekeliling danau berdiri rumah-rumah, bangunan-bangunan, atau anjungan sebaganyak 27. Semuanya menggambarkan bangunan adat tiap-tiap provinsi.” TMII diadakan secara “berlebihan” tapi berdalih demi Indonesia. Sejarah sedang dibuat: “Pembuatan TMII dirancang pada awal 1970 atas gagasan Ibu Tien Soeharto. Pada tanggal 20 April 1975 diresmikan pembukaannya oleh Bapak Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.” Sejarah bertokoh utama Ibu Tien Soeharto. Masa demi masa, Ibu Tien Soeharto makin “berkuasa” dalam mengisahkan Indonesia. Pada saat buku-buku terbit mengenai TMII, informasi mengenali pengelolaan dan ketokohan sudah disebutkan secara jelas. TMII dikelola oleh Yayasan Harapan Kita diketuai Ibu Tien Soeharto. Pada masa 1980-an, TMII bertambah moncer. Bangunan-bangunan baru dibuat dengan beragam makna. Semua tetap dimaksudkan demi kehormatan Indonesia. Ibu Tien Soeharto tetap tokoh utama. Kita mendapat keterangan tambahan dalam buku berjudul Tugu Api Pancasila, Sasana Utama, dan Sasana Langen Budaya (1985) susunan B Widjanarko. Pesona TMII berlipat dengan bangunan baru atau pembuatan acara-acara. TMII seperti impian belum selesai, wajib terus membangun setiap tahun. Widjanarko menulis: “Tidak banyak kita mengetahui tentang makan simbol-simbol Tugu Api Pancasila berikut plaza-nya. Begitu pun Pendapa Sasana Uatama, dan Pringgitan Sasana Langen Budaya karena kedua bangunan itu sering tertutup. Sering pula timbul pertanyaan, apa yang ada di dalamnya? Oleh karena itu, melalui buku kecil ini, penulis berharap agar kita sedikit banyak mengetahui tentang ketiga bangunan tersebut.” Tahun demi tahun, jutaan orang bedatangan ke TMII. Mereka berkunjung sebagai turis tapi sulit mengerti semua maksud bangunan dan acara. Penerbitan buku-buku memang diperlukan agar TMII tak surut cerita atau mengalami bangkrut makna. Tahun demi tahun, jutaan orang bedatangan ke TMII. Mereka berkunjung sebagai turis tapi sulit mengerti semua maksud bangunan dan acara. Penerbitan buku-buku memang diperlukan agar TMII tak surut cerita atau mengalami bangkrut makna. Kita mengingat TMII lagi setelah ada berita agak menghebohkan. Berita berjudul “Istana dan Pengambilalihan TMII” dimuat di Kompas, 11 April 2021. Hal terpenting: “Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah, yang sudah puluhan tahun ada di tangan Yayasan Harapan Kita, kini diambil alih negara.” Babak sejarah baru ingin dibuat atas nama pemerintah tanpa melupakan gagasan-gagasan Ibu Tien Soeharto. Di Kompas, kita membaca paragraf: “TMII yang kini seluas hampir 150 hektar dan bernilai hampir sekitar Rp 20 triliun juga dijanjikan akan tetap melestarikan budaya bangsa. Harapannya, selain menjadi sarana edukasi budaya bangsa, TMII juga bisa menjadi semacam jendela budaya Indonesia ke dunia Internasional.” Sejarah TMII masih berlanjut mungkin tak membawa semua polemik pernah berlangsung masa lalu. Kini, TMII ingin lancar-lancar saja dalam pengertian besar pariwisata. Di Media Indonesia, 12 April 2021, kita membaca penjelasan Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara bahwa pengambilalihan “bertujuan mengoptimalkan aset negara, khususnya agar berkontribusi pada keuangan negara.” TMII terus dikunjungi orang-orang dari desa dan kota. Mereka ingin mengetahui Indonesia “diminikan” atau “dikecilkan” di satu tempat. Piknik ke TMII belum tentu membuat mereka mengetahui hal-hal penting. Urusan piknik adalah hiburan dan senang, belum wajib “pelajaran”. Jumlah pengunjung bertambah tapi pengetahuan belul terjamin bertambah. Pihak TMII memutuskan membuat buku berjudul Pesona Wisata Budaya Taman Mini Indonesia Indah (1996). Buku disusun tim dengan maksud memberi pelajaran: “Dengan membaca buku ini, pengunjung diharapkan akan dapat menjelajahi TMII dalam waktu yang singkat dan memperoleh informasi yang cukup lengkap, serta dapat menemukan inti kandungan TMII, riwayat pendiriannya, dan makna keberadaannya bagi masyarakat.” Buku mungkin paling penting dibandingkan buku-buku terdahulu. Buku terbit menandai usia TMII makin panjang. Pengantar dari Ibu Tien Soeharto ditulis di Jakarta, 20 April 1996, memuat ingatan hari peresmian dan dampak besar TMII dalam pembangunan nasional. Pesan terbijak Ibu Tien Soeharto: “Dalam membangun kita harus memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur pula. Pelajaran budi pekerti dan moral ini banyak terdapat dalam warisan budaya kita yang tersebar dalam warisan budaya daerah. Melalui Taman Mini Indonesia Indah, warisan budaya nasional dan budaya daerah itu diusahakan pelestariannya.” Misi mulia dan terbuktikan dengan segala cara. Pada masa 1990-an, Ibu Tien Soeharto mungkin belum berpikiran bakal ada episode pengambilalihan TMII oleh pemerintah. TMII tetap “dilestarikan” tapi berbeda pengelola dan pembuatan pelajaran-pelajaran berlatar abad XXI. Ibu Tien Soeharto tetap tercatat berhasil mewujudkan impian besar dengan “mengecilkan” Indonesia. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Kita (Masih) Membaca ...

    Tidak hanya terhadap kekuasaan, kekritisan juga selalu ia tunjukkan saat menilai suatu kebenaran. Bagi Bung Daniel Dhakidae, misalnya, tak pernah ia aku kebenaran yang diterima sebagai sesuatu yang monolitik. Ia meyakini tatkala suatu kebenaran mulai ditunggalkan, saat itu pula kebenaran terkhianati. (Kompas, 7 April 2021) ORANG-ORANG sedang memberi sindiran atas keputusan-keputusan KPK. Sekian hari lalu, kehebohan berasal dari KPK gara-gara menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Orang-orang membenci korupsi berpikiran macam-macam tentang KPK, Sjamsul Nursalim, dan para koruptor belum punah di Indonesia. Kehebohan pernah diramalkan dalam mencipta sejarah buruk di Indonesia. Korupsi belum selesai menjadi petaka. Di jurnal Prisma volume 37, 2018, Daniel Dhakidae (1945-2021) mengingatkan: “Korupsi adalah gejala modern yang berkembang bersama kehidupan kemasyarakatan yang makin kompleks, sedangkan pencurian melekat dalam kemanusiaan. Korupsi, tentu saja, berimpitan dengan pencurian, tetapi dalam dirinya berbeda dari pencurian.” Korupsi terlalu ditentukan dengan pembentukan birokrasi. Kejahatan tak asali atau berbeda dari pencurian itu justru mengabadi saat peradaban teranggap makin maju, teknologis, dan digital. Di Indonesia, sejarah korupsi (terlalu) panjang, makin bermekaran pada abad XXI. Pelaku-pelaku korupsi tentu orang-orang terpelajar dan cerdik berpolitik. Mereka itu mengerti tapi memilih melakukan korupsi. Korupsi terlalu ditentukan dengan pembentukan birokrasi. Kejahatan tak asali atau berbeda dari pencurian itu justru mengabadi saat peradaban teranggap makin maju, teknologis, dan digital. Di Indonesia, sejarah korupsi (terlalu) panjang, makin bermekaran pada abad XXI. Pelaku-pelaku korupsi tentu orang-orang terpelajar dan cerdik berpolitik. Mereka itu mengerti tapi memilih melakukan korupsi. Pada saat menulis artikel di Prisma, Daniel Dhakidae pasti marah atas sejarah baru di Indonesia bertema besar korupsi. Kini, ia mewariskan artikel dan buku memberi ingatan tentang “kemustahilan” menamatkan korupsi di Indonesia menilik sejarah, birokrasi, pendidikan, bisnis, dan lain-lain. Kemarahan boleh menulari kita saat wabah tak rampung tapi korupsi belum terwartakan surut. Daniel Dhakidae pernah menduga korupsi bisa diberantas dengan sekian pembenahan dan kontrol atas kekuasaan dan modal. Dugaan itu sering meleset. Kita menghormati Daniel Dhakidae telah pamitan dari dunia. Ia tetap berseru bila kita mau membaca beragam artikel dan buku terwariskan. Daniel Dhakidae (2014) mengingatkan puja harta terbentuk sejak masa kolonial: “Kebijakan harus jelas, yang berarti kalangan atas harus dididik terdahulu untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Ini berarti kaum bangsawan, kaum berharta harus dilindungi, mobilisasi kelas bawah ditahan dan harus menunggu kematangan kelas atas. Pemerintah kolonial hanya bisa aman kalau struktur masyarakat itu tetap terjaga dan terkendali.” Orang membuka buku besar sejarah Indonesia sulit menghindari masalah-masalah korupsi. Sejarah masih berlanjut sampai sekarang dengan penambahan ribuan halaman. Teringatlah warisan terpenting Daniel Dhakidae berupa buku tebal dan besar berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Indonesia memang memiliki bab korupsi tapi jejak-jejak pembentukan dan penegakkan Indonesia melalui kemunculan dan pembesaran kalangan cendekiawan pun berpengaruh, dari masa ke masa. Cendekiawan, sebutan terasa agung dan serius. Indonesia memang “ditulis” kaum cendekiawan dengan beragam kiblat dan konsekuensi. Pada masa Orde Baru, sejarah memuat peran Prisma, bacaan bermutu tapi gampang memicu polemik-polemik. Prisma hadir di hadapan pembaca sejak 1971, mengiringi Indonesia. Di situ, artikel-artikel penting tersajikan. Sekian nama lekas berpengaruh dalam pelbagai gagasan berlatar kesibukan rezim Orde Baru mengamalkan pembangunan nasional. Daniel Dhakidae mengamati dan menjelaskan Prisma masa Orde Baru, berlanjut dengan peran melanjutkan terbitan Prisma pada abad XXI. Dulu, Prisma adalah bacaan kaum terpelajar berani berpikir berat, serius, dan serial. Prisma mengiringi lakon rezim Orde Baru dengan pemikiran-pemikiran memungkinkan kemunculkan sikap kritis, menggugat, atau mufakat atas pelbagai kebijakan untuk Indonesia. Daniel Dhakidae menemukan kekhasan Prisma berselera kaum muda dengan segala pemikiran segar dan kritis. Orang membaca Prisma lekas menemukan masalah-masalah besar dan gawat di Indonesia. Prisma merangsang pembaca menekuni sejarah, ekonomi, antropologi, pertanian, pendidikan, dan lain-lain. Daniel Dhakidae menemukan kekhasan Prisma berselera kaum muda dengan segala pemikiran segar dan kritis. Orang membaca Prisma lekas menemukan masalah-masalah besar dan gawat di Indonesia. Prisma merangsang pembaca menekuni sejarah, ekonomi, antropologi, pertanian, pendidikan, dan lain-lain. Kita pun mengerti di luar Prisma, ada sumbangsih kaum cendekiawan melalui sodoran pemikiran-pemikiran melalui Basis, Horison, Tempo, Panji Masyarakat, Kompas, Sinar Harapan, dan lain-lain. Tulisan-tulisan persembahan kaum cendekiawan dijadikan acuan, patokan, atau pemicu atas sikap menanggapi nasib Indonesia dibentuk rezim Orde Baru. Pada masa berbeda, situasi Indonesia terlalu berubah. Kaum muda atau terpelajar tak lagi bergantung dengan bacaan-bacaan disuguhkan Prisma. Daniel Dhakidae malah tampak nekat menghidupkan (lagi) dan memajukan Prisma berbarengan godaan ragam digital menimpa kaum melek aksara. Daniel Dhakidae dan Prisma mengungkap gelisah dan keterpinggiran pada masa-masa berbeda. Kita mendingan mengingat pendapat Daniel Dhakidae (2003): “… tidak pernah ada pembicaraan tentang kaum cendekiawan tanpa tabrakan dengan kekuasaan, tanpa pertikaian dengan modal, dan tanpa menyaksikan kiprahnya dalam mengobrak-abrik yang disebut sebagai kebudayaan.” Daniel Dhakidae pun terlibat dalam Kompas. Di buku berjudul Mengembangkan Indonesia Kecil (2013) menandai 50 tahun Kompas-Gramedia, kita masih menemukan pengharapan peran koran dan majalah memajukan gagasan-gagasan di Indonesia. Arus pemikiran dalam pers masih menderas. Daniel Dhakide dalam tahap bermufakat atas pendapat: “industri pengetahuan mengalami inflasi makna karena dipakai untuk apa saja.” Koran dan majalah di Indonesia mula-mula terpahamkan berita, sebelum memiliki misi memberi ruang dan alur bagi kecendekiawanan. Peran itu tak utuh dan mengabadi saat publik mulai menginginkan “macam-macam”. Sindiran tersampaikan Daniel Dhakidae: “tidak mengherankan dalam zaman informasionalisme gunjingan diangkat ke tingkat tinggi.” Kita mengaku “terbimbing” setelah membaca artikel dan buku garapan Daniel Dhakidae. Di buku berjudul Menerjang Badai Kekuasaan (2015), Daniel Dhakidae menulis para tokoh memberi arti Indonesia, dari masa ke masa. Ia tak melulu memilih dari kaum cendekiawan. Penghormatan tokoh-tokoh dalam laju sejarah membuktikan ada deru pemikiran mendapat mufakat atau debat. Sekian hal mungkin serasi atau bersengketa tak berkesudahan. Kini, kita pantas menulis tentang Daniel Dhakidae dalam selera biografis, tak lupa menempatkan dalam babak-babak terpenting berkaitan cendekiawan dan negara. Selama puluhan tahun, Daniel Dhakidae adalah pemikir dan penulis merasa tak selesai-selesai dengan beragam tema. Kita menjadi pembaca masih saja menantikan persembahan-persembahan baru meski beragam tulisan terdahulu belum rampung terpahamkan berbarengan perubahan-perubahan sering mengejutkan di Indonesia. Daniel Dhakidae pamitan dari kita tapi telah memberi album minta terbaca. Ia seperti memiliki kepastian bahwa orang-orang Indonesia masih mau dan bergairah membaca suguhan artikel dan buku dalam edisi cetak. Ia memang kita kagumi dan rindukan dalam gairah pers dan perbukuan cetak, sebelum diterjang segala (harus) digital. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Terbaca dan Tersimpan

    PADA 2021, Garin Nugroho adalah penggubah puisi, disahkan dengan penerbitan buku berjudul Adam, Hawa, dan Durian. Semula, ia dikenali sebagai sutradara film. Babak-babak di perfilaman ia peka sastra dan rajin berpuisi. Ia mungkin “meniru” Usmar Ismail: penggubah puisi, cerpen, naskah teater, skenario, dan sutradara film. Di Kompas, 4 April 2021, Garin Nugroho sajikan esai berjudul “100 Tahun Usmar Ismail, Momentum Merebut Hak Politik”. Ia menghormati tokoh perfilman dengan esai, bukan puisi. Di situ, kita membaca: “Momen 100 tahun Usmar Ismail mengisyaratkan bahwa bangunan puncak emas film selalu berumur pendek. Untuk membangun ekosistem film yang bertumbuh lokal-global jangka panjang layaknya Korea Selatan, tidak cukup hanya dengan kemenangan kreatif para pembuat film ataupun semata kekuatan rumah produksi komersial, tetapi juga dengan kemampuan membangun organisasi profesi dan status dan peran independen.” Ia membaca masalah film, dari dulu sampai sekarang. Usmar Ismail menjadi tokoh acuan agar perfilman di Indonesia berbenah. Kita jeda dari masalah-masalah mutakhir dengan mengenang Usmar Ismail saja. Di pinggir pantai, lelaki berbaring tampak memandang sepuntung rokok (masih) berasap. Lelaki itu berkacamata, melihat wajah-wajah dalam kepulan asap. Lima wajah itu mungkin sumber pengisahan atau alamat untuk persembahan. Kita sedang dimanjakan gambar kulit muka buku buatan Kuntjojono. Gambar ingin “menjelaskan” judul buku Usmar Ismail. Buku memuat puisi-puisi dijuduli Puntung Berasap, diterbitkan Balai Pustaka, 1950. Buku cetak ulang pada 1957. Buku puisi jarang terbaca atau teringat dalam membincangkan sastra Indonesia. Si penggubah puisi seperti masuk lemari tua tanpa pernah dibuka oleh umat sastra. Pada masa 1950-an, ia telah tokoh perfilman. Pada masa berbeda, publik mengesahkan ia sebagai tokoh terpenting dalam perfilman Indonesia. Episode menggubah puisi masih tersimpan dan terkunci dalam lemari. Usmar Ismail selalu saja film: Darah dan Doa, Tjitra, Enam Djam di Djogja, Krisis, Tiga Dara, Liburan Seniman, dan lain-lain. Buku berjudul Apa & Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 terbitan Tempo juga menonjolkan Usmar Ismail adalah tokoh film, sulit memberi pengenalan panjang atau penjelasan mengenai sosok pernah berada dalam arus sastra Indonesia masa pendudukan Jepang dan revolusi. Pengakuan ia pernah berada di jagat sastra dan mendapat perhatian kritikus sastra terbaca dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1981) susunan Pamusuk Eneste. Orang-orang jarang mengingat Puntung Berasap. Usmar Ismail telanjur besar dalam film, tak seberuntung dalam sastra modern di Indonesia. Ia menggarap film, rajin pula menulis esai-esai bertema film. Penghormatan diberikan melalui Sinar Harapan: menerbitkan buku berjudul Usmar Ismail Mengupas Film (1983). Buku dokumentatif tapi terjelaskan sengaja belum lengkap. Kini, buku itu susah dicari. Orang bisa mendapatkan buku di pedagang-pedagang buku lawas dan antik, berharga mahal. Kita menduga jumlah orang mengoleksi buku Puntung Berasap mungkin sedikit dibandingkan Usmar Ismail Mengupas Film. “Usmar Ismail adalah seorang tokoh yang tragis,” tulis Asrul Sani (1983). Ia mengalami situasi tak menentu dalam sastra dan film tapi sanggup menggubah puisi dan membuat film dengan segala salah dan tak sempurna. Di kancah sastra, Usmar Ismail tentu terbicarakan HB Jassin, belum tentu oleh pengamat dan para kritikus akhir abad XX dan abad XXI. Asrul Sani agak memuji: “Usmar Ismail memasuki dunia film setelah menjelajahi dunia kesusastraan… biarpun ia merupakan salah seorang dari generasi penutup yang menulis atau menciptakan sajak dalam gaya Pujangga Baru.” Puisi-puisi gubahan Usmar Ismail memang tak semoncer dan berpengaruh dibandingkan puisi-puisi Amir Hamzah, JE Tatengkeng, atau Chairil Anwar. Usmar Ismail tak lama sibuk berpuisi. Puntung Berasap menjadi dokumentasi puisi digubah di Jakarta dan Jogjakarta: 1943-1947. Puisi “rasa” Pudjangga Baru memang terbukti saat kita membaca puisi berjudul “Laksana Ombak”. Ia terbujuk imajinasi laut seperti Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana. Ombak, diksi bergerak dan kuat. Puisi itu mungkin acuan bagi pembuatan gambar di sampul buku. Puisi digubah pada 1943, masih terhindar dari propaganda (murahan) Jepang dan impian muluk tentang negara-bangsa. Puisi terbujuk mengungkap biografi: Laksana ombak tinggi gemulung Mengedjar tepi pasir jang landai Sebelum sampai mengorak gulung Memetjah buih menjerak urai. Pada peringatan seabad Usmar Ismail, kita membaca puisi itu “meragu” bahwa Usmar Ismail berani bersumpah hidup-mati dalam sastra. Puisi masih cuma curahan perasaan, belum ada keseriusan permainan estetika. Kita membaca gelisah milik orang muda, terlena perasaan, dan sulit membahasakan dengan mendalam. Usmar Ismail berbagi perasaan-deksriptif: Lepaslah tenaga menjerah lempai Meniarap turun pandjang membudjur Mengalir hanjut menudju pantai Mentjetjah pasir djatuh tersungkur Demikianlah pula hati memedih Meratap hening pilu merindu Mengenang daja putus dahulu. Gejolak-gejolak perasaan seorang masih muda terlalu gampang dituliskan dalam puisi. Setumpuk masalah sering disahkan dengan pesimis. Berpuisi menjadi curahan, terbaca saja sebagai keluhan atau ratapan. Tuhan pun tersebut. Usmar Ismail bukan bergumul dalam estetika-religius tapi ruwet menanggulangi pesimis. Ia memilih menulis puisi tanpa rumit, menaruh pesimis dengan terbuka. Kita membaca dalam puisi berjudul “Pintasan”, ditulis pada 1943. Kita makin mengerti pengaruh Pujangga Baru meresapi puisi-puisi digubah saat Indonesia “dimeranakan” Jepang, terjerat muslihat demi muslihat. Usmar Ismail perlahan sadar ada pengaruh kekuasaan dalam bersastra. Pada masa pendudukan Jepang, ia menulis puisi tak sekadar mengumbar rasa. Di situ, ia mengimajinasikan tanah air. Puisi sempat menerima pengaruh-pengaruh sloganistik dan omongan-omongan besar. Usmar Ismail sempat terpesona pidato-pidato manis Jepang. Ia menanggapi dengan puisi. HB Jassin (1954) menerangkan: “Usmar Ismail adalah penjair satu-satunja jang paling tegas suaranja, jakin dan teguh dalam tudjuan perang Asia Raja, meskipun sering-sering terutama pada mulanja ia djuga ‘diserang rasa’. Demikian madjunja ia dalam tjita-tjitanja hingga mendahului teman-temannja dan tjuriga ia pada keichlasan jang lain-lain. Tapi kemadjuan Usmar Ismail inipun lambat laun surut djuga dan kemudian memadulah dalam tjita-tjita Indonesia merdeka, sesudah mengalami getir tekanan djiwa.” Pengamatan HB Jassin itu memang terbukti dalam publikasi puisi-puisi gubahan Usmar Ismail, termasuk dalam Puntung Berasap. Puisi berjudul “Kudengar Adzan” digubah Usmar Ismail dengan keterangan persembahan: “Kepada Pembela Tanah Air”. Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang diajak bergabung dalam Peta. Mereka mendapat pendidikan militer dan menerima ajaran-ajaran perang. Puisi itu dokumentasi: Kudengar adzanmu diwaktu subuh Memudja Tuhan berharap lindungan, Suaramu menjebar benih jakinku tumbuh Kali ini, engkaulah pembawa gemilang zaman Dalam badanku lemas dingin sekudjur Mengalir lagi darah tjair memanas. Episode memadukan hasrat memikirkan tanah air, berharap mendapat restu Tuhan. Usmar Ismail menulis dalam suasana Jepang menebar militerisme tapi diladeni dengan keinsafan agama. Kita kelak mengetahui kecenderungan agama itu menguat saat Usmar Ismail berada dalam Lesbumi. Puisi mengandung perintah-perintah Jepang terbaca gamblang dalam larik: “Kali ini, engkaulah pentjapai menang jang pasti.” Kita mengutip dari Keboedajaan Timoer III, terbitan propaganda Jepang. Di situ, ada tulisan Usmar Ismail berjudul “Dewi Merdeka”. Di luar puisi, ia makin gamblang mengumbar imajinasi tanah air setelah terolah dalam perintah-perintah Jepang. Dulu, tulisan itu wajar, belum terlalu dituduh “terbohongi” atau terjerak kepicikan. Kita simak: “Bermoela pada tanggal 7 boelan 9, sore tersiarlah berita bahwa Dai Nippon Teikoku memperkenankan kemerdekaan kepada seloeroeh bangsa Indonesia pada kemoedian hari. Dan keesokan harinja bergemalah lagoe kebangsaan memenoehi oedara Indonesia dan berkibarlah bendera Indonesia terpantjang diatas tanahnja sendiri. Dinjanjikan lagoenja dengan segala tjorak soeara, dari serak-parau sampai kepada jang haloes merdoe. Semoeanja ingin mempoenjai bendera Merah-Poetih. Saroeng bantal, taplak medja dirobek oentoek poetihnja. Rok dan gorden pintoe disamboeng-samboengkan oentoek merahnja.” Usmar Ismail, bermula dari perasaan bertaut gejolak bertanah air dalam pengisahan Jepang. Pada babak matang, ia berpikiran Indonesia dalam rupa dan rasa berbeda, setelah 3,5 tahun masa pendudukan Jepang. Di mata Jepang, Usmar Ismail menulis dengan gelagat “kepatuhan”. Ia pun memiliki situasi berbeda dalam memusuhi Jepang. Kesadaran dan sikap kritis atas muslihat-muslihat Jepang terbaca dalam puisi “buat imperialis kuning”. Usmar Ismail menggubah puisi berjudul “Hubungan”, pendek memuat pancaran keberanian: Asal kau tahu Djika kita berdepan muka bukan sebagai kau dan aku, engkau lambang tampuk kuasa aku bangsa hendak merdeka Djika sudah kartu terlempar-buka diatas medja! Suara itu lantang dan menantang. Usmar Ismail mungkin menulis puisi: disimpan dan dibicarakan bersama segelintir orang, tak perlu diumumkan bila mengerti konsekuensi besar dari keangkuhan militer Jepang. Puisi digubah di bulan Februari 1945. Pada 1945, Usmar Ismail bersama para seniman melakukan sekian peristiwa seni di naungan pemerintah pendudukan Jepang. Mereka diminta memajukan sastra, musik, seni rupa, film, dan lain-lain. Pesan-pesan besar diwajibkan ada dalam garapan seni. Usmar Ismail mengerti ada kerancuan berkaitan seni dan kekuasaan. Situasi perang atau keamburadulan politik mulai dimengerti bakal memunculkan sejarah “baroe”. Bulan demi bulan, Usmar Ismail menjadi pelaku dan saksi atas situasi Indonesia berlatar 1945. Sekian puisi digubah dengan sederhana, tak sanggup setara atau menandingi puisi-puisi gubahan Chairil Anwar. Usmar Ismail tetapi saja berpuisi tanpa sadar menjadi acuan mengerti ketegangan sastra, propaganda, dan kemerdekaan. Puisi berjudul “Tjaja Merdeka” ditulis pada Agustus 1945. Tanggal tak tercantum. Pembaca diminta menebak: sebelum atau setelah peristiwa Soekarno membaca teks proklamasi. Puisi jarang dipilih untuk kutipan peringatan kemerdekaan atau digunakan dalam lomba-lomba membaca puisi. “Tjaja Merdeka”, puisi masih terbawa selera propaganda, belum dalam pematangan bahasa atau kesanggupan mengolah estetika. Kita membaca: Sekali aku terbangun dalam tjerkam-Mu, Dari dalam djurang jang gelap-hitam Kau renggut aku terbatjut dari akar djiwaku Kau angkat aku membumbung menatap wadjah Surja Merdeka. Simbol-simbol dalam puisi terasa “lawas” meski pernah digandrungi para penggubah puisi masa 1930-an. Usmar Ismail masih terikat Pujangga Baru. Pada bait terakhir, Usmar Ismail mungkin mengangankan larik-larik terbaca di depan ribuan orang: Akan mengembus angin dari tepi kuburku ketiap pendjuru membawa nikmat Tjaja Merdeka Dan sudjudlah aku dihadirat Tuhanku menunggu putusan achirku didunia baka! HB Jassin (1954) memaklumi perubahan arah, kiblat, atau misi di kalangan pengarang pada masa pendudukan Jepang dan setelah Indonesia merdeka. Mereka berada dalam situasi sulit, merasakan dilema tapi berkemauan dalam menunaikan pengabdian sastra. Dokumentator sastra itu mengingatkan: “Biarpun bagaimana pudjian dan pudjaan pada Djepang pada satu waktu ada dirasakan oleh penjair dan pengarang kita sungguh-sungguh dari hati, biarpun orang jang lain pendapat mentjemoohkan mereka dan nongkrong dipinggir djalan hanja menonton orang berbaris dengan tegap dan penuh semangat.” Penentuan sikap bersastra pada masa Jepang memang sulit. Patuh dan melawan memiliki akibat-akibat besar. Jepang ingin sastra mengantar pesan-pesan bergelimang tipuan. Di kalangan sastra, gagasan dan imajinasi Indonesia sudah termiliki, ingin lekas diwujudkan. Mereka kadang menggubah teks sastra dengan ungkapan atau simbol ingin tak terkena sensor. Kebingungan dalam permainan pesan-pesan “rahasia”, mereka tak sungkan menulis cerita pendek, puisi, atau naskah sandiwara menuruti kemauan Jepang. Mutu memang “rendah” tapi cara itu memungkinkan sastra terus bergerak dalam dilema-dilema. Usmar Ismail pernah dalam situasi bimbang. Ia perlahan lolos dari kubangan propaganda tapi gubahan puisi tetap belum sampai pematangan imajinasi dan kebahasaan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Padi di “Pusara” Nusantara

    Alkisah, Prabu Silihwarna memelihara tanaman yang tumbuh di atas pusara sang Hiang Sri, kemudian dikembangbiakkan menjadi tanaman utama rakyat. Makin lama tanaman padi makin meluas. Lesung dan alu serta lumpang banyak digunakan sebagai perlengkapan menumbuk padi untuk dijadikan beras. (Soetarno, Sang Hiang Sri, 1985) DI halaman koran-koran, padi dipanen. Kita melihat para pejabat memanen padi. Foto kaum petani sebagai penanam dan pemelihara padi diabsenkan. Padi di Indonesia sah bertokoh pejabat. Di Media Indonesia, 22 Maret 2021, foto besar dan berwarna mengabarkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo duduk di atas mesin pemanen padi. Ia memanen padi di Lawallu, Soppeng Riaja, Barru, Sulawesi Selatan. Konon, mesin pemanen padi itu membuat pekerjaan berumus cepat dan mudah. Kaki tak perlu kotor. Tangan jangan sampai pegal-pegal. Mesin bakal memberikan hasil memuaskan. Foto itu indah, mengisahkan kemajuan-kemajuan dalam pertanian di Indonesia. Hari-hari selama Maret, tema padi sedang naik gara-gara pemerintah mengumumkan mau impor beras. Kita diminta mengikuti berita-berita mengenai padi, sebelum beras telah menjadi komoditas. Di Jawa Pos, 23 Maret 2021, kita membaca berita berjudul “Hendi Panen Padi Baroma di Balai Kota.” Perhatikan, pejabat memanen padi bukan di sawah tapi di Taman Balai Kota Semarang. Alamat berbeda dari peristiwa sang menteri memanen padi di sawah. Simak: “Panen padi di wilayah perkotaan itu menjadi bukti bahwa padi bisa ditanam di media lain selain lahan persawahan.” Lahan sempit digunakan untuk menanam padi. Tata cara berbeda dari bersawah. Kita tak mengenali para penanam tapi pemanen adalah Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, 22 Maret 2021. Cuplikan pidato: “Kami membuat seperti ini untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat. Bahwa dengan lahan yang kecil, lahan yang terbatas, kita bisa melakukan upaya ketahanan pangan secara mandiri.” Oh, bijak! Di Kompas, 23 Maret 2021, kita makin terkejut menikmati foto berketerangan bahwa para pejabat di Semarang memanen padi menggunakan ani-ani, bukan sabit. Mereka tentu tak perlu mesin. Ani-ani itu alat tradisional dalam sejarah pertanian di Nusantara. Benda dalam kerja tangan pemanen. Tangan-tangan pejabat telah lama tak memegang ani-ani atau sabit. Pada adegan bakal dilihat publik, pejabat memegang ani-ani adalah keindahan. Pejabat mungkin sedang mengajak dan mendidik para petani menggunakan lagi ani-ani saat panen, bukan sabit atau mesin. Ajakan bakal bertentangan dengan kebijakan-kebijakan sang menteri. Indonesia abad XXI tak memerlukan ani-ani dalam keinginan panen melimpah dan menjadikan sekian lahan adalah lumbung pangan. Pejabat mungkin sedang mengajak dan mendidik para petani menggunakan lagi ani-ani saat panen, bukan sabit atau mesin. Ajakan bakal bertentangan dengan kebijakan-kebijakan sang menteri. Indonesia abad XXI tak memerlukan ani-ani dalam keinginan panen melimpah dan menjadikan sekian lahan adalah lumbung pangan. Ani-ani berada di lembaran sejarah, belum darurat dilestarikan berdalih kemuliaan lakon pertanian Indonesia. Kita pastikan dengan mengutip omongan sang menteri di hadapan para mahasiswa Politeknik Pengembangan Pertanian Medan: “Dari kampus ini, kami berharap lahirnya petani-petani muda yang memiliki kemampuan dana keterampilan serta nilai akademik pertanian lebih baik. Kita punya sumber daya alam dan penduduk yang banyak sehingga membutuhkan keterampilan yang kuat serta menguasai riset, sains, dan teknologi.” Pidato ampuh tak bakal menganjurkan mahasiswa melestarikan penggunaan ani-ani dalam panen padi. Indonesia bisa kekurangan pangan dan terpaksa impor beras dari Thailand atau Vietnam. Pada suatu masa, mahasiswa-mahasiswa lulus bergelar sarjana. Mereka diajak bepredikat menjadi petani. Pertanian masa depan memiliki jurus-jurus berbeda, meninggalkan segala kekunoan atau hal-hal tradisional. Pamrih besar pemerintah untuk memiliki panen padi berlimpah dan situasi alam telah amburadul menjadikan ketradisionalan menghilang. Keinginan menanam dan memanen padi setahun sekali tentu dianggap lelucon abad XXI. Keinginan terpenting adalah menanam dan memanen, menanam dan memanen, menanam dan memanen. Hitungan waktu dan kepekaan alam lumrah tak diberlakukan bila Indonesia takut langka pangan alias kelaparan. Keinginan menanam dan memanen padi setahun sekali tentu dianggap lelucon abad XXI. Keinginan terpenting adalah menanam dan memanen, menanam dan memanen, menanam dan memanen. Hitungan waktu dan kepekaan alam lumrah tak diberlakukan bila Indonesia takut langka pangan alias kelaparan. Kita membuka buku berjudu Pranata Mangsa (2001) terbitan KPG dan Bentara Budaya Yogyakarta. Sekian dokumentasi tentang pertanian masa lalu disajikan mungkin nostalgia. Kita bisa membaca sambil membuang kecewa bila ilmu-ilmu lama tak wajib digunakan dalam pertanian abad XXI. Dulu, pranata mangsa adalah pedoman bagi petani dalam menanam. Di buku, terbaca: “Budaya pranata mangsa dalam kehidupan petani Jawa memudar. Perubahan iklim yang tak menentu dewasa ini dapat menyirnakan budaya pranata mangsa itu sama sekali. Artinya, modernitas – yang ikut menyebabkan terjadinya perubahan iklim – melenyapkan kekayaan budaya yang telah demikian lama menuntun petani Jawa.” Kita terlarang kecewa dan marah-marah. Dunia terlalu berubah. Indonesia telah meninggalkan masa-masa berajaran bijak tergantikan perintah dan impian para pejabat bertema pertanian. Kita terlarang kecewa dan marah-marah. Dunia terlalu berubah. Indonesia telah meninggalkan masa-masa berajaran bijak tergantikan perintah dan impian para pejabat bertema pertanian. Agenda-agenda terbaru adalah memajukan pertanian. Semua ingin dibuktikan dengan tepuk tangan dan jepretan kamera. Berita di Solopos, 25 Maret 2021, memberikan terang bagi pelaksanaan pemodernan pertanian: “Para petani yang tergabung di kelompok usaha bersama Kepodang Topo di wilayah Kecamatan Tawangsari (Sukoharjo, Jawa Tengah) aktif menerapkan inovasi teknologi pertanian. Konsep pertanian modern yang diterapkan mampu meningkatkan produksi padi hingga 10 ton gabah per hektare lahan. Mekanisasi pertanian mulai dari penyemaian benih, pemupukan, hingga panen padi menggunakan mesin pertanian.” Bergembiralah lakon pertanian di Indonesia bisa mengurangi segala kerepotan dan kelambatan teralami pada masa lalu. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Puisi, Beras, Berita

    PUISI itu kesaksian dan dokumentasi. Pada abad XXI, Sindhunata memberi kesaksian nasib manusia dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Puisi berbahasa Jawa dengan judul “Sri, Isenana Ajangku” membuka ingatan pangan dan kesakralan. Sindhunata bercerita: Parine wis dakdeder wingi-wingi mangsane wis lingsir ing ngasepi anjrah kusumaning Sang Hyang Basuki geneya parine durung gelem semi Sri, kapan kowe bali. Sekian orang mungkin mengingat Sri adalah sosok perempuan dikangeni seperti dalam lagu asmara. Di kalangan kaum agraris, Sri itu acuan dalam pertanian. Sosok dihormati dengan doa dan ikhtiar. Puisi berpuncak kesedihan: Bumi ilang ijo royo-royone Wulanjarangin wis ora sumorot tejane Mbok randha nggruguhi sedih tangise Mung pari sawiji wae wis ora anak ing ajange Sri, kapan kowe bali. Kita membaca situasi duka bagi petani dalam mengusahakan sawah menjadi tempat terindah menumbuhkan padi menguning. Mata melihat padi mengartikan bakal ada beras setelah panen. Episode lanjutan adalah nasi di piring. Di sawah, pangan tak terjamin selamat dan melimpah. Semua dipengaruh kehendak Tuhan, alam, dan tata cara manusia bertani. Selama ratusan tahun, sawah bercerita desa-desa penghasil beras di naungan kekuasaan masa kerajaan dan kolonial. Beras terhasilkan belum tentu milik petani sebagai rezeki atau memenuhi kebutuhan pangan setiap hari. Rezim demi rezim sering merebut dan meminta beras, membuat petaka dan nasib buruk untuk petani. Pada abad XXI, beras tetap menentukan nasib petani dan ratusan juta mulut demi menumpas lapar. Beras itu komoditas, melampaui pemikiran dan pengalaman petani dalam kesederhanaan. Rezim demi rezim sering merebut dan meminta beras, membuat petaka dan nasib buruk untuk petani. Pada abad XXI, beras tetap menentukan nasib petani dan ratusan juta mulut demi menumpas lapar. Beras itu komoditas, melampaui pemikiran dan pengalaman petani dalam kesederhanaan. Pada masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa revolusi, beras selalu tema besar bagi penguasa. Beras sulit memicu makna kemakmuran. Di lakon-lakon buruk, beras adalah kemiskinan, pemberontakan, penindasan, kesialan, dan lain-lain. Kita masih memilih ingatan kecil atas makna beras saat menentukan jalinan mesra Indonesia-India. Dulu, taktik mujarab dalam menempatkan kehormatan Indonesia di mata dunia adalah memberi bantuan beras ke India. Taktik berlatar masa kemerdekaan. Pada 1965, Soekarno saat berpidato dalam acara PKI tegas mengabarkan Indonesia masih memiliki beras melimpah. Indonesia masih berpangan. Seruan melawan berita dan opini bahwa jutaan orang Indonesia kelaparan. Makanan sulit dicari saat pergolakan politik makin membara. Lakon-lakon masa lalu berubah drastis dalam sandiwara buatan rezim Orde Baru. Publik dikejutkan kulit muka Tempo edisi 18 Mei 1985. Terlihatlah, gambar dua petani (lelaki dan perempuan) memegang seikat padi. Mereka berada di sawah dengan padi menguning. Kita berimajinasi panen. Gambar indah tapi lekas mengecewakan saat membaca judul besar: “Beras Melimpah Kok Petani Resah?” Gambar dan kata itu kebalikan dari kegirangan Soeharto mendapat penghargaan FAO gara-gara berhasil swasembada beras. Ingat rezim Orde Baru, ingat beras. Kita pun ingat KUD. Setahun setelah pengumuman swasembada beras, para petani resah. Panen mereka belum tentu laku diserap pasar atau dikehendaki pemerintah. Urusan jumlah dihajar oleh keangkuhan dan muslihat penguasa dan pengusaha berdalih minta kualitas. Harga gabah sengaja dijatuhkan. Kita simak berita di Tempo sambil membuat perbandingan dengan masa sekarang: “Mereka, boleh jadi, tak bakal tahan menghadapi tekanan harga mengingat panen raya Maret-Mei ini berdekatan dengan saat menjelang Lebaran. Para tengkulak mungkin akan panen: mereka bisa mendikte harga beli GKP (gabah kering panen) itu sesuka hati. Bagi KUD yang cukup cerdik dalam menghadapi tekanan itu, saat-saat seperti sekarang sesungguhnya memberikan peluang baik untuk sedikit-sedikit melakukan taruhan cukup besar.” Masa lalu itu prihatin milik para petani. Mereka dipermainkan penguasa dan pengusaha mata duitan. Soeharto menganjurkan orang-orang Indonesia makan nasi. Sawah-sawah diminta menghasilkan padi. Perdagangan beras menghasilkan untung besar bagi orang-orang mengerti siasat birokrasi dan pintar bermuslihat. Kemakmuran belum milik petani. Pada saat beras berhasil secara terpaksa menggantikan makanan pokok di seantero Indonesia, permainan harga beras dan ketersediaan adalah sumber duit. Keberlimpahan duit bukan untuk petani. Indonesia masa Orde Baru mencipta sandiwara beras menimbulkan kemarahan dan perlawanan. Ikhtiar meminta pertanggungjawaban dan perbaikan nasib oleh para petani sering dituduh penguasa sebagai pemberontakan atau tertular “kiri”. Tema beras terlalu gawat. Indonesia masa Orde Baru mencipta sandiwara beras menimbulkan kemarahan dan perlawanan. Ikhtiar meminta pertanggungjawaban dan perbaikan nasib oleh para petani sering dituduh penguasa sebagai pemberontakan atau tertular “kiri”. Tema beras terlalu gawat. Konon, Indonesia itu hamparan sawah. Indonesia berlimpahan beras. Nasi adalah makanan terpenting di Indonesia. Pengertian-pengertian bisa diralat bila mengerti seribu muslihat berlangsung selama puluhan tahun. Di Indonesia, orang miskin masih jutaan. Orang-orang tetap kelaparan meski penguasa atau para pejabat selalu mengumumkan Indonesia dengan pembangunan nasional hampir berhasil mencipta kemakmuran dan kesejahteraan. Dampak terburuk menimpa setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Rezim itu mewariskan “dosa” dan kesialan tak pernah berakhir. Sindhunata (2011) memberi kesaksian dalam puisi berjudul “Malam Sepi Periuk Nasi”. Puisi tak terlalu politis tapi mengingatkan pembaca atas kebrengsekan pengelolaan (hasil) pertanian di Indonesia. Kita simak: Di keheningan malam tanpa kehangatan ia tidur berbantal bulan bersarungkan awan Periuknya bernyanyi mengapa sepanjang hari aku kosong tanpa nasi dan perutmu hanya berisi tangis duka burung kenari. Puisi menguak sedih. Kita makin sedih bila mau membuka kliping-kliping mengenai politik perberasan di Indonesia. Kita membaca lagi Tempo edisi 16 Januari 2006. Gambar di kulit muka: seorang buruh memanggul sekarung beras. Berat. Di bawah, tampak sekian tangkai padi. Judul meresahkan: “Dilema Beras Impor.” Pada 2006, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam. Kebijakan memicu polemik. Pemerintah berargumentasi memenuhi stok beras nasional agar beras selalu tersedia cukup dengan harga stabil. Kebijakan itu berulang pada tahun-tahun berbeda. Sekian dalih diajukan menambahi klise-klise bahwa Indonesia membutuhkan beras melimpah. Di Tempo, publik membaca seruan: “Sebenarnya, solusinya bukan cuma memilih meneruskan impor atau membatalkannya, melainkan dalam jangka lebih panjang, yaitu membuat program yang memudahkan dan merangsang pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi beras nasional.” Kliping itu mengingatkan polemik di Indonesia mengenai impor beras belum pudar. Kini, impor adalah diksi paling keramat bagi kebijakan pemerintah dan nalar pengusaha. Hari-hari bertema beras tanpa ada pemastian nasib bagi petani. Di Kompas, 17 Maret 2021, terbaca berita: “Keputusan pemerintah mengimpor 1 juta ton beras menuai penolakan dari kalangan petani. Selain data produksi tahun 2019 dan 2020 menunjukkan surplus, potensi panen pada semester I-2021 berpeluang meningkat seiring meningkatnya luas tanam.” Berita-berita mengenai beras belum berakhir. Pembaca terus dibuat penasaran menunggu kesepakatan atau ralat atas kebijakan pemerintah. Editorial di Media Indonesia, 19 Maret 2021 menambahi geregetan: “Bila impor dipaksakan ketika produksi beras mencukupi, apalagi menjelang panen raya, siapa yang paling menjerit? Tentu saja petani karena harga gabah sangat mungkin bakal jatuh.” Sekian hari, koran-koran memberitakan beras. Di rumah-rumah, beras mengandung pesan-pesan bersifat “puisi” dan “prosa”. Di kalangan tradisional, beras ada dalam cerita-cerita meminta tafsiran sering mewujud dalam sederet kalimat puitis. Di kekuasaan, beras menjadi “prosa” terlalu lugas dalam memberi kebimbangan dan kemarahan. Di rumah-rumah, beras mengandung pesan-pesan bersifat “puisi” dan “prosa”. Di kalangan tradisional, beras ada dalam cerita-cerita meminta tafsiran sering mewujud dalam sederet kalimat puitis. Di kekuasaan, beras menjadi “prosa” terlalu lugas dalam memberi kebimbangan dan kemarahan. Dua puisi gubahan Sindhunata dan berita-berita bertema beras membuat kita bingung dengan ingatan cerita Dewi Sri. Ritual-ritual pertanian masih diselenggarakan pada abad XXI tapi lakon beras memilih bernalar kekuasaan dan keuntungan melimpah. Pengisahan dan penjelasan mengenai Indonesia subur dan makmur perlahan menjadi imajinasi omong kosong. Bocah-bocah mendapat dongeng atau membaca buku-buku cerita bertema agraris bakal kecewa sepanjang masa. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Mengubah (Tema) Sawah

    PADA 6 Maret 2021, belasan orang memenuhi janji bertemu dan makan bersama di tempat bernama Waroeng Gandroeng. Penulis belum pernah mengetahui tempat memiliki nama berimajinasi romantis. Pagi, penulis memboncengkan istri dan anak menuju alamat terkabarkan oleh teman. Menit demi menit berlalu, tak sampai alamat. Teman-teman memberi petunjuk. Oh, petunjuk mengarahkan kembali ke dekat rumah penulis. Puluhan menit telah digunakan dengan sia-sia di atas sepeda motor. Tempat bertemu itu cuma 3 km dari rumah penulis. Nama tak pernah terketahui. desa. Alamat mengarah ke perumahan bersanding persawahan. Bangunan joglo dengan lampu berwarna kuning. Di situ, orang-orang menanti kedatangan pembeli. Hidangan tersedia berselera desa. Tempat bersantap bukan di joglo tapi lokasi depan joglo. Sawah! Pemilik warung menggunakan sekian meter sawah sebagai lokasi makan para konsumen. Tatanan beragam meja kursi. Tanaman-tanaman tampak rapi. Gantungan lampu-lampu. Di atas sawah, orang-orang diajak menikmati makanan dan minuman. Mereka pun melihat pemandangan. Sawah! Penulis menduga para konsumen adalah orang-orang Solo dan sekitar. Makan di situ bagi mereka mungkin pengalaman mengesankan selaku turis. Sawah-sawah di pinggiran Solo itu dipandang para turis bersantap makanan desa. Penulis menjadi salah tingkah melihat manusia dan sawah. Bingung bertambah dengan makanan-makanan tersaji di atas meja. Oh, hidangan mirip keseharian di rumah! Menit demi menit, kesibukan orang-orang berpotret berlatar sawah, pohon, bangunan, dan lain-lain. Mereka bukan berasal dari Prancis, Inggris, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Afrika Selatan, Portugal, atau Meksiko. Lihatlah, sawah-sawah! Di sawah, orang-orang makan dan bercakap. Mereka bukan petani atau penunggu padi agar tak diserbu burung-burung. Tampilan mereka necis. Mereka sejenak menjadi turis. Pada abad XXI, kejadian di desa itu menjadikan penulis pusing. Ia ingin lekas minum Tolak Angin. Siang itu hujan. Orang-orang terperangkap dalam hujan. Sekian orang menganggap sebagai pengalaman indah, tak lupa memotret “ini” dan “itu”. Bisik-bisik terdengar mengabarkan makan di situ bakal nikmat bila senja atau malam hari. Penulis mendengar saja. Hujan reda. Tempat itu basah-berlumpur. Sawah-sawah sekitar pun basah tapi mengingatkan gosip keinginan pemerintah impor beras. Konon, pejabat dan pengamat mengatakan Indonesia cukup beras. Impor beras masih saja berlaku sambil “meledek” nasib petani dan abai pemaknaan sawah-sawah. Sawah-sawah sekitar pun basah tapi mengingatkan gosip keinginan pemerintah impor beras. Konon, pejabat dan pengamat mengatakan Indonesia cukup beras. Impor beras masih saja berlaku sambil “meledek” nasib petani dan abai pemaknaan sawah-sawah. Sekian hari berlalu, terbaca berita dengan judul seram di Solopos, 12 Maret 2021: “Sawah Terakhir di Kota Solo”. Berita sangat penting ketimbang kisruh politik dalam Partai Demokrat atau kehancuran Juventus dan Bercelona di Liga Champions. Kita mengutip: “Solo memang bukan sentra penghasil beras. Dengan kepadatan penduduk mencapai 12.594 jiwa/km2, Solo sulit mengembangkan lahan pertanian. Masih ada segelintir sawah yang bertahan, tetapi tak lama lagi terancam hilang.” Kini, Solo dipimpin Mas Gibran memiliki pengalaman berdagang, bukan bertani. Mas Gibran sedang sibuk dengan urusan-urusan besar. Urusan sawah, nanti dulu. Di kota, sawah-sawah cepat habis oleh rumah, kantor, pertokoan, hotel, gudang, dan lain-lain. Situasi di kota berbeda dengan pinggiran Solo. Orang-orang menikmati makanan di sawah dan berpotret, tentu tak cuma di Waroeng Gandroeng. Radar Solo-Jawa Pos, 20 Februari 2021, memuat sehalaman kabar “kenikmatan” di Klaten. Kabar dilengkapi foto-foto indah berimajinasi wisata. Tempat itu bernama Taman Sehat Rejosari (Tasero) beralamat di Delanggu, Klaten. Kita simak penjelasan pengelola, Fafa Utami: “Tasero ada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang banyak hal. Ilmu pengetahuan, budaya, berbagai menu kuliner tersedia di Tasero. Tempat ini nyaman untuk dijadikan wahana saling diskusi, ngobrol santai, bahkan kumpul dengan keluarga.” Tempat bertema pertanian. Di sana, pengunjung melihat bangunan joglo, limasan, alat pertanian, alat penumbuk padi, dan lain-lain. Pengunjung melihat pemandangan, belajar, makan, dan berbelanja hasil bumi. Pengunjung berpredikat turis. Pilihan tempat di Klaten terbenarkan. Sejak lama, Klaten terbukti penghasil beras berlimpahan. Pada 2021, sawah memang alamat keseharian bagi petani. Sawah termaknai petani. Peristiwa tambahan adalah pelesiran. Sawah menjadi tempat berwisata. Warta itu aneh, menempatkan orang-orang sudah lama tak melihat sawah atau berjumpa petani. Para turis mungkin kangen sawah, setelah sulit mencari atau melihat sawah di kota atau pinggiran kota. Pilihan menjadi turis mengakibatkan imajinasi dan makna baru. Piknik terindah adalah melihat sawah, makan dan berpotret di sawah. Sawah menjadi tempat berwisata. Warta itu aneh, menempatkan orang-orang sudah lama tak melihat sawah atau berjumpa petani. Para turis mungkin kangen sawah, setelah sulit mencari atau melihat sawah di kota atau pinggiran kota. Pilihan menjadi turis mengakibatkan imajinasi dan makna baru. Piknik terindah adalah melihat sawah, makan dan berpotret di sawah. Kita berharap ada penambahan arti sawah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ralat dan penambahan arti sawah berlaku pula dalam kesusastraan modern di Indonesia. Murid-murid terlalu lama mendapat pelajaran menggunakan contoh-contoh membakukan sawah dan nasib petani. Puisi-puisi warisan para pujangga masa lalu menguak nostalgia, sulit diawetkan dengan sebiji pengertian. Sawah dalam puisi-puisi gubahan pujangga sejak masa 1920-an pasti berbeda dengan puisi baru gubahan bocah atau remaja, setelah mengunjungi warung atau tempat wisata di sawah. Sekian hal berubah. Sawah bukan cuma derita, kolonialisme, kemiskinan, ketabahan, pemberontakan, dan lain-lain. Pada 1970, Dodong Djiwapradja menggubah puisi berjudul “Pidato Seorang Petani Mendjelang Achir Hajatnja.” Puisi sedih dan tabah. Ia menulis: dan akulah padi/ yang tidak berbenih lagi/ Semua karena tiba waktunja/ djalan sudah sampai batas. Pengisahan petani menanggungkan nasib puluhan tahun sulit dalam kecukupan atau kemakmuran. Petani pergi ke ladang atau sawah dengan doa-doa melandasi ketulusan dan ketabahan. Dulu, petani belum memikirkan sawah-sawah bisa menjadi lokasi untuk umat kuliner. Sawah tak lekas dimengerti sebagai tempat wisata sudah diusahakan oleh pemerintah desa atau pihak-pihak partikelir. Pelesiran ke sawah mulai lumrah saat pemerintah daerah menggunakan dana miliaran rupiah dan membesarkan kebijakan desa wisata. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Membaca (Setahun) Wabah

    “Saya lagi-lagi teringat pada usul seseorang agar kita membangun monumen untuk mengenang korban virus Corona,” tulis Fang Fang dalam Wuhan Diary: Awal Kisah Pandemi yang Melumpuhkan Dunia (2020). Ia setiap hari menuliskan pengalaman selama wabah menderitakan Wuhan. Pada hari-hari awal, ia masih selalu menulis Wuhan, belum berpikiran bahwa wabah lekas melanda dunia. di monumen, orang-orang mengusulkan ada kata-kata mengingat generasi mendatang bahwa terjadi malapetaka di Wuhan (2020). Semua gara-gara keterlambatan menanggapi 20 hari sejak kasus pertama muncul. Fang Fang membahasakan: “Dua puluh hari yang memakan lebih dari 20.000 korban jiwa dan menyebabkan beribu-ribu lain sakit hingga hari ini.” Kalimat-kalimat ditulis pada 2 Maret 2020. Fang Fang tak mengalami situasi buruk di Indonesia juga mula-mula dari sikap “meremehkan” atau “mengentengkan”. Pada tanggal sama, pengumuman resmi di Indonesia ada daftar orang terinfeksi. Sejak hari itu, wabah mengamuk di Indonesia. Buku garapan Fang Fang terbit dan beredar saat wabah di dunia belum punah tapi Wuhan sudah mulai babak pemulihan. Kita membaca dalam edisi bahasa Indonesia akhir 2020. Pada saat membaca, kita sadar tanggungan derita atas kebijakan-kebijakan tak lekas memberi kabar terang dan keselamatan. Wabah di Indonesia mungkin tak sama dibandingkan hal-hal diceritakan Fang Fang. Penulis meraih Hadiah Sastra Lu Xun (2010) itu pasti marah besar bila berada di Indonesia. Wabah terpahamkan oleh kaum mata duitan dengan korupsi-korupsi. “Wabah” itu mengganas saat wabah mematikan jutaan orang di dunia turut membuat Indonesia mencekam. Kini, kita mencatat wabah itu setahun belum reda, belum tamat. Kita masih dipusingkan segala perintah dan sangsi bersumber kebijakan-kebijakan pemerintah. Di Kompas, 2 Maret 2021, kita membaca edisi peringatan setahun wabah di Indonesia. Laporan beragam masalah dan pengharapan mengingatkan pembaca ratusan hari berduka. Di situ, ada halaman memuat iklan dari Penerbit Buku Kompas: “Koleksi Buku Pengetahuan Seputar Covid-19.” Pada peringatan setahun wabah, pembeli berhak mendapat diskon 30% selama 2-8 Maret 2021. Pada hari-hari awal wabah, orang-orang Indonesia sadar bernasib buruk tapi saling berusaha berbagi atau membantu demi hidup. Situasi hampir sampai dalam episode awal di Wuhan. “Kesetiakawanan terus tumbuh dan mengalir deras dari segala penjuru,” tulis di Tempo, 24 Mei 2020. Pada saat menderita, publik sering dikejutkan masalah-masalah rumit oleh pejabat dan kaum politik. Masalah undang-undang, korupsi, pilkada, dan lain-lain menambahi derita sudah tak tertanggungkan. Orang mungkin bisa menulis buku tebal berisi marah dan sebal melebihi Wuhan Diary garapan Fang Fang. Di Indonesia, wabah itu “roman absurd”, bertambah absurd oleh kisruh politik. Di pihak lain, renungan dan tindakan-tindakan menanggulangi wabah dikerjakan dengan segala keterbatasan. Usaha menuliskan wabah bersumber masa lalu dan kekinian diadakan untuk “menguatkan” kemauan selamat dan merampungkan wabah. Goenawan Mohamad (2020) turut mencatat: “Dari abad ke abad, wabah adalah ketidakpastian. Juga sekarang. Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan.” Wabah menimbulkan perdebatan panjang dalam sains, tak lupa agama. Pada hari-hari Wuhan dilanda wabah, para penceramah di tempat ibadah lantang menjelaskan bila Wuhan mendapat azab Tuhan. Di kalangan terpelajar, peraguan atau bantahan atas wabah pun disodorkan, bersebaran cepat di media sosial. Pada saat wabah, kerepotan-kerepotan berdalih iman dan keilmuan menambahi absurd. Pada hari-hari Wuhan dilanda wabah, para penceramah di tempat ibadah lantang menjelaskan bila Wuhan mendapat azab Tuhan. Di kalangan terpelajar, peraguan atau bantahan atas wabah pun disodorkan, bersebaran cepat di media sosial. Pada saat wabah, kerepotan-kerepotan berdalih iman dan keilmuan menambahi absurd. Situasi Indonesia tak keruan. Orang-orang memerlukan penjelasan dan pengisahan wabah. Industri perbukuan merana, sekian pihak dan penerbit tetap mengajukan buku untuk bacaan menginsafkan berkaitan sejarah, sastra, kesehatan, dan lain-lain. Buku-buku diadakan memiliki tugas pula menanggulangi beragam kebohongan, kesesatan, dan kengawuran bertema wabah terus diproduksi setiap hari. Buku demi buku terbit tak semoncer Diary Wuhan. Di Indonesia, buku-buku bertema wabah disokong acara-acara bermaksud mengajak publik mengerti wabah agar tak lagi berpikiran dan bertindak gegabah bisa mengakibatkan petaka berkepanjangan. Wabah-wabah pernah terjadi di dunia dan Indonesia. Bacaan-bacaan itu menuntun kesadaran kritis atas nasib umat manusia pada abad XXI. Kita memiliki acuan-acuan mengerti wabah masa lalu. Pada 2020, terbit buku berjudul Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940 susunan Imas Emalia. Sejak ratusan tahun lalu, sekian wabah terjadi di Nusantara. Para sejarawan mencatat wabah kolera, tifus, malaria, pes, cacar, flu, dan lain-lain. Wabah-wabah mengakibatkan kematian memedihkan: ribuan atau jutaan orang. Di tanah jajahan, penanggulangan wabah bergantung kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, selain ritual dan pengobatan tradisional dilakukan kalangan bumiputra. Nusantara menderita gara-gara wabah. Kasus-kasus masa lalu terbaca lagi sebagai sejarah penuh kematian. Kita telat membaca. Selama 2020, buku-buku bertema wabah terbit meski tak bermaksud dalam raihan untung komersial. Sekian buku terbit untuk referensi atau mendokumentasi situasi: masa lalu dan masa sekarang. Keinginan mengadakan bacaan kadang berkaitan riset, seri seminar, dan lomba. Kita pun dibuat tercengang oleh usaha Satupena: mengundang para penulis berbagi pemikiran, imajinasi, dan pendapat mengenai wabah. Tulisan-tulisan diterbitkan menjadi buku berjudul Kemanusiaan Pada Masa Wabah Korona (2020). Buku tebal seribuan halaman dijual dengan harga 250 ribu rupiah. Buku itu tercatat mendapat rekor dari MURI. Kita pun menjadi bingung hubungan antara wabah, buku, dan rekor. Buku itu dianggap “buku pertama tentang wabah Covid-19 di Indonesia ditulis oleh 110 penulis dari beragam disiplin ilmu.” Kita malah bersedih masih ada pamrih rekor dalam misi buku dan menanggapi wabah. Nalar rekor agak menganggu bagi pembaca ingin membaca dan mengetahui pemikiran kalangan intelektual terlibat dalam penulisan buku. Buku bermutu tanpa perlu mendapatkan rekor berjudul Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919 (2020) susunan Ravando. Buku tebal diniatkan menjaga martabat dan bobot keintelektualan mengenai sejarah memiliki halaman-halaman kematian. Buku dipersembahkan “untuk para tenaga kesehatan yang tanpa lelah berjuang di garda terdepan dalam menanggulangi Covid-19.” Buku itu turut mendokumentasi situasi mutakhir, setelah pemerintah mengumumkan dua orang positif terinfeksi Covid-19, 2 Maret 2020. Pemerintah telat dalam menangani wabah, setelah pejabat membuat sangkalan dan pidato-pidato tak lekas untuk mengatasi masalah. Situasi awal di Indonesia mirip dengan catatan-catatat terbaca dalam Wuhan Diary tapi kita belum mendapat buku “sejenis” buatan orang Indonesia. Ravando mengingatkan bahwa Covid-19 bukan pandemi pertama. Dulu, Indonesia sudah menanggungkan pandemi Flu Burung (1997), SARS (2003), dan Flu Babi (2009). Sejarah dan kasus-kasus masa lalu belum menjadi acuan dan keinsafan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Desa Maju, Desa Miliarder

    LAHIR dan besar di desa mengakibatkan orang sering terkejut. Perubahan demi perubahan membuat nggumun. Dulu, melihat ada PNS atau pegawai desa mengendarai sepeda motor Honda 70 saja mudah menjadikan warga desa tercengang, dilanjutkan “ingin” dan “iri”. Di jalan, sepeda motor itu anggun. Orang-orang melihat sambil mengimpikan kelak raga bakal ada di atas sepeda motor. Hari demi hari berlalu, rezeki belum terkumpul untuk mengubah hidup: memenuhi janji agar jalan-jalan di desa tak cuma diinjak kaki atau dilintasi ban sepeda onthel. Pada masa Orde Baru, desa-desa terlalu diceritakan miskin, terbelakang, murung, dan kasihan. Kehadiran sepeda motor saja mampu mencipta gosip atau “novel picisan” seribu halaman. Kejutan memuncak dengan mobil. Orang dari kecamatan atau orang dari kota mengunjungi desa dengan mobil memicu kehebohan. Pemandangan terlihat adalah bocah-bocah berlari di belakang mobil. Pada saat mobil diparkir, mereka berkerumun: memandang dengan ngiler dan bercakap ngalor-ngidul. Peristiwa melihat mobil termasuk keajaiban dalam hidup. Desa dalam pengisahan Orde Baru wajib ditinggalkan dengan tawa dan tepuk tangan. Pada abad XXI, pemerintah dan kalangan pengusaha menginginkan desa-desa ceria. Desa terlarang menjadi tempat menumpahkan air mata, sambat, dan sesalan. Kebijakan-kebijakan demi desa diadakan memiliki misi mulia: makmur, bahagia, ramai, dan indah. Desa-desa wajib berubah dengan kucuran duit miliaran rupiah setiap tahun. Ide atau impian boleh diwujudkan tanpa ragu asal memajukan dan memoncerkan desa. Tahun demi tahun, kita terbiasa mendapat berita tentang desa memiliki beragam usaha atau program. Pelaksanaan program berhasil meski ada omelan, rerasan, atau sinisme. Konon, usaha terlaris adalah “desa wisata”, selain mengadakan usaha-usaha produktif bermaksud menumpas kemiskinan, keterbelakangan, dan kewaguan. Dulu, Darmanto Jatman ikut mencatat lakon desa masa Orde Baru. Kita pun ingat bila penguasa menganjurkan melalui institusi pendidikan agar para mahasiswa melakukan KKN di desa-desa mendapat cap “ini” dan “itu”. Para mahasiswa mendapat pesan-pesan dan menanggung beban berat mencipta perubahan di desa. Mereka dianggap terpelajar alias mengerti dan sanggup melakukan segala hal. Orang-orang di desa memberi hormat dan patuh. Catatan dokumentatif Darmanto Jatman (1980) berupa puisi berjudul “Pidato Ki Lurah Karangdempel Sewaktu Menerima Mahasiswa KKN di Desanya”. Puisi panjang memuat ironi dan kebersahajaan. Pengakuan di tengah pidato: Dan kemudian juga kami perlu diajar prinsip-prinsip ekonomi supaya mampu memilih makanan murah bergizi daripada jajan di restoran So En: supaya istri kami mampu memilih mangir tinimbang alat-alat make up keluaran Christian Dior atau Kanebo: supaya kami mampu memilih gerobag, daripada kol bikinan Jepang yang hanya akan memperkaya negeri itu daripada negeri kita ini. Kita membaca di situ “kol bikinan Jepang”. Alat transportasi ada di desa dalam kerja-kerja pertanian. Dulu, warga desa memilih mengangkut hasil panen dengan gerobak, bukan kol dari Jepang. Kita diingatkan tentang manusia desa masa Orde Baru. Puisi terbaca saja tanpa kita menuntut harus ada ralat. Darmanto Jatman sudah pamitan, mewariskan puisi bagi pembaca ingin mengingat lakon-lakon masa Orde Baru. Desa pun terdokumentasi mengacu kebijakan rezim Orde Baru dan “perkamusan” diajarkan di sekolah. Desa sering “itu-itu saja”. Kini, puisi itu “wajib” dipinggirkan sejenak gara-gara kita mengikuti berita-berita dari Sumurgeneng, Jenu, Tuban, Jawa Timur. Desa itu menghebohkan Indonesia. Desa berkebalikan dari nalar-imajinasi bentukan Orde Baru. Desa membuat kita nggumun, geleng-geleng kepala. Orang-orang dan media menjuluki Sumurgeneng sebagai “desa miliarder”. Warga desa menjadi miliarder setelah tanah-tanah mereka dibeli oleh Pertamina. Berita mengejutkan adalah pembelian 180 mobil baru. Mereka memiliki uang, lekas membelanjakan untuk mobil, perhiasan, gawai, memperbaiki rumah, dan lain-lain (Jawa Pos, 21 Februari 2021). Desa itu berubah. Penciptaan sejarah baru! Foto-foto beredar memperlihatkan mereka masih bertani dan beternak. Di depan rumah mereka, mobil baru dan sepeda motor baru. Penampilan pun berubah. Kita sulit mengandaikan terjadi pada masa Orde Baru. Soeharto pasti mencontohkan sebagai desa “maju”, “makmur”, dan “bahagia”. Desa sebagai bukti (melampaui) kesuksesan pembangunan nasional. Soeharto tak menjadi saksi lakon desa dengan ratusan mobil baru. Kepemilikan duit miliaran rupiah memicu repot. Pelbagai pihak berdatangan menawarkan “ini” dan “itu”, berharapan warga membelanjakan puluhan sampai ratusan juta rupiah. Desa menjadi tempat menggiurkan dalam perniagaan untuk hal-hal belum tentu lekas dibutuhkan atau mengacu tatanan hidup bertani. Situasi itu tak pernah disaksikan dan dicatat oleh Darmanto Jatman. Puisi pernah digubah pada masa Orde Baru terasa kedaluwarsa. Urusan gerobak itu masa lalu. Di desa, mobil-mobil itu mengisahkan warga memaknai jalan secara berbeda. Raga dalam mobil memastikan “kepatutan” meralat, setelah definisi lawas bahwa orang bermobil adalah orang kota. Mobil-mobil mentereng di desa menjadi kelumrahan sambil memandangi sekian hal bakal berubah pula: lambat dan cepat. Di desa, mobil-mobil itu mengisahkan warga memaknai jalan secara berbeda. Raga dalam mobil memastikan “kepatutan” meralat, setelah definisi lawas bahwa orang bermobil adalah orang kota. Mobil-mobil mentereng di desa menjadi kelumrahan sambil memandangi sekian hal bakal berubah pula: lambat dan cepat. Kita mulai kebingungan atas hasil membaca buku-buku bertema desa, dari masa ke masa. Pada 1953, terbit buku berjudul Desa susunan Soetardjo Kartohadikoesoemo. Buku dipersembahan kepada “Dwi Tunggal, Bung Karno-Bung Hatta.” Bulu lawas terbaca orang-orang saat Indonesia berlakon revolusi. Desa dimaknai sebagai “tanah-asal, tanah-air, tanah-kelahiran”. Pengertian sederhana sebelum mengalami rumit oleh perintah-perintah revolusi dilanjutkan pembangunan nasional. Di situ, tanah mendapat pembahasan serius. Masalah mobil belum terpikirkan sebagai “hasil” dari melepaskan atau menjual tanah. Kita mengutip sedikit untuk mengerti tanah pada masa lalu, sebelum ada hukum-hukum baru: “Menurut hukum asli maka hak atas tanah adalah sepenuhnja ditangan rakjat desa, tidak sadja kekuasaan atas tanah pertanian, akan tetapi djuga atas tanah jang belum digarap (ditanami), malah djuga meliputi hutan belukar dan gunung-djurangnja.” Pengertian berlatar masa kerajaan, sebelum berubah oleh tindakan-tindakan pemerintah kolonial. Desa itu “tanah”. Kini, tanah dimiliki warga berkurang demi kerja-kerja Pertamina. Tanah berganti uang. Warga membelanjakan uang untuk mobil meski ada pula digunakan membeli tanah. Kesadaran orang desa mula-mula berpusat tanah: awal dan akhir. Pemahaman itu agak berubah dengan mobil-mobil. Kita agak sulit mengimajinasikan mobil-mobil apik digunakan mirip gerobak untuk mengangkut hasil bumi atau ternak. Ingat, mereka membeli mobil mentereng, bukan “kol Jepang” seperti lelucon dalam puisi gubahan Darmanto Jatman. Kita agak sulit mengimajinasikan mobil-mobil apik digunakan mirip gerobak untuk mengangkut hasil bumi atau ternak. Ingat, mereka membeli mobil mentereng, bukan “kol Jepang” seperti lelucon dalam puisi gubahan Darmanto Jatman. Berpikirlah kita mencatat dan mengisahkan desa berlatar abad XXI. Cerita dipastikan berbeda dengan nalar-imajinasi Soeharto saat mengadakan Inpres pengadaan buku bacaan untuk anak-anak, sejak masa 1970-an. Ratusan buku terbit dalam jumlah cetakan jutaan eksemplar. Pemerintah menginginkan buku-buku tersebar di seantero Indonesia, membekali anak-anak pengertian pembangunan nasional. Desa menjadi tema utama. Para tokoh dalam cerita-cerita ditampilkan memiliki ide dan tindakan mengubah desa berpatokan pembangunan nasional sesuai Pancasila, UUD 1945, dan GBHN. Sejak dulu, kita diajari berpikiran dan berimajinasi desa maju dan makmur. Kita menantikan ada pengarang mau mengisahkan Sumurgeneng. Novel bakal ditulis wajib berbeda dari novel berjudul Desa Maju (1977) gubahan Arifinal Chaniago dan Ijo Sirodjudin. Novel berselera Orde Baru. Pesan terpenting adalah pembaca memahami misi pembangunan nasional. Pembaca mendapat teladan orang-orang membangun desa demi memajukan Indonesia. Dalih pengarang terbenarkan saat penduduk Indonesia masa lalu sebagian besar tinggal di desa-desa. Konon, orang mau membangun desa berhak digelari “pahlawan pembangunan”. Pertanian dijadikan sokoguru pembangunan nasional. Novel itu belum bercerita bahwa “desa maju” berarti “desa dengan ratusan mobil baru”. Di situ, pengarang menganjurkan rezeki dari pertanian mendingan disetorkan dalam program Tabanas. Duit tak lekas digunakan untuk membeli “ini” dan “itu” bila tak menunjang peningkatan mutu dan hasil pertanian. Kini, kita sejenak “mengabaikan” imajinasi “desa maju” bentukan Orde Baru dengan mengandaikan nasib Sumurgeneng puluhan tahun lagi. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Ajip Rosidi: Prihatin Itu Perlu

    PENGHARGAAN dinamakan Rancage mulai diberikan sejak 1989. Semula, penghargaan untuk buku sastra berbahasa Sunda dan orang tekun dalam mendakwahkan sastra. Buku terbaik mendapat penghargaan 1 juta rupiah. Dulu, angka itu termasuk besar. Di balik penghargaan itu ada Ajip Rosidi: pengarang, penerbit, penerjemah, editor, kritikus sastra, dan pengajar. Ia sudah pamitan dari dunia tapi warisan berupa buku-buku masih terbaca. Warisan pemberian penghargaan untuk buku dan sosok dalam melanggengkan sastra berbahasa daerah masih berlanjut. Pada 31 Januari 2021, 33 tahun penghargaan Rancage. Penghargaan tanpa kehadiran sosok Ajip Rosidi (31 Januari 1938-29 Juli 2020) tapi orang-orang bakal terus mengenang prihatin dan ketulusan menghidupi sastra. Penghargaan berlatar wabah belum punah. Dulu, Ajip Rosidi mungkin mengangankan terjadi “wabah” sastra berbahasa daerah di seantero Indonesia, tak melulu sastra berbahasa Indonesia. Ajip Rosidi mengaku bangga bisa rutin setiap tahun mengadakan penghargaan Rancage. Pada masa 1950-an, ia pernah menerima penghargaan dari BMKN (Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional) tapi lembaga itu tak berusia panjang atau sanggup memberi penghargaan sastra setiap tahun. Pada masa berbeda saat ia tenar dan memiliki tanggung jawab kesusastraan, Rancage diberikan mengandung janji bisa rutin dan menghidupi. Rancage sanggup bertahan dengan pertimbangan-pertimbangan dana dan dampak-dampak bagi perkembangan sastra dengan beragam bahasa daerah. Ajip Rosidi bercerita sejarah pemberian Rancage: “Idenya muncul 1988. Beberapa kawan di Bandung, antara lain KH Endang Saefudin Ashari, Prof Dr H Edi Suhardi Ekadjati, dan Abdullah Mustafa, ingin mengadakan syukuran usia saya yang genap 50 tahun. Saya menolak”. Penolakan justru dijawab oleh teman-teman melalui penerbitan buku berjudul Ajip Rosidi: Setengah Abad. Acara ulang tahun dan peluncuran buku diadakan di Gedung Merdeka, Bandung, 31 Januari 1988. Peristiwa itu beralih makna dengan memberikan penghargaan Rancage. Pilihan waktu pemberian Rancage disesuaikan tanggal kelahiran Ajip Rosidi (Kompas, 6 September 1998). Pada 2021, penghargaan itu diberikan lagi dengan menghadirkan pesan-pesan bijak dari dua tokoh penting: Nadiem Makarim dan Hilmar Farid. Tempo edisi 15 Februari 2021, memerlukan membuat liputan panjang. Bentuk penghormatan atas kerja panjang dan selalu mengajukan optimisme. Penghargaan Rancage mengajak publik mengingat bahwa Ajip Rosidi ingin menggairahkan para penulis sastra berbahasa daerah selalu teranggap pudar, dari masa ke masa. Acara ulang tahun dan peluncuran buku diadakan di Gedung Merdeka, Bandung, 31 Januari 1988. Peristiwa itu beralih makna dengan memberikan penghargaan Rancage. Pilihan waktu pemberian Rancage disesuaikan tanggal kelahiran Ajip Rosidi Ajip Rosidi seperti membuat “sumpah” bahwa penghormatan wajib diberikan untuk semua sastra berbahasa daerah di Indonesia. Rancage pun perlahan bertambah daftar: sastra (berbahasa) Jawa, Bali, Lampung, dan Madura. Kita boleh geleng-geleng kepala mengetahui kerja Ajip Rosidi dan teman-teman itu “melampaui” kesanggupan institusi-institusi di naungan pemerintah dan universitas-universitas besar di Indonesia. Kita kagum tapi merasa “dipermalukan” tak memiliki kemauan besar membaca atau memberi penghormatan pantas untuk persembahan buku-buku sastra dengan beragam bahasa daerah. Kita melulu mengaku umat sastra tapi cuma membaca buku-buku sastra berbahasa Indonesia. Rancage sejak mula adalah buku, bukan tulisan-tulisan dimuat di majalah atau koran. Penilaian berupa buku dianggap membuktikan kerja keras dan “keras kepala” pelbagai pihak dalam menghidupi sastra berbahasa daerah. Sejak bocah, Ajip Rosidi pun manusia-buku, lumrah menginginkan pemberian penghargaan dengan patokan penilaian adalah buku-buku berhasil terbit dan beredar ke publik. Sejak usia 14 tahun, puisi, cerpen, dan esai dimuat di pelbagai majalah terbitan Bandung, Jakarta, dan Jogjakarta. Tahun-tahun bergairah menulis membuktikan sajian ratusan tulisan di lembaran-lembaran majalah. Buku demi buku mulai terbit, menambahi kehormatan sebagai penulis. Pada 1956, terbit buku puisi berjudul Pesta. Buku mendapat penghargaan BMKN (1956-1957). Buku tipis, bersejarah dalam biografi dan capaian estetika Ajip Rosidi. Puluhan tahun, buku itu susah dicari di pasar buku atau perpustakaan. Pada 2008, Pesta diterbitkan lagi oleh Kiblat. Kita mengenang Ajip Rosidi dengan puisi-puisi digubah saat masih muda. Kita memilih puisi berjudul “Surat Buat Jassin”. Pada masa 1950-an, Jassin adalah kritikus sastra terpandang dan ternama. Ia pun dokumentator sastra. Ajip Rosidi terhubung dengan Jassin dan memerlukan pembenaran menempuhi jalan sastra. Kita membaca: sungguh hidupku didunia empat dinding/ diluarnja djalan-djalan begitu lengang/ didalamnja kepahitan mendepai sepi/ didalamnja terkubur aku sendiri// ingin merapatkan diri pada kesedjukan sendja/ ingin menulis dan hidup kedamaian kerja/ menekankan dada pada degup kehidupan tukang betjak/ meleburkan diri pada mereka dalam sadjak. Ia keranjingan menggubah sastra, sadar ada kebutuhan-kebutuhan hidup harus dipenuhi. Pergulatan bersastra terbandingkan kerja dan keberanian melakoni hidup seperti orang-orang tangguh di jalan dan jelata. Babak kemiskinan pernah dialami tapi Ajip Rosidi terus menulis, berkiprah di perbukuan, dan menuanikan kerja-kerja sebagai redaktur dan penerbit. Ia tak terkutuk dalam sastra berakibat gagal dalam pemenuhan hidup bersama keluarga secara wajar. Babak kemiskinan pernah dialami tapi Ajip Rosidi terus menulis, berkiprah di perbukuan, dan menuanikan kerja-kerja sebagai redaktur dan penerbit. Ia tak terkutuk dalam sastra berakibat gagal dalam pemenuhan hidup bersama keluarga secara wajar. Ajip Rosidi (1981) mengenang masa prihatin: “Tapi keinginan untuk hidup hanya dari mengarang, saya coba pertahankan sedapat-dapatnya. Keinginan untuk mempertahankan hidup yang sudah dimulai itu, menyebabkan saya harus menulis sebanyak-banyaknya. Honorarium yang saya peroleh dari sajak-sajak dan cerpen-cerpen saya, tidaklah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Maka saya pun mulai menulis bentuk-bentuk karangan lain yang dapat dimuatkan dalam majalah, seperti kritik dan kemudian esai.” Tahun-tahun berlalu, ia tetap hidup. Ajip Rosidi malah tenar. Hidup mulai mapan. Kepergian ke Jepang untuk mengajar mengesahkan ikhtiar dan capaian hidup bermula dari karangan-karangan. Ia mulai berpikiran menjadi dokumentator buku, memajukan penerbitan, kolektor lukisan, dan lain-lain. Rancage menjadi bukti penting dari laku prihatin sampai menjalani hidup lama di Jepang. Kepergian ke Jepang untuk mengajar mengesahkan ikhtiar dan capaian hidup bermula dari karangan-karangan. Ia mulai berpikiran menjadi dokumentator buku, memajukan penerbitan, kolektor lukisan, dan lain-lain. Rancage menjadi bukti penting dari laku prihatin sampai menjalani hidup lama di Jepang. Kini, orang-orang mengingat Ajip Rosidi dengan Pustaka Jaya, IKAPI, Girimukti Pasaka, Rancage, dan lain-lain. Hidup telah berwarna. Pada saat pamitan, ia mewariskan beragam hal meski kita tak mudah mengartikan dan melanggengkan. Rancange itu masih ada! Pada hari-hari terakhir, Ajip Rosidi masih melulu memikirkan buku. Ia belum merampungkan novel dan buku direncanakan bakal terbit. Sejak mula sampai akhir, Ajip Rosidi itu memang manusia-buku. “Karena sejak muda saya memutuskan untuk hidup sebagai pengarang, maka buku merupakan keperluan yang harus selalu ada di samping saya,” pengakuan Ajip Rosidi termuat dalam Bukuku Kakiku (2004). Keberanian milik Ajip Rosidi. Keberuntungan pun selalu saja mengalir, dari masa ke masa. Ia mengingat: “Ketika membangun rumah di Jatiwangi yang semata-mata biayanya dari honorarium karangan dan buku-buku saya, koleksi buku saya sudah ada beberapa ribu judul.” Ia “keterlaluan” buku. Ia menobatkan diri sebagai pengarang tanpa takut dan putus asa. Pada masa wabah, para pengarang mengaku hidup dalam kesulitan. Nafkah diperoleh dari tulisan-tulisan semakin tipis. Sekian koran dan majalah malah tutup. Sekian koran tak mampu lagi memberikan honorarium. Penerbitan buku-buku sedang lesu. Ingatan atas biografi Ajip Rosidi dan Rancage anggaplah memberi ketenangan bagi para pengarang tetap saja menulis dan menerbitkan buku-buku. Konon, prihatin itu perlu. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Silih Berganti. Esai-esai Tenger

    Judul: Silih Berganti. Esai-esai Tenger Penulis: Bandung Mawardi Pengantar: Sindhunata Penerbit: Yayasan Basis dan Boekoe Tjap Petroek Halaman: xxiii + 279 ISBN: 9786239132965 BUKU kumpulan tulisan Bandung Mawardi ini mula-mula termuat setiap minggu dalam www.majalahbasis.com selama tahun 2019. Kabut, demikian panggilan akrabnya, menyoroti kejadian-kejadian paling menarik selama seminggu, mulai dari tempat sampah, patung Bung Karno, sampai layangan, mulai dari wilayah Solo dan sekitarnya, nasional, sampai internasional. Di tengah dunia yang gerakannya semakin cepat, tulisannya adalah ramuan kliping kejadian kini dan lalu, mesin waktu untuk melihat kembali tingkah laku diri. Membaca tulisannya, kita bisa saja merasa disentil, ditaboki, atau kadang ternyata dikuatkan. Demikian tulis Sindhunata dalam Pengantarnya, "Seruan samar-samar penulis buku ini agar masyarakat giat membaca, mengkliping, dan mengambil pelajaran dari situ, menjadi semakin relevan pada masa sekarang. Di tingkat kesadaran diri, ia bukan hanya mampu mengkritik ke luar, tapi juga sanggup menertawakan di dalam. Kita dapat membaca itu dalam tulisan berjudul Buku di Perjalanan. Di situ penulis menggambarkan dirinya yang tiba-tiba terjebak dalam kehidupan digital, sementara ia masih terbuai kenyamanan analog, tak lagi leluasa membeli tiket kereta api di loket, melainkan mesti menggunakan layanan penjualan tiket secara daring. Ia menyadari mesti beradaptasi dengan perkembangan ini". Berikut cuplikan beberapa tulisan Bandung Mawardi dalam buku Silih Berganti. Esai-esai Tenger: Meski telah termuat dalam media daring, kumpulan tulisan Bandung Mawardi ini masih terasa asyik ketika berwujud buku fisik. Untuk mengisi waktu, ketika sudah bosan dengan gawai, ambillah buku ini bersama sebilah pensil. Jangan takut bosan, karena tulisan-tulisan ini tidak panjang. Compact. Singkat saja tapi "bergizi". Silakan mulai membacanya dari bagian mana saja. Oret-oret-lah tulisannya yang mengena di hati, dan rasakan sensasinya ... Bila berkenan, sharingkan pengalaman Anda itu lewat kolom komen di bawah ini. Buku ini bisa didapatkan dengan harga Rp70.000 + ongkos kirim WA 081229448590 http://bit.ly/POsilihberganti

bottom of page