Padi di “Pusara” Nusantara
Alkisah, Prabu Silihwarna memelihara tanaman yang tumbuh di atas pusara sang Hiang Sri, kemudian dikembangbiakkan menjadi tanaman utama rakyat. Makin lama tanaman padi makin meluas. Lesung dan alu serta lumpang banyak digunakan sebagai perlengkapan menumbuk padi untuk dijadikan beras.
(Soetarno, Sang Hiang Sri, 1985)
DI halaman koran-koran, padi dipanen. Kita melihat para pejabat memanen padi. Foto kaum petani sebagai penanam dan pemelihara padi diabsenkan. Padi di Indonesia sah bertokoh pejabat. Di Media Indonesia, 22 Maret 2021, foto besar dan berwarna mengabarkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo duduk di atas mesin pemanen padi. Ia memanen padi di Lawallu, Soppeng Riaja, Barru, Sulawesi Selatan. Konon, mesin pemanen padi itu membuat pekerjaan berumus cepat dan mudah. Kaki tak perlu kotor. Tangan jangan sampai pegal-pegal. Mesin bakal memberikan hasil memuaskan. Foto itu indah, mengisahkan kemajuan-kemajuan dalam pertanian di Indonesia.
Hari-hari selama Maret, tema padi sedang naik gara-gara pemerintah mengumumkan mau impor beras. Kita diminta mengikuti berita-berita mengenai padi, sebelum beras telah menjadi komoditas. Di Jawa Pos, 23 Maret 2021, kita membaca berita berjudul “Hendi Panen Padi Baroma di Balai Kota.” Perhatikan, pejabat memanen padi bukan di sawah tapi di Taman Balai Kota Semarang. Alamat berbeda dari peristiwa sang menteri memanen padi di sawah. Simak: “Panen padi di wilayah perkotaan itu menjadi bukti bahwa padi bisa ditanam di media lain selain lahan persawahan.” Lahan sempit digunakan untuk menanam padi. Tata cara berbeda dari bersawah. Kita tak mengenali para penanam tapi pemanen adalah Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, 22 Maret 2021. Cuplikan pidato: “Kami membuat seperti ini untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat. Bahwa dengan lahan yang kecil, lahan yang terbatas, kita bisa melakukan upaya ketahanan pangan secara mandiri.” Oh, bijak!
Di Kompas, 23 Maret 2021, kita makin terkejut menikmati foto berketerangan bahwa para pejabat di Semarang memanen padi menggunakan ani-ani, bukan sabit. Mereka tentu tak perlu mesin. Ani-ani itu alat tradisional dalam sejarah pertanian di Nusantara. Benda dalam kerja tangan pemanen. Tangan-tangan pejabat telah lama tak memegang ani-ani atau sabit. Pada adegan bakal dilihat publik, pejabat memegang ani-ani adalah keindahan. Pejabat mungkin sedang mengajak dan mendidik para petani menggunakan lagi ani-ani saat panen, bukan sabit atau mesin. Ajakan bakal bertentangan dengan kebijakan-kebijakan sang menteri. Indonesia abad XXI tak memerlukan ani-ani dalam keinginan panen melimpah dan menjadikan sekian lahan adalah lumbung pangan.
Pejabat mungkin sedang mengajak dan mendidik para petani menggunakan lagi ani-ani saat panen, bukan sabit atau mesin. Ajakan bakal bertentangan dengan kebijakan-kebijakan sang menteri. Indonesia abad XXI tak memerlukan ani-ani dalam keinginan panen melimpah dan menjadikan sekian lahan adalah lumbung pangan.
Ani-ani berada di lembaran sejarah, belum darurat dilestarikan berdalih kemuliaan lakon pertanian Indonesia. Kita pastikan dengan mengutip omongan sang menteri di hadapan para mahasiswa Politeknik Pengembangan Pertanian Medan: “Dari kampus ini, kami berharap lahirnya petani-petani muda yang memiliki kemampuan dana keterampilan serta nilai akademik pertanian lebih baik. Kita punya sumber daya alam dan penduduk yang banyak sehingga membutuhkan keterampilan yang kuat serta menguasai riset, sains, dan teknologi.” Pidato ampuh tak bakal menganjurkan mahasiswa melestarikan penggunaan ani-ani dalam panen padi. Indonesia bisa kekurangan pangan dan terpaksa impor beras dari Thailand atau Vietnam.
Pada suatu masa, mahasiswa-mahasiswa lulus bergelar sarjana. Mereka diajak bepredikat menjadi petani. Pertanian masa depan memiliki jurus-jurus berbeda, meninggalkan segala kekunoan atau hal-hal tradisional. Pamrih besar pemerintah untuk memiliki panen padi berlimpah dan situasi alam telah amburadul menjadikan ketradisionalan menghilang. Keinginan menanam dan memanen padi setahun sekali tentu dianggap lelucon abad XXI. Keinginan terpenting adalah menanam dan memanen, menanam dan memanen, menanam dan memanen. Hitungan waktu dan kepekaan alam lumrah tak diberlakukan bila Indonesia takut langka pangan alias kelaparan.
Keinginan menanam dan memanen padi setahun sekali tentu dianggap lelucon abad XXI. Keinginan terpenting adalah menanam dan memanen, menanam dan memanen, menanam dan memanen. Hitungan waktu dan kepekaan alam lumrah tak diberlakukan bila Indonesia takut langka pangan alias kelaparan.
Kita membuka buku berjudu Pranata Mangsa (2001) terbitan KPG dan Bentara Budaya Yogyakarta. Sekian dokumentasi tentang pertanian masa lalu disajikan mungkin nostalgia. Kita bisa membaca sambil membuang kecewa bila ilmu-ilmu lama tak wajib digunakan dalam pertanian abad XXI. Dulu, pranata mangsa adalah pedoman bagi petani dalam menanam. Di buku, terbaca: “Budaya pranata mangsa dalam kehidupan petani Jawa memudar. Perubahan iklim yang tak menentu dewasa ini dapat menyirnakan budaya pranata mangsa itu sama sekali. Artinya, modernitas – yang ikut menyebabkan terjadinya perubahan iklim – melenyapkan kekayaan budaya yang telah demikian lama menuntun petani Jawa.” Kita terlarang kecewa dan marah-marah. Dunia terlalu berubah. Indonesia telah meninggalkan masa-masa berajaran bijak tergantikan perintah dan impian para pejabat bertema pertanian.
Kita terlarang kecewa dan marah-marah. Dunia terlalu berubah. Indonesia telah meninggalkan masa-masa berajaran bijak tergantikan perintah dan impian para pejabat bertema pertanian.
Agenda-agenda terbaru adalah memajukan pertanian. Semua ingin dibuktikan dengan tepuk tangan dan jepretan kamera. Berita di Solopos, 25 Maret 2021, memberikan terang bagi pelaksanaan pemodernan pertanian: “Para petani yang tergabung di kelompok usaha bersama Kepodang Topo di wilayah Kecamatan Tawangsari (Sukoharjo, Jawa Tengah) aktif menerapkan inovasi teknologi pertanian. Konsep pertanian modern yang diterapkan mampu meningkatkan produksi padi hingga 10 ton gabah per hektare lahan. Mekanisasi pertanian mulai dari penyemaian benih, pemupukan, hingga panen padi menggunakan mesin pertanian.” Bergembiralah lakon pertanian di Indonesia bisa mengurangi segala kerepotan dan kelambatan teralami pada masa lalu. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Commentaires