Sejarah "Mengecilkan" Masyarakat
ORDE Baru mencipta imajinasi dan kerja “mengecilkan” Indonesia. Negara dengan ribuan pulau menjadi modal ketakjuban. Orang kesulitan untuk mengunjungi semua pulau atau menempuhi perjalanan keliling Indonesia secara sempurna. Di lembaran peta, Indonesia memberi kejutan-kejutan pengisahan pulau, gunung, sungai, kota, jembatan, bukit, hutan, dan lain-lain. Berimajinasi Indonesia memerlukan durasi. Waktu turut menentukan keinginan memiliki dan mengalami Indonesia meski sulit utuh atau penuh.
Ketakjuban dan kesulitan dipikirkan Ibu Tien Soeharto dengan mengadakan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Penggunaan diksi “mini” diinginkan berbeda dari sangkaan “mengecilkan”. Keberhasilan membuat TMII mengesahkan Ibu Tien Soeharto berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan besar di Indonesia berurusan taman, makanan, busana, museum, pariwisata, dan lain-lain. Ibu Tien Soeharto memikirkan beragam hal, membuat kebijakan, melibatkan peran pejabat dan penguasaha, memoncerkan, dan menempatkan dalam kesuksesan pembangunan nasional.
Pembuatan taman di lahan luas itu mendapat sokongan besar dari pelbagai kalangan dalam memastikan Indonesia bisa dijumpai di Jakarta tanpa perlu bepergian ke pelbagai tempat di ribuan pulau. Para penulis pun memberi sokongan dengan pembuatan buku-buku. Sekian buku bertema TMII mendapat pengesahan sebagai buku menggunakan dana pemerintah. Kita perlahan berpikiran TMII itu milik pemerintah atau memenuhi misi-misi besar Indonesia. Peran para pejabat dan tokoh penting di situ mengukuhkan kebermaknaan “indah” telah memicu polemik-polemik. Ibu Tien Soeharto pernah “dimusuhi” dan mendapat album kritik. TMII itu “taman polemik”.
Pada 1983, terbit buku berjudul Mencintai Alam Indonesia Melalui TMII susunan M Saribi AFN dan gambar oleh Muryotohartoyo. Persembahan: “Kepada putra-putri kami, dan putra-putri di seluruh Nusantara.” Buku memiliki 208 halaman itu ingin terbaca para murid dalam memiliki Indonesia. “Lebih daripada sekadar tempat wisata (rekreasi), TMII terus tumbuh menjadi tempat pendidikan bagi masyarakat Indonesia, mengenali tanah airnya sendiri,” tulis Saribi. Indonesia ingin dipelajari dalam satu tempat. Keterangan: “TMII didirikan di atas tanah seluas 200 ha di sebelah tenggara ibukota Jakarta. Di tengah-tengah dibuat danau dengan pulau-pulau yang menggambarkan tanah air Indonesia. Di sekeliling danau berdiri rumah-rumah, bangunan-bangunan, atau anjungan sebaganyak 27. Semuanya menggambarkan bangunan adat tiap-tiap provinsi.”
TMII diadakan secara “berlebihan” tapi berdalih demi Indonesia. Sejarah sedang dibuat: “Pembuatan TMII dirancang pada awal 1970 atas gagasan Ibu Tien Soeharto. Pada tanggal 20 April 1975 diresmikan pembukaannya oleh Bapak Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.” Sejarah bertokoh utama Ibu Tien Soeharto. Masa demi masa, Ibu Tien Soeharto makin “berkuasa” dalam mengisahkan Indonesia. Pada saat buku-buku terbit mengenai TMII, informasi mengenali pengelolaan dan ketokohan sudah disebutkan secara jelas. TMII dikelola oleh Yayasan Harapan Kita diketuai Ibu Tien Soeharto.
Pada masa 1980-an, TMII bertambah moncer. Bangunan-bangunan baru dibuat dengan beragam makna. Semua tetap dimaksudkan demi kehormatan Indonesia. Ibu Tien Soeharto tetap tokoh utama. Kita mendapat keterangan tambahan dalam buku berjudul Tugu Api Pancasila, Sasana Utama, dan Sasana Langen Budaya (1985) susunan B Widjanarko. Pesona TMII berlipat dengan bangunan baru atau pembuatan acara-acara. TMII seperti impian belum selesai, wajib terus membangun setiap tahun. Widjanarko menulis: “Tidak banyak kita mengetahui tentang makan simbol-simbol Tugu Api Pancasila berikut plaza-nya. Begitu pun Pendapa Sasana Uatama, dan Pringgitan Sasana Langen Budaya karena kedua bangunan itu sering tertutup. Sering pula timbul pertanyaan, apa yang ada di dalamnya? Oleh karena itu, melalui buku kecil ini, penulis berharap agar kita sedikit banyak mengetahui tentang ketiga bangunan tersebut.” Tahun demi tahun, jutaan orang bedatangan ke TMII. Mereka berkunjung sebagai turis tapi sulit mengerti semua maksud bangunan dan acara. Penerbitan buku-buku memang diperlukan agar TMII tak surut cerita atau mengalami bangkrut makna.
Tahun demi tahun, jutaan orang bedatangan ke TMII. Mereka berkunjung sebagai turis tapi sulit mengerti semua maksud bangunan dan acara. Penerbitan buku-buku memang diperlukan agar TMII tak surut cerita atau mengalami bangkrut makna.
Kita mengingat TMII lagi setelah ada berita agak menghebohkan. Berita berjudul “Istana dan Pengambilalihan TMII” dimuat di Kompas, 11 April 2021. Hal terpenting: “Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah, yang sudah puluhan tahun ada di tangan Yayasan Harapan Kita, kini diambil alih negara.” Babak sejarah baru ingin dibuat atas nama pemerintah tanpa melupakan gagasan-gagasan Ibu Tien Soeharto. Di Kompas, kita membaca paragraf: “TMII yang kini seluas hampir 150 hektar dan bernilai hampir sekitar Rp 20 triliun juga dijanjikan akan tetap melestarikan budaya bangsa. Harapannya, selain menjadi sarana edukasi budaya bangsa, TMII juga bisa menjadi semacam jendela budaya Indonesia ke dunia Internasional.” Sejarah TMII masih berlanjut mungkin tak membawa semua polemik pernah berlangsung masa lalu. Kini, TMII ingin lancar-lancar saja dalam pengertian besar pariwisata. Di Media Indonesia, 12 April 2021, kita membaca penjelasan Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara bahwa pengambilalihan “bertujuan mengoptimalkan aset negara, khususnya agar berkontribusi pada keuangan negara.”
TMII terus dikunjungi orang-orang dari desa dan kota. Mereka ingin mengetahui Indonesia “diminikan” atau “dikecilkan” di satu tempat. Piknik ke TMII belum tentu membuat mereka mengetahui hal-hal penting. Urusan piknik adalah hiburan dan senang, belum wajib “pelajaran”. Jumlah pengunjung bertambah tapi pengetahuan belul terjamin bertambah. Pihak TMII memutuskan membuat buku berjudul Pesona Wisata Budaya Taman Mini Indonesia Indah (1996). Buku disusun tim dengan maksud memberi pelajaran: “Dengan membaca buku ini, pengunjung diharapkan akan dapat menjelajahi TMII dalam waktu yang singkat dan memperoleh informasi yang cukup lengkap, serta dapat menemukan inti kandungan TMII, riwayat pendiriannya, dan makna keberadaannya bagi masyarakat.” Buku mungkin paling penting dibandingkan buku-buku terdahulu.
Buku terbit menandai usia TMII makin panjang. Pengantar dari Ibu Tien Soeharto ditulis di Jakarta, 20 April 1996, memuat ingatan hari peresmian dan dampak besar TMII dalam pembangunan nasional. Pesan terbijak Ibu Tien Soeharto: “Dalam membangun kita harus memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur pula. Pelajaran budi pekerti dan moral ini banyak terdapat dalam warisan budaya kita yang tersebar dalam warisan budaya daerah. Melalui Taman Mini Indonesia Indah, warisan budaya nasional dan budaya daerah itu diusahakan pelestariannya.” Misi mulia dan terbuktikan dengan segala cara. Pada masa 1990-an, Ibu Tien Soeharto mungkin belum berpikiran bakal ada episode pengambilalihan TMII oleh pemerintah. TMII tetap “dilestarikan” tapi berbeda pengelola dan pembuatan pelajaran-pelajaran berlatar abad XXI. Ibu Tien Soeharto tetap tercatat berhasil mewujudkan impian besar dengan “mengecilkan” Indonesia. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Commentaires