Desa dan Jawaban
SETAHUNAN, desa tak lagi terlalu diramaikan dengan piknik, pelesiran, atau pariwisata. Wabah “mengistirahatkan” desa-desa dari pengertian-pengertian keramaian, hiburan, kepuasan, dan kenikmatan selalu terkandung dalam kebijakan pariwisata. Orang-orang di desa menunaikan peristiwa-peristiwa keseharian dengan segala “bingung” dan ragu atas situasi wabah. Orang-orang masih mendatangi desa tapi membatasi hasrat menikmati pelesiran. Desa dalam jeda, sebelum ingin diramaikan lagi. Pembesaran “desa wisata” di Indonesia masih berlanjut, belum sampai kejenuhan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan: “Desa wisata merupakan salah satu program andalan kita yang difokuskan bagi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di tengah pandemi” (Joglosemar, 17 April 2021). Desa sedang istirahat tapi diminta menggeliat dan ramai lagi. Desa menentukan nasib Indonesia. Desa terlalu dipentingkan asal memenuhi pamrih-pamrih sudah terpikirkan pemerintah, pengusaha, dan warga. Desa-desa di seantero Indonesia perlahan memiliki pemeringkatan bernalar pariwisata. Kita sadar cara pemeringkatan itu mencipta sejarah baru, melampaui kebijakan-kebijakan desa pernah dibuat pada masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto.
Menteri bermisi pemajuan pariwisata itu mengajukan daftar 5 desa wisata spesial: Panglipuran (Bali), Lerep (Jawa Tengah), Sade (Nusa Tenggara Barat), Osing Kemiren (Jawa Timur), Liang Ndara (Nusa Tenggara Timur). Desa-desa memiliki keunggulan, menanti dikunjungi para turis dari pelbagai negeri. Pikniklah ke desa-desa ketimbang bermanjaan dengan mengunjungi negara-negara asing! Kita menduga seruan piknik ke desa-desa menjadikan Indonesia bernasib terang setelah murung akibat wabah. Desa (wisata) itu keselamatan, kebaikan, kebahagiaan, dan keindahan. Desa memiliki pengertian besar, tak lagi sering “dikasihani” atau “diremehkan” oleh nalar kekuasaan masa lalu cenderung membesarkan Indonesia mengacu kota-kota.
Kita mengingat kebijakan-kebijakan diterapkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, sekian tahun lalu. Dalih kebijakan: “Desa wisata merupakan salah satu pengembangan pariwisata yang sesuai dengan karakter Indonesia sebagai negara agraris yang eksotis, dari Sabang sampai Merauke, di mana anda dapat menikmati uniknya pesona alam desa, budaya, maupun seni.” Orang-orang diajak menikmati desa. Kita mengartikan “menikmati” belum wajib dimulai dengan “mengenali” dan “mengerti”. Kita tak belajar tentang desa tapi “menikmati” desa selaku turis. Predikat itu menjadikan orang memiliki permintaan dan pengharapan tanpa timbal balik setara. Penjelasan dari Jero Wacik pun agak mengelabui dengan mengatakan desa itu “eksotis”. Kita telanjur mewarisi julukan, pujian, atau anggapan condong berasal dari pihak luar atau asing dalam memberi pemaknaan desa. Penggunaan diksi “eksotis” terasa berlebihan.
Pada masa lalu, pembuatan desa wisata mengandung janji-janji memajukan dan melindungi desa. Konon, pemerintah tak menginginkan desa wisata menghasilkan uang berlimpahan saja. Penjelasan dari masa lalu mungkin mengalami ralat melalui kebijakan Sandiaga Uno: “Desa wisata adalah kawasan pedesaan yang memiliki keunggulan dan beberapa karakteristik khusus sehingga berkembang menjadi daerah tujuan wisatawan. Penduduk di desa masih memegang tradiri dari budaya yang relatif masih asli, selain itu makanan ciri khas, sistem pertanian dan sistem sosial masyarakat setempat turut mewarnai menariknya kawasan desa wisata, begitu pula alam dan lingkungan yang masih terjaga keasliannya merupakan daya tarik terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata.” Kalimat panjang itu mungkin membuktikan pihak pemerintah telah berpikir “panjang” dan “matang” demi mengubah (nasib) desa-desa dengan nalar pariwisata.
Di Jawa Pos, 26 April 2021, foto berwarna berukuran besar. Perbukitan dan permukiman ingin dijadikan tempat wisata. Di foto, kita membaca papan nama: “High Land Wonomulyo.” Tulisan sudah memastikan ingin menjadi tempat wisata terasa internasional. Terbacalah bahasa Inggris! Berita memuat keterangan dari Kepala Disparbud Magetan Joko Trihono: “… takjub dengan Highland Wonomulyo yang digagas warga. Dia sepakat dengan warga bahwa eksotisme pemandangan Wonomulyo layak diberi sebutan Nepal van Java.” Asing bertambah asing. Ingat, desa itu berada di Magetan, Jawa Timur, Indonesia.
Desa di Indonesia ingin milik warga dunia. Kita mendingan mundur ke silam. Bacaan di buku-buku pelajaran digunakan sejak masa kolonial memuat cerita-cerita mengenai desa. Dulu, desa diceritakan dengan cap-cap “tradisional” atau “kuno”. Anggapan lanjutan adalah desa belum “maju” atau “modern” bila dibandingkan kota-kota. Sangkaan demi sangkaan menjadikan desa memiliki “ketetapan-ketetapan” terbentuk oleh masa lalu, nalar kolonial, dan impian sedang bertumbuh akibat imajinasi abad-abad “kemadjoean”. Pada awal abad XX, desa-desa perlahan memenuhi misi besar terpikiran oleh kalangan terpelajar, ulama, seniman, dan pelbagai kalangan untuk penentuan “Indonesia”. Desa-desa mengakarkan kemauan besar menjadi Indonesia meski lakon-lakon menggerakkan sejarah sering tercatat di kota-kota.
Pada abad XXI, desa-desa ingin dinikmati jutaan turis. Mereka datang dengan kegembiraan, tak lupa mengabadikan desa-desa. Foto dan kata memoncerkan desa, mengabarkan ke segala penjuru. Desa dalam cerita membahagiakan. Indonesia ingin mencipta album desa “eksotis”, menerbitkan mimpi-mimpi indah. Tahun demi tahun, jumlah desa wisata bertambah. Sekian desa memikat turis-turis dunia. Sekian desa gagal, malu, dan merana. Desa-desa kadang tak lagi lugu setelah berpikiran wajib membuat tugu, memasang papan, memamerkan poster, mengadakan festival, dan lain-lain. Sekian hal dan peristiwa menggunakan bahasa asing agar mentereng, tergesa ingin menjadi desa digandrungi para turis.
Pada masa Jero Wacik menjadi menteri, sekian desa diunggulkan di Indonesia sebagai desa wisata: Sade (Nusa Tenggara Barat), Panglipuran (Bali), Bena (Nusa Tenggara Timur), Senaru (Nusa Tenggara Barat), Sendangsari (Jawa Tengah), Alam Endah (Jawa Barat), Ujung Genteng (Jawa Barat), Kembang Arum (Jawa Tengah), Kopeng (Jawa Tengah), dan Kete Kesu (Sulawesi Selatan). Desa-desa itu diumumkan dan diceritakan sebagai “contoh” bagi desa-desa di seantero Indonesia ingin bercap desa wisata. Kita mengerti bahwa desa wisata itu berpatokan dan berkiblat duit. Pengertian bisa salah.
Hari demi hari, desa-desa masih menjadi berita. Sekian desa telanjur desa wisata mengalami jeda atau sepi. Desa ingin meraih predikat desa wisata kadang terpuruk akibat wabah. Sekian hal mangkrak. Acara-acara belum mungkin diselenggarakan demi keramaian desa dan pendapatan. Pada 2020 dan 2021, desa-desa dirundung sedih tapi tetap memiliki kemungkinan-kemungkinan pulih. Kita masih memikirkan desa, masih menantikan kabar-kabar baik saat kebijakan-kebijakan besar mudah salah arah atau amburadul.
Di Kompas, 21 April 2021, kita dikejutkan iklan tersaji sebagai “berita” berjudul “Tujuh Kali Berkantor di Desa, Bupati Ipuk Tuntaskan Hampir 10 Ribu Masalah Warga.” Iklan mengandung keajaiban atas kerja atau program birokrasi di Banyuwangi, Jawa Timur. Iklan tersaji bersamaan Hari Kartini. Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani ditampilan sebagai sosok tangguh dan pemberi jawaban. Pembaca bingung dengan cara menghitung “10 ribu masalah warga”. Ipuk mengadakan Bunga Desa (bupati ngantor di desa), dimulai 26 Februari 2021. Tujuh kali Ipuk berkantor di tujuh desa. Keterangan: “Di desa yang dituju, Ipuk tinggal seharian, dari pagi sampai azan magrib untuk membantu menuntaskan berbagai masalah di desa tersebut.” Di tujuh desa, Ipuk memberi jawaban dan pengharapan. Staf atau pegawai pun menghitung keberhasilan Ipuk atau masalah menjadi tuntas. Kita tak lagi diajak berpikiran desa wisata. Desa-desa justru membutuhkan jawaban. Bupati adalah penjawab. Wisata nanti dulu saja. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments