Debat dan Mufakat
Radhar Panca Dahana tak pernah putus asa menyuarakan kegelisahannya, bahkan sampai mengembuskan napas terakhir pada Kamis (22/4/ 2021).
(Kompas, 23 April 2021)
PERTEMUAN demi pertemuan dan percakapan demi percakapan biasa teringat dengan kalimat-kalimat lazim tapi berterima. Sekian kalimat masa-masa awal bergaul dengan Radhar Panca Dahana masih terbawa sampai sekarang. Kita tak berebutan atau saling mendahului saat mengucap ungkapan: karep urip, nglakoni apa wae, ora usah sambat, dan lain-lain. Percakapan biasa diselingi bahasa Jawa. Radhar Panca Dahana mengaku marem mengatakan hal-hal pokok menggunakan bahasa Jawa, bahasa termiliki dan membentuk biografi.
Pada suatu hari, percakapan malam di rumah Mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) di pinggiran Solo. Seru! Para lelaki mengaku mengerti Jawa, saling omong panjang. Malam mendebarkan dalam mengisahkan dan menjelaskan Jawa, “bersaing” acuan dan kematangan mengurutkan babak-babak pemikiran di Jawa. Tokoh-tokoh (Mangkunagoro I, Mangkunagoro IV, Mangkunagoro VII, Pakubuwono IV, Pakubuwono X, Jasadipura I, Jasadipura II, Ranggawarsita, Padmasusastra, Sosrokartono, Ki Ageng Suryomentaram) disebutkan memberi bobot percakapan memang kental Jawa, berlanjut ke masalah-masalah pelik di Indonesia. Penulis, Radhar Panca Dahana, dan Mbah Prapto mulai terikat sejenis janji bakal membuat pertemuan-pertemuan lanjutan ngomongke dan mikirke Jawa. Di hadapan dua orang tangguh, penulis pantang minder atau bercap “bocah ingusan” dalam debat. Kecerewatan diladeni kecerewetan. Terbukti! Pada setiap acara, kita bertemu untuk percakapan ruwet sambil cengengesan, misuh, dan berdoa. Tahun demi tahun, kita masih selalu berkiblat Jawa.
Penulis menganggap Radhar Panca Dahana serius kepencut Jawa, menguak khazanah Jawa. Ia pasti bertemu orang-orang ampuh, khatam buku-buku penting, dan mengolah secara lentur untuk tergunakan dalam udar gagasan. Pengertian itu terlambat dimiliki penulis tapi ditebus dengan sering mengalami pertemuan dan percakapan di pelbagai kota. Tebusan mengesankan adalah Radhar Panca Dahana sregep dolan ke Bilik Literasi, sejak di rumah kontrak sampai ke alamat sekarang: Tanon Lor, RT 3 RW 1, Gedongan, Colomadu, Karanganyar. Kehadiran puluhan kali memunculkan ledekan berulang diucapkan: “Dirimu miskin, ngopo gawe sinau-sinau.” Perkataan mengena tapi ia memiliki lanjutan-lanjutan terbuktikan turut bertanggung jawab atas kehidupan penulis dan orang-orang sinau di Bilik Literasi. Kalimat menandai kita bermufakat melakukan kerja-kerja keaksaraan, tahun demi tahun.
“Dirimu miskin, ngopo gawe sinau-sinau.” Perkataan mengena tapi ia memiliki lanjutan-lanjutan terbuktikan turut bertanggung jawab atas kehidupan penulis dan orang-orang sinau di Bilik Literasi. Kalimat menandai kita bermufakat melakukan kerja-kerja keaksaraan, tahun demi tahun.
Penulis ingin bercerita pertautan dalam kerja keaksaraan berpatokan rumah. Tema rumah pernah membara saat penulis bercakap bersama Radhar Panca Dahana dan Mbah Prapto. Babak mendahului terjadi pada akhir 2007, penulis menikah tanpa ada janji dan mimpi indah menikmati hari-hari sebagai suami-istri. Perkara terberat tentu ketiadaan duit tapi memiliki utang dalam jumlah besar. Jawaban dari hari-hari sulit datang, berasal dari Dewan Kesenian Jakarta. Dua naskah kritik sastra garapan penulis diumumkan menang dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007. Naskah bertema rumah berada di nomor urutan dua. Konon, rezeki bagi orang berani menikah alias mendirikan rumah tangga.
Sekian tahun, usaha menjadi penulis gagal dan gagal. Ratusan tulisan dikirimkan ke pelbagai koran. Sebiji tulisan tak pernah mejeng di halaman koran. Pada saat mendirikan Pawon (komunitas sastra di Solo) bersama teman-teman, keminderan terasa gara-gara berbaur dengan orang-orang sudah “resmi” dianggap penulis dan kondang. Penghiburan adalah kejatah menulis esai dalam terbitan buletin Pawon, edisi bulanan. Pengesahan sebagai penulis tetap belum terjadi. Kabar dari DKJ memungkinkan hidup masih bergerak. Kejutan pun terjadi awal 2008. Esai berjudul “Rumah” dimuat di Kompas, terbaca di rubrik “Teroka” dengan redaktur Radhar Panca Dahana. Dua tulisan di DKJ dan Kompas kelak bekal obrolan panjang saat mula-mula berkenalan dengan Radhar Panca Dahana di rumah Mbah Prapto. Dua tulisan bertema rumah mengantar penulis sampai ke puluhan koran dan majalah, memastikan hidup dari menulis: menghidupi istri dan anak-anak dengan menulis.
Rumah mengikat hubungan penulis dan Radhar Panca Dahana. Pada saat remaja, Radhar Panca Dahana bercerita pergi dari rumah. Ia menunaikan janji menjadi manusia dengan meninggalkan rumah. Mbah Prapto pun mengisahkan pergi dari rumah, berkelana ke pelbagai negeri. Rumah-rumah pernah terpahamkan kungkungan, hukuman, paksaan, perintah, kejenuhan, ketertutupan, dan lain-lain. Pergi dari rumah, dua orang itu tenar. Seni dan pemikiran mereka berpengaruh, tak cuma di Indonesia. Pada saat menuju tua, mereka ingin berumah, tak kembali ke rumah masa lalu atau rumah asal. Konon, rumah-rumah makin sulit membuat betah.
Mereka terus saja berkelana tapi memiliki rumah. Kita berpikiran bahwa seniman-seniman Indonesia terlalu bermasalah dengan rumah, dari masa ke masa. Mereka mengelak atau mengingkari kerasan di rumah.
Bergerak dan bergerak ke pelbagai tempat, belum tentu merindukan rumah. Masalah itu bertambah pelik saat penulis bergaul dengan Afrizal Malna, sosok unik dalam perkara rumah. Ia penah mengatakan deretan kata mengejutkan saat menginap di Bilik Literasi edisi rumah kontrak. Ia mengatakan: “Hidupku dalam koper.” Ia tak memiliki rumah, susah mengatakan singgah atau pulang ke rumah. Afrizal Malna terbukti bergerak dari kota ke kota.
Kita kembali menghormati dan mengenang Radhar Panca Dahana. Ia kerasan di Solo, sering ke Solo. Pada suatu hari, serial obrolan tak terjadwal dan menghasilkan peristiwa turut menentukan nasib Balai Soedjatmoko. Kita berbicang lama mengenai Soedjatmoko dan para pemikir sejak masa kolonial sampai revolusi. Pada babak terpenting, kita mulai berpikiran rumah. Ada rumah di Solo pernah dihuni keluarga Saleh Mangoendiningrat. Rumah dinamai Balai Soedjatmoko, selahan dengan Toko Buku Gramedia. Tempat sudah digunakan untuk acara-acara seni tapi belum tergarap serius. Pada hari terjanjikan, sekumpulan orang (Radhar Panca Dahana, Ardus M Sawega, Bandung Mawardi, Titus, dan teman-teman) bertemu di Balai Soedjatmoko, membahas pemajuan acara-acara seni dan keintelektualan di Solo. Pada babak awal Balai Soedjatmoko, Radhar Panca Dahana berperan meski perlahan tak teringat. Mulailah rumah dinamakan Balai Soedjatmoko digarap sebagai tempat mengadakan diskusi dan acara seni! Penulis ingat diskusi awal adalah peringatan seabad Sutan Sjahrir, 2009. Rumah lama itu makin bermakna, berlanjut sekian acara serial diskusi sastra, kota, dan Jawa. Pada saat resmi bergerak di naungan Bentara Budaya, ratusan acara diselenggarakan tapi mengalami situasi sulit pada 2020 dan 2021. Kini, orang-orang mungkin merindukan rumah bernama Balai Soedjatmoko.
Pada babak awal Balai Soedjatmoko, Radhar Panca Dahana berperan meski perlahan tak teringat. Mulailah rumah dinamakan Balai Soedjatmoko digarap sebagai tempat mengadakan diskusi dan acara seni! Penulis ingat diskusi awal adalah peringatan seabad Sutan Sjahrir, 2009. Rumah lama itu makin bermakna, berlanjut sekian acara serial diskusi sastra, kota, dan Jawa.
Radhar Panca Dahana menulis tema rumah dalam esai dan puisi, memiliki kesadaran besar tentang rumah menentukan arus peradaban Nusantara. Penulis membuktikan pertanggungjawaban Radhar Panca Dahana tentang rumah. Bermula dari rumah kontrak, penulis berpindah rumah. Obrolan Radhar Panca Dahana dan teman-teman sinau di Bilik Literasi terus digelar. Pada saat mendirikan rumah joglo (2013), Radhar Panca Dahana tetap membesarkan pikiran tentang rumah. Di tiga rumah, ia mengaku kerasan. Di rumah joglo, ia merasa “kembali” dan menikmati “hidup-berumah”. Radhar Panca Dahana terbiasa memberi infak untuk seri sinau di Bilik Literasi.
Biografi teman-teman di Bilik Literasi perlahan terhubung dengan Radhar Panca Dahana. Satu demi satu, teman-teman tampil menjadi penulis di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Solopos, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain. Obrolan bersama Radhar Panca Dahana sering membuat teman-teman makin serius berpikir dan rajin menulis. Di luar menulis, kita mengerti cara memanjakan Radhar Panca Dahana: kopi dan makanan. Kita pun mengerti sulit menandingi kecerewetan Radhar Panca Dahana dan ketangguhan dalam bantahan-bantahan. Semua sering terselenggara di rumah bernama Bilik Literasi dan warung-warung sekitar. Di rumah, kerja-kerja keaksaraan berlangsung sederhana. Mufakat bahwa rumah itu asal dan muara kerja keaksaraan terbuktikan. Episode bertambah seru dengan kelonggaran Mbah Prapto dolan ke Bilik Literasi. Pada saat bertemu dan bercakap, kita membiasakan tak berpotret. Tulisan menggantikan potret.
Kini, rumah (Bilik Literasi) tak lagi didolani Mbah Prapto dan Radhar Panca Dahana. Mereka sudah menuju “rumah” berbeda. Penulis tetap merawat omongan-omongan mereka bertema rumah sambil mencicil utang rumah. Biografi penting kelak diobrolkan dan diingat oleh tiga anak penulis (Abad Doa Abjad, Sabda Embun Bening, dan Bait Daun Takjub) bahwa dua pemikir rumah (Mbah Prapto dan Radhar Panca Dahana) memastikan penulis selalu “berumah” dan menjadi bapak rumah tangga. Rumah turut dimaknai mereka meski utang belum lunas. Rumah untuk sinau seribuan orang dari pelbagai desa dan kota di seantero Indonesia. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments