Membaca (Setahun) Wabah
“Saya lagi-lagi teringat pada usul seseorang agar kita membangun monumen untuk mengenang korban virus Corona,” tulis Fang Fang dalam Wuhan Diary: Awal Kisah Pandemi yang Melumpuhkan Dunia (2020). Ia setiap hari menuliskan pengalaman selama wabah menderitakan Wuhan. Pada hari-hari awal, ia masih selalu menulis Wuhan, belum berpikiran bahwa wabah lekas melanda dunia. di monumen, orang-orang mengusulkan ada kata-kata mengingat generasi mendatang bahwa terjadi malapetaka di Wuhan (2020). Semua gara-gara keterlambatan menanggapi 20 hari sejak kasus pertama muncul. Fang Fang membahasakan: “Dua puluh hari yang memakan lebih dari 20.000 korban jiwa dan menyebabkan beribu-ribu lain sakit hingga hari ini.” Kalimat-kalimat ditulis pada 2 Maret 2020. Fang Fang tak mengalami situasi buruk di Indonesia juga mula-mula dari sikap “meremehkan” atau “mengentengkan”. Pada tanggal sama, pengumuman resmi di Indonesia ada daftar orang terinfeksi. Sejak hari itu, wabah mengamuk di Indonesia.
Buku garapan Fang Fang terbit dan beredar saat wabah di dunia belum punah tapi Wuhan sudah mulai babak pemulihan. Kita membaca dalam edisi bahasa Indonesia akhir 2020. Pada saat membaca, kita sadar tanggungan derita atas kebijakan-kebijakan tak lekas memberi kabar terang dan keselamatan. Wabah di Indonesia mungkin tak sama dibandingkan hal-hal diceritakan Fang Fang. Penulis meraih Hadiah Sastra Lu Xun (2010) itu pasti marah besar bila berada di Indonesia. Wabah terpahamkan oleh kaum mata duitan dengan korupsi-korupsi. “Wabah” itu mengganas saat wabah mematikan jutaan orang di dunia turut membuat Indonesia mencekam. Kini, kita mencatat wabah itu setahun belum reda, belum tamat. Kita masih dipusingkan segala perintah dan sangsi bersumber kebijakan-kebijakan pemerintah. Di Kompas, 2 Maret 2021, kita membaca edisi peringatan setahun wabah di Indonesia. Laporan beragam masalah dan pengharapan mengingatkan pembaca ratusan hari berduka. Di situ, ada halaman memuat iklan dari Penerbit Buku Kompas: “Koleksi Buku Pengetahuan Seputar Covid-19.” Pada peringatan setahun wabah, pembeli berhak mendapat diskon 30% selama 2-8 Maret 2021.
Pada hari-hari awal wabah, orang-orang Indonesia sadar bernasib buruk tapi saling berusaha berbagi atau membantu demi hidup. Situasi hampir sampai dalam episode awal di Wuhan. “Kesetiakawanan terus tumbuh dan mengalir deras dari segala penjuru,” tulis di Tempo, 24 Mei 2020. Pada saat menderita, publik sering dikejutkan masalah-masalah rumit oleh pejabat dan kaum politik. Masalah undang-undang, korupsi, pilkada, dan lain-lain menambahi derita sudah tak tertanggungkan. Orang mungkin bisa menulis buku tebal berisi marah dan sebal melebihi Wuhan Diary garapan Fang Fang. Di Indonesia, wabah itu “roman absurd”, bertambah absurd oleh kisruh politik.
Di pihak lain, renungan dan tindakan-tindakan menanggulangi wabah dikerjakan dengan segala keterbatasan. Usaha menuliskan wabah bersumber masa lalu dan kekinian diadakan untuk “menguatkan” kemauan selamat dan merampungkan wabah. Goenawan Mohamad (2020) turut mencatat: “Dari abad ke abad, wabah adalah ketidakpastian. Juga sekarang. Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan.” Wabah menimbulkan perdebatan panjang dalam sains, tak lupa agama. Pada hari-hari Wuhan dilanda wabah, para penceramah di tempat ibadah lantang menjelaskan bila Wuhan mendapat azab Tuhan. Di kalangan terpelajar, peraguan atau bantahan atas wabah pun disodorkan, bersebaran cepat di media sosial. Pada saat wabah, kerepotan-kerepotan berdalih iman dan keilmuan menambahi absurd.
Pada hari-hari Wuhan dilanda wabah, para penceramah di tempat ibadah lantang menjelaskan bila Wuhan mendapat azab Tuhan. Di kalangan terpelajar, peraguan atau bantahan atas wabah pun disodorkan, bersebaran cepat di media sosial. Pada saat wabah, kerepotan-kerepotan berdalih iman dan keilmuan menambahi absurd.
Situasi Indonesia tak keruan. Orang-orang memerlukan penjelasan dan pengisahan wabah. Industri perbukuan merana, sekian pihak dan penerbit tetap mengajukan buku untuk bacaan menginsafkan berkaitan sejarah, sastra, kesehatan, dan lain-lain. Buku-buku diadakan memiliki tugas pula menanggulangi beragam kebohongan, kesesatan, dan kengawuran bertema wabah terus diproduksi setiap hari. Buku demi buku terbit tak semoncer Diary Wuhan. Di Indonesia, buku-buku bertema wabah disokong acara-acara bermaksud mengajak publik mengerti wabah agar tak lagi berpikiran dan bertindak gegabah bisa mengakibatkan petaka berkepanjangan.
Wabah-wabah pernah terjadi di dunia dan Indonesia. Bacaan-bacaan itu menuntun kesadaran kritis atas nasib umat manusia pada abad XXI. Kita memiliki acuan-acuan mengerti wabah masa lalu. Pada 2020, terbit buku berjudul Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940 susunan Imas Emalia. Sejak ratusan tahun lalu, sekian wabah terjadi di Nusantara. Para sejarawan mencatat wabah kolera, tifus, malaria, pes, cacar, flu, dan lain-lain. Wabah-wabah mengakibatkan kematian memedihkan: ribuan atau jutaan orang. Di tanah jajahan, penanggulangan wabah bergantung kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, selain ritual dan pengobatan tradisional dilakukan kalangan bumiputra. Nusantara menderita gara-gara wabah. Kasus-kasus masa lalu terbaca lagi sebagai sejarah penuh kematian. Kita telat membaca.
Selama 2020, buku-buku bertema wabah terbit meski tak bermaksud dalam raihan untung komersial. Sekian buku terbit untuk referensi atau mendokumentasi situasi: masa lalu dan masa sekarang. Keinginan mengadakan bacaan kadang berkaitan riset, seri seminar, dan lomba. Kita pun dibuat tercengang oleh usaha Satupena: mengundang para penulis berbagi pemikiran, imajinasi, dan pendapat mengenai wabah. Tulisan-tulisan diterbitkan menjadi buku berjudul Kemanusiaan Pada Masa Wabah Korona (2020). Buku tebal seribuan halaman dijual dengan harga 250 ribu rupiah. Buku itu tercatat mendapat rekor dari MURI. Kita pun menjadi bingung hubungan antara wabah, buku, dan rekor. Buku itu dianggap “buku pertama tentang wabah Covid-19 di Indonesia ditulis oleh 110 penulis dari beragam disiplin ilmu.” Kita malah bersedih masih ada pamrih rekor dalam misi buku dan menanggapi wabah. Nalar rekor agak menganggu bagi pembaca ingin membaca dan mengetahui pemikiran kalangan intelektual terlibat dalam penulisan buku.
Buku bermutu tanpa perlu mendapatkan rekor berjudul Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919 (2020) susunan Ravando. Buku tebal diniatkan menjaga martabat dan bobot keintelektualan mengenai sejarah memiliki halaman-halaman kematian. Buku dipersembahkan “untuk para tenaga kesehatan yang tanpa lelah berjuang di garda terdepan dalam menanggulangi Covid-19.” Buku itu turut mendokumentasi situasi mutakhir, setelah pemerintah mengumumkan dua orang positif terinfeksi Covid-19, 2 Maret 2020. Pemerintah telat dalam menangani wabah, setelah pejabat membuat sangkalan dan pidato-pidato tak lekas untuk mengatasi masalah.
Situasi awal di Indonesia mirip dengan catatan-catatat terbaca dalam Wuhan Diary tapi kita belum mendapat buku “sejenis” buatan orang Indonesia. Ravando mengingatkan bahwa Covid-19 bukan pandemi pertama. Dulu, Indonesia sudah menanggungkan pandemi Flu Burung (1997), SARS (2003), dan Flu Babi (2009). Sejarah dan kasus-kasus masa lalu belum menjadi acuan dan keinsafan. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Komentar