Search Results | Majalah Basis
top of page

Search Results

232 item ditemukan untuk ""

  • Di Warung Makan

    DI warung makan, orang-orang tampak makan, bercakap, berpotret, dan merokok. Konon, warung makan menjadi tempat perjumpaan, kenikmatan, dan kesenggangan. Sekian warung makan membetahkan orang untuk duduk sekian menit atau jam. Warung tak cuma makanan dan minuman. Di warung, sekian hal terselenggara: politik, bisnis, asmara, dakwah, hiburan, dan lain-lain. Warung menjadi album terbaca dan terimajinasikan. Di Solo, warung makan berurusan “aib”. Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, melihat tiga aparatur sipil negara sedang menikmati makan dan kesantaian di warung makan, berada di belakang Balai Kota Solo. Peristiwa terjadi pada 4 Oktober 2021, hari buruk bagi para ASN terbiasa jajan saat jam kerja. Kita lumrah melihat para ASN di pelbagai kota dan kabupaten jajan atau ngiras di warung makan meski bukan jam istirahat siang. Kebiasaan menikmati makanan kadang bersiasat membeli di warung atau pedagang keliling di pinggir jalan. Makanan itu dibungkus untuk dinikmati dalam ruangan selama jam kerja. Gibran mengetahui dan menegur tiga pegawai saat ngiras di warung makan pada pukul 10.00 WIB. Tiga pegawai itu mengenakan sandal jepit, meninggalkan sepatu di kantor. Gibran memastikan ada sanksi (Solopos, 5 Oktober 2021). Gibran mungkin sudah mengerti bila pekerjaan para ASN di Indonesia jarang serius dan bergairah. Bersantai dan malas telah menjadi cerita dan berita klise. Para pegawai menikmati bermain catur, menonton televisi, bergosip, atau jajan di warung makan. Busana dan predikat sebagai pegawai di naungan pemerintah jarang membentuk keinsafan atas kewajiban-kewajiban selama bekerja. Bersantai dan malas telah menjadi cerita dan berita klise. Para pegawai menikmati bermain catur, menonton televisi, bergosip, atau jajan di warung makan. Busana dan predikat sebagai pegawai di naungan pemerintah jarang membentuk keinsafan atas kewajiban-kewajiban selama bekerja. Kebiasaan orang-orang ngiras di warung makan memang memicu iri. Sejak pagi sampai malam, orang-orang bergantian di warung makan. Mereka tak sekadar memenuhi misi makan dan minum. Tampak dari luar, kehadiran mereka di warung makan mengesankan kenikmatan dan nglaras. Godaan bagi orang-orang bekerja di kantor memiliki ketentuan jam kertas, etisa busana, dan kehormatan. Warung memiliki jam buka dan tutup, berharapan mendapat rezeki dari kedatangan pelanggan atau pembeli. Ramai dan sepi kadang dipengaruhi waktu: pagi, siang, sore, dan malam. Jam istirahat orang-orang di kantor atau pabrik tentu dimaksudkan sebagai babak kelarisan makanan dan minuman. Kita kangen masa lalu warung makan mendingan membaca novel berjudul Malaikat Lereng Tidar (2014) gubahan Remy Sylado. Di situ, kita mendapat cerita tentang Waroeng Idjo. Warung itu mengandung getaran asmara, konflik, dan kesejarahan. Di warung, ada perempuan cantik bernama Toemirah. Orang-orang kagum dan ingin memiliki sang pujaan. Rajin ke warung memang menikmati beragam suguhan tapi sekian lelaki melampaui kenikmatan makanan-minuman. Mereka terbuai asmara. Alkisah, lelaki datang ke Waroeng Idjo dengan selangit pengharapan. Ia membawa beragam perhiasan emas. Perhiasan ditaruh di atas meja dan ia berucap tergesa terasa melanggar etis. Pinangan mengandung paksaan dan penghinaan: “Dengan perhiasan-perhiasan itu sendiri bisa dijadikan modal tambahan untuk warung ini. Supaya warung ini bukan cuma melulu menjadi kedai, tapi berubah menjadi restoran.” Kejadian diceritakan seratusan tahun lalu. Warung dalam sengketa pemaknaan bisnis, asmara, politik, adat, agama, dan lain-lain. Di Jawa, warung-warung makan di desa dan kota memiliki beragam “sejarah” memberi kisah-kisah menjadikan legendaris. Sekian warung makan memunculkan pemaknaan kesaksian kota atau mengiringi perubahan di desa-desa. Manusia-manusia berkaitan warung makan terjelaskan melalui urusan makan-minum, obrolan, kesadaran busana, perhitungan gengsi, dan lain-lain. Warung-warung makan bernama dan tak bernama perlahan membentuk keseruan bagi orang-orang memuja kuliner. Pada babak berbeda, warung makan menjadi tempat “terindah” bagi orang-orang ingin menghindari rutinitas sebagai pegawai pemerintah atau orang kantoran partikelir. Pada abad XIX, Ranggawarsita menggubah Serat Jayengbaya. Kita mendapat cerita orang menginginkan beragam pekerjaan asal membuat senang. Sekian pekerjaan diinginkan gara-gara terhormat, mendapat duit, dan dimanjakan publik. Pemerolehan duit dari pekerjaan-pekerjaan membenarkan orang menggunakan untuk menikmati makanan dan minuman. Di situ, Ranggawarsitas tak bercerita gamblang tentang pedagang atau pelanggan di warung makan. Kita cuma mendapatkan kesan-kesan hasrat makan saat kenduri, perjamuan atau pesta, memasak di rumah, dan jajan di suatu tempat. Kita menduga derajat kehormatan orang-orang turut terbentuk selera makanan dan pameran atas kehadiran di tempat-tempat menikmati makanan, termasuk warung makan atau restoran. Kita makin mengerti kenikmatan orang-orang makan di warung makan dalam sketsa-sketsa Umar Kayam terbit menjadi buku berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul (1990). Warung makan untuk pembuktian derajat selera makan. Orang-orang bersaing omongan. Warung termaknai oleh misi-misi para penikmat setelah turut membentuk biografi bersama pedagang atau sekian pelanggan. Mereka mengartikan warung makan memang tempat tapi mengerti masalah waktu, bahasa, busana, dan suasana. Mereka tak sembarangan untuk datang ke warung makan. Waktu-waktu ditentukan bagi mereka sudah rampung dalam pekerjaan atau menikmati perjumpaan-kangen bersama teman-teman. Umar Kayam tak mengajarkan para pegawai di naungan pemerintah memanjakan diri dengan rajin ngiras atau menikmati kehadiran diri di warung makan saat jam kerja. Umar Kayam mengerti tipe-tipe pegawai di Indonesia dalam memuja makanan meski tak becus dalam pekerjaan atau kewajiban. Kita teringatkan pula dengan novel Para Priyayi, membuka daftar kenikmatan sekian orang berduit dalam menikmati makanan-minuman di tempat-tempat pilihan. Mereka tak mungkin bergabung dengan orang-orang bawah atau buruh makan di warung-warung pinggir sawah, depan pasar, atau pinggiran desa. Pada abad XX, kita mengetahui bahwa selera kalangan priyayi “terjaminkan” oleh pilihan warung makan atau restoran. Pada abad XXI, pengetahuan warung makan atau rumah makan makin bertambah dengan beragam acara kuliner di televisi, pameran selera makanan-minuman di media, dan berita-berita di koran. Warung makan tak selalu bercerita pegawai negeri sedang malas atau manja dengan “minggat” dari kantor. Orang-orang memilih mengisahkan kenikmatan makan di tempat atau penggampangan memesan agar makanan sampai rumah. Imajinasi warung makan bertambah menggiurkan dengan pelbagai kata dan potret. Novel dan film tak mencukupi untuk mengisahkan warung makan. Orang-orang memilih mengisahkan kenikmatan makan di tempat atau penggampangan memesan agar makanan sampai rumah. Imajinasi warung makan bertambah menggiurkan dengan pelbagai kata dan potret. Novel dan film tak mencukupi untuk mengisahkan warung makan. Warisan penting dari pengisahan makanan-minuman di pelbagai warung makan atau rumah makan diberikan Bondan Winarno melalui buku berjudul 100 Maknyus! Makanan Tradisional Indonesia (2013). Di pelbagai kota dan kabupaten, Bondan Winarno memiliki daftar rumah makan, warung makan, dan gerobak dianggap memberi suguhan makanan-makanan lezat. Daftar itu memungkinkan orang-orang mendatangi dan membuktikan. Kita bisa menikmati beragam makanan asal berduit dan berani menempuhi perjalanan: dekat atau jauh. Kita tentu tak mau melihat ada para pegawai pemerintah berada di warung-warung makan saat jam kerja demi mengikuti jejak-pengalaman bersantap oleh Bondan Winarno, sekian hari lalu. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Epos, Hutan, Nestapa

    TAHUN-TAHUN berlalu tapi kesan dan makna tak terlupa. Buku itu berjudul Anak Bajang Menggiring Angin. Buku diperingati telah berumur 40 tahun. Sindhunata justru agak mengelak untuk sebutan pengarang. Ia memilih sebutan carik. Kini, buku itu tak sendirian. Penerbitan buku bermula dari cerita bersambung dimuat di Kompas mendapat sambutan pembaca. Buku terbit menempatkan Sindhunata sebagai sosok dikagumi pembaca. Babak itu mendapat “ralat” agar tak kebablasan menjadi kesombongan bersastra. Di Kompas, 26 September 2021, kita membaca: “Ketika menulis cerita bersambung itu, Sindhunata sama sekali tidak berdalih sebagai seorang pencerita, penulis wayang, ataupun sastrawan. Apa yang dilakukannya lebih-lebih karena menjalankan tugas redaksi. Ia mengistilahkan dirinya sebagai juru tulis atau carik.” Pengakuan mirip kritik atas penetapan atau pengakuan orang-orang sebagai sastrawan di Indonesia masa Orde Baru. Peran sebagai carik berlanjut dengan cerita bersambung berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan, dimuat di Kompas 150 edisi. Pembaca terjanjikan menikmati cerita setiap hari. Awalan cerita di Kompas, 27 September 2021, memberi kesan “kehijauan” bagi orang-orang merindukan hutan. Sindhunata bercerita: “Pagi sedang sangat indah di hutan Jatirasa. Embun-embun belum pecah. Diterpan sinar sang surya, mereka bepercikan bagaikan butir-butir mutiara yang membangunkan daun-daun dari tidurnya. Dahan-dahan berkeriutan. Seperti meminta, janganlah angin menghentikan semilir yang sedang sejuk mengelus-elusnya. Kokok ayam alas mengalun indah lalu melebur dalam kicauan burung-burung aneka warna.” Pembaca merasa kembali membaca sastra klasik. Pada masa lalu, sastra-sastra memikat dimulai kemahiran berbahasa dalam menceritakan alam. Flora dan fauna disajikan dengan kiasan. Kalimat demi kalimat mengajak pembaca tergoda dengan pemandangan dan suasana. Sindhunata seperti sosok-sosok terjelaskan Zoetmulder dalam Kalangwan. Ia masih mewarisi kepekaan mengisahkan alam dengan bahasa lembut dan indah. Carik itu berasal dari masa lalu, memberi persembahan untuk pembaca di abad XXI. Sindhunata seperti sosok-sosok terjelaskan Zoetmulder dalam Kalangwan. Ia masih mewarisi kepekaan mengisahkan alam dengan bahasa lembut dan indah. Carik itu berasal dari masa lalu, memberi persembahan untuk pembaca di abad XXI. Kita sejenak mengingat pembuka Anak Bajang Menggiring Angin. Di situ, ada kealaman terceritakan tapi lekas berperasaan: “Mendung bagaikan bidadari menangis di Negeri Lokapala. Air matanya jatuh berupa batu-batu hitam menutupi kehijauan rerumputan. Kesunyiannya tanpa bintang. Kesedihannya tanpa bulan. Malamnya berhias dengan ratapan awan-awan tebal.” Malam terbaca, berbeda dari pagi terasa indah dalam Anak Bajang Mengayun Bulan. Masa berbeda, pembuka cerita pun berbeda. Kita ingin menikmati pembuka Anak Bajang Mengayun Bulan sambil berharapan dunia pulih dari wabah. Imajinasi hutan terlalu menggoda. Pohon-pohon dan binatang-binatang mengabarkan hidup bersukacita, selaras, dan santun. Di dunia, hutan masih ada tapi berkurang dan nestapa. Hutan dalam pengisahan Sindhunata mengingatkan orang-orang lama terbiasa membaca atau menikmati epos-epos berdatangan dari India, mengalami “pengesahan” berlatar di Jawa atau Nusantara. Pembaca ingin mengunjungi hutan dalam cerita: “Hutan Jatirasa adalah rimba raya yang luas, tempat hidup aneka binatang liar dan buas. Di sana tumbuh pohon-pohon raksasa yang lebat daun-daunnya…” Hutan terimajinasikan sambil mengingat gambar-gambar dalam film dokumenter atau Avatar untuk mengetahui nasib hutan-hutan pada abad XXI. Hutan masih tema membuat debat-debat menguak pamrih duit, politik, hiburan, kuliner, pengobatan, olahraga, ritual, keilmuan, dan lain-lain. Kalimat-kalimat terbaca dalam buku berjudul Hutan (1979) susunan Peter Farb. Hutan diartikan “buku pelajaran yang hidup”. Kita simak: “… mengenai kehidupan tetumbuhan, suatu arak-arakan vegetasi yang dapat disaksikan pada sebentang tanah yang hanya beberapa puluh meter saja, sebab banyaklah di antara tetumbuhan dari zaman dahulu kala yang mempunyai contohnya pada flora zaman sekarang.” Kita sedang diajak menempuhi babak-babak hutan terjelaskan dalam “keilmuan”. Penjelasan sudah “imajinatif” bagi kita cuma kebagian melihat hutan-hutan rusak dan sengsara akibat serakah-serakah. Hutan tak sama dengan penjelasan dalam pengetahuan berdasarkan fakta dan argumentasi mengenai silam. Kalimat menakjubkan pun terbaca: “Dari abad ke abad, tetumbuhan hijau berbiak menjadi sangat beraneka ragam dan memenuhi hampir tiap relung mana pun dalam planet ini.” Di hadapan kita adalah buku sains, bukan novel atau puisi. Penjelasan itu megah. Kita membaca saja. Kita menambahi menikmati epos-epos, mengawetkan hutan dalam keagungan meski mengikutkan perang, kematian, hukuman, dan petaka. Di dunia, hutan-hutan dalam epos teringinkan menjadi pemandangan menebus kecewa-kecewa saat dunia adalah kota-kota menghilangkan hutan-hutan. Nasib apes hutan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Kerusakan mustahil dipulihkan. Sindhunata mengisahkan hutan dalam Anak Bajang Mengayun Bulan bukan untuk mengajukan protes atau rekomendasi agar Indonesia memuliakan hutan. Misi kecil itu terlalu sulit mendapat anggukan penguasa dan kaum modal. Hutan bukan “tempat cerita”. Hutan telanjur dimengerti dengan perhitungan-perhitungan menguntungkan pelbagai pihak. Hutan dijauhkan dari imajinasi keindahan dan keagungan. Hutan itu tema dalam kekuasaan dan bisnis global, sebelum mendapat protes-protes jarang digubris. Nasib apes hutan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Kerusakan mustahil dipulihkan. Sindhunata mengisahkan hutan dalam Anak Bajang Mengayun Bulan bukan untuk mengajukan protes atau rekomendasi agar Indonesia memuliakan hutan. Misi kecil itu terlalu sulit mendapat anggukan penguasa dan kaum modal. Orang ingin mengetahui hutan tanpa cerita bisa membuka halaman-halaman buku berjudul Vademecum Kehutanan Indonesia (1976) dihasilkan oleh Departemen Pertanian. Kita membaca penjelasan-penjelasan hutan tanpa imajinasi. Bacalah dan mengertilah hutan di Indonesia itu mengagumkan! Kagum tampak di halaman-halaman berisi kata, angka, dan gambar. Hutan dan kehutanan tampak dipentingkan oleh penguasa. Di luar buku, kita sendih mendapat berita-berita kenestapaan hutan. Buku-buku mengenai nestapa hutan tentu bukan terbitan pemerintah. Pada masa 1970-an, orang-orang menggubah puisi, cerita pendek, dan novel mengisahkan hutan tak lagi mulia. Suguhan sastra itu terbaca tapi belum acuan bagi penguasa atau pemodal bersandiwara keinsafan. Indonesia bersejarah hutan, berbeda dari cerita-cerita. Kita membuka buku berjudul Sejarah Kehutanan Indonesia II-III, Periode 1942-1983 (1986). Kita menilik catatan-catatan tak lengkap. Di halaman 89-90, terbaca: “Ekspor hasil hutan telah dilaksanakan sejak sebelum Perang Dunia II…. Melihat luas hutan Indonesia yang 120 juta ha, ekspor hasil hutan itu sebenarnya masih sangat rendah, yaitu hanya 1% dari nilai ekspor seluruhnya. Rendahnya nilai ekspor hasil hutan Indonesia disebabkan oleh belum adanya kemampuan mengekspor barang jadi atau setengah jadi.” Catatan mengacu masa 1960-an. Kita tak ingin melanjutkan mengurusi laporan atau kerja-kerja pemerintah sering “bermasalah”. Kita ingin mengingat saja pengisahan hutan-hutan dalam gubahan sastra telah terselenggara sejak ratusan tahun lalu. Cerita-cerita itu terwariskan sampai sekarang tapi hutan-hutan tak terwariskan utuh. Sekian hutan hilang. Sekian hutan rusak. Sekian hutan masih ada tanpa janji keselamatan dan kelanggengan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Bertema (Kaum) Buku

    ORANG-ORANG perbukuan menderita selama wabah. Mereka ingin hidup dan selamat. Hari demi hari, derita itu memiliki beragam nama, tak semua bisa dijawab. Kemauan menempuhi titian perbukuan disengsarakan akibat wabah. Ikhtiar-ikhtiar ingin terang meski mengetahui nasib bakal terpengaruhi kebersamaan dan kebaikan. Ikhtiar bersama dilakukan dalam gerakan Teman Bantu Teman. Orang-orang perbukuan mengadakan festival, penjualan buku, pertunjukan, dan ilustrasi untuk mengumpulkan dana disalurkan ke teman-teman sedang membutuhkan demi hidup. Kebaikan-kebaikan itu menghidupi tapi masih terus membuat jawaban-jawaban atas nasib orang-orang perbukuan. Di Media Indonesia, 16 September 2021, M Aan Mansyur mengatakan: “Mulai berpikir, isu-isu soal bagaimana rentannya pekerja buku tidak boleh jadi semacam catatan kaki ketika bicara perbukuan.” Nasib masih tak tentu. Jalan perbukuan ditempuhi orang-orang mengakibatkan nasib berbeda mengacu pasar, selera, manajemen, misi, dan lain-lain. Pada 14-18 September 2021, orang-orang perbukuan ingin berbagi kebaikan dan mengusahakan keselamatan mengadakan Festival Bantu Teman. Festival mempertemukan pelbagai pihak untuk menjawab album derita selama wabah. Mereka berbagi dengan mufakat selamat. Eka Kurniawan mengatakan: “Festival ini bisa menjadi semacam awal yang baik dan bisa direplikasi semakin banyak. Saya rasa, kalau melihat jumlah festival sastra di Indonesia, ini tidak mencukupi. Nantinya itu juga bisa membantu finansial orang-orang yang bekerja di perbukuan, akan makin banyak organisator, pembicara, acara festival.” Dua keterangan dari pengarang kondang itu mencukupi bagi publik ingin mengerti Bantu Teman. Perkara-perkara lanjutan bermunculan selama festival. Perkara dana bagi teman-teman untuk hidup itu terpenting tapi beragam tema terbicarakan. Orang-orang perbukuan tak cuma direpotkan masalah uang. Di situ, ada penghormatan, misi keaksaraan, pemuliaan sastra, garapan isu beradab, dan lain-lain. Di Kompas, 19 September 2021, kita membaca pembuka: “Ekosistem kepenulisan di Indonesia sedang terancam. Situasi rawan yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 ini membuat banyak penulis berada di tubir jurang. Bahkan, ada di antaranya yang tidak sanggup menghidupi diri sendiri. Festival Bantu Teman, salah satunya, digagas untuk meminimalisasi kerawanan itu.” Situasi memang sulit. Kita bakal sulit memberi penjelasan-penjelasan lengkap. Penulis dipastikan sadar masalah honorarium dan media-media pemuatan. Sekian rubrik di koran-koran menghilang. Para penulis kehilangan dalih mendapatkan rezeki. Sekian rubrik bagi penulis esai, cerita pendek, dan puisi masih ada di koran atau laman tapi tanpa honor. Kebijakan itu makin memusingkan para penulis. Keinginan menerbitkan buku berdampak ke pemerolehan rezeki juga sulit mendapat jaminan. Konon, perdagangan buku agak lesu. Wabah membikin susah kadang bertumpuk atau tergandakan bila gagal dalam bersiasat. Pihak-pihak sebagai penulis, editor, penerbit, dan lain-lain bertarung dengan hal-hal sering “mustahil” tapi memastikan perbukuan tetap bergerak. Pada situasi berbeda, orang-orang mengamati buku-buku turut memberi keselamatan bagi orang-orang dirundung seribu masalah dan kejenuhan selama di rumah. Para penikmat buku masih mungkin membeli buku. Episode membaca pun terdokumentasi melalui foto-foto beredar di media sosial. Pengharapan publik untuk buku masih ada tapi berbeda dari masa-masa sebelum wabah. Perbukuan di Indonesia “selamat”, tak mungkin punah. Persoalan tergenting adalah penghidupan keseharian bagi teman-teman sedang kesulitan atau sengsara. Nasib berbeda dialami orang-orang perbukuan. Kita bisa mengetahui dengan pengumuman-pengumuman tersampaikan akhir tahun. Di Indonesia, ada sekian penghargaan memberikan uang. Pengumuman dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah terbaca publik untuk calon peraih Penghargaan Sastra 2021. Para penulis masuk daftar nomine berharapan menjadi peraih oleh penilaian atau kebijakan juri. Penghargaan itu mengacu buku dan menentukan nasib si penulis. Orang-orang paham bila penghargaan juga berurusan uang. Publik pun mengikuti penghargaan dari pihak-pihak partikelir. Sekian nama penulis, judul buku, dan penerbit terbaca dalam pengumuman untuk Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Penghargaan sudah terselenggara puluhan tahun mengabarkan uang. Buku-buku dihormati dengan kaidah-kaidah penilaian, terakui “bermutu” dan “berpenghargaan”. Orang-orang mengerti pemuliaan buku menentukan nasib para penulis mendapatkan rezeki. Di sela berpikiran nasib orang-orang perbukuan, kita sejenak mengetahui dan memberi arti atas penghargaan-penghargaan sastra berpijak mutu buku. Nasib orang-orang perbukuan dan penulis dalam hari-hari mendebarkan. Keselamatan dan kebaikan diinginkan dengan kecukupan. Usaha berbagi terselenggara “tersambut” dengam ucapan-ucapan bagi para penulis bakal terduga meraih penghargaan. Keramaian komentar di media sosial dan percakapan bagi orang-orang bertema buku memungkinkan ada pengharapan-pengharapan pulih, bergairah, dan terang. Pada akhir tahun, buku masih tema. Kita menantikan pengumuman dari Dewan Kesenian Jakarta. Sekian manuskrip sastra bakal terpilih dan terakui “terbaik”. Di hitungan minggu atau bulan, manuskrip-manuskrip itu terbit menjadi buku oleh pelbagai penerbit: kecil atau besar. Pemberian cap sebagai “pemenang” bermaksud agar buku-buku laku. Penulis pun memiliki kehormatan, tenar, dan rezeki. Sejarah perbukuan di Indonesia masih berlanjut. Urusan pemerolehan rezeki minta dijawab cepat. Rezeki untuk menghidupi di keseharian. Pada situasi berbeda, buku-buku dalam penilaian dan perbincangan. Debat-debat bakal bermunculan memusat ke buku dan penulis. Orang-orang perbukuan bertambah seru untuk mengarungi babak-babak mendebarkan. Kita masih berkutat dengan buku-buku sastra menikmati akhir tahun dengan sekian penghargaan. Di komunitas dan penerbit kecil, pemuliaan buku-buku masih berlangsung meski “mengeluh”. Mereka memilih jalan terus. Orang-orang sedang keranjingan menulis selama wabah berpikiran untuk menerbitkan buku dengan keterbatasan atau keinsafan. Buku-buku mau bernasib baik. Orang-orang perbukuan mau hidup bermartabat. Buku masih terhormat bagi pengamat acara-acara di Ubud dan Borobudur. Acara-acara bernama asing itu bertaraf internasional. Buku berperan dan orang-orang perbukuan tersahkan membuktikan kerja-kerja terhormat. Segala perbincangan mengabarkan bibliografi belum rampung disusun di Indonesia, dari masa ke masa. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Menghitung Gaji, Hari Demi Hari

    SEMULA, kita mengenali sosok itu artis. Ia moncer dengan suara merdu menghasilkan uang. Di Indonesia, penghasilan dalam industri musik itu jarang disebut gaji. Pada masa berbeda si artis berada di lakon politik. Ia menjadi orang bergaji di DPR. Kita simak masalah diungkap artis berpolitik di Media Indonesia, 15 September 2021: “Uang senilai Rp 16 juta didapatkannya dari gaji pokok, sedangkan Rp 59 juta sebagai tunjangan. Namun, ia mengatakan ada potongan dari upah yang diperolehnya sebagai anggota dewan.” Kita diajak berpikiran pemerolehan uang dengan beragam sebutan. Berita kecil tapi membuat pembaca geleng-geleng atau menutup mata berimajinasi memiliki duit puluhan juta saat wabah belum sirna. Sekian orang mungkin membuka kamus untuk mengetahui gaji, tunjangan, dan upah. Sekian orang membaca peraturan-peraturan bertema pekerjaan di Indonesia. Di editorial Media Indonesia, kita juga membaca masalah gaji: “Tuntutan kompetensi ASN yang lebih baik sesungguhnya kewajaran dari kesejahternaan yang terus meningkat. Gaji pokok telah beberapa kali dinaikkan, terakhir pada 2019 dan kini juga berembus kabar adanya kenaikan lagi pada tahun depan. Ditambah lagi dengan gaji ke-13, sudah saatnya pemerintah tidak lagi memanjakan ASN.” Gaji selalu saja masalah berkaitan pekerjaan, kehormatan, negara, dan lain-lain. Hari demi hari, gaji itu tema keterlaluan bagi kita mengetahui kecurangan, kemalasan, kebusukan, keamburadulan, dan kesombongan dalam lakon-lakon pekerjaan mendapat gaji tinggi. Hari demi hari, gaji itu tema keterlaluan bagi kita mengetahui kecurangan, kemalasan, kebusukan, keamburadulan, dan kesombongan dalam lakon-lakon pekerjaan mendapat gaji tinggi. Urusan uang dan sebutan-sebutan membuat pusing, sebelum kita tersadarkan ada permasalahan bahasa. Kita iseng meluangkan waktu membaca buku berjuduk Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1975) susunan JS Badudu. Kita sejenak belajar bahasa untuk kecewa dan sebal mengetahui pamrih-pamrih duit di Indonesia. JS Badudu memberi contoh kalimat: “Selama menunggu keputusan pensiunnya, dia menerima uang buta setiap bulan.” Dulu, orang-orang memiliki babak pensiun sering berpredikat PNS. JS Badudu mengartikan uang buta: “gaji yang diterima walaupun tidak aktif lagi bekerja.” Uang buta bisa pula disebut gaji buta. Kita lanjutkan membaca contoh lain: “Anggota DPR menerima uang duduk tiap kali menghadiri sidang.” Pengertian dibuat JS Badudu: “uang sidang, honorarium bersidang.” Kita tak menemukan “uang sidang” dalam penjelasan artis berpolitik bernama Krisdayanti. Kita tinggal si artis berganti berpikiran tentang orang-orang bekerja sudah mengadakan “bekal-bekal” saat pensiun. Kita mengartikan “bekal” adalah uang. Nurhali mengatakan: “Pensiun itu waktunya istirahat, masak bekerja lagi.” Ia adalah kepala SMKN 5 Tangerang. Di Jawa Pos, 16 September 2021, ia diberitakan gara-gara memiliki harta 1,6 triliun rupiah sesuai laporan disampaikan ke KPK. Kita mengutip: “Menurut undang-undang, kepala sekolah seperti Nurhali sejatinya tak masuk kategori pejabat negara yang wajib melaporkan kekayaan. Tak terbersit ikut pemilihan umum kepala daerah. Nurhali cuma ingin istirahat saat pensiun dua tahun lagi.” Sosok mau pensiun tapi sudah memiliki uang. Berita berbeda dengan contoh kalimat diajukan JS Badudu dalam menerangkan “uang buta” atau “gaji buta”. Kita mungkin iri dengan orang-orang mengerti pensiun, setelah sekian tahun mendapat gaji. Kita lupakan artis, orang di DPR, atau ASN mau pensiun. Kita “dihibur” oleh Remy Sylado dengan puisi berjudul panjang. Puisi masih memasalahkan uang. Kita membaca tanpa keinginan tertawa meremehkan puisi berjudul “Seorang Penyair Lapar Mengirim Puisinya Kepada Sebuah Suratkabar Pagi Lantas Dimuat Setelah Enam Bulan Menunggu Honornya Selama Tiga Bulan Pas Untuk Beli Tahu Sumedang Dua Keranjang dan Setelahnya Memakannya Semua Ia Teurab Sebisanya.” Judul melelahkan bagi pembaca susah mengatur napas. Kita sampai isi puisi: Aaaa! Sejak lama, kita mengenal istilah honor bagi para penulis puisi, cerita, atau esai di koran dan majalah. Konon, honor tak searti dengan gaji. Berita dan puisi menimbulkan masalah bagi kita belum terbiasa membuka kamus-kamus atau melakukan studi kebahasaan. Kita iseng lagi membuka Kamus Indonesia (1951) susunan E. St. Harahap. Gaji berarti “upah, gandjaran pekerdjaan.” Kita teringat si artis bicara dengan diksi gaji, tunjangan, dan upah. Ia tak memasalahkan honor. Kamus itu memuat pengertian cepat berubah atau bertambah. Di kamus-kamus terbaru, gaji tak lagi memiliki arti sederhana seperti masa lalu. Kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Gaji diartikan: “upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap; balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu.” Kita dikenalkan sekian istilah: gaji bulanan, gaji buta, dan gaji pokok.” Orang menulis puisi seperti diungkapkan Remy Sylado tak menerima gaji tapi honor. Kita lanjutkan mengutip pengertian honorarium: “upah sebagai imbalan jasa (yang diberikan kepada pengarang, penerjemah, dokter, pengacara, konsultan, tenaga honorer); upah di luar gaji.” Kita mulai mengerti dan mengangguk. Hari-hari masih wabah, kita berpusing uang. Kita mengaku mengerti gaji dan honorarium mesti bertambah mencari pengertian “imbal tunai”. Kita mengikuti berita di Kompas, 16 September 2021. Kasus (tak) aneh gara-gara dunia bergawai: “Mereka membuat akun untuk membeli barang dari toko sendiri. Dari transaksi itulah didapatkan cashback.” Istilah berbahasa Inggris itu diterjemahkan imbal tunai. Siasat curang demi menghasilkan uang seolah dari perniagaan. Dulu, kita pernah mengetahui “imbalan”. Pada masa berbeda, sebutan-sebutan baru bermunculan dipengaruhi bahasa Inggris setelah sibuk dengan aplikasi-aplikasi. Kita mengutip lagi berharap makin mengerti: “Tersangka HM, misalnya, mengoperasikan enam gawai dengan delapan akun pembeli. Semua akunnya terhubung ke satu nomor untuk mengumpulkan imbal tunai.” Orang-orang belum terbiasa dengan hidup berakun dan membeli dengan tata cara baru cukup dipusingkan dengan gagasan uang menggunakan sebutan dari aplikasi atau sistem bergawai. Pada 20219, pelajaran belum selesai berurusan pekerjaan, kedudukan, uang, dan sebutan. Kita masih harus “berkamus” sebelum kewalahan dalam mengingat dan menerima pengertian-pengertian baru. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Setelah Tulisan: Cetakan dan Digital

    MISI tak seramai politik, bisnis, dan hiburan itu masih bergerak tapi lambat. Misi ingin mengikuti arus besar digital. Kita jarang turut memikirkan atau mengabarkan misi digitalisasi aksara Nusantara. Tahun demi tahun, kita terbiasa dengan aksara Latin, sulit berpaling untuk ikut sibuk memikirkan nasib aksara-aksara masih (mungkin) hidup di Indonesia. Di Kompas, 8 September 2021, terbaca: “Proses digitalisasi tidak hanya untuk mengarsipkan aksara, tetapi juga untuk diaplikasikan di gawai dan menjadi nama domain internet. Namun, hingga sekarang, digitalisasi aksara terkendala karena penggunanya masih terbatas.” Misi mungkin besar. Kita adalah ahli waris aksara-aksara Nusantara tapi memilih mengarungi abad XXI dengan aksara Latin. Di keseharian, kita selalu beraksara Latin. Kita mengetahui ada sekian aksara Nusantara masih tampak mata digunakan di buku atau papan. Melihat dengan keasingan dan kebingungan. Aksara itu sulit terbaca, terpandangi saja. Sekian aksara tak terbaca tapi terlihat molek. Aksara-aksara jarang diamati, setelah terbiasa dengan aksara Latin. Sejak di SD, kita memang berpengetahuan dan mengalami beragam lakon hidup bersama aksara Latin. Di Jawa, pengajaran aksara Jawa tetap diselenggarakan tapi berpengaruh kecil. Murid-murid di sekolah agama juga mendapatkan pengajaran menggunakan aksara Arab meski cenderung berkaitan iman saja. Jeda dengan melihat aksara-aksara di Nusantara mula-mula memberi pukau, berlanjut penasaran tanpa pengisahan dan malu tak mampu membaca. Jeda dengan melihat aksara-aksara di Nusantara mula-mula memberi pukau, berlanjut penasaran tanpa pengisahan dan malu tak mampu membaca. Misi digitalisasi aksara-aksara Nusantara ingin melanggengkan aksara Jawa, Lampung, Incung, Pegon, Kawi, Bima, Ende, dan Satera Jontal. Sekian aksara pun diusahakan dengan kerumitan proses dan pengakuan: Bolaang, Sangir, Gayo, Malesung, dan Minang. Kita mengetahui nama-nama aksara itu tetap asing saat hari-hari bergawai dan apa-apa teranjurkan digital. Publik menunduk bila misi itu berdalih pelestarian aksara. Sejak puluhan tahun lalu, kita susah mengerti atas keseringan penggunaan istilah “pelestarian” biasa disampaikan pejabat, intelektual, dan seniman. Konon, Indonesia terus kehilangan aksara-aksara pernah digunakan sejak ratusan tahun silam. Kepunahan akibat tiada pengguna atau dokumentasi. Aksara-aksara sulit terpilih bagi orang-orang mulai menapaki “kemadjoean” sejak awal abad XX. Sekolah, pers, penerbitan buku, dan pergerakan politik condong berpihak aksara Latin dalam sebaran pesan-pesan. Sejarah baru terbentuk dan bergerak dengan aksara dipengaruhi dari peradaban Barat. Tahun-tahun kesedihan dan kesepian dialami oleh aksara-aksara Nusantara. Perkara aksara Nusantara masih minta dipikirkan (agak) serius. Berita dimuat di Kompas, 10 September 2021: “Menurut Chief Registry Officer Pengelola Nama Domain Internet (Pandi) M Shidiq Purnama, aksara Nusantara perlu dibumikan untuk digunakan sehari-hari. Beberapa daerah telah melakukannya dengan mengajarkan bahasa daerah dan aksara di kelas, seperti di Jawa dan Bali.” Kalimat itu sulit dimengerti. Kita merasa mendengar petuah bijak tapi salah waktu dan salah tempat. Penggunaan aksara-aksara Nusantara dalam keseharian itu “mustahil”. Orang-orang bakal bertambah repot bila berdalih pelestarian aksara tapi terlalu sulit diselaraskan dengan hari-hari “dikuasai” aksara Latin. Kita mengikuti saja berita-berita baik, mengurangi ragu dan malu. Berita menggembirakan masih terus diusahakan dengan kemauan besar dan keterbatasan: “Hingga kini, ada tiga aksara yang sedang didaftarkan ke BSN (Badan Standarisasi Nasional) sampai dengan akhir September 2021, yakni aksara Jawa, Bali, dan Sunda Kuno. Pembahasan aksara tersebut untuk memperoleh SNI (Standar Nasional Indonesia) akan dilaksanakan pada Oktober 2021.” Misi masih bergerak. Digitalisasi aksara-aksara Nusantara belum berhenti atau macet. Pada masa Orde Baru, ada usaha mengenalkan aksara-aksara di Nusantara, belum berpikiran digitalisasi. Buku serial diterbitkan oleh Yayasan Harapan Kita. Jilid 9 berjudul Aksara. Penerbit itu memiliki daftar orang penting di Indonesia. Buku berbobot politis! Ketua YHI adalah Soeharto. Ketua tim dalam pembuatan buku bernama Harmoko. Ketua pelaksana adalah Abdul Gafur. Nama-nama penting dalam rezim Orde Baru tercantum bersama para seniman dan intelektual. Semua di situ turut mengurusi aksara-aksara di Nusantara dengan titip nama, duit, atau pengaruh. Di buku, Soeharto berpesan: “Kepada para penyayang buku seri penerbitan ini, saya ucapkan selamat menyelami kandungan isinya.” Buku cukup penting bagi orang-orang ingin memikirkan nasib aksara-aksara di Nusantara sambil menunggu keberhasilan digitalisasi. Kita membaca keterangan dalam buku: “Sebagaimana proses akulturasi yang sangat khas di wilayah Nusantara ini, penggunaan bahasa dan aksara tak bisa dipisahkan dengan tegas secara periodik. Sering kali sebuah naskah memakai dua jenis aksara secara bersamaan atau juga sebaliknya.” Keragaman aksara di Nusantara dipengaruhi juga oleh peradaban bangsa-bangsa asing. Penggunaan aksara dalam politik, agama, sastra, atau perniagaan memungkinkan ada arus sejarah “tertulis”, teringat meski tak mudah terbaca. Tahun-tahun berlalu, lakon kolonialisme menentukan pilihan penggunaan aksara. Orang-orang di tanah jajahan mengalami bujukan dan bermufakat untuk aksara Latin ketimbang aksara-aksara pernah bertumbuh di Nusantara. Pilihan itu menguat sejak awal abad XX. Penjelasan umum: “Dalam proses kolonialisasi yang terjadi secara luas di berbagai daerah di wilayah Nusantara, lambat laun aksara Latin menjadi makin populer dan menjadi pilihan untuk berkomunikasi secara tertulis. sehingga aksara Latin-lah yang kemudian diterima dijadikan aksara nasional.” Sejarah Indonesia memang memiliki dokumen-dokumen cetak menggunakan aksara Latin, meski edisi-edisi silam juga mengingatkan aksara-aksara Nusantara tampak di batu, lontar, dan kertas. Sejarah bergerak itu memunculkan anggapan keaksaraan haruslah aksara Latin. Pada masa kekuasaan Soekarno, misi besar dalam Pemberantasan Buta Huruf adalah aksara Latin. Pada masa Orde Baru, kebijakan “kejar paket” oleh Depdikbud juga berurusan aksara Latin. Sejarah bergerak itu memunculkan anggapan keaksaraan haruslah aksara Latin. Pada masa kekuasaan Soekarno, misi besar dalam Pemberantasan Buta Huruf adalah aksara Latin. Pada masa Orde Baru, kebijakan “kejar paket” oleh Depdikbud juga berurusan aksara Latin. Pada masa hidup termanjakan dengan teknologi baca-tulis, perkara-perkara aksara makin tak terurus bila berkaitan “pelestarian”. Kesibukan dan kesenangan baru termiliki dengan aksara Latin. Situasi itu juga bermasalah dalam pemahaman kelisanan dan keaksaraan. Kita selalu sulit dengan kesengganggan untuk memikirkan aksara-aksara Nusantara. Berpikiran serius berbekal buku Walter J Ong berjudul Kelisanan dan Keaksaraan (2013) saja jarang terwujudkan. Kita mungkin termangu dulu sebelum mau berpikiran jauh. Kalimat dari Ong anggaplah serius: “Keaksaraan dimulai dengan tulisan, tetapi pada tahap selanjutnya juga melibatkan cetakan.” Kini, kita memberi susulan kata: digitalisasi. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Rempah dan Sejarah

    DI Media Indonesia, 22 Agustus 2021, Adiyanto mengusulkan agar ada lomba “agustusan” membuat minuman dari rempah-rempah: jahe, kunyit, dan temulawak. Lomba itu bermutu. Kita mungkin meragu ada lomba berkaitan rempah-rempah. Publik telanjur suka dengan lomba-lomba membikin tertawa dan malu. Ada pula seruan bertumpu rempah-rempah: “Bayangkan, dari komoditas yang terlihat sepele dan sering menghuni sudut dapur dan pasar-pasar tradisional yang kumuh dan becek, sebuah peradaban tercipta dan mengubah peta geopolitik dunia.” Kita seperti mendapatkan “kejutan” setelah berlaku abai dan meremehkan atas rempah-rempah. Kita mungkin pernah melihat tanpa mengetahui nama-nama. Kita teringat nama tapi belum mengerti kegunaan atau khasiat. Hari-hari masih rempah-rempah. Kita membaca Tribun Jateng, 23 Agustus 2021. Opini ditulis Opik Mahendra mengagungkan rempah-rempah: “Produksi rempah di Indonesia didominasi lada, pala, dan cengkeh. Menurut data yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (2018), Indonesia selalu menduduki peringkat tiga besar dunia sebagai produsen rempah pilihan. Apalagi pada masa pandemi saat ini, rempah merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di seluruh dunia sebagai salah satu cara untuk menjaga kondisi imun tubuhnya.” Kalimat-kalimat itu “menggembirakan” tapi “mengecewakan”. Selama ratusan tahun, Nusantara atau Indonesia diceritakan dengan rempah-rempah tapi sering sepi dalam percakapan dan pengisahan keseharian. Tulisan itu lekas mengarah bisnis. Rempah-rempah bisa menghasilkan laba besar. Kalimat-kalimat itu “menggembirakan” tapi “mengecewakan”. Selama ratusan tahun, Nusantara atau Indonesia diceritakan dengan rempah-rempah tapi sering sepi dalam percakapan dan pengisahan keseharian. Tulisan itu lekas mengarah bisnis. Rempah-rempah bisa menghasilkan laba besar. Cerita belum perlu dihadirkan untuk berimajinasi pelbagai kenikmatan, ketakjuban, dan keunikan. Kita agak merasakan geliat kultural saat membaca berita di Jawa Pos, 23 Agustus 2021. Para petugas puskesmas mendatangi warga Kaneskes, Lebak. Warga enggan divaksin. Berita atau isu mengenai vaksin gampang menimbulkan salah paham dan ketakutan. Warga di Kanekes memilih menanggapi wabah dengan air dan 20 ramuan tradisional. Mereka membiasakan diri minum air jahe dan air gula merah. Kita membaca sikap warga dalam tatanan adat dan nalar kesehatan modern. Dua perkara belum selaras di Kanekes. Kita tetap berpikiran jahe. Tanaman itu terpahamkan memiliki khasiat. Jahe tak tergesa dipikirkan menjadi komoditas bisa dijual ke pelbagai negara menghasilkan untung berlimpah. Berita-berita di koran susah berpengaruh bagi orang-orang mengetahui atau mendalami rempah-rempah. Buku-buku bertema rempah-rempah telah terbit tapi pembaca dipastikan sedikit. Pidato para pejabat kadang mengucap rempah-rempah. Orang-orang mendengar itu kepantasan atau pamer kata agar dianggap memberi perhatian. Kita mengikuti penjelasan Made Astawan dalam buku berjudul Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur (2016). Hal mendasar: “Rempah dapat berasal dari berbagai bagian tanaman, yaitu bunga, buah, kulit batang, umbi, daun, dan rimpang. Jenis rempah yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jahe, kunyit, kencur, temulawak, cengkeh, merica, cabe, ketumbar, jinten, kayu manis, kayu secang, serai, pala, dan kapulaga.” Kita mungkin agak susah dalam mengetahui wujud dan membedakan rasa atau khasiat. Semua itu bertumbuh di Indonesia, belum menjadi pengisahan terindah. Nama-nama itu diketahui ibu-ibu. Di pasar atau warung, ibu-ibu berbelanja sambil bercakap penggunaan. Rempah-rempah dalam masakan dan minuman. Gagal mengerti dengan cara mengolah, orang-orang memilih membeli ramuan atau bungkusan berisi serbuk bisa cepat dinikmati. Di toko atau pasar, kemasan-kemasan itu memberi pengertian berbeda atas keagungan rempah-rempah di Indonesia, dari masa ke masa. Rempah-rempah itu sejarah. Banda, tempat bersejarah. Kita simak: “Corak holtikultura mereka yang tidak begitu sulit namun indah dan menguntungkan itu mempesona para pengunjung dari Barat. Beberapa di antaranya melantunkan khayalan puitis yang muluk sewaktu melukiskannya buat orang-orang sezamannya.” Kita diajak melompat ke abad XVII. Rempah-rempah menentukan arus sejarah. Rempah-rempah belum memberi janji keselamatan dan kebahagiaan. Nusantara justru berantakan akibat bisnis serakah rempah-rempah. Bangsa-bangsa asing berlaku sembarangan dan meninggalkan derita-derita sejarah. Kita mengingat melalui buku berjudul Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala (1983) garapan Willard A. Hanna. Kedatangan kapal-kapal dari Barat memang menimbulkan kecamuk. Situasi cepat berubah. Nusantara menjadi kancah persaingan, permusuhan, dan perang. Willard A. Hanna mengungkapkan: “Orang-orang Banda lebih menyukai orang Jawa, Bugis, Cina, dan Arab sebagai rekan dagangnya yang tetap. Para pengusaha Asia ini mengirimkan banyak sekali kapal layar. Beberapa di antaranya selalu berada di pelabuhan dan menawarkan dengan tepat barang-barang konsumsi yang sangat disukai di tempat itu. Lebih-lebih lagi, mereka mau tawar-menawar dengan santai atas setiap transaksi, suatu kebiasaan yang meningkatkan jual-beli menjadi pergaulan sosial yang menyenangkan. Daripada, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Belanda, tuduh-menuduh mengenai pelanggaran-pelanggaran perjanjian.” Rempah bermasa lalu ruwet oleh pamrih bisnis dan politik. Kita masih tergoda rempah-rempah dan sejarah. Penjelasan agak berbeda terbaca dalam buku Anthony Reid berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (1999). Kita diminta memberi perhatian atas rempah dengan beragam komoditas. Reid menulis: “Di dalam keseluruhan gambaran perdagangan Asia Tenggara, rempah-rempah yang memikat para pedagang dari belahan dunia lain sebenarnya hanya mata dagangan dalam jumlah kecil. Justru bahan makan seperti beras, garam dan asinan atau ikan kering, dan tuak, tekstil dan barang logam, yang semuanya memenuhi muatan kapal yang melintasi perairan yang tenang di beting lautan Sunda. Rempah-rempah menjadi penting karena keuntungan yang paling besar diperoleh darinya. Sebab, para pedagang untuk mencarinya memperkenalkan banyak barang dagangan lain di bandar-bandar dan wilayah produksi.” Kita kelamaan tak membaca sejarah. Pada masa berbeda, rempah-rempah seperti tak menggendong sejarah saat muncul propaganda rempah-rempah menanggapi wabah. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Duh, Matematika!

    DUA bocah diminta mempelajari matematika di rumah. Mereka tetap murid tapi berada di rumah. Setiap pemberian pelajaran diberikan guru-guru, mereka duduk dengan gawai untuk masih resmi diakui “belajar”. Di gawai, guru menerangkan, murid berusaha memperhatikan. Tugas demi tugas berdatangan dalam sekian wujud. Di rumah, dua bocah itu mengerjakan dengan bingung, jengkel, dan takut. Pelajaran ruwet adalah matematika. Dua bocah sebagai murid SD dan SMP itu sulit mengikuti pelajaran matematika bergawai. Tugas-tugas matematika sering mendapat nilai rendah. Ganjaran adalah kecewa dan malu. Matematika jarang menjadikan hari-hari mereka terasa indah. Masalah-masalah bermunculan saat mengikuti pelajaran dan mengerjakan tugas-tugas selama di rumah. Mereka mungkin perlahan “takut” matematika. Kita sulit menduga saat mereka dewasa bakal “bertobat” belajar matematika atau menggandrungi setelah mengetahui khasiat-khasiat matematika. Dua bocah itu berbeda dengan Andry Wijaya (22 tahun). Di Media Indonesia, 26 Agustus 2021, ia ditampilkan sebagai orang sibuk bermatematika. Ia memberi jawaban atas sangkaan para murid di Indonesia bahwa pelajaran matematika itu menakutkan. Kita simak: “Saya tidak tahu juga, kenapa saya merasa matematika itu memang lebih mudah dibandingkan mata pelajaran lain.” Ia mengaku suka matematika saat menjadi murid SMA, bukan sejak dari SD. Ia menduga kesukaan dengan matematika gara-gara “bisa membaca pola.” Pengakuan itu belum tentu berkaitan ia berkacamata. Di Indonesia, murid atau mahasiswa mengenakan kacamata sering dianggap pintar. Kita sulit memastikan hubungan matematika dan kacamata. Mahasiswa di Universitas Indonesia itu sering mengikuti lomba atau olimpiade matematika. Ia mengoleksi piala, medali, dan piagam sebagai ganjaran menekuni matematika. Pengalaman mendalam menghasilkan penerangan: “Selama orang belum paham keindahan dalam matematika, mungkin menjadi tidak menarik. Jadi, cobalah untuk mencari keindahan matematika. Yang sederhana saja, seperti fakta-fakta menarik matematika di media sosial atau kegunaannya apa.” Kalimat-kalimat ajakan cukup sederhana. Kita mudah mengerti tapi belum tentu mau menempuhi jalan menemukan keindahan bermatematika. Dua bocah di desa pinggiran Solo perlu “meniru” cara belajar Andry Wijaya. Pilihan cara menentukan ketagihan atau trauma matematika. Pengakuan: “Saya tidak belajar setiap hari. Saya cenderung suka belajar sendiri alias autodidak. Di kelas itu bukannya tidak memperhatikan, tetapi saya sering tidak melihat ke depan. Saya melihat laptop dan buku, tapi saya tetap mendengarkan dan menyimak.” Ia memiliki cara belajar untuk memenuhi hasrat sebagai pemetik keindahan-keindahan matematika. Matematika itu buku. Dulu, bocah-bocah di Indonesia digoda buku terjemahan agar melirik dan memeluk matematika. Buku itu berjudul Matematika Ria (1984) dari edisi bahasa Inggris dengan judul asli: Mathemagic. Buku bercerita matematika dan memuat gambar-gambar indah. Buku mengesahkan matematika indah. Bacaan bagi bocah tak ingin menderita dengan pelajaran matematika. Kita mengutip pengisahan bilangan, belum rumus. Bocah melihat gambar dua burung. Di situ, terbaca kalimat-kalimat: “Dua adalah bilangan genap pertama, yakni bilangan yang dapat dipecah menjadi dua bilangan lebih kecil yang tepat sama… Pada zaman dahulu, baik orang Cina maupun orang Yunani, beranggapan bahwa bilangan genap dua, empat, enam, dan seterusnya adalah bilangan ‘anak perempuan’, sedangkan bilangan ganjil adalah bilangan ‘anak lelaki’. Orang Yunani kuno beranggapan bilangan dua mirip dengan orang yang tak dapat mengambil keputusan.” Pengisahan agak berat tapi membuat bocah penasaran. Matematika perlahan terasakan indah bagi bocah-bocah membaca buku buatan para intelektual dari negeri jauh. Cerita dan gambar membikin matematika itu memikat. Halaman demi halaman terbaca, bocah terpukau dan berpikir serius tanpa mudah capek. Bergiranglah dengan matematika! Bocah bertemu halaman memuat tulisan sejenis puisi berjudul “Selasa Lalu, Umurku Sepuluh” buatan K Starbird. Kita ikut membaca: Selasa lalu, umurku sepuluh/ Hatiku gembira luar biasa/ Namun aku agak terkejut jadinya/ Mengetahui umurku setengah dari dua puluh…. Meskipun anak berusia sepuluh tahun/ Masih muda dan kurang pengalaman/ Wah, dalam waktu sembilan puluh tahun saja/ Umurku menjadi seabd nantinya! Bocah membaca puisi. Bocah belajar penjumlahan. Buku itu membuat bocah mau menggandrungi matematika, memikat ketimbang buku pelajaran biasa digunakan di sekolah. “Matematika bermula dari penemuan angka yang digunakan untuk menghitung,” kalimat termuat dalam buku berjudul Matematika (1985) susunan David Bergamini. Matematika menggerakkan peradaban. Kita dikenalkan dengan para tokoh matematika memiliki kekhasan: “Mereka membantu pengemudian pesawat angkasa, penyelidikan hakikat komunikasi, atau pengungkapan tabir rahasia ilmu genetika. Sebagai pribadi, para ahli matematika menampakkan suatu kesamaan. Biasanya, mereka produktif pada usia yang sangat muda, kadang kala pada usia belasan tahun.” Tokoh-tokoh pun dikenalkan tapi sering berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Selama ratusan tahun Indonesia sepi dari ketokohan matematika, sebelum para remaja atau mahasiswa awal abad XXI rajin mengikuti lomba dan olimpiade matematika taraf nasional atau internasional. Kita membaca buku-buku biografi dan sejarah jarang menemukan bab matematika berlatar Indonesia abad XIX dan awal abad XX. Bab itu tak ditulis atau memang tak termiliki para tokoh saat ingin mengubah nasib di tanah jajahan. Buku-buku pelajaran mengarah matematika digunakan di sekolah-sekolah buatan pemerintah kolonial dan partikelir. Buku itu dipelajari tapi sulit menjadi penentu dalam pembesaran gagasan dalam arus sejarah Indonesia. Kita tentu tak abai dengan para tokoh pasti paham matematika: Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soekarno, dan lain-lain. Mereka mengalami babak-babak belajar matematika dan tergunakan dalam menulis, bekerja, dan berpolitik tapi belum menjadikan itu memukau ditilik dalam kesejarahan Indonesia. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Bendera: Pengibaran dan Pengisahan

    Di Republika, 16 Agustus 2021, kita melihat foto berukuran besar di halaman depan. Foto dengan penjelasan tentang pembentangan bendera (3 x 76 meter) di Sungai Cikijing, Rancaekek, Bandung. Kita mulai terbiasa membaca atau menonton berita sekian orang atau komunitas mengadakan pembentangan bendera merah-putih. Peristiwa itu berbeda dengan pengibaran bendera merah-putih. Pemerintah membuat kebijakan agar jutaan bendera berkibar di Indonesia, sejak 1-31 Agustus 2021. Bendera mengartikan peringatan kemerdekaan Indonesia: 76 tahun Kibaran bendera dianjurkan ditemani umbul-umbul, dekorasi, dan pelbagai hiasan. Indonesia ingin meriah untuk mengingat sejarah dan membuat sejarah meski masih wabah. Instruksi tak berkaitan dengan keramaian Indonesia oleh baliho dan spanduk memuat foto tokoh politik dan pesan-pesan (klise) kebangsaan. Keramaian mendahului pengibaran jutaan bendera merah-putih. Kita melihat Indonesia “sesak” pemandangan selama Agustus. Kita ingin sejenak istirahat dari pemandangan di jalan dan ruang publik ramai oleh bendera, umbul-umbul, baliho, dan spanduk bisa berlagak mengenang masa lalu. Usaha mengenang bertema bendera. Mengenang belum urusan pemerintah atau partai politik rajin menjadikan jalan dan ruang publik untuk mengabarkan raihan kekuasaan, sekian tahun lagi. Kita mengenang dengan bacaan-bacaan. Di rumah, membaca sekian buku justru membuat bendera makin bermakna. Mengenang belum urusan pemerintah atau partai politik rajin menjadikan jalan dan ruang publik untuk mengabarkan raihan kekuasaan, sekian tahun lagi. Kita mengenang dengan bacaan-bacaan. Di rumah, membaca sekian buku justru membuat bendera makin bermakna. Bendera, kata datang dari negeri jauh. Kita membuka Kitab Arti Logat Melajoe (1914) susunan D. Iken dan E. Harahap. Kita mengutip dari pengantar diberikan JG Dammerboer: “Barang siapa jang koerang faham dalam bahasa Melajoe, kitab inilah dibelinja, soepaja dapat diketahoeinja arti perkataan jang koerang terang kepadanja.” Pada awal abad XX, bahasa Melayu mendapat pengaruh besar dari sekian bahasa: Arab, Belanda, Tionghoa, Prancis, Inggris, Portugis, dan lain-lain. Di buku lawas, pembaca menemukan entri bendera dengan arti: “pandji besar, toenggoel, empat segi.” Orang-orang sudah mengakrabi panji, belum bendera. Remy Sylado (1996) mengingatkan: “Umumnya orang tidak menyangka bahwa bahasa Spanyol pernah melintas dalam perbahasan di Indonesia berkait dengan peristiwa-peristiwa sejarah masa silam.” Bendera, kata berasal dari bahasa Spanyol. Semula, kata itu ditulis “bandera”. Datang ke Indonesia, penulisan menjadi “bendera”. Di kalangan Jawa, kata itu terucap “gendero”. Sekian kata dari bahasa Spanyol memang mengalami perubahan penulisan dan pengucapan. Bendera memang ada dalam arus sejarah. Sejak awal abad XX, kaum muda dan kaum pergerakan politik kebangsaan berikhtiar memilih simbol-simbol mengejawantahkan ide-imajinasi Indonesia. Bendera menjadi keharusan. Para penggerak bangsa memilih dan mengartikan sekian bendera, sebelum “bermufakat” memilih merah-putih. Geliat makna berlangsung di tanah jajahan dan Belanda. Kalangan intelektual mencari akar-akar masa lalu dan berhitung dampak dari penggunaan bendera dalam melawan kolonialisme. Pintu sejarah dibuka dan peristiwa-peristiwa politik menjadi pengesahan. Pada 1958, terbit buku berjudul 6000 Tahun Sang Merah Putih susunan Muhammad Yamin. Buku bermaksud mengungkap sejarah. Soekarno berpesan: “Peladjarilah isi buku ini untuk penambah pengetahuan tentang warna-kebangsaan dan bendera-negara, dan untuk mengisi dada-sanubari dengan rasa kebanggaan nasional jang berkobar-kobar.” Pemuatan sambutan dari Soekarno ingin memberi bobot politik dan kesejarahan atas penulisan buku tampak “berlebihan”. Muhammad Yamin mencatat pilihan dan perubahan bendera dalam lakon pergerakan politik. Pada 1920, terbentuk Indisch Vereeniging di Belanda. Kaum muda (mahasiswa) berserikat memikirkan Indonesia. Mereka menggunakan bendera “merah-putih kepala kerbau”. Pada masa 1920-an, berdirilah PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung. Soekarno menjadi tokoh. Partai itu menggunakan bendera “merah-putih kepala banteng”. Pada acara bersejarah 28 Oktober 1928, Yamin mencatat ada pengibaran bendera “merah-putih garuda terbang”. Puncak pengakuan terjadi dengan peristiwa pengibaran bendera merah-putih setelah pembacaan naskah proklamasi, 17 Agustus 1945. Posisi bendera merah-putih bercerita Indonesia makin kukuh dalam pengesahan UUD 1945, 18 Agustus 1945. Peristiwa-peristiwa sejarah memunculkan sebutan “Sang Saka Merah Putih”. Yamin mencatat dan menjelaskan dengan sekian “keliru” atau “tak lengkap”. Buku itu telanjur menjadi penting bagi orang ingin mengetahui sejarah bendera merah-putih. Pujian diberikan Presiden Joko Widodo dalam penerbitan ulanng 6000 Tahun Sang Merah Putih (2017). Kita menduga belum ada buku tandingan. Buku lawas itu belum diralat tapi tetap diterbitkan lagi. Presiden Joko Widodo menulis: “Buku 6000 Tahun Sang Merah Putih bagi saya merupakan sebuah mahakarya dari penulis agung yang dapat memberikan pencerahan bagi generasi penerus bangsa tentang sejarah dan filosofi dari warna merah-putih, bagaimana warna merah-putih mengiringi Indonesia untuk berjuang dan menjadi panji kebanggaan negara Indonesia.” Kita perlahan mengerti bila pengibaran bendera rutin setiap tahun dalam beragam peringatan hari nasional belum memastikan ada penguatan pengetahuan sejarah bendera. Buku-buku mengenai bendera merah-putih masih jarang. Pembaca lelah mengikuti penasaran mengetahui sejarah bendera masih “meragukan” bisa berganti menikmati puisi-puisi bertema bendera. Pada 1937, Asmara Hadi menggubah puisi berjudul “Fantasi”. Kita membaca sekian larik: Bendera perdjoangan berkibar lagi/ Gembira bertepoek atas kepalakoe/ Darahkoe melantjar gembira poela/ Deboer-berdeboer dalam dadakoe. Bendera menandai kemauan kaum pergerakan meraih kemuliaan Indonesia. Bendera dimengerti sebagai pemenuhan janji bersama untuk kemerdekaan Indonesia. Kirdjomuljo pada masa 1960-an menggubah puisi berjudul “Bendera”. Indonesia sudah merdeka dan sedang berlakon “revolusi belum selesai”. Pengisahan dan pemaknaan bendera agak berbeda dari masa kolonial. Kirdjomuljo mengaitkan masa lalu dan situasi politik berlatar 1960-an. Kita simak: Aku tidak menagih kepadamu/ Sebab arus sedjarah mengalir dari mata air/ Jang lahir dari titik masing-masing musim/ Dan kau berhak melajari dari mana angin mulai/ Untuk merentas lembah jang kau kehendaki/ Tetapi apapun terdjadi/ Sampai adjalku aku tetap akan memperingatkan/ Ada suatu hal jang azasi dari kebangsaanku/ Dan satu bendera jang telah kita kibarkan. Puisi pantas dibaca keras di panggung atau mengawali kongres. Puisi heroik demi bendera. Pengertian dimiliki bendera adalah kehormatan, pengorbahan, dan kebangsaan. Bendera dalam pasang-surut sejarah di Indonesia terbaca dalam puisi terasa berbeda dari pidato-pidato para pejabat atau dokumen resmi memuat instruksi-instruksi pemerintah. Kita tak mendapat instruksi dari pemerintah untuk belajar tentang bendera menggenapi pengibaran bendera. Kita tak usah menunggu ada pejabat berpidato panjang mengungkap sejarah bendera merah-putih. Iklan-iklan kemerdekaan ramai di koran, majalah, televisi, dan media sosial sulit dipastikan membuat kita memahami sejarah bendera merah-putih. Jumlah bendera berkibar mungkin belum sempurna tanpa pengetahuan “berkibar” mengenai bendera merah-putih, dari masa ke masa. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Surat dan Lagu

    DUA surat pembaca ditampilkan di Kompas, 13 Agustus 2021. Kita membaca dengan pikiran-pikiran ingin terang. Sri Handoko asal Semarang mengusulkan: “… agar selama bula Agustus, di kantor pemerintah dan layanan publik – misal bandara, terminal, stasiun kereta api, pusat perbelanjaan – dipasang perangkat pengeras suara dan memutar lagu-lagu kebangsaan.” Lagu terdengar orang-orang saat duduk, berjalan, makan, dan bercakap. Usulan agar orang-orang mendengarkan lagu-lagu kebangsaan. Kita menduga itu mencipta suasana tenang. Dugaan bisa salah. Di pelbagai tempat, kita sudah terbiasa menikmati pengumuman, iklan, dan lagu melalui perangkat pengeras suara. Telinga-telinga ada tapi belum tentu mau mendengarkan. Sekian orang tetap bercakap sambil menganggap lagu-lagu itu pengiring. Orang tertidur tanpa mengetahui ada pengumuman atau lagu. Iklan-iklan kadang memberi bosan. Orang enggan mendengar. Kesal pun melanda. Penambahan perangkat pengeras suara telah terjadi di pelbagai tempat. Kita mulai terbiasakan mendengar “ini” dan “itu”. Di perempatan jalan memiliki bangjo, pengeras suara pun terpasang memberi suara-suara. Telinga kita sedang diminta mendengar segala hal: penting, kurang penting, dan tak penting. Lagu termasuk pilihan wajar agar perangkat pengeras suara tak mubazir. Lagu-lagu dangdut, pop-cengeng, campur sari, atau kenangan berbahasa Inggris biasa diputar. Orang-orang menikmati atau berusaha mengusir lagu gara-gara berbeda selera. Sri Handoko menulis: “Tujuannya tentu saja adalah menyulut rasa nasionalisme dan patriotisme agar semakin kuat nyalanya. Apalagi jika yang diputar adalah lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan yang heroik, penuh semangat.” Usulan sederhana tapi pelik dalam pemaknaan. Pada masa orang melulu bergawai, telinga-telinga memilih lagu-lagu digemari sering lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Inggris. Sekian tahun, ada lagu-lagu berbahasa Jawa dari Didi Kempot dan sekian orang terdengar siapa saja. Orang-orang Indonesia pun gandrung lagu-lagu Korea Selatan, selain kebiasaan orang-orang mendengarkan lagu-lagu berbahasa Arab. Kita susah menemukan ada orang memiliki daftar lagu digemari sering lagu kebangsaan atau perjuangan. Orang-orang Indonesia pun gandrung lagu-lagu Korea Selatan, selain kebiasaan orang-orang mendengarkan lagu-lagu berbahasa Arab. Kita susah menemukan ada orang memiliki daftar lagu digemari sering lagu kebangsaan atau perjuangan. Ada lagi surat ditulis Soegio Sosrosoematro asal Tangerang Selatan. Kita simak prihatin menjelang 76 tahun Indonesia merdeka: “… saya ingin mengutarakan keprihatinan bahwa dalam upacara peringatan tersebut, terutama yang berlangsung di Istana Negara, lagu Indonesia Raya tidak pernah dinyanyikan syairnya.” Penulis surat adalah pengamat upacara. Ia mungkin terbiasa mengikuti upacara sejak kecil. Pada masa berbeda, ia mengamati upacara di pelbagai tempat, termasuk di Istana Negara. Surat di Kompas mungkin membuat pembaca geleng-geleng bila memiliki kenangan “membosankan” mengikuti upacara bendera ratusan kali, sejak menjadi murid SD. Kita memang terbentuk sebagai jemaah rutin upacara. Konon, upacara-upacara itu mengartikan Indonesia dan mengesahkan pejabat atau orang-orang penting berpidato dan memberi amanat. Kita ikuti keprihatian: “Seharusnya, dalam peristiwa yang sangat bermakna bagi bangsa Indonesia, syair itu tidak boleh begitu saja dilupakan. Mengapa lagu kebangsaan Indonesia Raya hanya instrumental yang dimainkan, sementara lagu-lagu nasional lainnya justru dinyanyikan koor?” Sejak puluhan tahun lalu, kita dibiasakan duduk di depan televisi: menonton upacara di Istana Negara. Orang-orang kadang berharap mendapat undangan resmi untuk bisa mengikuti upacara di Istana Negara, tak selalu menjadi penonton di depan televisi. Dua surat menanti jawab. Pemerintah mungkin sedang sibuk, tak sempat menjawab. Sekian hari lagi, upacara digelar tapi dua penulis surat mungkin masih berharap mendapat penjelasan. Pengamatan lagu dan upacara membuktikan kemauan mengartikan Indonesia. Surat terbaca saat orang-orang Indonesia mungkin tak lagi mampu mengingat lagu-lagu terpenting bercerita Indonesia, dari masa ke masa. Kita tak lagi mengenali dan memiliki daftar lagu gubahan WR Supratman, Cornel Simandjuntak, Ismail Marzuki, dan lain-lain. Surat terbaca saat orang-orang Indonesia mungkin tak lagi mampu mengingat lagu-lagu terpenting bercerita Indonesia, dari masa ke masa. Kita tak lagi mengenali dan memiliki daftar lagu gubahan WR Supratman, Cornel Simandjuntak, Ismail Marzuki, dan lain-lain. Kita tak wajib menanti jawaban. Kita membuka saja buku kecil berjudul Merayakan Indonesia Raya (2016) diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku tak diperdagangkan. Kita tak mudah mendapatkan atau meminjam. Di buku kecil, kita simak tulisan pendek Gunawan Wiradi berisi keluhan: “Setiap kali ada upacara resmi, kita semua menyanyikan lagu kebangsaan. Ini dulu! Lama-lama, tidak semua upacara resmi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan, bahkan upacara yang bersifat kenegaraan pun pernah ada (atau mungkin banyak?) yang tak lagi dibuka dengan menyanyikan lagu tersebut. Mungkin maksudnya menghemat waktu.” Pada abad XXI, kita masih bermasalah dengan lagu-lagu kebangsaan, nasional, atau perjuangan. Kita juga agak bingung dengan daftar lagu lama dan lagu-lagu baru untuk menjadikan Indonesia terdengar bergelimang pesan. Lagu-lagu lama biasa dibawakan ulang saat orang-orang menginginkan ada lagu-lagu baru tetap bercerita Indonesia. Kita boleh menunggu pemerintah, universitas, partai politik, atau pelbagai institusi mengadakan lomba penulisan esai atau buku mengenai lagu-lagu kebangsaan, perjuangan, dan nasional. Lomba untuk mengetahui sejarah dan perkembangan, persepsi publik, estetika, dampak politik, dan lain-lain. Esai dan buku mengenai Lagu Indonesia Raya sudah sering terbit tapi lagu-lagu lain belum mendapat pengamatan serius. Penerbitan tulisan-tulisan menandakan ada dokumentasi dan kemauan mengurusi lagu-lagu. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Susu dan Jawaban

    SEORANG bapak membuat pengumuman, bukan iklan komersial. Ia mengunggah masalah dan pengharapan di media sosial. Darurat. Situasi di rumah makin tak keruan. Anak memerlukan susu. Duit tak mencukupi. Utang pun menumpuk. Pengumuman mungkin memunculkan kebaikan. Pengunggah pengumuman tinggal di Solo. Kutipan dalam pengumuman: “Mohon maaf, saya tidak jualan. Saya hanya mencari barteran. Sekiranya ada yang berminat dengan sepatu kulit merk Draxvil ukuran 41, saya minta dibarter dengan susu Dancow 1+ (satu plus) kemasan 1 kg.” Di rumah, si anak berusia 2,3 tahun memerlukan susu. Bapak dan ibu berpikiran bisa mendapat susu melalui barter. Sepatu diajukan ke publik. Susu untuk anak ditunggu. Penjawab unggahan itu Kapolresta Surakarta. Susu seperti permintaan dibawakan ke rumah oleh para anak buah. Warga juga menjadi penjawab (Tribun Jateng, 2 Agustus 2021). Kebutuhan susu terpenuhi. Sepatu tak perlu dibarter lagi. Terima kasih disampaikan. Di rumah, sepatu tetap ada dan susu pun tersedia. Anak-anak di Indonesia memerlukan susu. Para orangatua dibujuk membeli susu setelah nasihat dan pameran iklan. Kita mundur ke masa lalu. Majalah-majalah sering memuat iklan susu. Di televisi, iklan susu tak pernah berhenti. Masa demi masa, iklan-iklan susu mencipta “pengetahuan” dan ketagihan. Susu “terlalu” penting. Orangtua membeli susu berdalih kesehatan, pertumbuhan, kecerdasan, dan lain-lain. Anak-anak minum susu diharapkan sesuai iklan-iklan. Kita melihat lagi iklan-iklan lama. Iklan susu Dancow tampil majalah Bobo edisi 4 November 1999. Iklan sehalaman, berwarna. Iklan memikat anak dengan sajian gambar: pohon, kupu-kupu, burung, dan lainn-lain. Kabar gembira disampaikan: “Halo, Pit! Tau nggak, ada apa di balik kemasan Nestle Dancow 800 gram?” Pit itu burung pipit menjawab: “Ada dongeng untuk aku dan kau. Gratis.” Jawaban menggoda anak suka susu, berharap mendapat dongeng. Dancow itu susu berhadiah dongeng. Anak mau minum susu. Bapak dan ibu membelikan susu. Anak mungkin tak berpikiran harga. Iklan telah tebar pesona. Anak tak menggubris bila iklan tak menampilkan sosok manusia minum susu. Anak jeli mungkin berpikiran: “Para binatang minum susu?” Iklan memang menampilkan binatang-binatang tapi tanpa adegan minum susu. Di bagian bawah, kita melihat kardus-kardus susu Dancow. Di sampung kardus-kardus, terlihat buku dongeng terbuka. Buku mau dibaca. Anak mau buku mesti minum susu dibelikan bapak dan ibu. Kehadiran iklan di Bobo mengesankan anak-anak minum susu bakal cerdas, ceria, dan suka membaca buku. Iklan itu hadir bersama sekian iklan makanan, minuman, pasta gigi, dan lain-lain. Susu termasuk disukai anak-anak. Penggarapan iklan diperhitungkan bisa membuat anak memberi perhatian. Anak bisa berimajinasi dan mengartikan. Iklan-iklan bagus membuat ketagihan. Penasaran. Susu itu diinginkan gara-gara iklan dan hadiah. Kita mengandaikan kebutuhan minum susu dan harga susu setelah peristiwa 1998. Ingatan publik untuk makanan pokok, susu, dan sekian kebutuhan berurusan harga mahal. Indonesia sedang krisis. Orang-orang tetap harus makan dan minum. Susu menjadi tema besar. Kehadiran iklan-iklan susu justru memberi sejenis kabar gembira untuk anak-anak. Sikap dan tanggapan orangtua mungkin berbeda bila berhadapan iklan susu dan harga. Iklan atau pengumuman dua halaman kita temukan dalam Bobo edisi 11 November 1999. Iklan bernuansa warna kuning. Kotak kardus Dancow memang berwarna kuning. Pengumuman makin menggembirakan untuk anak-anak. Tulisan besar di bagian atas: “Lomba Gambar Dongeng Jumbo”. Susu untuk diminum. Perusahaan susu juga bertugas menggembirakan anak-anak. Lomba-lomba dan hadiah teridamkan anak-anak. Kita lanjut membaca: “Lomba ini terbuka untuk seluruh sekolah tingkat SD di Jakarta, Bogor, dan Tangerang, untuk murid usia 10-12 tahun (kelas 4-6).” Susu berkaitan dengan sekolah. Kita makin mengerti susu terimajinasikan kecerdasan. Di sekolah, anak minum susu membuat iri anak-anak tak pernah atau jarang minum susu. Keluarga-keluarga miskin susah mengadakan susu di rumah. Anak-anak minum susu tapi jarang. Pada masa lalu, susu menjelaskan derajat sosial dan impian keluarga. Hadiah-hadiah bagi para pemenang dalam lomba: duit, alat menggambar, bingkisan, dan sertifikat. Pihak sekolah mendapat komputer, ensiklopedia, peralatan pengetahuan, dan televisi. Susu ingin menggembirakan pelbagai pihak. Lomba diadakan oleh Nestle Dancow sambil memberi pesan: “O ya, teman-teman, jangan lupa minum Nestle Dancow tiap hari.” Kita mengandaikan pengumuman itu menghebohkan. Anak-anak mau ikut lomba. Pihak sekolah membuat seleksi, berharapan nama sekolah bakal harum bila ada murid meraih kemenangan. Semua gara-gara susu. Orang tergoda memikirkan susu membuka saja buku berjudul Real Food (2007) garapan Nina Planck. Kita membaca: “Lebih dari ribuan tahun lalu, manusia menggembala, menernakkan, dan memerah susu berbagai macam hewan mamalia. Di Timur Dekat, nenek moyang kita menjinakkan domba dan kambing sekitar sebelas ribu tahun lalu. Arkeolog menduga susu, bukan daging, adalah alasan awal memelihara hewan.” Sejarah terlalu jauh, tak tercatat berlangsung di Indonesia. Sejarah manusia minum susu kadang membahagiakan. Pada abad XX, bermunculah para kritikus susu. Kita simak catatan Nina Planck menanggapi para kritikus susu memiliki tiga tuduhan besar: “Mereka mengatakan bahwa memerah susu tidak manusiawi bagi sapi. Petenakan sapi perah mengotori lingkungan. Susu tidak sehat.” Perdebatan bertema susu berlangsung di pelbagai negeri tapi perusahaan-perusahaan terus mengadakan susu-susu dalam beragam bentuk dan kemasan. Anak-anak dan kaum dewasa dibujuk rutin minum susu demi “ini” dan “itu”. Pengetahuan bahwa susu berasal dari sapi tampil dalam majalah Bobo, 18 Oktober 2001. Dua halaman mengajak anak berpikir dan bermain. Dancow memberi ajakan: “Mencari bagian dari gambar.” Pembaca melihat 3 sapi dan pemerah susu. Ada bocah membawa dua wadah hasil perasan susu sapi. Di sekitar mereka, hewan-hewan bergembira: burung, ayam, dan katak. Ajakan agar bocah-bocah memenangkan permainan: “Di bawah ini ada 3 buah potongan gambar. Potongan-potongan ini merupakan bagian dari gambar utuh yang ada di sampingnya. Nah, dapatkah kamu menunjukkan dengan tepat bagian mana sajakah itu?” Susu memang minuman tapi anak-anak sebagai konsumen digoda buku, permainan, dan hadiah. Ingatan dari masa lalu itu menggembirakan. Pada masa wabah belum berlalu, susu untuk anak adalah masalah. Si bapak beruntung mendapat jawaban agar anak tetap bisa minum susu. Sepatu tetap berada di rumah. Anak memiliki persediaan susu. Pada hari berbeda, Wali Kota Surakarta menjadikan si bapak itu bagian dari linmas di kelurahan. Jawaban telah bertambah. Begitu.

  • Tangkis dan Tangis

    Puisi telanjur ditulis, diterbitkan, dan dibaca. Ralat tak mungkin. Puisi itu berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku” digubah Taufiq Ismail. Pada masa 1970-an, Indonesia sedang membangun cap nasional. Soeharto ingin Indonesia maju. Indonesia wajib baru. Segala hal berubah dan dimunculkan demi Indonesia berbeda dari masa lalu. Taufiq Ismail pun menggubah puisi meski tak lagi terlalu politis seperti puisi-puisi berlatar 1960-an. Pembaca disuguhi puisi berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku” diajak mengerti Indonesia sedang “diminta”. Puisi digubah pada 1971. Taufiq Ismail menulis: Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam/ dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa. Ia tak salah tulisan meski kita menginginkan jenis olahraga berbeda. Indonesia moncer dengan bulu tangkis, bukan pingpong. Bukti tak bisa mengubah dua larik buatan Taufiq Ismail menjadi: Hari depan Indonesia adalah pertandingan bulu tangkis siang malam… Kita tak bisa mengganti “telur angsa” dengan “bulu angsa”. Bola-kok bulu tangkis memang mengingatkan angsa tapi bukan telur. Kita lanjutkan: Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam/ dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt. Ia tetap saja menulis pingpong, bukan bulu tangkis. Di Indonesia, ribuan atau jutaan orang bisa bermain bulu tangkis. Jutaan orang suka menonton pertandingan bulu tangkis. Taufiq Ismail mungkin khilaf atau memang belum berurusan dengan bulu tangkis. Puisi tak bisa diralat. Dulu, para pembaca dan penggemar lupa tak memesan selusin puisi mengenai bulu tangkis. Pada masa berbeda, kita agak lega mendapatkan puisi berjudul “Bulutangkis” gubahan Herry Gendut Janarto. Puisi dimuat dalam Gado-Gado Kredo: 101 Puisi Humor (2016). Puisi pendek bukan cuma untuk makin memoncerkan bulu tangkis tapi memberi sedikit kocak dan tragis. Puisi mungkin jarang terbaca oleh umat sastra di Indonesia: Kita pernah berjaya raya/ Ah, kini bagai hamba sahaya/ Lebih sering kalah tanding apa daya/ Cuma sesekali bercahaya/ Bagi bangsa ini berbahaya/ Bisa-bisa bulutangkis jadi bulutangis. Pengamatan atas nasib Indonesia. Pengertian tentang bulu tangkis pernah menempatkan Indonesia sebagai negara “ditakuti” di mata negara-negara lain. Sekian penghargaan sudah pernah diperoleh dalam pertandingan di pelbagai negara. Pada suatu masa, para pemain Indonesia sering kalah. Publik kecewa setelah rajin berdoa dan berteriak demi menang. Impian publik sepanjang masa adalah lagu Indonesia Raya diperdengarkan dan bendera putih berkibar sebagai bukti Indonesia meraih kemenangan. Olimpiade menjadi peristiwa penting. Bulu tangkis selalu diinginkan bisa menjadi olahraga unggulan meraih medali emas, tak cukup perak atau perunggu. Impian tertinggi itu emas. Di situ, pemenang tampak menangis terharu. Penonton pertandingan pun terharu dan bangga. Bulu tangkis memang menghasilkan tangis bagi pemain meraih menang atau dirundung sesalan setelah kalah. Olimpiade menjadi peristiwa penting. Bulu tangkis selalu diinginkan bisa menjadi olahraga unggulan meraih medali emas, tak cukup perak atau perunggu. Impian tertinggi itu emas. Editorial di Jawa Pos, 28 Juli 2021, dijuduli “Menunggu Indonesia Raya Berkumandang di Tokyo.” Pengharapan medali emas dari bulu tangkis. Indonesia ingin tradisi emas di bulu tangkis. Kita membaca di Jawa Pos, pengharapan besar: “Di Tokyo kali ini, bulu tangkis kembali diharapkan meneruskan tradisi itu. Meski, perjalanan sangat terjal. Tapi, dengan doa dari rakyat Indonesia dan semangat atlet di lapangan, semua tidak ada yang tak mungkin.” Bulu tangkis itu emas. Kita menantikan tangis gara-gara menang, bukan kalah. Pada masa lalu, bulu tangkis memang menjadi pikat. Kita mengingat novel berjudul Opera Bulu Tangkis 1995 (1985) gubahan Titi Nginung. Novel tak semoncer Canting. Novel itu ditulis oleh pengarang sama: Arswendo Atmowiloto. Pada garapan sekian novel atau tulisan, Arswendo Atmowiloto memang mencantumkan nama Titi Nginung. Novel dipublikasikan 1985 tapi bercerita 1995, dimaksukan tahun saat Indonesia berusia setengah abad. Bulu tangkis menjadi kehormatan tapi memungkinkan terjadi skandal dan sumber aib. Novel mengandung lucu dan ironi. Pengarang sudah berpikiran teknologis dalam pertandingan bulu tangkis akhir abad XX. Kita membaca imajinasi ingin terwujud: “Tidak percuma nama besar Pangeran Khirom yang harum, ketika berniat membangun sebuah gedung bulu tangkis termegah di dunia. Lapangan utama dibangun dengan sistem mutakhir. Sehingga tidak lagi memerlukan penjaga garis ataupun net berupa jaring. Semuanya cukup dilakukan dengan pengendalian sinar yang diatur dengan sebuah komputer kecil.” Pada masa 1980-an, pengarang “membual” terlalu jauh. Kini, kita mengerti olah raga memerlukan teknologi mutakhir meski bulu tangkis masih memberi pemandangan net dan para penjaga garis tetap berada di lapangan. Bulu tangkis dalam jeratan teknologi, gengsi negara, permainan politik, bisnis, nasionalisme, dan lain-lain. Penjudulan dengan diksi “opera” memungkinkan pembaca merasa melihat atau menikmati “pertunjukan” mendebarkan. Tokoh dalam novel bernama Bajang Kirek, bermain dalam “opera” mengejutkan penuh siasat, sanggahan, penghindaran, atau mufakat. Ia berada dalam situasi sulit tenang selama bertanding atau meladeni beragam hal. Bajang Kirek mendapat godaan menang-kalah dengan cara disuap, diteror, dan disandiwarakan. Godaan demi godaan ditanggapi memicu permusuhan dan kecamuk. Di akhir cerita, Bajang Kirek adalah pemenang. Ia melampaui menang dalam bulu tangkis. Kita simak Bajang Kirek berpidato di panggung kehormatan diawali mendengarkan lagu Indonesia Raya. Ia bicara agak kikuk: “Ini panggung kehormatan untuk saya. Saya pantas menerima, seperti juga siapa pun. Ini panggung saya karena saya pemain bulu tangkis. Saya tidak pernah berpikir mempunyai peranan besar dalam bidang lain. Bapak-bapak, ibu-ibu, para tokoh ulama dan cerdik pandai menerjemahkan apa yang saya lakukan menjadi bermakna. Kebetulan simbol-simbol itu dari saya, yang begitu gampang ditangkap karena saya disorot. Sebenarnya apa yang saya miliki hanyalah kejujuran. Itu yang membuat saya selamat sampai sekarang.” Bulu tangkis memerlukan pidato, selain tangis kemenangan dan kehormatan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Rumah: Telat dan Gegabah

    PRESIDEN Joko Widodo meminta anak-anak betah di rumah. Betah tapi tetap memiliki capaian-capaian. Kita mengutip pidato dalam peringatan Hari Anak Nasional dimuat di Media Indonesia, 24 Juli 2021: “Selama pandemi, saya tahu anak-anak menjadi sering di rumah. Tidak pergi ke sekolah. Saya titip, anak-anak harus tetap belajar. Tetap belajar meskipun tidak di sekolah.” Pesan melulu pendidikan, belum hiburan atau hal-hal membahagiakan. Si bocah murung berceloteh sudah lelah di rumah. Ia mau bermain dan bertualang di luar rumah ketimbang dikutuk pelajaran-pelajaran. Ibu ingin tabah, memilih selalu di rumah dengan segala doa dan kesanggupan menumpas kecewa. Bapak perlahan menjadi manusia-rumahan meski menanggungkan bosan tak berkesudahan. Mereka berada dalam rumah. Mereka mustahil memarahi rumah. Konon, keselamatan terperoleh bila di rumah. Mereka mungkin sulit menata kata memuji rumah. Pengalaman di rumah serba-benar dan serba-salah. Dilematis! Wabah memiliki “jawaban” rumah. “Jawaban” kadang mengandung duka dan sesalan. Rumah keselamatan pun terbahasakan secara formal ketimbang puitis melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Rumah, diksi rumit selama wabah, berlangsung sudah setahunan. Rumah dimaknai secara kolosal dengan tatapan negara dan dalih-dalih nasib dunia. Orang-orang berada di rumah, berharap mengungkap, mencipta, menetapkan, atau mengulang makna. Rumah masih saja tempat hunian, selain sekian makna bakal awet atau pudar. Kita menghindari lupa rumah dengan membaca puisi berjudul “Berkenalan dengan Rumah” gubahan Joko Pinurbo (2021). Puisi ditulis saat wabah membuat rumah-rumah terlalu penting. Larik-larik pembuka: Ada baiknya kamu diisolasi di rumah supaya bisa/ berkenalan kembali dengan rumah, supaya bisa/ mendengarkan apa yang dikatakan pintu, jendela,/ kursi, tempat tidur, kamar mandi, toilet yang selama/ ini hanya kamu perlakukan sebagai alat. Bait bijak dari lelaki sering menulis puisi-puisi kocak dan romantis. Ia memang mengerti wabah telah menetapkan manusia sebagai pemberi makna rumah berbeda dari hari-hari terdahulu. Pada saat menanggungkan derita selama wabah, orang-orang memerlukan kalimat bijak meski klise atau repetitif. Ikhtiar untuk masih mengerti keluhuran, ketabahan, keselamatan, dan kebahagiaan. Kita dibujuk berkenalan lagi dengan rumah. Berkenalan melalui tatapan, bahasa, dan sentuhan. Manusia sadar bertakdir rumah. Pada saat menanggungkan derita selama wabah, orang-orang memerlukan kalimat bijak meski klise atau repetitif. Ikhtiar untuk masih mengerti keluhuran, ketabahan, keselamatan, dan kebahagiaan. Kita dibujuk berkenalan lagi dengan rumah. Berkenalan melalui tatapan, bahasa, dan sentuhan. Manusia sadar bertakdir rumah. Joko Pinurbo menulis rumah, setelah kita membaca seri puisi rumah telah digubah sejak awal abad XX. Rumah terlalu tema puitis, terimajinasikan dan terdokumentasikan dalam gubahan sastra beragam bahasa. Di Indonesia, rumah-rumah dituliskan sejak ratusan tahun lalu, memunculkan puisi-puisi belum mau fana gubahan Chairil Anwar, Rukiah, Rendra, Subagio Sastrowardojo, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Hartojo Andangdjaja, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Iman Budhi Santosa, Wiji Thukul, dan lain-lain. Pada abad XXI, rumah belum rampung ditulis dalam ribuan puisi. Wabah memungkinkan penulisan rumah memiliki “perbedaan” dan “kemendalaman” mengacu pengalaman setahunan dianjurkan melulu berada di rumah. Keinsafan berumah: Sekarang, bila hendak bepergian, ada baiknya kamu/ pamit kepada rumah: “Aku pergi dulu menjemput/ rezeki ya, mah.” Dan bila pulang, menyapalah, “Kamu/ sehat-sehat saja kan, mah?” Rumah pasti bungah. Pelajaran sederhana dalam percakapan manusia dan rumah. Joko Pinurbo tak berlebihan. Petunjuk wajar merampungi asburditas sering tercipta oleh kegagalan selaras antara manusia dan rumah. Pembiasaan diri dan rumah, setiap hari. Kita memang gampang meremehkan, sulit rutin akrab “bersama” rumah. Pada masa wabah, kita bersalah terhadap rumah. Kita menilik rumah pada masa 1950-an, Rukiah menggubah puisi berjudul “Sebagian Pertemuan”. Ikhtiar mengerti diri dan rumah. Kita membaca: Suara ketjil dari sudut kamar gelap/ kedengaran dalam bisikan mengap-mengap:/ “Aku mau lepas dari rahasia/ bungkusan dunia!”// Aku pergi/ tapi tampak pula di tengah sebuah rumah/ jang terang benderang./ Berteriak orang mabuk berkeliling/ dengan suara gila meriah:/ “Ini kelezatan dunia/ bukan impian/ tapi untuk makanan hidupmu semata.” Rumah menjadi ruang untuk berbeda, bersaing, dan bertengkar demi kebenaran, kebahagiaan, kemenangan, atau kekuasaan. Rukiah menulis rumah terlalu menegangkan. Kita mengingat rumah-rumah masa 1950-an memang bergejolak akibat ideologi dan pertikaian sosial-kultural. Indonesia sedang bergerak dengan revolusi, setelah rumah-rumah hancur akibat perang dan rumah-rumah tersisa dalam kondisi tak keruan. Rumah-rumah baru masih impian dengan ketenangan, kehangatan, dan kebersamaan. Rumah jelek atau di bawah sederhana bisa dijuluki gubuk. Pada masa lalu, Indonesia terceritakan melalui gubuk. Kita mengetahui dengan membaca puisi berjudul “Gubuk Bobrok” gubahan Hartojo Andangdjaja (1949). Kita berada di situasi rumit saat Indonesia mau tegak tapi sengketa sulit reda. Kita simak sambil mengenangkan masa lalu: Gubuk pintjang tjondong/ dinding-dinding bolong-bolong/ sepoi menganga melenggang kosong/ tempat rakjat hidup melarat/ tidak punja apa-apa.// Sepoi menganga. Sepi gubuk. Sepi segala.// Hidup tampak merangkak di larut-larut hari tua/ lelah lesu beringsut di pekat kabut malam buta/ tiada tjahaja. Langit redup. Bumi tua./ Sekeliling kering dalam dahaga. Rumah bercerita manusia-manusia menderita. Rumah bakal rubuh atau memberi siksaan. Manusia tak mungkin terlalu memaknai rumah demi bahagia dan memilih hidup. Kita mengingat sengsara berjudul kemelaratan di Indonesia. Gubuk mengabarkan “wabah” miskin belum punah di Indonesia. Masa lalu itu memiliki rumah-rumah belum membahagiakan. Pada masa berbeda, kita masih berurusan rumah. Pengisahan dengan rasa Jawa diberikan Darmanto Jatman melalui puisi berjudul “Rumah”. Kita mengidamkan rumah pantas dan “lengkap” dibandingkan rumah-rumah diceritakan Rukiah atau Hartojo Andangdjaja. Rumah bagi keluarga Jawa dalam kemapanan. Darmanto Jatman menulis: Di kiri dan di kanan rumah ada pekarangan/ Di mana biasa orang menanam empon-empon/ Jahe untuk menghangatkan tubuh kalau sedang selesma/ Kencur untuk ngompres kalau kita babak belur/ Kunir supaya anak yang dikandung nanti kunin lencir/ Lha di pojok pekarangan ada sumur/ Perlu untuk membersihkan kaki kita sebelum masuk rumah. Imajinasi tumah itu membuat orang betah bila mengikuti anjuran pemerintah agar selalu di rumah. Sekian peristiwa masih mungkin dilakukan sambil meredakan pikiran dan perasaan dari wabah telah mengacaukan hidup. Kita cemburu saja dengan rumah dalam puisi. Rumah pun untuk masalah batin. Darmanto Jatman mengingatkan rumah dengan religiositas: Menjaga kita dari segala malapetaka/ Di sinilah kita samadi, merukunkan diri dengan Allah/ Membebaskan diri dari keterikatan duniawi/ Lega, lila, legawa/ Menerima nasib kita. Sekian hari, kita di rumah ingin menenangkan batin sambil kedatangan berita-berita duka dan menakutkan. Rumah untuk selamat sulit terhindar dari perasaan-perasaan tak keruan. Puisi gubahah Darmanto Jatman itu teridamkan pada masa sekarang saat seribu masalah menimpa tapi diminta sabar, sabar, dan sabar. Kita menempatkan diri sebagai pihak menilai dan memaknai rumah. Wabah telah membuat Joko Pinurbo prihatin atas keangkuhan kita. Ia sodorkan pendapat berkebalikan: Kamu sering bicara tentang betah atau tidak betah/ di rumah. Pernahkah kamu berpikir apakah rumah/ betah tinggal bersamamu. Tanyakanlah. Kita dibuat malu dan bersalah. Percakapan kita dengan rumah belum sampai akrab atau terjalin dalam selaras. Kita sedang menanggungkan wabah tapi telat dan gegabah mengartikan rumah. Puisi-puisi itu ingatan imajinatif bagi orang-orang betah dalam rumah, betah menghormati rumah, dan betah menerima “perintah” sampai wabah punah. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

bottom of page