Setelah Tulisan: Cetakan dan Digital
MISI tak seramai politik, bisnis, dan hiburan itu masih bergerak tapi lambat. Misi ingin mengikuti arus besar digital. Kita jarang turut memikirkan atau mengabarkan misi digitalisasi aksara Nusantara. Tahun demi tahun, kita terbiasa dengan aksara Latin, sulit berpaling untuk ikut sibuk memikirkan nasib aksara-aksara masih (mungkin) hidup di Indonesia.
Di Kompas, 8 September 2021, terbaca: “Proses digitalisasi tidak hanya untuk mengarsipkan aksara, tetapi juga untuk diaplikasikan di gawai dan menjadi nama domain internet. Namun, hingga sekarang, digitalisasi aksara terkendala karena penggunanya masih terbatas.” Misi mungkin besar. Kita adalah ahli waris aksara-aksara Nusantara tapi memilih mengarungi abad XXI dengan aksara Latin. Di keseharian, kita selalu beraksara Latin. Kita mengetahui ada sekian aksara Nusantara masih tampak mata digunakan di buku atau papan. Melihat dengan keasingan dan kebingungan. Aksara itu sulit terbaca, terpandangi saja.
Sekian aksara tak terbaca tapi terlihat molek. Aksara-aksara jarang diamati, setelah terbiasa dengan aksara Latin. Sejak di SD, kita memang berpengetahuan dan mengalami beragam lakon hidup bersama aksara Latin. Di Jawa, pengajaran aksara Jawa tetap diselenggarakan tapi berpengaruh kecil. Murid-murid di sekolah agama juga mendapatkan pengajaran menggunakan aksara Arab meski cenderung berkaitan iman saja. Jeda dengan melihat aksara-aksara di Nusantara mula-mula memberi pukau, berlanjut penasaran tanpa pengisahan dan malu tak mampu membaca.
Jeda dengan melihat aksara-aksara di Nusantara mula-mula memberi pukau, berlanjut penasaran tanpa pengisahan dan malu tak mampu membaca.
Misi digitalisasi aksara-aksara Nusantara ingin melanggengkan aksara Jawa, Lampung, Incung, Pegon, Kawi, Bima, Ende, dan Satera Jontal. Sekian aksara pun diusahakan dengan kerumitan proses dan pengakuan: Bolaang, Sangir, Gayo, Malesung, dan Minang. Kita mengetahui nama-nama aksara itu tetap asing saat hari-hari bergawai dan apa-apa teranjurkan digital. Publik menunduk bila misi itu berdalih pelestarian aksara. Sejak puluhan tahun lalu, kita susah mengerti atas keseringan penggunaan istilah “pelestarian” biasa disampaikan pejabat, intelektual, dan seniman.
Konon, Indonesia terus kehilangan aksara-aksara pernah digunakan sejak ratusan tahun silam. Kepunahan akibat tiada pengguna atau dokumentasi. Aksara-aksara sulit terpilih bagi orang-orang mulai menapaki “kemadjoean” sejak awal abad XX. Sekolah, pers, penerbitan buku, dan pergerakan politik condong berpihak aksara Latin dalam sebaran pesan-pesan. Sejarah baru terbentuk dan bergerak dengan aksara dipengaruhi dari peradaban Barat. Tahun-tahun kesedihan dan kesepian dialami oleh aksara-aksara Nusantara.
Perkara aksara Nusantara masih minta dipikirkan (agak) serius. Berita dimuat di Kompas, 10 September 2021: “Menurut Chief Registry Officer Pengelola Nama Domain Internet (Pandi) M Shidiq Purnama, aksara Nusantara perlu dibumikan untuk digunakan sehari-hari. Beberapa daerah telah melakukannya dengan mengajarkan bahasa daerah dan aksara di kelas, seperti di Jawa dan Bali.” Kalimat itu sulit dimengerti. Kita merasa mendengar petuah bijak tapi salah waktu dan salah tempat. Penggunaan aksara-aksara Nusantara dalam keseharian itu “mustahil”. Orang-orang bakal bertambah repot bila berdalih pelestarian aksara tapi terlalu sulit diselaraskan dengan hari-hari “dikuasai” aksara Latin.
Kita mengikuti saja berita-berita baik, mengurangi ragu dan malu. Berita menggembirakan masih terus diusahakan dengan kemauan besar dan keterbatasan: “Hingga kini, ada tiga aksara yang sedang didaftarkan ke BSN (Badan Standarisasi Nasional) sampai dengan akhir September 2021, yakni aksara Jawa, Bali, dan Sunda Kuno. Pembahasan aksara tersebut untuk memperoleh SNI (Standar Nasional Indonesia) akan dilaksanakan pada Oktober 2021.” Misi masih bergerak. Digitalisasi aksara-aksara Nusantara belum berhenti atau macet.
Pada masa Orde Baru, ada usaha mengenalkan aksara-aksara di Nusantara, belum berpikiran digitalisasi. Buku serial diterbitkan oleh Yayasan Harapan Kita. Jilid 9 berjudul Aksara. Penerbit itu memiliki daftar orang penting di Indonesia. Buku berbobot politis! Ketua YHI adalah Soeharto. Ketua tim dalam pembuatan buku bernama Harmoko. Ketua pelaksana adalah Abdul Gafur. Nama-nama penting dalam rezim Orde Baru tercantum bersama para seniman dan intelektual. Semua di situ turut mengurusi aksara-aksara di Nusantara dengan titip nama, duit, atau pengaruh. Di buku, Soeharto berpesan: “Kepada para penyayang buku seri penerbitan ini, saya ucapkan selamat menyelami kandungan isinya.”
Buku cukup penting bagi orang-orang ingin memikirkan nasib aksara-aksara di Nusantara sambil menunggu keberhasilan digitalisasi. Kita membaca keterangan dalam buku: “Sebagaimana proses akulturasi yang sangat khas di wilayah Nusantara ini, penggunaan bahasa dan aksara tak bisa dipisahkan dengan tegas secara periodik. Sering kali sebuah naskah memakai dua jenis aksara secara bersamaan atau juga sebaliknya.” Keragaman aksara di Nusantara dipengaruhi juga oleh peradaban bangsa-bangsa asing. Penggunaan aksara dalam politik, agama, sastra, atau perniagaan memungkinkan ada arus sejarah “tertulis”, teringat meski tak mudah terbaca.
Tahun-tahun berlalu, lakon kolonialisme menentukan pilihan penggunaan aksara. Orang-orang di tanah jajahan mengalami bujukan dan bermufakat untuk aksara Latin ketimbang aksara-aksara pernah bertumbuh di Nusantara. Pilihan itu menguat sejak awal abad XX. Penjelasan umum: “Dalam proses kolonialisasi yang terjadi secara luas di berbagai daerah di wilayah Nusantara, lambat laun aksara Latin menjadi makin populer dan menjadi pilihan untuk berkomunikasi secara tertulis. sehingga aksara Latin-lah yang kemudian diterima dijadikan aksara nasional.” Sejarah Indonesia memang memiliki dokumen-dokumen cetak menggunakan aksara Latin, meski edisi-edisi silam juga mengingatkan aksara-aksara Nusantara tampak di batu, lontar, dan kertas.
Sejarah bergerak itu memunculkan anggapan keaksaraan haruslah aksara Latin. Pada masa kekuasaan Soekarno, misi besar dalam Pemberantasan Buta Huruf adalah aksara Latin. Pada masa Orde Baru, kebijakan “kejar paket” oleh Depdikbud juga berurusan aksara Latin.
Sejarah bergerak itu memunculkan anggapan keaksaraan haruslah aksara Latin. Pada masa kekuasaan Soekarno, misi besar dalam Pemberantasan Buta Huruf adalah aksara Latin. Pada masa Orde Baru, kebijakan “kejar paket” oleh Depdikbud juga berurusan aksara Latin.
Pada masa hidup termanjakan dengan teknologi baca-tulis, perkara-perkara aksara makin tak terurus bila berkaitan “pelestarian”. Kesibukan dan kesenangan baru termiliki dengan aksara Latin. Situasi itu juga bermasalah dalam pemahaman kelisanan dan keaksaraan. Kita selalu sulit dengan kesengganggan untuk memikirkan aksara-aksara Nusantara.
Berpikiran serius berbekal buku Walter J Ong berjudul Kelisanan dan Keaksaraan (2013) saja jarang terwujudkan. Kita mungkin termangu dulu sebelum mau berpikiran jauh. Kalimat dari Ong anggaplah serius: “Keaksaraan dimulai dengan tulisan, tetapi pada tahap selanjutnya juga melibatkan cetakan.” Kini, kita memberi susulan kata: digitalisasi. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Commentaires