Duh, Matematika!
DUA bocah diminta mempelajari matematika di rumah. Mereka tetap murid tapi berada di rumah. Setiap pemberian pelajaran diberikan guru-guru, mereka duduk dengan gawai untuk masih resmi diakui “belajar”. Di gawai, guru menerangkan, murid berusaha memperhatikan. Tugas demi tugas berdatangan dalam sekian wujud. Di rumah, dua bocah itu mengerjakan dengan bingung, jengkel, dan takut.
Pelajaran ruwet adalah matematika. Dua bocah sebagai murid SD dan SMP itu sulit mengikuti pelajaran matematika bergawai. Tugas-tugas matematika sering mendapat nilai rendah. Ganjaran adalah kecewa dan malu. Matematika jarang menjadikan hari-hari mereka terasa indah. Masalah-masalah bermunculan saat mengikuti pelajaran dan mengerjakan tugas-tugas selama di rumah. Mereka mungkin perlahan “takut” matematika. Kita sulit menduga saat mereka dewasa bakal “bertobat” belajar matematika atau menggandrungi setelah mengetahui khasiat-khasiat matematika.
Dua bocah itu berbeda dengan Andry Wijaya (22 tahun). Di Media Indonesia, 26 Agustus 2021, ia ditampilkan sebagai orang sibuk bermatematika. Ia memberi jawaban atas sangkaan para murid di Indonesia bahwa pelajaran matematika itu menakutkan. Kita simak: “Saya tidak tahu juga, kenapa saya merasa matematika itu memang lebih mudah dibandingkan mata pelajaran lain.” Ia mengaku suka matematika saat menjadi murid SMA, bukan sejak dari SD. Ia menduga kesukaan dengan matematika gara-gara “bisa membaca pola.” Pengakuan itu belum tentu berkaitan ia berkacamata. Di Indonesia, murid atau mahasiswa mengenakan kacamata sering dianggap pintar. Kita sulit memastikan hubungan matematika dan kacamata.
Mahasiswa di Universitas Indonesia itu sering mengikuti lomba atau olimpiade matematika. Ia mengoleksi piala, medali, dan piagam sebagai ganjaran menekuni matematika. Pengalaman mendalam menghasilkan penerangan: “Selama orang belum paham keindahan dalam matematika, mungkin menjadi tidak menarik. Jadi, cobalah untuk mencari keindahan matematika. Yang sederhana saja, seperti fakta-fakta menarik matematika di media sosial atau kegunaannya apa.” Kalimat-kalimat ajakan cukup sederhana. Kita mudah mengerti tapi belum tentu mau menempuhi jalan menemukan keindahan bermatematika.
Dua bocah di desa pinggiran Solo perlu “meniru” cara belajar Andry Wijaya. Pilihan cara menentukan ketagihan atau trauma matematika. Pengakuan: “Saya tidak belajar setiap hari. Saya cenderung suka belajar sendiri alias autodidak. Di kelas itu bukannya tidak memperhatikan, tetapi saya sering tidak melihat ke depan. Saya melihat laptop dan buku, tapi saya tetap mendengarkan dan menyimak.” Ia memiliki cara belajar untuk memenuhi hasrat sebagai pemetik keindahan-keindahan matematika.
Matematika itu buku. Dulu, bocah-bocah di Indonesia digoda buku terjemahan agar melirik dan memeluk matematika. Buku itu berjudul Matematika Ria (1984) dari edisi bahasa Inggris dengan judul asli: Mathemagic. Buku bercerita matematika dan memuat gambar-gambar indah. Buku mengesahkan matematika indah. Bacaan bagi bocah tak ingin menderita dengan pelajaran matematika.
Kita mengutip pengisahan bilangan, belum rumus. Bocah melihat gambar dua burung. Di situ, terbaca kalimat-kalimat: “Dua adalah bilangan genap pertama, yakni bilangan yang dapat dipecah menjadi dua bilangan lebih kecil yang tepat sama… Pada zaman dahulu, baik orang Cina maupun orang Yunani, beranggapan bahwa bilangan genap dua, empat, enam, dan seterusnya adalah bilangan ‘anak perempuan’, sedangkan bilangan ganjil adalah bilangan ‘anak lelaki’. Orang Yunani kuno beranggapan bilangan dua mirip dengan orang yang tak dapat mengambil keputusan.” Pengisahan agak berat tapi membuat bocah penasaran.
Matematika perlahan terasakan indah bagi bocah-bocah membaca buku buatan para intelektual dari negeri jauh. Cerita dan gambar membikin matematika itu memikat. Halaman demi halaman terbaca, bocah terpukau dan berpikir serius tanpa mudah capek. Bergiranglah dengan matematika!
Bocah bertemu halaman memuat tulisan sejenis puisi berjudul “Selasa Lalu, Umurku Sepuluh” buatan K Starbird. Kita ikut membaca: Selasa lalu, umurku sepuluh/ Hatiku gembira luar biasa/ Namun aku agak terkejut jadinya/ Mengetahui umurku setengah dari dua puluh…. Meskipun anak berusia sepuluh tahun/ Masih muda dan kurang pengalaman/ Wah, dalam waktu sembilan puluh tahun saja/ Umurku menjadi seabd nantinya! Bocah membaca puisi. Bocah belajar penjumlahan. Buku itu membuat bocah mau menggandrungi matematika, memikat ketimbang buku pelajaran biasa digunakan di sekolah.
“Matematika bermula dari penemuan angka yang digunakan untuk menghitung,” kalimat termuat dalam buku berjudul Matematika (1985) susunan David Bergamini. Matematika menggerakkan peradaban. Kita dikenalkan dengan para tokoh matematika memiliki kekhasan: “Mereka membantu pengemudian pesawat angkasa, penyelidikan hakikat komunikasi, atau pengungkapan tabir rahasia ilmu genetika. Sebagai pribadi, para ahli matematika menampakkan suatu kesamaan. Biasanya, mereka produktif pada usia yang sangat muda, kadang kala pada usia belasan tahun.” Tokoh-tokoh pun dikenalkan tapi sering berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Selama ratusan tahun Indonesia sepi dari ketokohan matematika, sebelum para remaja atau mahasiswa awal abad XXI rajin mengikuti lomba dan olimpiade matematika taraf nasional atau internasional.
Kita membaca buku-buku biografi dan sejarah jarang menemukan bab matematika berlatar Indonesia abad XIX dan awal abad XX. Bab itu tak ditulis atau memang tak termiliki para tokoh saat ingin mengubah nasib di tanah jajahan. Buku-buku pelajaran mengarah matematika digunakan di sekolah-sekolah buatan pemerintah kolonial dan partikelir. Buku itu dipelajari tapi sulit menjadi penentu dalam pembesaran gagasan dalam arus sejarah Indonesia. Kita tentu tak abai dengan para tokoh pasti paham matematika: Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soekarno, dan lain-lain. Mereka mengalami babak-babak belajar matematika dan tergunakan dalam menulis, bekerja, dan berpolitik tapi belum menjadikan itu memukau ditilik dalam kesejarahan Indonesia. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments