Rumah: Telat dan Gegabah
top of page
Cari

Rumah: Telat dan Gegabah

PRESIDEN Joko Widodo meminta anak-anak betah di rumah. Betah tapi tetap memiliki capaian-capaian. Kita mengutip pidato dalam peringatan Hari Anak Nasional dimuat di Media Indonesia, 24 Juli 2021: “Selama pandemi, saya tahu anak-anak menjadi sering di rumah. Tidak pergi ke sekolah. Saya titip, anak-anak harus tetap belajar. Tetap belajar meskipun tidak di sekolah.” Pesan melulu pendidikan, belum hiburan atau hal-hal membahagiakan.


Si bocah murung berceloteh sudah lelah di rumah. Ia mau bermain dan bertualang di luar rumah ketimbang dikutuk pelajaran-pelajaran. Ibu ingin tabah, memilih selalu di rumah dengan segala doa dan kesanggupan menumpas kecewa. Bapak perlahan menjadi manusia-rumahan meski menanggungkan bosan tak berkesudahan. Mereka berada dalam rumah. Mereka mustahil memarahi rumah. Konon, keselamatan terperoleh bila di rumah. Mereka mungkin sulit menata kata memuji rumah. Pengalaman di rumah serba-benar dan serba-salah. Dilematis!


Foto: M. Wrona / Unsplash

Wabah memiliki “jawaban” rumah. “Jawaban” kadang mengandung duka dan sesalan. Rumah keselamatan pun terbahasakan secara formal ketimbang puitis melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Rumah, diksi rumit selama wabah, berlangsung sudah setahunan. Rumah dimaknai secara kolosal dengan tatapan negara dan dalih-dalih nasib dunia. Orang-orang berada di rumah, berharap mengungkap, mencipta, menetapkan, atau mengulang makna. Rumah masih saja tempat hunian, selain sekian makna bakal awet atau pudar.


Kita menghindari lupa rumah dengan membaca puisi berjudul “Berkenalan dengan Rumah” gubahan Joko Pinurbo (2021). Puisi ditulis saat wabah membuat rumah-rumah terlalu penting. Larik-larik pembuka: Ada baiknya kamu diisolasi di rumah supaya bisa/ berkenalan kembali dengan rumah, supaya bisa/ mendengarkan apa yang dikatakan pintu, jendela,/ kursi, tempat tidur, kamar mandi, toilet yang selama/ ini hanya kamu perlakukan sebagai alat. Bait bijak dari lelaki sering menulis puisi-puisi kocak dan romantis. Ia memang mengerti wabah telah menetapkan manusia sebagai pemberi makna rumah berbeda dari hari-hari terdahulu. Pada saat menanggungkan derita selama wabah, orang-orang memerlukan kalimat bijak meski klise atau repetitif. Ikhtiar untuk masih mengerti keluhuran, ketabahan, keselamatan, dan kebahagiaan. Kita dibujuk berkenalan lagi dengan rumah. Berkenalan melalui tatapan, bahasa, dan sentuhan. Manusia sadar bertakdir rumah.


Pada saat menanggungkan derita selama wabah, orang-orang memerlukan kalimat bijak meski klise atau repetitif. Ikhtiar untuk masih mengerti keluhuran, ketabahan, keselamatan, dan kebahagiaan. Kita dibujuk berkenalan lagi dengan rumah. Berkenalan melalui tatapan, bahasa, dan sentuhan. Manusia sadar bertakdir rumah.

Joko Pinurbo menulis rumah, setelah kita membaca seri puisi rumah telah digubah sejak awal abad XX. Rumah terlalu tema puitis, terimajinasikan dan terdokumentasikan dalam gubahan sastra beragam bahasa. Di Indonesia, rumah-rumah dituliskan sejak ratusan tahun lalu, memunculkan puisi-puisi belum mau fana gubahan Chairil Anwar, Rukiah, Rendra, Subagio Sastrowardojo, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Hartojo Andangdjaja, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Iman Budhi Santosa, Wiji Thukul, dan lain-lain. Pada abad XXI, rumah belum rampung ditulis dalam ribuan puisi. Wabah memungkinkan penulisan rumah memiliki “perbedaan” dan “kemendalaman” mengacu pengalaman setahunan dianjurkan melulu berada di rumah.


Keinsafan berumah: Sekarang, bila hendak bepergian, ada baiknya kamu/ pamit kepada rumah: “Aku pergi dulu menjemput/ rezeki ya, mah.” Dan bila pulang, menyapalah, “Kamu/ sehat-sehat saja kan, mah?” Rumah pasti bungah. Pelajaran sederhana dalam percakapan manusia dan rumah. Joko Pinurbo tak berlebihan. Petunjuk wajar merampungi asburditas sering tercipta oleh kegagalan selaras antara manusia dan rumah. Pembiasaan diri dan rumah, setiap hari. Kita memang gampang meremehkan, sulit rutin akrab “bersama” rumah. Pada masa wabah, kita bersalah terhadap rumah.


Kita menilik rumah pada masa 1950-an, Rukiah menggubah puisi berjudul “Sebagian Pertemuan”. Ikhtiar mengerti diri dan rumah. Kita membaca: Suara ketjil dari sudut kamar gelap/ kedengaran dalam bisikan mengap-mengap:/ “Aku mau lepas dari rahasia/ bungkusan dunia!”// Aku pergi/ tapi tampak pula di tengah sebuah rumah/ jang terang benderang./ Berteriak orang mabuk berkeliling/ dengan suara gila meriah:/ “Ini kelezatan dunia/ bukan impian/ tapi untuk makanan hidupmu semata.” Rumah menjadi ruang untuk berbeda, bersaing, dan bertengkar demi kebenaran, kebahagiaan, kemenangan, atau kekuasaan. Rukiah menulis rumah terlalu menegangkan. Kita mengingat rumah-rumah masa 1950-an memang bergejolak akibat ideologi dan pertikaian sosial-kultural. Indonesia sedang bergerak dengan revolusi, setelah rumah-rumah hancur akibat perang dan rumah-rumah tersisa dalam kondisi tak keruan. Rumah-rumah baru masih impian dengan ketenangan, kehangatan, dan kebersamaan.


Rumah jelek atau di bawah sederhana bisa dijuluki gubuk. Pada masa lalu, Indonesia terceritakan melalui gubuk. Kita mengetahui dengan membaca puisi berjudul “Gubuk Bobrok” gubahan Hartojo Andangdjaja (1949). Kita berada di situasi rumit saat Indonesia mau tegak tapi sengketa sulit reda. Kita simak sambil mengenangkan masa lalu: Gubuk pintjang tjondong/ dinding-dinding bolong-bolong/ sepoi menganga melenggang kosong/ tempat rakjat hidup melarat/ tidak punja apa-apa.// Sepoi menganga. Sepi gubuk. Sepi segala.// Hidup tampak merangkak di larut-larut hari tua/ lelah lesu beringsut di pekat kabut malam buta/ tiada tjahaja. Langit redup. Bumi tua./ Sekeliling kering dalam dahaga. Rumah bercerita manusia-manusia menderita. Rumah bakal rubuh atau memberi siksaan. Manusia tak mungkin terlalu memaknai rumah demi bahagia dan memilih hidup. Kita mengingat sengsara berjudul kemelaratan di Indonesia. Gubuk mengabarkan “wabah” miskin belum punah di Indonesia.


Masa lalu itu memiliki rumah-rumah belum membahagiakan. Pada masa berbeda, kita masih berurusan rumah. Pengisahan dengan rasa Jawa diberikan Darmanto Jatman melalui puisi berjudul “Rumah”. Kita mengidamkan rumah pantas dan “lengkap” dibandingkan rumah-rumah diceritakan Rukiah atau Hartojo Andangdjaja. Rumah bagi keluarga Jawa dalam kemapanan. Darmanto Jatman menulis: Di kiri dan di kanan rumah ada pekarangan/ Di mana biasa orang menanam empon-empon/ Jahe untuk menghangatkan tubuh kalau sedang selesma/ Kencur untuk ngompres kalau kita babak belur/ Kunir supaya anak yang dikandung nanti kunin lencir/ Lha di pojok pekarangan ada sumur/ Perlu untuk membersihkan kaki kita sebelum masuk rumah. Imajinasi tumah itu membuat orang betah bila mengikuti anjuran pemerintah agar selalu di rumah. Sekian peristiwa masih mungkin dilakukan sambil meredakan pikiran dan perasaan dari wabah telah mengacaukan hidup. Kita cemburu saja dengan rumah dalam puisi.


Rumah pun untuk masalah batin. Darmanto Jatman mengingatkan rumah dengan religiositas: Menjaga kita dari segala malapetaka/ Di sinilah kita samadi, merukunkan diri dengan Allah/ Membebaskan diri dari keterikatan duniawi/ Lega, lila, legawa/ Menerima nasib kita. Sekian hari, kita di rumah ingin menenangkan batin sambil kedatangan berita-berita duka dan menakutkan. Rumah untuk selamat sulit terhindar dari perasaan-perasaan tak keruan. Puisi gubahah Darmanto Jatman itu teridamkan pada masa sekarang saat seribu masalah menimpa tapi diminta sabar, sabar, dan sabar.


Kita menempatkan diri sebagai pihak menilai dan memaknai rumah. Wabah telah membuat Joko Pinurbo prihatin atas keangkuhan kita. Ia sodorkan pendapat berkebalikan: Kamu sering bicara tentang betah atau tidak betah/ di rumah. Pernahkah kamu berpikir apakah rumah/ betah tinggal bersamamu. Tanyakanlah. Kita dibuat malu dan bersalah. Percakapan kita dengan rumah belum sampai akrab atau terjalin dalam selaras. Kita sedang menanggungkan wabah tapi telat dan gegabah mengartikan rumah. Puisi-puisi itu ingatan imajinatif bagi orang-orang betah dalam rumah, betah menghormati rumah, dan betah menerima “perintah” sampai wabah punah. Begitu.



 

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),

Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)

FB: Kabut



167 tampilan
bottom of page