Bendera: Pengibaran dan Pengisahan
top of page
Cari

Bendera: Pengibaran dan Pengisahan

Di Republika, 16 Agustus 2021, kita melihat foto berukuran besar di halaman depan. Foto dengan penjelasan tentang pembentangan bendera (3 x 76 meter) di Sungai Cikijing, Rancaekek, Bandung. Kita mulai terbiasa membaca atau menonton berita sekian orang atau komunitas mengadakan pembentangan bendera merah-putih. Peristiwa itu berbeda dengan pengibaran bendera merah-putih.


Pemerintah membuat kebijakan agar jutaan bendera berkibar di Indonesia, sejak 1-31 Agustus 2021. Bendera mengartikan peringatan kemerdekaan Indonesia: 76 tahun Kibaran bendera dianjurkan ditemani umbul-umbul, dekorasi, dan pelbagai hiasan. Indonesia ingin meriah untuk mengingat sejarah dan membuat sejarah meski masih wabah. Instruksi tak berkaitan dengan keramaian Indonesia oleh baliho dan spanduk memuat foto tokoh politik dan pesan-pesan (klise) kebangsaan. Keramaian mendahului pengibaran jutaan bendera merah-putih. Kita melihat Indonesia “sesak” pemandangan selama Agustus.



Foto: Rizky Rahmat Hidayat / Unsplash


Kita ingin sejenak istirahat dari pemandangan di jalan dan ruang publik ramai oleh bendera, umbul-umbul, baliho, dan spanduk bisa berlagak mengenang masa lalu. Usaha mengenang bertema bendera. Mengenang belum urusan pemerintah atau partai politik rajin menjadikan jalan dan ruang publik untuk mengabarkan raihan kekuasaan, sekian tahun lagi. Kita mengenang dengan bacaan-bacaan. Di rumah, membaca sekian buku justru membuat bendera makin bermakna.


Mengenang belum urusan pemerintah atau partai politik rajin menjadikan jalan dan ruang publik untuk mengabarkan raihan kekuasaan, sekian tahun lagi. Kita mengenang dengan bacaan-bacaan. Di rumah, membaca sekian buku justru membuat bendera makin bermakna.

Bendera, kata datang dari negeri jauh. Kita membuka Kitab Arti Logat Melajoe (1914) susunan D. Iken dan E. Harahap. Kita mengutip dari pengantar diberikan JG Dammerboer: “Barang siapa jang koerang faham dalam bahasa Melajoe, kitab inilah dibelinja, soepaja dapat diketahoeinja arti perkataan jang koerang terang kepadanja.” Pada awal abad XX, bahasa Melayu mendapat pengaruh besar dari sekian bahasa: Arab, Belanda, Tionghoa, Prancis, Inggris, Portugis, dan lain-lain. Di buku lawas, pembaca menemukan entri bendera dengan arti: “pandji besar, toenggoel, empat segi.” Orang-orang sudah mengakrabi panji, belum bendera.

Remy Sylado (1996) mengingatkan: “Umumnya orang tidak menyangka bahwa bahasa Spanyol pernah melintas dalam perbahasan di Indonesia berkait dengan peristiwa-peristiwa sejarah masa silam.” Bendera, kata berasal dari bahasa Spanyol. Semula, kata itu ditulis “bandera”. Datang ke Indonesia, penulisan menjadi “bendera”. Di kalangan Jawa, kata itu terucap “gendero”. Sekian kata dari bahasa Spanyol memang mengalami perubahan penulisan dan pengucapan.


Bendera memang ada dalam arus sejarah. Sejak awal abad XX, kaum muda dan kaum pergerakan politik kebangsaan berikhtiar memilih simbol-simbol mengejawantahkan ide-imajinasi Indonesia. Bendera menjadi keharusan. Para penggerak bangsa memilih dan mengartikan sekian bendera, sebelum “bermufakat” memilih merah-putih. Geliat makna berlangsung di tanah jajahan dan Belanda. Kalangan intelektual mencari akar-akar masa lalu dan berhitung dampak dari penggunaan bendera dalam melawan kolonialisme. Pintu sejarah dibuka dan peristiwa-peristiwa politik menjadi pengesahan.


Pada 1958, terbit buku berjudul 6000 Tahun Sang Merah Putih susunan Muhammad Yamin. Buku bermaksud mengungkap sejarah. Soekarno berpesan: “Peladjarilah isi buku ini untuk penambah pengetahuan tentang warna-kebangsaan dan bendera-negara, dan untuk mengisi dada-sanubari dengan rasa kebanggaan nasional jang berkobar-kobar.” Pemuatan sambutan dari Soekarno ingin memberi bobot politik dan kesejarahan atas penulisan buku tampak “berlebihan”.


Muhammad Yamin mencatat pilihan dan perubahan bendera dalam lakon pergerakan politik. Pada 1920, terbentuk Indisch Vereeniging di Belanda. Kaum muda (mahasiswa) berserikat memikirkan Indonesia. Mereka menggunakan bendera “merah-putih kepala kerbau”. Pada masa 1920-an, berdirilah PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung. Soekarno menjadi tokoh. Partai itu menggunakan bendera “merah-putih kepala banteng”. Pada acara bersejarah 28 Oktober 1928, Yamin mencatat ada pengibaran bendera “merah-putih garuda terbang”. Puncak pengakuan terjadi dengan peristiwa pengibaran bendera merah-putih setelah pembacaan naskah proklamasi, 17 Agustus 1945. Posisi bendera merah-putih bercerita Indonesia makin kukuh dalam pengesahan UUD 1945, 18 Agustus 1945. Peristiwa-peristiwa sejarah memunculkan sebutan “Sang Saka Merah Putih”. Yamin mencatat dan menjelaskan dengan sekian “keliru” atau “tak lengkap”. Buku itu telanjur menjadi penting bagi orang ingin mengetahui sejarah bendera merah-putih.


Pujian diberikan Presiden Joko Widodo dalam penerbitan ulanng 6000 Tahun Sang Merah Putih (2017). Kita menduga belum ada buku tandingan. Buku lawas itu belum diralat tapi tetap diterbitkan lagi. Presiden Joko Widodo menulis: “Buku 6000 Tahun Sang Merah Putih bagi saya merupakan sebuah mahakarya dari penulis agung yang dapat memberikan pencerahan bagi generasi penerus bangsa tentang sejarah dan filosofi dari warna merah-putih, bagaimana warna merah-putih mengiringi Indonesia untuk berjuang dan menjadi panji kebanggaan negara Indonesia.” Kita perlahan mengerti bila pengibaran bendera rutin setiap tahun dalam beragam peringatan hari nasional belum memastikan ada penguatan pengetahuan sejarah bendera. Buku-buku mengenai bendera merah-putih masih jarang.


Pembaca lelah mengikuti penasaran mengetahui sejarah bendera masih “meragukan” bisa berganti menikmati puisi-puisi bertema bendera. Pada 1937, Asmara Hadi menggubah puisi berjudul “Fantasi”. Kita membaca sekian larik:

Bendera perdjoangan berkibar lagi/

Gembira bertepoek atas kepalakoe/

Darahkoe melantjar gembira poela/

Deboer-berdeboer dalam dadakoe.


Bendera menandai kemauan kaum pergerakan meraih kemuliaan Indonesia. Bendera dimengerti sebagai pemenuhan janji bersama untuk kemerdekaan Indonesia.


Kirdjomuljo pada masa 1960-an menggubah puisi berjudul “Bendera”. Indonesia sudah merdeka dan sedang berlakon “revolusi belum selesai”. Pengisahan dan pemaknaan bendera agak berbeda dari masa kolonial. Kirdjomuljo mengaitkan masa lalu dan situasi politik berlatar 1960-an. Kita simak:

Aku tidak menagih kepadamu/

Sebab arus sedjarah mengalir dari mata air/

Jang lahir dari titik masing-masing musim/

Dan kau berhak melajari dari mana angin mulai/

Untuk merentas lembah jang kau kehendaki/

Tetapi apapun terdjadi/

Sampai adjalku aku tetap akan memperingatkan/

Ada suatu hal jang azasi dari kebangsaanku/

Dan satu bendera jang telah kita kibarkan.


Puisi pantas dibaca keras di panggung atau mengawali kongres. Puisi heroik demi bendera. Pengertian dimiliki bendera adalah kehormatan, pengorbahan, dan kebangsaan. Bendera dalam pasang-surut sejarah di Indonesia terbaca dalam puisi terasa berbeda dari pidato-pidato para pejabat atau dokumen resmi memuat instruksi-instruksi pemerintah.


Kita tak mendapat instruksi dari pemerintah untuk belajar tentang bendera menggenapi pengibaran bendera. Kita tak usah menunggu ada pejabat berpidato panjang mengungkap sejarah bendera merah-putih. Iklan-iklan kemerdekaan ramai di koran, majalah, televisi, dan media sosial sulit dipastikan membuat kita memahami sejarah bendera merah-putih. Jumlah bendera berkibar mungkin belum sempurna tanpa pengetahuan “berkibar” mengenai bendera merah-putih, dari masa ke masa. Begitu.


 

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),

Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)

FB: Kabut

103 tampilan
bottom of page