Di Warung Makan
DI warung makan, orang-orang tampak makan, bercakap, berpotret, dan merokok. Konon, warung makan menjadi tempat perjumpaan, kenikmatan, dan kesenggangan. Sekian warung makan membetahkan orang untuk duduk sekian menit atau jam. Warung tak cuma makanan dan minuman. Di warung, sekian hal terselenggara: politik, bisnis, asmara, dakwah, hiburan, dan lain-lain. Warung menjadi album terbaca dan terimajinasikan.
Di Solo, warung makan berurusan “aib”. Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, melihat tiga aparatur sipil negara sedang menikmati makan dan kesantaian di warung makan, berada di belakang Balai Kota Solo. Peristiwa terjadi pada 4 Oktober 2021, hari buruk bagi para ASN terbiasa jajan saat jam kerja. Kita lumrah melihat para ASN di pelbagai kota dan kabupaten jajan atau ngiras di warung makan meski bukan jam istirahat siang. Kebiasaan menikmati makanan kadang bersiasat membeli di warung atau pedagang keliling di pinggir jalan. Makanan itu dibungkus untuk dinikmati dalam ruangan selama jam kerja.
Gibran mengetahui dan menegur tiga pegawai saat ngiras di warung makan pada pukul 10.00 WIB. Tiga pegawai itu mengenakan sandal jepit, meninggalkan sepatu di kantor. Gibran memastikan ada sanksi (Solopos, 5 Oktober 2021). Gibran mungkin sudah mengerti bila pekerjaan para ASN di Indonesia jarang serius dan bergairah. Bersantai dan malas telah menjadi cerita dan berita klise. Para pegawai menikmati bermain catur, menonton televisi, bergosip, atau jajan di warung makan. Busana dan predikat sebagai pegawai di naungan pemerintah jarang membentuk keinsafan atas kewajiban-kewajiban selama bekerja.
Bersantai dan malas telah menjadi cerita dan berita klise. Para pegawai menikmati bermain catur, menonton televisi, bergosip, atau jajan di warung makan. Busana dan predikat sebagai pegawai di naungan pemerintah jarang membentuk keinsafan atas kewajiban-kewajiban selama bekerja.
Kebiasaan orang-orang ngiras di warung makan memang memicu iri. Sejak pagi sampai malam, orang-orang bergantian di warung makan. Mereka tak sekadar memenuhi misi makan dan minum. Tampak dari luar, kehadiran mereka di warung makan mengesankan kenikmatan dan nglaras. Godaan bagi orang-orang bekerja di kantor memiliki ketentuan jam kertas, etisa busana, dan kehormatan. Warung memiliki jam buka dan tutup, berharapan mendapat rezeki dari kedatangan pelanggan atau pembeli. Ramai dan sepi kadang dipengaruhi waktu: pagi, siang, sore, dan malam. Jam istirahat orang-orang di kantor atau pabrik tentu dimaksudkan sebagai babak kelarisan makanan dan minuman.
Kita kangen masa lalu warung makan mendingan membaca novel berjudul Malaikat Lereng Tidar (2014) gubahan Remy Sylado. Di situ, kita mendapat cerita tentang Waroeng Idjo. Warung itu mengandung getaran asmara, konflik, dan kesejarahan. Di warung, ada perempuan cantik bernama Toemirah. Orang-orang kagum dan ingin memiliki sang pujaan. Rajin ke warung memang menikmati beragam suguhan tapi sekian lelaki melampaui kenikmatan makanan-minuman. Mereka terbuai asmara.
Alkisah, lelaki datang ke Waroeng Idjo dengan selangit pengharapan. Ia membawa beragam perhiasan emas. Perhiasan ditaruh di atas meja dan ia berucap tergesa terasa melanggar etis. Pinangan mengandung paksaan dan penghinaan: “Dengan perhiasan-perhiasan itu sendiri bisa dijadikan modal tambahan untuk warung ini. Supaya warung ini bukan cuma melulu menjadi kedai, tapi berubah menjadi restoran.” Kejadian diceritakan seratusan tahun lalu.
Warung dalam sengketa pemaknaan bisnis, asmara, politik, adat, agama, dan lain-lain. Di Jawa, warung-warung makan di desa dan kota memiliki beragam “sejarah” memberi kisah-kisah menjadikan legendaris. Sekian warung makan memunculkan pemaknaan kesaksian kota atau mengiringi perubahan di desa-desa. Manusia-manusia berkaitan warung makan terjelaskan melalui urusan makan-minum, obrolan, kesadaran busana, perhitungan gengsi, dan lain-lain. Warung-warung makan bernama dan tak bernama perlahan membentuk keseruan bagi orang-orang memuja kuliner. Pada babak berbeda, warung makan menjadi tempat “terindah” bagi orang-orang ingin menghindari rutinitas sebagai pegawai pemerintah atau orang kantoran partikelir.
Pada abad XIX, Ranggawarsita menggubah Serat Jayengbaya. Kita mendapat cerita orang menginginkan beragam pekerjaan asal membuat senang. Sekian pekerjaan diinginkan gara-gara terhormat, mendapat duit, dan dimanjakan publik. Pemerolehan duit dari pekerjaan-pekerjaan membenarkan orang menggunakan untuk menikmati makanan dan minuman. Di situ, Ranggawarsitas tak bercerita gamblang tentang pedagang atau pelanggan di warung makan. Kita cuma mendapatkan kesan-kesan hasrat makan saat kenduri, perjamuan atau pesta, memasak di rumah, dan jajan di suatu tempat. Kita menduga derajat kehormatan orang-orang turut terbentuk selera makanan dan pameran atas kehadiran di tempat-tempat menikmati makanan, termasuk warung makan atau restoran.
Kita makin mengerti kenikmatan orang-orang makan di warung makan dalam sketsa-sketsa Umar Kayam terbit menjadi buku berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul (1990). Warung makan untuk pembuktian derajat selera makan. Orang-orang bersaing omongan. Warung termaknai oleh misi-misi para penikmat setelah turut membentuk biografi bersama pedagang atau sekian pelanggan. Mereka mengartikan warung makan memang tempat tapi mengerti masalah waktu, bahasa, busana, dan suasana. Mereka tak sembarangan untuk datang ke warung makan. Waktu-waktu ditentukan bagi mereka sudah rampung dalam pekerjaan atau menikmati perjumpaan-kangen bersama teman-teman.
Umar Kayam tak mengajarkan para pegawai di naungan pemerintah memanjakan diri dengan rajin ngiras atau menikmati kehadiran diri di warung makan saat jam kerja. Umar Kayam mengerti tipe-tipe pegawai di Indonesia dalam memuja makanan meski tak becus dalam pekerjaan atau kewajiban. Kita teringatkan pula dengan novel Para Priyayi, membuka daftar kenikmatan sekian orang berduit dalam menikmati makanan-minuman di tempat-tempat pilihan. Mereka tak mungkin bergabung dengan orang-orang bawah atau buruh makan di warung-warung pinggir sawah, depan pasar, atau pinggiran desa. Pada abad XX, kita mengetahui bahwa selera kalangan priyayi “terjaminkan” oleh pilihan warung makan atau restoran.
Pada abad XXI, pengetahuan warung makan atau rumah makan makin bertambah dengan beragam acara kuliner di televisi, pameran selera makanan-minuman di media, dan berita-berita di koran. Warung makan tak selalu bercerita pegawai negeri sedang malas atau manja dengan “minggat” dari kantor. Orang-orang memilih mengisahkan kenikmatan makan di tempat atau penggampangan memesan agar makanan sampai rumah. Imajinasi warung makan bertambah menggiurkan dengan pelbagai kata dan potret. Novel dan film tak mencukupi untuk mengisahkan warung makan.
Orang-orang memilih mengisahkan kenikmatan makan di tempat atau penggampangan memesan agar makanan sampai rumah. Imajinasi warung makan bertambah menggiurkan dengan pelbagai kata dan potret. Novel dan film tak mencukupi untuk mengisahkan warung makan.
Warisan penting dari pengisahan makanan-minuman di pelbagai warung makan atau rumah makan diberikan Bondan Winarno melalui buku berjudul 100 Maknyus! Makanan Tradisional Indonesia (2013). Di pelbagai kota dan kabupaten, Bondan Winarno memiliki daftar rumah makan, warung makan, dan gerobak dianggap memberi suguhan makanan-makanan lezat. Daftar itu memungkinkan orang-orang mendatangi dan membuktikan. Kita bisa menikmati beragam makanan asal berduit dan berani menempuhi perjalanan: dekat atau jauh. Kita tentu tak mau melihat ada para pegawai pemerintah berada di warung-warung makan saat jam kerja demi mengikuti jejak-pengalaman bersantap oleh Bondan Winarno, sekian hari lalu. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments