top of page

Search Results

232 item ditemukan untuk ""

  • Press: Common Sense bagi Politik

    "Prestasi adalah upaya dan proses, yang harus ditempuh dalam persaingan yang dijamin kebebasan. Politik dinasti justru mengesampingkan upaya dan proses prestasi itu, karena pengandaian yang salah bahwa prestasi itu seakan bisa diwarisi dan diwariskan, dan bahwa kedudukan adalah warisan, yang tak perlu diperebutkan lewat persaingan kebebasan. Pers kiranya harus terus melawan dan mengkritisi politik dinasti, bila ia ingin ikut mene­gakkan demokrasi.", Sindhunata (Majalah Basis, 03-04, Tahun ke-71, 2022). Dapatkan Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022 via WA No. 081225225423 https://bit.ly/MajalahBasis03042022 https://bit.ly/MajalahBasis03042022-shopee Tokopedia Yayasan Basis Book Store

  • Sesudah Ukraina Diserang Rusia

    "Betapapun keluhan Putin terhadap Ukraina dapat dimengerti, betapapun sikap Barat terhadap Rusia dapat, dan harus, disesalkan, suatu agresi militer terbuka, tanpa ancaman militer dan provokasi apa pun, secara internasional tidak mungkin diterima lagi", Franz Magnis-Suseno (Majalah Basis, No. 03-04, Tahun ke-71, 2022) Dapatkan Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022 via WA No. 081225225423 https://bit.ly/MajalahBasis03042022 https://bit.ly/MajalahBasis03042022-shopee Tokopedia Yayasan Basis Book Store

  • Eunice Newton Foote: Pencetus Pemanasan Global yang Ditemukan Kembali

    "Kesimpulan pada percobaan yang ketiga inilah yang seharusnya menjadi tonggak klimatologi, terutama terkait perubahan iklim akibat gas rumah kaca, yaitu CO2 dan metana yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Sayangnya, John Henry yang membacakan makalahnya tidak menggarisbawahi kesimpulan itu". (C. Bayu Risanto, Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022) Dapatkan Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022 via WA No. 081225225423 https://bit.ly/MajalahBasis03042022 https://bit.ly/MajalahBasis03042022-shopee Tokopedia Yayasan Basis Book Store

  • Waspadai Teori di Balik Teknologi

    "Kalau perang dengan segala kengeriannya menun­jukkan wajah telanjang penggunaan nalar teoretis ke ranah praxis, banyak orang sama sekali tidak sadar bahwa internet dan medsosnya sebenarnya sedang menjalankan hal yang sama". (A. Setyo Wibowo, Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022 Dapatkan Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022 via WA No. 081225225423 https://bit.ly/MajalahBasis03042022 https://bit.ly/MajalahBasis03042022-shopee Tokopedia Yayasan Basis Book Store

  • Indeks Majalah Basis 2021

    A. Bagus Laksana, “Mati Corona ala Agama? Membangun Teologi Publik pada Zaman A. Bagus Laksana, “Melankolia dan Pengharapan”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 A. Meissi Santosa, “BKS Iyengar: Yoga Modern”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 A. Setyo Wibowo, “Albert Camus: Kronologi Hidup”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 A. Setyo Wibowo, “Vaksin Covid-19 dan Kultus Individu”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 A. Sudiarja, “Kebebasan, Moral, dan Kebahagiaan”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 A. Sudiarja, “Setiap Perjuangan Mengikuti Corak Zamannya”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Adib Baroya Al Fahmi, “Semburat Makna Peribahasa”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Afal Ranggajati, “Buruh Upahan Tersamar: Pengemudi Ojek Online”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Agus Manaji, “Berpuisi dan Bercinta”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Ais Nurbiyah Al-Jum’ah, “Makanan: Tempat dan Rasa”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Albertus Erwin Susanto, “Penyelesaian Kasus 1965: Tak Mau dan Tak Mampu”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Albertus Erwin Susanto, “Penyelesaian Kasus 1965: Tak Mau dan Tak Mampu”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Andrias Arifin, “Membaca dan Melihat: Bacaan Anak Sunda”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Anggrahenny Putri, “Teperdaya Gratis!”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Asep Subhan, “Umberto Eco dan Bahasa-bahasa Firdaus”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Atep Kurnia, “Moh. Ambri: Bersastra Obrolan”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Ayu Primadini, “Keluarga yang Dimengerti”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Ayu Utami, “Tentang Rasa: Untuk Magnis-Suseno”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Bambang A. Sipayung, “Pembiaran Myanmar”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, ““Bersantap Buku”, Basis Terus Berjalan”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “100 Tahun A. Teew (1921-2021) Tokoh dan Buku (Belum) Berlalu”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “100 Tahun Soeharto: Surat dan Foto”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Afrika: Sejarah dan Marah”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Berhalaman Puisi”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Bertanam Tulisan”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Cangkem Gatel”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Di Titik Mula”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Kaum Tua dan Peristiwa”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Sartono Kartodirdjo (1921-2021): Bacaan dan Santapan”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Sejak Dulu”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Bandung Mawardi, “Terbaca dan “Terasa” Religius”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 C. Bayu Risanto, “Jangan Tertipu Soal Perubahan Iklim”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 C. Bayu Risanto, “Resep Badai Tropis Seroja”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Clemens Dion Yusila Timur, “Paulo Freire: Demokrasi Radikal & Pendidikan Demokratis”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Dina Saputri, “Bertaut dan Bertokoh”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Dodit Sulaksono, “Yang (Belum) Ditemukan dan Disampaikan”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Eva Rini Tampubolon, “Busana yang Terbaca”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 F. Wawan Setyadi, “Camus dan Sartre: Polemik Dua Pemikir”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 F.X. Domini B.B. Hera, “Mengenang Mona Lohanda dan Skripsi”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Fariz Alnizar, “Perempuan dan Bahasa”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Goenawan Mohamad, “Marion: Pada Kanvas yang Melimpah”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Haryatmoko, “Albert Camus: Menjadi Sederhana. Ajakan Kebebasan Saat Cinta Melampaui Diri”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Hendy Kiawan, “Kunci Antipangling”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Heru Prakosa, “Holocaust versus Harapan”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Heru Prakosa, “Populisme, Ekstremisme, dan Gerakan Pemberdayaan Partisipatif”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Indri K., “Pernikahan: Mudah dan Rumit”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Irfan Sholeh Fauzi, “Menulis Catatan Kaki”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Iwan Setiawan, “Taman yang Subur”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 J. Sudrijanta, “Kontemplasi Batin”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Jafar Suryomenggolo, “1950-an dan 1960-an: Kho Ping Hoo dan Cerpen”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Kartika Catur Pelita, “Kembang Buwangan”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Klaus H. Raditio, “Nihao, China: Apakah Kau Masih (Komunis) Seperti Dulu?”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Klaus Heinrich Raditio, “Tianxia: Filsafat Cina Tentang Tata Pemerintahan Dunia”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Lyly Freshthy, “Pemuliaan Ibu”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 M. Faizi, “Habis Tengka, Terbitlah Gosip”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 M. Fauzi Sukri, “Si Cilik Ruci: Perihal Pendidikan-Pengajaran”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Marhamah Aljufri, “Ibu ‘Terlena’ Iklan”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Mario F. Lawi, “Fama Para Penyair dalam Epigram-Epigram Martialis”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Mudji Sutrisno, “Menikmati (Karya) Seni”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Muhammad Iqbal, “Soekarno, Pidato, Islam”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Muhammad Rizky Wiryawan, “Malam dan Mojang Bandung: Zaman Kolonial”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Muhammad Safroni, “Senyum(mu) Seputih Odol”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Muthia Esfand, “Manusia Boleh Saling Berjarak, Toko Buku Sebaiknya Tidak”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Nungki Kusumastuti, ““Tubuh” di Masa Pandemi. Indonesia Dance Festival IDF 2020.zip. DAYA: CARI CARA”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Paskasekular”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Puitri Hati Ningsih, “Kiai Alam Tara”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Ratna Hayati, “Buku yang Terbaca dan Termangu”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Setyaningsih, ““Made in Japan” di Rumah Indonesia”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Setyaningsih, “Niscaya Bergunjing”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Sindhunata, “70 Tahun Majalah Basis: Air Mengalir Sampai Jauh”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Sindhunata, “Basis Menembus Fakta”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Sindhunata, “Cinta Itu Naik Perahu”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Sindhunata, “Monster yang Memperlambat Modernitas”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Sindhunata, “Susilo Budi dan Pencarian Seninya”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 SP Lili Tjahjadi, “Camus dan Kritik Agama”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Susantini, “Yang Dipelajari, Yang Dialami”, No. 01-02, Tahun ke-70, 2021 Suwarno Wisetrotomo, “Melukis Drama Sukrasana”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Veronika Saraswati, “Kebahagiaan dalam Perspektif Konfusius”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Wahyu Kris Aries Wirawardana, “Pentigraf: Sastra Komunal Era Digital”, No. 03-04, Tahun ke-70, 2021 Widyanuari Eko Putra, “Terus Terang, Marco Terang Terus”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Willy Putranta, “Rekaman Zaman bagi Hari Ini”, No. 09-10, Tahun ke-70, 2021 Y.D. Anugrahbayu, “Camus: Di Titik Suntuk Pageblug”, No. 07-08, Tahun ke-70, 2021 Yulia Loekito, “Tembang yang Menggembirakan, Pengetahuan yang Menghidupkan”, No. 05-06, Tahun ke-70, 2021 Yulius Tandyanto, “Memflsafatkan Kebahagiaan secara Karikatural”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021 Yuni Ananindra, “Membaca Pohon”, No. 11-12, Tahun ke-70, 2021

  • Traktor, Jagung, Pidato

    AKHIR tahun di Indonesia, harga-harga bermasalah. Sekian minggu lalu, harga pakan ternak naik. Telur malah merana. Harga jatuh dalam waktu agak lama. Kini, harga bawang merah pun jatuh. Berita-berita mengenai harga mudah-sulit terpahami bila orang-orang membandingkan dengan pelbagai kebijakan pemerintah dan pidato-pidato para pejabat. Kita bukan penentu harga. Kita bermasalah dengan harga bila ada keluhan peternak dan petani. Tindakan-tindakan cepat diberlakukan demi harga: naik-turun. Jawaban diberikan di Sulawesi Selatan. Di Kompas, 25 November 2021, kita membaca: “Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengikuti kegiatan tanam jagung pada hamparan seluas 1.000 hektar di Kelurahan Tolokota, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponton, Provinsi Sulawesi Selatan. Presiden optimistis dengan semakin banyaknya petani lokal yang menanam jagung, kebutuhan jagung nasional bisa terpenuhi.” Presiden membuktikan bertanggung jawab atas masalah jagung. Di foto, ia tampak naik traktor dalam penanaman jagung. Traktor turut membuat jawaban menjadi cepat, lancar, dan berhasil. Cangkul sedang absen. Dulu, imajinasi kita dibentuk oleh cangkul. Lagu gubahan Ibu Sud mengenalkan peristiwa menanam jagung mengikutkan benda bernama cangkul. Mulut kita masih mudah mengucap: “cangkul, cangkul, cangkul…” Sejak lama, cangkul mengisahkan petani. Cangkul di sawah, kebun, dan ladang. Kita melihat petani membawa cangkul di pundak. Cangkul ditaruh di tanah bercerita kerja-kerja menghasilkan pangan atau ikhtiar mendapat nafkah. Cangkul pun tampak di rumah-rumah bagian belakang atau samping. Benda bercerita tenaga, keringat, dan persekutuan dengan tanah. Di Solopos, 25 November 2021, kita masih membaca berita mengenai jagung: “Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Penerangan Suwandi mengatakan upaya untuk meningkatkan volume produksi terus dilakukan. Total kebutuhan jagung dalam setahun mencapai 14,37 juta ton.” Sekian masalah dihadapi untuk menjawab kebutuhan. Konon, masalah besar adalah keterbatasan lahan tanam dan teknologi. Pada masa berbeda, pertanian itu traktor. Mesin-mesin datang ke sawah, ladang, dan kebun. Mesin bertema pertanian dalam capaian hal-hal besar. Cangkul tak lagi terlalu penting. Tubuh-tubuh petani tak lagi melakukan adegan sama dengan masa lalu. Mereka mungkin berada di atas traktor. Tubuh tak terlalu capek. Keringat tetap menetes tapi sedikit. Tubuh dan tanah agak berjarak ketimbang masih menggunakan cangkul. Masa lalu terkenang saja. Lirik lagu lama pun teringat: “Menanam jagung di kebun kita.” Ibu Sud belum mengenalkan traktor saat mengajak bocah-bocah bersenandung. Lagu tak mungkin diralat. Lagu itu dokumentasi zaman. Orang ingin bercerita menanam jagung dan traktor mendingan membuat lagu-lagu baru. Kita gantian simak keterangan SYL di Kompas, menggenapi penjelasan dari Joko Widodo: “Upaya konkret yang kita lakukan untuk tercapainya peningkatan indeks pertanaman ini yakni penambahan alat mesin pertanian untuk percepatan olah tanah dan tanam, penggunaan bibit unggul, penyediaan sumur bor dan terjaminnya aliran air irigasi dari Bendungan Karolle, bahkan penyediaan dana kredit usaha rakyat bagi petani.” Pada abad XXI, mesin-mesin tak selalu menghuni kota. Mesin-mesin wajib datang ke lahan-lahan pertanian berada di pelbagai desa. Jagung ingin berlimpahan. Seruan-seruan ingin terbuktikan. Kita mengandaikan jagung masa depan: “Jika ditingkatkan indeks pertanamannya menjadi 3 kali setahun dan luas lahan jagung bisa ditingkatkan menjadi 100.000 hektar, produksi yang diperoleh sebesar 400.000 ton.” Kita tak perlu mencatat impian untuk pembuktian dan bantahan setelah tahun-tahun berlalu. Berita dari kementerian dan pidato-pidato resmi memang gampang mencengangkan ketimbang membuat kita sedih atau menangis. Berita terbaca menghubungkan jagung dan pakan ternak, belum santapan manusia. Berpikiran jagung terlarang capek atau mengingatkan kerja melelahkan dengan cangkul. Ingatlah, menanam jagung dengan mesin atau traktor! Pada persoalan berbeda, kita mengingat jagung itu makanan bagi manusia. Jagung disantap setelah dibakar atau direbus. Sekian jenis olahan jagung menjadikan kita mengenali beragam masakan. Jagung untuk kebutuhan pangan manusia. Jagung berbeda dari pakan ternak. Kita melihat bentuk jagung-jagung itu sama tapi berbeda dalam penggunaan. Kita melihat hamparan tanaman jagung belum tentu berpikiran mulut dan perut manusia. Jagung untuk pakan ternak memang kelak bakal sampai ke piring manusia tapi memerlukan alur agak lama. Di majalah Intisari edisi Juli 1982, kita membaca artikel Slamet Soeseno berjudul “Cerita Jagung yang Sebenarnya”. Kita jangan mencari edisi “salah”. Pelbagai sumber digunakan dalam mengisahkan jagung. Slamet Soeseno menulis: “Lima ratus tahun lalu, tanaman jagung sudah diusahakan oleh penduduk Meksiko dan Amerika Selatan.” Pada suatu masa, ada sosok membawa jagung itu menuju Eropa. Jagung lekas ditanam di Spanyol, Prancis, Portugal, Italia. Kisah berlanjut dengan misi orang-orang Portugis membawa benih jagung ke Afrika pada abad XVI. Slamet Soeseno menulis: “Kemudian jagung perantauan itu merembet ke India dan Cina. Kalau di India, ia ditanam di lembah Bengawan Silungonggo, sedang di Pakistan ditanam di pegunungan dan dataran tinggi Punjab, di Cina jagung ditanam di dataran Sungai Hoangho.” Kita sedang menatap masa lalu. Jagung-jagung terlihat di pelbagai negara. Jagung-jagung berbeda mutu dan cara pemaknaan berkaitan pangan, adat, teknologi, dan lain-lain. Pada suatu masa, jagung itu tiba di Nusantara melalui Tidore dan Ternate berkaitan dengan keramaian perdagangan rempah-rempah. Tanah-tanah di Indonesia mulai bertemu dengan benih-benih jagung. Tatapan mata melihat tanaman menghasilkan santapan untuk manusia dan ternak. Ratusan tahun, pengisahan jagung terus bertambah. Kita tak terlalu mengerti sejarah. Di dapur, kita mengetahui ibu-ibu menggunakan jagung untuk masakan. Di pinggir jalan, ada orang berjualan jagung bakar. Di jalan-jalan kampung, pedagang keliling menawarkan jagung rebus. Di ruang publik atau tempat keramaian, ada orang berjualan jagung rebus dicampur coklat, keju, susu, saus pedas, dan lain-lain. Kita menonton film pun memerlukan jagung beristilah asing. Kita makan sambil menikmati film. Konon, kebiasaan ditiru dari Amerika Serikat. Harga tak murah meski ringan di tangan. Cerita dan berita mutakhir tentang jagung mulai berkaitan ternak, harga, mesin, dan lain-lain. Orang membaca buku-buku bertema makanan, peternakan, dan industri berlatar Amerika Serikat dan Eropa bakal kebingungan bila mengetahui jagung turut dalam kerusakan tubuh manusia dan tatanan hidup di Bumi. Jagung memiliki sejarah belum terbaca semua tapi kita mulai mendapat bacaan-bacaan dan film-film dokumenter mengenai derita-derita tertanggungkan akibat nafsu-nafsu berjagung. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Jalan dan Bacaan

    SEJARAH terbaca sebagai nama jalan. Biografi mungkin teringat bagi orang-orang melintasi jalan. Di situ, ada nama tanpa foto atau patung. Nama lama tapi belum terlalu dikenali atau diakrabi kaum muda mengalami hidup “lengah” ingatan pada abad XXI. Pemilik nama itu menggerakkan sejarah saat masih muda, membahasakan ide-ide dan kemauan-kemauan dengan tulisan di surat kabar. Ia tampil sebagai jurnalis. Ia pun mengarang cerita. Di Kota Bogor, Jawa Barat, terselenggara acara peresmian Jalan R. M. Tirto Adhi Soerjo, 10 November 2021. Semula, bernama Jalan Kesehatan. Penggantian nama demi menghormati tokoh kelahiran Blora (1880) tapi membuat sejarah selama bermukim dan bekerja di Bogor, awal abad XX. Ia diakui berjasa dalam jurnalisme melalui Soenda Berita, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia (Kompas, 11 November 2021). Di Bogor, tokoh itu menebar pengaruh melalui tulisan-tulisan dan pembuatan perkumpulan-perkumpulan. Penghormatan dengan buku pernah dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer melalui buku berjudul Sang Pemula. Pada abad tak menggairahkan orang membaca, penghormatan dilanjutkan dengan penamaan jalan. Peresmian mungkin menginginkan orang-orang menginsafi melintasi “jalan sejarah”, tak cuma jalan beraspal. Kita masih menantikan ada nama-nama jalan berkaitan tokoh dan sejarah. Warisan rezim Orde Baru mencipta “kebenaran” sejarah di jalan-jalan adalah kaum politik dan kaum militer. Pada tata politik berbeda, mungkin sekian nama bakal berubah atau ada jalan-jalan baru memerlukan nama-nama dari tokoh-tokoh sejarah (terlalu) lama disingkirkan atau dilupakan. Politik penamaan jalan memasuki babak berbeda meski ada pelipatgandaan penamaan jalan, tempat, dan bangunan-bangunan berselera politis. Di pelbagai kota dan kabupaten, kita terbiasa mendapatkan nama Soekarno. Pamrih politik mudah terbaca. Kita menunggu saja ada keputusan-keputusan baru dalam perubahan atau pemberian nama jalan-jalan di seantero Indonesia. Kita membaca usulan Ariel Heryanto di Kompas, 13 November 2021: “Kelak bila ada perubahan besar yang berikut, mungkin nama orang-orang hebat dari Belanda, Jepang, atau Timor Leste akan dijadikan nama jalan di banyak kota di Tanah Air. Juga nama tokoh-tokoh sebangsa seperti Munir, Marsinah, Mas Marco (Kartodikromo), dan Pramoedya Ananta Toer.” Usulan mengacu sejarah. Nama-nama ada dalam gelanggang dan pergulatan sejarah meski menanggungkan nasib berbeda di mata rezim-rezim pernah bermain politik jalan. Kita sudah mendapat kabar di Bogor untuk Jalan Tirto Adhi Soerjo. Nama-nama lain dinantikan dengan mengikutkan pengenalan (bacaan-bacaan) ke publik agar nama tak cuma nama dalam pengertian kelengkapan alamat. Nama-nama ada dalam gelanggang dan pergulatan sejarah meski menanggungkan nasib berbeda di mata rezim-rezim pernah bermain politik jalan. Kita sudah mendapat kabar di Bogor untuk Jalan Tirto Adhi Soerjo. Nama-nama lain dinantikan dengan mengikutkan pengenalan (bacaan-bacaan) ke publik agar nama tak cuma nama dalam pengertian kelengkapan alamat. Tirto Adhi Soerjo tak sekadar menggerakkan sejarah di Bogor. Ia pun penting dan berpengaruh di Solo. Pada 1911-1912, Tirto Adhi Soerjo berperan dalam pendirian Sarekat (Dagang) Islam dengan ruang sejarah di Solo. Ia membahasakan maksud dan misi dalam anggaran dasar: “Semua orang sudah tahu bahwa sekarang ini adalah zaman kemajuan. Semboyan kita tentang perjuangan untuk mencapai kemajuan tidak boleh hanya menjadi omong kosong saja.” Kita membaca petikan terpilih dalam buku Zaman Bergerak (1997) garapan Takashi Shiraishi. Peran besar bertokoh Tirto Adhi Soerjo adalah penerbitan sekian surat kabar membawa suara-suara kebaruan, kemajuan, dan perlawanan. Pada babak-babak bergerak, Tirto Adhi Soerjo berada di Bogor tapi pemikiran-pemikiran bergerak meriah di Solo dan pelbagai kota. Pengakuan sebagai jurnalis dalam peresmian nama jalan di Bogor oleh pejabat dan tokoh-tokoh penting belum mengikutkan penghormatan Tirto Adhi Soerjo sebagai penggerak sastra. Di buku Razif berjudul Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan (1921), terbaca pengakuan: “Golongan bumiputra yang bisa disebut perintis fiksi modern adalah RM Tirto Adhi Soerjo dengan Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang Soenggoe Terdjadi di Tanah Priangan (1906). Kemudian disusul Tjerita Njai Ratna (1909), Membeli Bini Orang (1909), dan Busono (1912). Ia mendahului nama-nama sering diajarkan dalam sejarah sastra atau menetap dalam buku-buku pelajaran. Nama-nama disahkan oleh penerbitan (balai Pustaka) atau kebijakan keaksaraan berselera kolonial, masa 1920-an. Tirto Adhi Soerjo dengan sekian gubahan sastra mudah dicap masuk dalam pengertian “bacaan liar”. Peran di sastra dan pers memastikan Tirto Adhis Soerjo “pelopor pergerakan nasional memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi.” Ia menjadi panutan dan tebar pengaruh berkepanjangan. Pelanjut terpenting bernama Mas Marco Kartodikromo. Peran di sastra dan pers memastikan Tirto Adhis Soerjo “pelopor pergerakan nasional memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi.” Ia menjadi panutan dan tebar pengaruh berkepanjangan. Pelanjut terpenting bernama Mas Marco Kartodikromo. Kita boleh menduga nama-nama para tokoh kelak digunakan untuk nama-nama jalan memiliki biografi tak melulu politik dan militer. Di Bogor, kebijakan berpihak sejarah meski tak lengkap itu memungkinkan ada susulan di pelbagai kota dan kabupaten. Pilihan nama-nama bergumul dalam pers, sastra, atau penerbitan penting terpikirkan agar sejarah bukan selalu mengingatkan perang atau senjata. Ada lembaran-lembaran kertas dinamakan surat kabar dan buku membuat sejarah bergerak dan kemajuan berlangsung di Indonesia. Pada saat situasi politik berantakan dan menjengkelkan, kita masih bisa semringah dengan peresmian Jalan Tirto Adhi Soerjo. Nama sudah dicantumkan tapi pengenalan dan pembacaan masih terus dinantikan untuk publik. Di buku berjudul Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008) susunan Iswara NR dan Muhidin M Dahlan, kita membaca pujian keampuhan sang tokoh: “Melalui tulisan-tulisan yang menikam tajam sekaligus mempesona, Tirto Adhi Soerjo tak jarang membikin takut para pejabat kolonial yang berkelakuan tak patut. Kalam bermata panah milik Tirto Adhi Soerjo membidik terarah hingga sasarannya bisa muntah darah. Merki keberpihakan tegas ini tak jarang meninggalkan buntut yang mengancam keselamatannya, tetapi Tirto Adhi Soerjo tak gentar.” Kini, kita pun tak gentar terus membaca biografi dan warisan tulisan-tulisan para tokoh ketimbang cuma melintasi jalan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Gorengan Itu Idaman

    HIDUP di Indonesia, hidup dengan gorengan. Cerita lama tak mungkin terlupa. Di sejarah Indonesia, gorengan teringat berlatar ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Gorengan bukan selesai sebagai makanan. Cerita-cerita “tambahan” bermunculan mengikuti situasi-situasi berubah. Di Indonesia, gorengan itu sumber cerita berkepanjanga. Cerita masih bersambung sampai abad XXI. Di majalah Panjebar Semangat edisi 20 Juni 1964, kita membaca petikan dari tulisan Sarwaguna: “Tahu lan tempe iku jen diutjapake nganggo basa dek djamane ana ing pangungsen antarane taun 1945-1950 ditjekak TST tegese Tahu Sama Tempe. Ija wis kauningan, tahu lan tempe iku klebu ing antarane pangan kang raket banget sesrawungane karo rakjat, kadjaba dadi sesulihe lawuh kang murah regane, uga sok dadi lawuh njamikan kaja bangsa panganan njamikan lijane.” Tahu dan tempe biasa digoreng untuk bersanding bersama nasi. Tahu dan tempe dinamakan gorengan kadang bersekutu dengan cabai rawit. Pada masa-masa sulit, kemauan mengadakan gorengan menghitung anggaran untuk minyak goreng. Dulu, orang-orang tak menggampangkan apa-apa digoreng berkaitan anggaran. Urusan kenikmatan mungkin di depan tapi hal-hal memberatkan anggaran atau merepotkan bisa membatalkan pembuatan gorengan. Orang-orang memiliki cara-cara agar tahu dan tempe tak selalu gorengan. Memasak atau membuat santapan masih mungkin tak terlalu membutuhkan minyak goreng. Pada masa 1950-an dan 1960-an, tahun dan tempe mungkin digoreng masuk dalam propaganda pemerintah: 4 sehat 5 sempurna. Propaganda tak dibarengi penjelasan khasiat dan dampak-dampak orang-orang suka menikmati gorengan. Ketersediaan minyak goreng pun belum memungkinkan pengajaran sehat. Dulu, produksi minyak goreng dijual di pasar cuma memiliki sedikit merek. Pelbagai pihak belum berlagak meriset atau membuat penilaian-penilaian atas konsekuensi penggunaan minyak goreng secara sembarangan. Nji S Hadisutirta dalam buku berjudul Makanlah Makanan jang Sehat (1953) mengingatkan: “Memasak membutuhkan djuga fikiran. Sebab djurumasak harus memutar fikiran, supaja dapat mentjapai makanan jang sehat dan manfaat untuk badan, sesuai dengan keuangan jang diterimanja. Selain itu memerlukan djuga pengetahuan kesehatan dan kebersihan.” Pada masa 1950-an, minyak goreng dan kesehatan belum ramai terpikirkan secara ilmiah berdasarkan riset-riset. Situasi berbeda dengan abad XXI dengan pengumuman mengenai risiko bagi orang-orang mengonsumsi makanan berminyak goreng. Di buku berjudul 60 Tahun Unilever di Indonesia 1933-1993 susunan HW Wamsteker, kita membaca sejarah industri minyak goreng di Indonesia dipengaruhi Perang Dunia I dan II. Pemilik modal asal Eropa sudah berhitung untung-rugi dalam mengadakan bisnis minyak goreng. Pada masa setelah Peran Dunia II, kebutuhan minyak goreng meningkat. Orang-orang masa lalu ingat ada godaan penggunaan minyak goreng bermerek Delfia. Pada masa berbeda, jumlah merek bertambah dan kebutuhan minyak goreng terus bertambah mengartikan ada pengesahan orang-orang Indonesia adalah penikmat gorengan, selain beragam jenis masakan. Kegemaran bersantap gorengan makin terbuktikan bila kita membuka halaman-halaman buku berjudul Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia (1967). Di situ, kita membaca kebutuhan minyak goreng untuk beragam masakan di Indonesia terhitung tinggi. Orang-orang memiliki ketergantungan dengan minyak goreng, bukan cuma untuk manja makan gorengan saat pagi dan sore atau disantap saat hujan. Minyak goreng mulai “wajib” ada di dapur-dapur, dipengaruhi pula iklan-iklan dan cerita-cerita para penikmat kuliner. Masa demi masa, merek-merek minyak goreng diajukan melalui iklan-iklan di majalah wanita (Femina, Kartini, Sarinah, dan Pertiwi). Kita mengerti bila kebutuhan minyak goreng terus bertambah. Pengecualian adalah situasi buruk saat krisis 1997-1998, orang-orang kebingungan dalam mendapatkan minyak goreng gara-gara langka dan mahal. Pada masa 1980-an dan 1990-an, kita malah mendapat pengajaran berlebihan dalam penggunaan minyak goreng. Iklan-iklan minyak goreng di majalah menggunakan gambar dan bahasa memikat, menjadikan ibu-ibu terpikat demi menghasilkan masakan lezat atau nikmat. Iklan-iklan di televisi makin memberi pesona. Sekian merek minyak goreng berani menjadi sponsor untuk acara-acara memasak disiarkan di televisi. Minyak goreng juga tampil dalam lomba-lomba memasak sering diadakan pelbagai institusi di Indonesia. Lomba-lomba itu kadang dibesarkan dengan pemberian hadiah menggunakan nama pejabat atau tokoh-tokoh penting di Indonesia. Minyak goreng dengan sekian merek makin diperlukan dan teranggap sumber kenikmatan di Indonesia. Masa-masa indah bersama minyak goreng itu mulai “diganggu” dengan beragam penelitian dipublikasikan sebagai peringatan. Orang-orang mulai ribut, ragu, dan bingun untuk menikmati masakan berminyak goreng. Isu-isu lingkungan turut membesarkan masalah-masalah minyak goreng. Sekian pihak mulai mengadakan minyak goreng berdalih tak terlalu merusak alam dan merusak kesehatan. Ada pihak-pihak melakukan usaha daur atas minyak goreng bekas. Segala hal terumumkan makin membuktikan minyak goreng itu idaman dan petaka. Di Kompas, 13 November 2021, kita sima ulasan bisni oleh H Widi dijuduli “Ekonomi Gorengan”. Indonesia memang masih gemar minyak goreng. Beragam laporan diajukan untuk pemastian Indonesia berminyak goreng. Harga minya goreng tinggi akibat “ini” dan “itu” tapi orang-orang masih terus menginginkan gorengan dan segala masakan berminyak goreng. Kita mungkin lelah dengan urusan pasar atau kebijakan pemerintah. Simak saja sejenis kegembiraan di Indonesia: “Indonesia kaya dengan aneka ragam gorengan. Hampir setiap daerah di Nusantar memiliki gorengan khas. Bahkan, sebuah gorengan yang bahan dan olahannya sama memiliki nama yang berbeda di setiap daerah. Saking beragamnya di Indonesia, sebuah gorengan yang sama dinamai berbeda, bakwan, misalnya. Gorengan itu juga disebut bala-bala di Jawa Barat, serta weci/heci, hongkong, dan ote-ote di beberapa daerah di Jawa Timur. Bakwan juga dinamai kandoang di Kendari, Sulawesi Tengah, dan makau atau macau di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bahkan di Jawa Tengah, bakwan disebut juga pia-pia dan badak.” Kalimat-kalimat itu seperti ingin mengesahkan orang-orang Indonesia mengalami suka duka dan bertaruh hidup-mati bersama pelbagai gorengan, tak cuma bakwan. Kita sampai paragraf agak mencengankan: “Dengan harga rata-rata paling murah RP 1.000 per biji, gorengan menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Taruhlah dalam sehari 191 juta orang atau sekitar 70 persen penduduk Indonesia mengonsumsi rata-rata tiga gorengan, uang yang bergulir sebesar RP 537 miliar per hari. Sebulan, nilai ekonomi gorengan bisa mencapai RP 17,19 triliun.” Kita belum perlu menggunakan kalkulator. Sekian minggu, harga minyak goreng tetap tinggi. Ibu-ibu sedih dan mengeluh saat suami dan anak masih saja menginginkan ada gorengan di atas meja. Warung-warung juga tetap ingin mengadakan gorengan untuk para pelanggan atau pembeli. Pedagang-pedagang susah membuat kalimat terbijak dan tergalak atas peran pemerintah dalam mengurusi minyak goreng di seantero Indonesia. Pemerintah mungkin tak berminat atau susah mengerti tema gorengan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Wallace Makan Sukun

    Orang-orang menikmati hujan dengan peristiwa-peristiwa teranggap lazim. Di rumah, pilihan menikmati minuman hangat dan gorengan menjawab hujan dan dingin. Keinginan agak bermasalah bila mengetahui harga untuk mengadakan gorengan telah “mahal”. Orang-orang mendamba gorengan saat hujan: tempe, tahu, bakwan, pisang, singkong, atau sukun. Pilihan agar tak berurusan mahal tentu dengan merebus. Minuman hangat berupa teh dan kopi tetap cocok dengan makanan-makanan direbus. Di desa-desa, orang-orang terbiasa bersantap makanan rebusan untuk menghindari atau jeda dari “kutukan-kutukan” gorengan. Kita justru berpikiran makanan saat hujan berbarengan situasi pasar sedang tak menentu dalam masalah harga. Berita-berita di koran membuat ibu-ibu agak mengurangi kebiasaan mengadakan makanan-makanan digoreng. Hujan pun bercerita tanaman. Cerita kecil untuk masa depan meski tak selalu berurusan hujan. Di Tribun Jateng, 3 November 2021, kita membaca berita mengenai tanaman. Berita kecil tapi lama menanti pembuktian. Pemerintah Kota Semarang mengadakan penanaman 6.100 pohon sukun di 16 kecamatan. Penjelasan dari Wali Kota Semarang: “Sukun ini mengandung karbohidrat yang tinggi, jadi bisa untuk pengganti nasi. Selain itu pohon sukun karena daunnya banyak, jadi rindang dan bisa menghasilkan banyak oksigen sehingga membuat Kota Semarang adem.” Kalimat mengandung impian dan “berlebihan” untuk menantikan pohon itu besar dan berbuah. Penantian masih lama gara-gara pohon sukun ditanam baru memiliki ketinggian 2-3 meter. Tahun demi tahun, acara-acara penanaman pohon dilakukan pelbagai tempat. Slogan dan pesan disampaikan para pejabat, tokoh publik, pengusaha, seniman, artis, dan lain-lain. Kita mulai sulit kaget meski sekian acara penanaman dianggap memecahkan rekor. Kita masih jarang mendapatkan berita mengenai nasib ribuan atau jutaan tanaman setelah sekian bulan atau tahun. Kini, kita berurusan dengan berita penanaman sukun oleh pihak pemerintah. Kita maklumi saja. Kita berlanjut memikirkan sukun tapi berbeda acuan dan arah dari penjelasan para pejabat. Pada abad XIX, sukun terceritakan untuk para pembaca di Eropa. Pencerita berdasarkan perjalanan dan keilmuan itu bernama Alfred Russel Wallace. Kita membaca warisan buku besar berjudul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam (2009). Wallace melakukan perjalanan ke Ambon, Banda, Ternate, dan lain-lain. Di pelbagi tempat, ia mencatat dan memberi penjelasan untuk manusia, flora, dan fauna. Wallace memiliki pengalaman mengesankan: “Selama berada di Paso, saya benar-benar menikmati suatu kemewahan yang tidak pernah dan tidak akan saya rasakan lagi – buah sukun yang sebenarnya. Banyak pohon sukun ditanam di sini dan kampung-kampung sekitarnya.” Manusia asal Eropa terpana melihat pemandangan dan mengakui kelezatan sukun. Wallace wajib mengisahkan untuk orang-orang di Eropa agar membuktikan berdalih ilmu atau iri. Manusia asal Eropa terpana melihat pemandangan dan mengakui kelezatan sukun. Wallace wajib mengisahkan untuk orang-orang di Eropa agar membuktikan berdalih ilmu atau iri. Selama di Paso, ia suka makan sukun dipanggang. Pengamatan atas kebiasaan penduduk setempat: “Kami kadang-kadang menyajikannya dengan gula dan direbus, atau dipotong-potong lalu digoreng. Namun, penyajian yang paling enak tetap dengan dipanggang biasa. Sukun bisa dimakan manis ataupun pedas.” Pengisahan tak terucap oleh para pejabat atau pihak-pihak turut dalam acara penanaman 6.100 pohon sukun di Semarang. Publik kadang menginginkan cerita-cerita mengesankan ketimbang penjelasan klise dan berlebihan. Di buku dokumentatif dan keilmuan di Nusantara susunan Wallace, kita menemukan sukun. Kalimat-kalimat mendeskripsikan tanaman dan lahan. Pembaca tak lupa digoda dengan kenikmatan makan sukun. Wallace memiliki pengharapan: “Kini, dengan adanya kapal uap dan penemuan ‘kotak Ward’ (terarium untuk mengirim tanaman hasil penemuan Nathaniel Ward pada 1829), penyebaran tumbuhan sukun muda menjadi mudah, sehingga menimbulkan harapan bagi kita bahwa varietas-varietas terbaik dari tumbuhan yang tak ada duanya ini dapat dibawa ke Kepulauan India Barat, untuk dikembangkan di sana. Setelah buahnya dikumpulkan, kita pun bisa mendapatkan kudapan tropis ini di Covent Garden Market.” Ingatlah, Wallace suka sukun! Sukun pun cerita di Afrika Timur dalam babak-babak perdagangan baru dan kolonialisme. Kita bergerak jauh ke Afrika Timur, mengikuti pengisahan Abdulrazak Gurnah dalam novel berjudul Paradise (2007). Nama pengarang mulai menimbulkan penasaran bagi peminat sastra dunia. Abdulrazak Gurnah masih agak asing bagi para pembaca di Indonesia meski ia mendapat Nobel Sastra (2021). Paradise, novel telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki pengisahan sukun. Novel mungkin tak teringat sebagai referensi dalam penanaman pohon sukun di Semarang. Tokoh masih remaja bernama Yusuf dititipkan kepada keluarga memiliki toko dengan penghasilan cukup. Yusuf belajar mengelola toko dan mengurusi rumah. Abdulrazak Gurnah bercerita: “Selain pekerjaan di toko, Yusuf harus menyapu tanah lapang pada pagi dan sore hari. Dia mengumpulkan sukun-sukun yang jatuh di bawah pohon dan menumpuknya dalam keranjang, yang setiap hari diambil oleh seorang pria dari pasar. Buah yang pecah dibuangnya ke halaman belakang. Mereka sendiri tidak pernah memakan buah itu.” Di sana, keberadaan pohon-pohon sukun itu biasa. Orang-orang memiliki cara untuk menjadikan sukun adalah dagangan dan makanan. Di Afrika Timur, sukun menguak sejarah perbudakan. Kita mungkin tak menduga bila belum membaca pengisahan dalam Paradise. Penjelasan dari tokoh cerita: “Tempat itu dahulunya adalah sebuah pangkalan pemberhentian untuk kafilah-kafilah dari pedalaman, jelas Hamid. Itu sebelum pasangan tersebut datang untuk tinggal dan bekerja di sana, ketika tempat itu masihlah sebuah pangkalan yang ramai. Buah sukun tersebut untuk memberi makan para kuli dan budak, yang akan makan apa saja sesudah berjalan jauh di hutan belantara. Bukan berarti mereka merasa ada yang salah dengan buah sukun tersebut.” Kita berimajinasi orang-orang lapar dan menjadikan buah sukun sebagai jawaban untuk perut. Yusuf perlahan mengerti keputusan bahwa sukun-sukun berjatuhan di tanah lapang tak disantap di rumah. Yusuf cuma menumpang dan sedang belajar hidup tapi sempat berpikiran sukun. Di keluarga agak kecukupan itu sukun bukan makanan penting. Kita mengutip: “Tuhan tahu bahwa yang sekarang mereka makan sebagai ganti buah sukun adalah makanan yang sederhana saja, meskipun Yusuf tidak boleh menganggap hal itu sebagai alasan untuk membenci buah sukun. Hanya saja buah sukun membuat orang teringat perbudakan.” Kita terlambat mengetahui dan mengumpulkan cerita-cerita mengenai sukun. Kini, kita sudah mendapat berita mengenai pengharapan atas tanaman sukun di Semarang. Buku keilmuan dan novel sudah terbaca. Kita memiliki penafsiran beragam setelah berita-berita. Cerita mungkin mengantar ke renungan sambil kita menikmati hujan dengan teh hangat dan sukun goreng. Begitu. Bandung Mawardi Penulis buku Persembahan (2021) dan Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)

  • Girang Berbahasa

    MINGGU itu berbahasa. Di Suara Merdeka, 24 Oktober 2021, tulisan hampir sehalaman berjudul “Bahasa Gaul Pilihan Generasi Z”. Pembaca berpikiran bahasa saat hari libur. Bahasa itu milik kaum muda. Konon, bahasa tak pernah libur. Masalah-masalah bahasa selalu ada. Bahasa enggan absen. Hari demi hari, bahasa masih masalah. Di lembaran koran, bahasa dipermasalahkan dengan kegirangan kaum muda mencipta, mengubah, menggunakan, dan mengartikan kata-kata. Pendokumentasian dari keramaian kata sekian tahun, sebelum nanti berdatangan masalah-masalah baru. Situasi atau lakon berbahasa masa sekarang mendapat tanggapan dari Ganjar Harimansyah sebagai “lanjutan” kemunculan bahasa prokem pada masa 1970-an. “Semula pilihan bahasa itu digunakan sebagai bahasa sandi untuk merahasiakan obrolan dalam komunitas tertentu, tetapi kata-kata tersebut lama-kelamaan menjadi bahasa sehari-hari dan dikenal banyak orang,” penjelasan Ganjar H. Masa lalu wajib teringat untuk mengetahui kehebohan bahasa Indonesia abad XXI. Kini, produksi dan peredaran kata-kata khas kaum muda mencipta keramaian di media sosial. Kata-kata tergunakan dalam beragam acara televisi. Di obrolan keseharian, sekian kata itu menular cepat. Orang-orang mungkin senang atau merasa marem turut menggunakan kata-kata dianggap menandai kehebohan berbahasa. Mereka mungkin sumpek atau bosan dengan bahasa Indonesia hasil dari belajar di sekolah atau dilimpahi petuah-petuah pemerintah. Dulu, bahasa prokem berperan dalam perkembangan bahasa Indonesia. Pada 1988, terbit Kamus Bahasa Prokem susunan Prathama Rahardja dan Henri Chambert-Loir. Buku kecil laris. Ikhtiar menjadikan lengkap atau sempurna diwujudkan dengan terbitan edisi kedua pada 1990. Pada masa 1990-an, pengaruh bahasa prokem masih tampak meski mulai ada geliat-geliat lain tak membiarkan bahasa Indonesia baik-baik saja. Kamus kecil laris itu diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Kita beruntung masih bisa mendapat dan mengingat. Pengantar dari penerbit: “Terlepas suka atau tidak suka, bahasa prokem telah banyak dipergunakan, terutama di kalangan kawula muda. Beberapa di antara kosakatanya bahkan sudah demikian populer mengisi perbincangan sehari-hari, dan hadir pula dalam beberapa karya tulis fiksi. Hal itu mengakibatkan munculnya desakan kebutuhan untuk lebih mengenal bahasa ‘mbeling’ ini.” Bahasa itu milik kaum muda tapi menular ke siapa-siapa saja. Di kamus, kita mengutip acak: bakul (pantat), cipoa (bohong), gaek (tua), imut (lucu), katro (kampungan), dan lalat ijo (tentara). Sekian kata masih ada. Sekian kata tak lagi digunakan. Kamus itu tetap penting atas kelahiran dan kematian kata-kata. Henri Chambert-Loir menjelaskan: “Bahasa prokem adalah salah satu di antara sekian banyak gejala mengenai kaum remaja sebagai satu golongan masyarakat. Bahasa prokem menimbulkan pertanyaan. Gejala itu tidak boleh dinafikan atau dianggap remeh, tetapi juga perlu diamati sebagai akibat dan cerminan satu kenyataan sosial.” Anjuran baik berbarengan rezim Orde Baru memerintahkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dulu, orang-orang pernah sekolah mendapat pengaruh besar berbahasa Indonesia dari buku-buku (pelajaran) garapan Sutan Takdir Alisjahbana, JS Badudu, Gorys Keraf, Henry Guntur Tarigan, Harimurti Kridalaksana, Anton M Moeliono, Ramlan, dan lain-lain. Mereka adalah ahli bahasa. Sekian orang itu memiliki gelar kesarjanaan dalam linguistik. Pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia menjadi berat dan serius. Bahasa Indonesia diwajibkan dipelajari dan nilai menentukan nasib di jenjang pendidikan. Orang-orang kesulitan menggemari (pelajaran) bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sulit menjadi hiburan meski Indonesia masih memiliki lawak, dagelan, film humor, lagu lucu, puisi mbeling, dan lain-lain. Kemunculan bahasa prokem memiliki keinginan lolos dari pengawasan ketat dan anjuran-anjuran biasa memaksa. Di situ, ada kemauan, keberanian, dan hiburan. Kata-kata tergunakan tanpa ketakutan memicu kisruh dengan bahasa diakui resmi dan formal. Pada 1996, Remy Sylado mengingatkan dengan tulisan berjudul “Bahasa Kita Bukan Hanya Diurus Sarjana Bahasa.” Judul sudah kritik. Ia mengumumkan: “Berangkat dari alasan itu, atas inisiatif sendiri, saya lebih suka menempatkan diri sebagai munsyi: suatu kata yang lebih tepat dipahami pada komprehensi ganda antara seseorang dengan inklanasi kesukacitaan berbahasa Indonesia, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seseorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam idealitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya.” Kita mengingat ia menulis novel-novel pop dan puisi mbeling. Ia rajin menulis esai-esai musik, sastra, bahasa, dan budaya pop. Pengumuman itu perlu, setelah kita membaca novel-novel terakhir gubahan Remy Sylado mulai “serius”. Bahasa boleh diurus kaum muda. Konon, sekian pihak mengatakan itu merusak, menggagu, atau menghancurkan. Tuduhan-tuduhan mudah dibantah. Kaum muda dalam omongan memungkinkan pemunculan bahasa-bahasa meriah, berbeda dari kemauan mereka dalam tulisan. Kecepatan penularan bahasa makin membuktikan kaum muda tak main-main dengan bahasa (Indonesia). Lakon itu berbeda dengan rutinitas pemerintah mengadakan acara pemilihan duta bahasa Indonesia. Kaum muda dalam omongan memungkinkan pemunculan bahasa-bahasa meriah, berbeda dari kemauan mereka dalam tulisan. Kecepatan penularan bahasa makin membuktikan kaum muda tak main-main dengan bahasa (Indonesia). Lakon itu berbeda dengan rutinitas pemerintah mengadakan acara pemilihan duta bahasa Indonesia. Di Media Indonesia, 29 Oktober 2021, kita membaca: “Mendikbudristek berpesan pada Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra dan Sumpah Pemuda kali ini, dia mengajak anak-anak Indonesia untuk terus menyalakan semangat untuk mencintai dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai identitas kebangsaan.” Kita mengangguk saja untuk melegakan pesan besar dari menteri. Dua diksi itu sulit dimengerti bagi orang-orang kecewa dan “berduka” belajar bahasa Indonesia sejak SD: mencintai dan mengembangkan. Bahasa Indonesia sering mengingatkan buku pelajaran, guru, ujian, pidato resmi, dan lain-lain. Kaum muda ingin bahasa memberi hiburan selain memberi ikatan bersama di Indonesia. Pilihan diksi mungkin bukan “mencintai” dan “mengembangkan”. Kaum muda boleh menjadikan bahasa Indonesia itu “hiburan”. Kita mengikuti penjelasan Remy Sylado (2005) saja ketimbang bingung, malu, dan ruwet dalam bersikap untuk bahasa Indonesia: “Maka, janganlah mengira bahasa Indonesia adalah bahasa yang steril dari pengaruh sana-sini. Malahan, kita dapat berkata bahwa bahasa Indonesia yang berciri modern dasarnya adalah centang-perenang juga.” Kita menggunakan bahasa Indonesia tak harus selalu dibebani kenangan-kenangan buruk selama belajar bahasa Indonesia di sekolah. Bahasa Indonesia itu mengundang kita bergirang, terhibur, dan sadar martabat tanpa keminderan dengan perintah-perintah kaum pejabat dan sarjana. Begitu. Bandung Mawardi, redaksi Majalah Basis, kuncen Bilik Literasi Solo, redaksi suningsih.net, penulis buku Persembahan (2021) dan Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)

  • "Pengunjung" Kamus

    HARI-HARI menjelang peringatan Sumpah Pemuda, orang-orang mengingat dan berpikiran bahasa. Sumpah oleh kaum muda itu mementingkan bahasa. Pada masa berbeda, bahasa tetap penting sambil mendapat prihatin, kecewa, pujian, dan keraguan. Bahasa tak lagi disumpahkan. Bahasa tergunakan saja dengan beragam masalah tak wajib terjawab. Di Suara Merdeka, 22 Oktober 2021, kita membaca berita mengenai bahasa dalam kamus. Bahasa diawetkan dan dimanjakan dalam kamus. Kita simak: “Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) menerbitkan Kamus Budaya Jawa versi daring. Upaya itu merupakan salah satu bentuk sumbangsih institusi tersebut pada bahasa Jawa dan masyarakat Jawa Tengah.” Kamus tak menggunakan judul dengan diksi bahasa tapi mengaku merawat dan memajukan bahasa Jawa. Kamus tanpa kertas. Orang-orang tak melihat ketebalan kamus. Rupa kamus tak seperti masa lalu saat orang-orang mencari kata dan makna. Kamus tersimpan di gawai. Cara melihat kamus dan “membuka” kamus telah berubah. Kita ingin mengerti (bahasa) Jawa dimanjakan gawai berkaidah gampang dan cepat. Tata cara membaca kamus tak lagi seperti seratusan tahun lalu. Kamus dicap daring itu belum lengkap. Ikhtiar merawat kata-kata dilakukan BPPJT bersama pelbagai pihak. Kita menduga jumlah kata masuk dalam kamus diinginkan terus bertambah. Kemauan mengurusi bahasa Jawa dianggap bakal berfaedah dalam penambahan lema-lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pembuatan kamus itu sulit. Orang tekun mengurusi kata dan makna menanggungkan nasib tak keruan. Berdoa dan berharap berkah Tuhan itu memberi kesungguhan dalam membuat kamus. Politik, keilmuan, dakwah, dan bisnis berpengaruh dalam pembuatan kamus: gagal atau berhasil. Pembuat kamus pun mengalami repot-repot memicu konflik, sakit, dan kematian. Kamus-kamus dihasilkan pada masa lalu berwujud cetak. Kamus itu buku-buku sering tebal dan besar. Kehadiran kamus berselera daring sulit memicu penasaran pembaca untuk mengerti kamus-kamus edisi cetak diselenggarakan sejak lama di Nusantara. Sejarah perkamusan bahasa Jawa memiliki terang-gelap. Kita berjarak jauh. Warisan kamus-kamus dan biografi para pembuat kamus membuat kita tebar pujian dan berair mata. Keinginan mengetahui sejarah perkamusan seperti membaca “roman” tapi tak lengkap. Kita mundur ke abad XIX. Di Jawa, urusan bahasa, kamus, dan Alkitab itu dipikirkan oleh Gericke, sarjana asal Belanda. Ia memiliki misi besar dalam menguasai dan menggunakan bahasa Jawa dalam jalinan-jalinan rumit dan rawan konflik. Di buku berjudul Mengikuti Jejak Leijdecker (2006) susunan JL Swellengrebel, kita membaca: “Selama hampir 30 tahun di Surakarta, Gericke banyak dan secara teratur bergaul dengan orang-orang Jawa, yang agaknya lebih banyak dan intensif dengan kalangan atas daripada dengan kalangan bawah. Ia sering berkunjung ke keraton, bercakap-cakap dengan susuhunan dan para pangeran, dan merasa senang dengan penghargaan mereka atas kemahirannya berbahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa tinggi. Dapat dibayangkan bahwa ia menikmati bentuk bahasa yang berbelit-belit dan khidmat itu, yang memang agak cocok dengan kepribadiannya. Hubungan-hubungan seperti itu tentu meningkatkan keahliannya berbahasa Jawa.” Tata cara itu mengesahkan ia membuat buku tata bahasa Jawa dan kamus. Ia pun mengerti misi suci berupa penerjemahan Alkitab dalam bahasa Jawa. Dulu, usaha membuat kamus itu sulit. Dana besar diperlukan dan restu dari pelbagai pihak menentukan kelancaran. Pembuat kamus sibuk dengan buku-buku, melakukan pergaulan, menempuhi perjalanan jauh. Tahun demi tahun berlalu, pembuat kamus memberi pengabdian bahasa dengan segala derita, kebahagiaan, sengketa, dan keharuan. Bahasa Jawa terpilih dalam pembuatan kamus-kamus berkaitan politik, agama, pendidikan, bisnis, seni, dan lain-lain. Pada masa berbeda, pembuatan kamus-kamus dilakukan oleh WJS Poerwadarminta. Kamus-kamus dibuat sejak masa 1920-an. Sekian kamus kecil terbit di Jogjakarta. Kamus-kamus menggerakan bahasa Jawa berbarengan dengan keinginan kaum muda dan kaum pergerakan politik-kebangsaan menginginkan pemuliaan bahasa Indonesia. Ketekunan membuat kamus bahasa Jawa mendapat kesempurnaan dengan penerbitan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Poerwadarminta dikenali publik sebagai pembuat kamus bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa. Kamus-kamus susunan Poerwadarminta terbukti digunakan dalam pembuatan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bahasa Jawa dianggap berkembang dan macet ditilik dari politik, pendidikan, sastra, dan keilmuan. Sejak masa kekuasaan Soekarno, bahasa Jawa masuk dalam pidato-pidato politik dan berpengaruh dalam pembesaran gagasan-gagasan sosial-kultural. Pada masa Orde Baru, bahasa Jawa menjadi kekhasan bagi Soeharto dalam memberi perintah-perintah dan larangan-larangan. Di pendidikan dan sastra, bahasa Jawa belum terpastikan bernasib baik atau memiliki arus pertumbuhan menakjubkan. Pelbagai pihak malah prihatin dan sedih dengan nasib bahasa Jawa. Situasi tak menguntungkan tetap memberi kabar bahwa bahasa Jawa masih diajarkan dan orang-orang memerlukan kamus. Pada 2015, terbit Kamus Indonesia-Jawa susunan Sutrisno Sastro Utomo. Kamus tebal dan berharga mahal. Penjelasan maksud pembuatan kamus: “Banyak dijumpai penutur bahasa Jawa yang mulai kesulitan menggunakan bahasa Jawa karena pengaruh bahasa yang paling dominan, bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, saya memberanikan diri menyusun kamus ini, dengan maksud membantu mereka yang mencari padanan kata dalam bahasa Jawa. Penyusunannya ditekankan pada memberikan padanan kata dalam bahasa Jawa dengan keterangan singkat dalam bahasa Indonesia untuk memperjelas maksudnya.” Orang-orang Jawa mulai kerepotan dalam berbahasa Jawa gara-gara terbiasakan berbahasa Indonesia. Kamus berwarna merah hati itu memberi petunjuk bagi orang ulang-alik berbahasa Indonesia dan Jawa. Kamus bisa dibuka setiap saat. Kamus dengan kertas untuk dipangku atau ditaruh di atas meja. Kamus masih berselera “lama” saat orang-orang memuja digital. Kamus itu mungkin tak laris. Penerbitan kamus-kamus di Indonesia pada abad XXI sulit mendapatkan pembeli dan pembaca. Kamus masih buku-cetak terhormat tapi ditinggalkan berdalih apa saja. Tangan memegang ponsel pintar, orang bisa merasa “memiliki” kamus. BBPJT mengundang kita mengunjungi dan menggunakan kamus cap daring. Kita diminta menggerakan jari melalui sentuhan-sentuhan dan tekanan. Tampil di hadapan mata dua logo: institusi pemerintah dan universitas swasta. Di situ, ada “buku tamu”. Kita diminta mengisi data diri. Kita adalah “pengunjung”. Tata cara terbukti berbeda dengan tangan-tangan orang lawasan membuka halaman-halaman kamus-kamus sering tebal. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Di Sana, Malaria ...

    PAPUA ditonton jutaan pasang mata. Papua bertema berbeda, setelah ingatan-ingatan terbentuk sejak masa kolonial sampai rezim Orde Baru. Pada situasi berbeda, Papua tetap tema tapi ingin terbedakan dalam urusan pendidikan, kesehatan, seni, olahraga, kesehatan, pariwisata, dan lain-lain. PON XX menjadikan orang-orang memikirkan Papua: berbeda atau sama. Di Solopos, 15 Oktober 2021, terbaca berita: “Sementara itu, atlet maupun ofisial wajib mengikuti tes PCR dan pemeriksaan malaria mengingat Provinsi Papua merupakan daerah endemi penyakit tersebut.” Papua masih diingat dengan malaria. Masa demi masa, malaria belum menghilang. Dulu, kita mengenali Papua itu Irian Barat. Pada masa kekuasaan Soekarno, Irian Barat atau Papua menjadi tema besar dan pelik. Revolusi memihak nasib Papua berhadapan dengan kekuasaan asing. Pada masa berbeda, sejarah itu memunculkan gejolak-gejolak mengandung kekerasan dan kematian. “Sudah tiga tahun, pemerintah memperdjoangkan kembalinja Irian Barat ke wilajah Indonesia,” tulis Julli Effendie dalam buku berjudul Irian Barat (1952). Keterangan singkat terberikan: “Nama Irian berasal dari daerah teluk Geelvink, daerah jang mendjadi propinsi kultur jang termadju dari pulau besar ini. Sebutan asalnja ialah Papua, menjatakan bahwa penduduknja berambut keriting.” Penjelasan itu minta tambahan dengan kita membaca puluhan buku sering ditulis sarjana asing. Papua masih bercerita malaria. Dulu, malaria itu momok merepotkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan kesehatan pada masa kekuasaan Soekarno. Beragam ikhtiar dilakukan untuk kesadaran bersama dalam memusnahkan malaria di Indonesia. Susah! Kini, malaria masih ada membuktikan tata cara pembasmian belum mujarab. Kita bisa mengingat usaha masa lalu dengan membaca buku-buku petunjuk dan propaganda. Buku tipis berjudul Pemberantasan Malaria (1952) dipersembahkan oleh Bandoengsche Kininefabriek. Buku diberikan kepada Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Para guru dan murid di sekolah dianjurkan mempelajari secara serius. Seruan untuk guru: “Selaku pendidik pemuda Indonesia, saudara djuga dapat memberikan bantuan jang bukan sedikit dalam perkara pemberantasan malaria, jaitu dengan djalan menerangkan kepada murid-murid, apakah artinja malaria itu, bagaimana tjara berdjangkitnja, dan bagaimana kita dapat mentjegah timbulnja serta menjembuhkannja dengan kinine.” Buku memuat keterangan-keterangan singkat dan gambar. Buku persembahan dari perusahaan mengungkap sejarah: “Pada achir abad ke-19, setelah diketahui orang bagaimana malaria dapat menular dari seorang kepada seorang, dan setelah tersedia pula obat kinine dengan tjukupnja, maka baharulah pemberantasan malaria dapat dimulai dengan sungguh-sungguh diseluruh dunia. achirnja Indonesia sadjalah jang dapat menghasilkan kinine itu buat seluruh dunia, karena hanja di Indonesia satu-satunja negara didunia, orang berhasil dengan susah pajah mendirikan perusahaan kina setjara besar-besaran.” Dulu, pemberantasan malaria di Indonesia sulit bilak cuma dikerjakan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Peran perusahaan-perusahaan dan negara asing diperlukan untuk “perang besar” memberantas malaria. Pembahasaan keras terdapat dalam buku berjudul Marilah Kita Basmi Malaria Musuh Rakjat! Buku tipis diadakan Biro Visuil Kementerian Penerangan. Selera propaganda demi kebaikan bersama terbaca: “Njamuk malaria menularkan penjakit malaria dikalangan rakjat. Penjakit ini sangat berbahaja dan dapat mengurangkan dan menghantjurkan daja hidup masjarakat dan akibatnja menimbulkan kemelaratan rakjat. Malaria terdapat diseluruh tanah air Indonesia. dia mengambil korban jang sangat besar.” Ingat, malaria tak cuma di Papua. Malaria itu musuh bersama. Malaria dianggap jahat dan menghancurkan. Revolusi bermakna bila memenangkan perang melawan malaria. Janji pemerintah disampaikan: “Pemerintah menjadari kesengsaraan rakjat ini dan merentjanakan untuk membasminja selama 10 tahun terus-menerus jang akan dimulai pada tahun 1959. Dengan bantuan segenap lapisan masjarakat, sesudah 10 tahun penjakit malaria akan hapus dari bumi Indonesia.” Janji belum pernah terbukti. Pada 2021, orang-orang masih ditakutkan dengan malaria. Pemberitaan mengenai PON XX di Papua dalam suasana masih wabah justru ditambahi berita mencegah atau terhindar dari malaria. Pembahasaan dalam kebijakan dan kerja dari pemerintah kadang mencengangkan. Kita cuma mengingat masalah malaria, belum berlanjut hal-hal lain. Malaria masih saja momok. Cara hidup dan obat belum sanggup menghapus malaria. Urusan tak mudah. Di buku propaganda itu ada peringatan: “Njamuk malaria menggigit orang jang sakit malaria. Kemudian njamuk malaria itu menggigit orang jang sehat.” Peringatan bahwa penularan bisa terjadi cepat. Orang-orang diajak berpikiran kesehatan, kebersihan, keselamatan, dan lain-lain. Kita belajar lagi tentang penyakit. Buku berjudul Penyakit: Citra, Alam, dan Budaya (1989) susunan Benyamin Lumenta memberikan keterangan-keterangan penting bagi pembaca ingin mengetahui beragam hal. Kita mengutip: “Kadang-kadang alam itu penting bagi manusia, tetapi seringkali tidak ramah. Demikian pun manusia hidup di tengah alam abiotis, yang menyebabkan berbagai pengaruh fisis dan kimiawi, dapat menguntungkan dan merugikan. Di samping itu banyak masalah kepercayaan, kebiasaan dan tingkah laku manusia dapat turut mengakibatkan baik alam biotis maupun alam abiotis mengganggu keseimbangan hidup manusia dan akhirnya menyebabkan penyakit. Tampaklah bahwa lingkungan manusia merupakan sumber penyebab gangguan dalam keseimbangan hidupnya.” Orang-orang diajak mengerti diri dan penyakit. Kesabaran dan kemauan mempelajari kadang terkalahan dengan kecepatan mengerti obat. Iklan-iklan obat gampang berdatangan dengan kata dan gambar penuh kepastian. Kita memikirkan obat-obat tapi sulit mengerti beragam perkara sebelum, saat, dan setelah sakit. Penyakit itu pelajaran bisa diketahui dengan membaca dan obrolan, selain menonton acara-acara bertema kesehatan di televisi atau media sosial. Pelajaran sulit diberikan Susan Sontag dalam buku berjudul Penyakit Sebagai Metafora (2021). Judul saja sudah memusingkan. Ia menerangkan: “Dua penyakit secara mengagumkan, dan dengan cara yang sama, diganduli ornamen metafora: tuberkulosis dan kanker. Fantasi yang diilhami oleh tuberkulosis di abad paling akhir, tang kini diilhami oleh kanker, adalah tanggapan terhadap penyakit yang dianggap sulit disembuhkan dan tak terduga-duga – yaitu penyakit yang tak dipahami – di zaman ketika premis utama pengobatan adalah semua penyakit dapat disembuhkan. Penyakit semacam itu, seturut definisi, sungguh misterius.” Kita kewalahan dalam mengerti penyakit. Metafora-metafora bertumbuh meminta orang memiliki kecermatan dalam bahasa dan raga. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

bottom of page