top of page
Cari

Wallace Makan Sukun

Orang-orang menikmati hujan dengan peristiwa-peristiwa teranggap lazim. Di rumah, pilihan menikmati minuman hangat dan gorengan menjawab hujan dan dingin. Keinginan agak bermasalah bila mengetahui harga untuk mengadakan gorengan telah “mahal”. Orang-orang mendamba gorengan saat hujan: tempe, tahu, bakwan, pisang, singkong, atau sukun.


Pilihan agar tak berurusan mahal tentu dengan merebus. Minuman hangat berupa teh dan kopi tetap cocok dengan makanan-makanan direbus. Di desa-desa, orang-orang terbiasa bersantap makanan rebusan untuk menghindari atau jeda dari “kutukan-kutukan” gorengan. Kita justru berpikiran makanan saat hujan berbarengan situasi pasar sedang tak menentu dalam masalah harga. Berita-berita di koran membuat ibu-ibu agak mengurangi kebiasaan mengadakan makanan-makanan digoreng.


Hujan pun bercerita tanaman. Cerita kecil untuk masa depan meski tak selalu berurusan hujan. Di Tribun Jateng, 3 November 2021, kita membaca berita mengenai tanaman. Berita kecil tapi lama menanti pembuktian. Pemerintah Kota Semarang mengadakan penanaman 6.100 pohon sukun di 16 kecamatan. Penjelasan dari Wali Kota Semarang: “Sukun ini mengandung karbohidrat yang tinggi, jadi bisa untuk pengganti nasi. Selain itu pohon sukun karena daunnya banyak, jadi rindang dan bisa menghasilkan banyak oksigen sehingga membuat Kota Semarang adem.” Kalimat mengandung impian dan “berlebihan” untuk menantikan pohon itu besar dan berbuah. Penantian masih lama gara-gara pohon sukun ditanam baru memiliki ketinggian 2-3 meter.

Tahun demi tahun, acara-acara penanaman pohon dilakukan pelbagai tempat. Slogan dan pesan disampaikan para pejabat, tokoh publik, pengusaha, seniman, artis, dan lain-lain. Kita mulai sulit kaget meski sekian acara penanaman dianggap memecahkan rekor. Kita masih jarang mendapatkan berita mengenai nasib ribuan atau jutaan tanaman setelah sekian bulan atau tahun. Kini, kita berurusan dengan berita penanaman sukun oleh pihak pemerintah. Kita maklumi saja.



Gambar: https://pixabay.com


Kita berlanjut memikirkan sukun tapi berbeda acuan dan arah dari penjelasan para pejabat. Pada abad XIX, sukun terceritakan untuk para pembaca di Eropa. Pencerita berdasarkan perjalanan dan keilmuan itu bernama Alfred Russel Wallace. Kita membaca warisan buku besar berjudul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam (2009). Wallace melakukan perjalanan ke Ambon, Banda, Ternate, dan lain-lain. Di pelbagi tempat, ia mencatat dan memberi penjelasan untuk manusia, flora, dan fauna.

Wallace memiliki pengalaman mengesankan: “Selama berada di Paso, saya benar-benar menikmati suatu kemewahan yang tidak pernah dan tidak akan saya rasakan lagi – buah sukun yang sebenarnya. Banyak pohon sukun ditanam di sini dan kampung-kampung sekitarnya.” Manusia asal Eropa terpana melihat pemandangan dan mengakui kelezatan sukun. Wallace wajib mengisahkan untuk orang-orang di Eropa agar membuktikan berdalih ilmu atau iri.


Manusia asal Eropa terpana melihat pemandangan dan mengakui kelezatan sukun. Wallace wajib mengisahkan untuk orang-orang di Eropa agar membuktikan berdalih ilmu atau iri.

Selama di Paso, ia suka makan sukun dipanggang. Pengamatan atas kebiasaan penduduk setempat: “Kami kadang-kadang menyajikannya dengan gula dan direbus, atau dipotong-potong lalu digoreng. Namun, penyajian yang paling enak tetap dengan dipanggang biasa. Sukun bisa dimakan manis ataupun pedas.” Pengisahan tak terucap oleh para pejabat atau pihak-pihak turut dalam acara penanaman 6.100 pohon sukun di Semarang. Publik kadang menginginkan cerita-cerita mengesankan ketimbang penjelasan klise dan berlebihan.


Di buku dokumentatif dan keilmuan di Nusantara susunan Wallace, kita menemukan sukun. Kalimat-kalimat mendeskripsikan tanaman dan lahan. Pembaca tak lupa digoda dengan kenikmatan makan sukun. Wallace memiliki pengharapan: “Kini, dengan adanya kapal uap dan penemuan ‘kotak Ward’ (terarium untuk mengirim tanaman hasil penemuan Nathaniel Ward pada 1829), penyebaran tumbuhan sukun muda menjadi mudah, sehingga menimbulkan harapan bagi kita bahwa varietas-varietas terbaik dari tumbuhan yang tak ada duanya ini dapat dibawa ke Kepulauan India Barat, untuk dikembangkan di sana. Setelah buahnya dikumpulkan, kita pun bisa mendapatkan kudapan tropis ini di Covent Garden Market.” Ingatlah, Wallace suka sukun!


Sukun pun cerita di Afrika Timur dalam babak-babak perdagangan baru dan kolonialisme. Kita bergerak jauh ke Afrika Timur, mengikuti pengisahan Abdulrazak Gurnah dalam novel berjudul Paradise (2007). Nama pengarang mulai menimbulkan penasaran bagi peminat sastra dunia. Abdulrazak Gurnah masih agak asing bagi para pembaca di Indonesia meski ia mendapat Nobel Sastra (2021). Paradise, novel telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki pengisahan sukun. Novel mungkin tak teringat sebagai referensi dalam penanaman pohon sukun di Semarang.


Tokoh masih remaja bernama Yusuf dititipkan kepada keluarga memiliki toko dengan penghasilan cukup. Yusuf belajar mengelola toko dan mengurusi rumah. Abdulrazak Gurnah bercerita: “Selain pekerjaan di toko, Yusuf harus menyapu tanah lapang pada pagi dan sore hari. Dia mengumpulkan sukun-sukun yang jatuh di bawah pohon dan menumpuknya dalam keranjang, yang setiap hari diambil oleh seorang pria dari pasar. Buah yang pecah dibuangnya ke halaman belakang. Mereka sendiri tidak pernah memakan buah itu.” Di sana, keberadaan pohon-pohon sukun itu biasa. Orang-orang memiliki cara untuk menjadikan sukun adalah dagangan dan makanan.


Di Afrika Timur, sukun menguak sejarah perbudakan. Kita mungkin tak menduga bila belum membaca pengisahan dalam Paradise. Penjelasan dari tokoh cerita: “Tempat itu dahulunya adalah sebuah pangkalan pemberhentian untuk kafilah-kafilah dari pedalaman, jelas Hamid. Itu sebelum pasangan tersebut datang untuk tinggal dan bekerja di sana, ketika tempat itu masihlah sebuah pangkalan yang ramai. Buah sukun tersebut untuk memberi makan para kuli dan budak, yang akan makan apa saja sesudah berjalan jauh di hutan belantara. Bukan berarti mereka merasa ada yang salah dengan buah sukun tersebut.” Kita berimajinasi orang-orang lapar dan menjadikan buah sukun sebagai jawaban untuk perut.


Yusuf perlahan mengerti keputusan bahwa sukun-sukun berjatuhan di tanah lapang tak disantap di rumah. Yusuf cuma menumpang dan sedang belajar hidup tapi sempat berpikiran sukun. Di keluarga agak kecukupan itu sukun bukan makanan penting. Kita mengutip: “Tuhan tahu bahwa yang sekarang mereka makan sebagai ganti buah sukun adalah makanan yang sederhana saja, meskipun Yusuf tidak boleh menganggap hal itu sebagai alasan untuk membenci buah sukun. Hanya saja buah sukun membuat orang teringat perbudakan.”


Kita terlambat mengetahui dan mengumpulkan cerita-cerita mengenai sukun. Kini, kita sudah mendapat berita mengenai pengharapan atas tanaman sukun di Semarang. Buku keilmuan dan novel sudah terbaca. Kita memiliki penafsiran beragam setelah berita-berita. Cerita mungkin mengantar ke renungan sambil kita menikmati hujan dengan teh hangat dan sukun goreng. Begitu.



 

Bandung Mawardi

Penulis buku Persembahan (2021) dan Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)


172 tampilan
bottom of page