Di Sana, Malaria ...
top of page
Cari

Di Sana, Malaria ...

PAPUA ditonton jutaan pasang mata. Papua bertema berbeda, setelah ingatan-ingatan terbentuk sejak masa kolonial sampai rezim Orde Baru. Pada situasi berbeda, Papua tetap tema tapi ingin terbedakan dalam urusan pendidikan, kesehatan, seni, olahraga, kesehatan, pariwisata, dan lain-lain. PON XX menjadikan orang-orang memikirkan Papua: berbeda atau sama.


Di Solopos, 15 Oktober 2021, terbaca berita: “Sementara itu, atlet maupun ofisial wajib mengikuti tes PCR dan pemeriksaan malaria mengingat Provinsi Papua merupakan daerah endemi penyakit tersebut.” Papua masih diingat dengan malaria. Masa demi masa, malaria belum menghilang.


Dulu, kita mengenali Papua itu Irian Barat. Pada masa kekuasaan Soekarno, Irian Barat atau Papua menjadi tema besar dan pelik. Revolusi memihak nasib Papua berhadapan dengan kekuasaan asing. Pada masa berbeda, sejarah itu memunculkan gejolak-gejolak mengandung kekerasan dan kematian. “Sudah tiga tahun, pemerintah memperdjoangkan kembalinja Irian Barat ke wilajah Indonesia,” tulis Julli Effendie dalam buku berjudul Irian Barat (1952). Keterangan singkat terberikan: “Nama Irian berasal dari daerah teluk Geelvink, daerah jang mendjadi propinsi kultur jang termadju dari pulau besar ini. Sebutan asalnja ialah Papua, menjatakan bahwa penduduknja berambut keriting.” Penjelasan itu minta tambahan dengan kita membaca puluhan buku sering ditulis sarjana asing.


Papua masih bercerita malaria. Dulu, malaria itu momok merepotkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan kesehatan pada masa kekuasaan Soekarno. Beragam ikhtiar dilakukan untuk kesadaran bersama dalam memusnahkan malaria di Indonesia. Susah! Kini, malaria masih ada membuktikan tata cara pembasmian belum mujarab.


Kita bisa mengingat usaha masa lalu dengan membaca buku-buku petunjuk dan propaganda. Buku tipis berjudul Pemberantasan Malaria (1952) dipersembahkan oleh Bandoengsche Kininefabriek. Buku diberikan kepada Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Para guru dan murid di sekolah dianjurkan mempelajari secara serius.


Seruan untuk guru: “Selaku pendidik pemuda Indonesia, saudara djuga dapat memberikan bantuan jang bukan sedikit dalam perkara pemberantasan malaria, jaitu dengan djalan menerangkan kepada murid-murid, apakah artinja malaria itu, bagaimana tjara berdjangkitnja, dan bagaimana kita dapat mentjegah timbulnja serta menjembuhkannja dengan kinine.” Buku memuat keterangan-keterangan singkat dan gambar.


Buku persembahan dari perusahaan mengungkap sejarah: “Pada achir abad ke-19, setelah diketahui orang bagaimana malaria dapat menular dari seorang kepada seorang, dan setelah tersedia pula obat kinine dengan tjukupnja, maka baharulah pemberantasan malaria dapat dimulai dengan sungguh-sungguh diseluruh dunia. achirnja Indonesia sadjalah jang dapat menghasilkan kinine itu buat seluruh dunia, karena hanja di Indonesia satu-satunja negara didunia, orang berhasil dengan susah pajah mendirikan perusahaan kina setjara besar-besaran.” Dulu, pemberantasan malaria di Indonesia sulit bilak cuma dikerjakan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Peran perusahaan-perusahaan dan negara asing diperlukan untuk “perang besar” memberantas malaria.


Pembahasaan keras terdapat dalam buku berjudul Marilah Kita Basmi Malaria Musuh Rakjat! Buku tipis diadakan Biro Visuil Kementerian Penerangan. Selera propaganda demi kebaikan bersama terbaca: “Njamuk malaria menularkan penjakit malaria dikalangan rakjat. Penjakit ini sangat berbahaja dan dapat mengurangkan dan menghantjurkan daja hidup masjarakat dan akibatnja menimbulkan kemelaratan rakjat. Malaria terdapat diseluruh tanah air Indonesia. dia mengambil korban jang sangat besar.” Ingat, malaria tak cuma di Papua. Malaria itu musuh bersama. Malaria dianggap jahat dan menghancurkan. Revolusi bermakna bila memenangkan perang melawan malaria.


Janji pemerintah disampaikan: “Pemerintah menjadari kesengsaraan rakjat ini dan merentjanakan untuk membasminja selama 10 tahun terus-menerus jang akan dimulai pada tahun 1959. Dengan bantuan segenap lapisan masjarakat, sesudah 10 tahun penjakit malaria akan hapus dari bumi Indonesia.” Janji belum pernah terbukti. Pada 2021, orang-orang masih ditakutkan dengan malaria. Pemberitaan mengenai PON XX di Papua dalam suasana masih wabah justru ditambahi berita mencegah atau terhindar dari malaria.


Pembahasaan dalam kebijakan dan kerja dari pemerintah kadang mencengangkan. Kita cuma mengingat masalah malaria, belum berlanjut hal-hal lain. Malaria masih saja momok. Cara hidup dan obat belum sanggup menghapus malaria. Urusan tak mudah. Di buku propaganda itu ada peringatan: “Njamuk malaria menggigit orang jang sakit malaria. Kemudian njamuk malaria itu menggigit orang jang sehat.” Peringatan bahwa penularan bisa terjadi cepat. Orang-orang diajak berpikiran kesehatan, kebersihan, keselamatan, dan lain-lain.


Kita belajar lagi tentang penyakit. Buku berjudul Penyakit: Citra, Alam, dan Budaya (1989) susunan Benyamin Lumenta memberikan keterangan-keterangan penting bagi pembaca ingin mengetahui beragam hal. Kita mengutip: “Kadang-kadang alam itu penting bagi manusia, tetapi seringkali tidak ramah. Demikian pun manusia hidup di tengah alam abiotis, yang menyebabkan berbagai pengaruh fisis dan kimiawi, dapat menguntungkan dan merugikan. Di samping itu banyak masalah kepercayaan, kebiasaan dan tingkah laku manusia dapat turut mengakibatkan baik alam biotis maupun alam abiotis mengganggu keseimbangan hidup manusia dan akhirnya menyebabkan penyakit. Tampaklah bahwa lingkungan manusia merupakan sumber penyebab gangguan dalam keseimbangan hidupnya.”


Orang-orang diajak mengerti diri dan penyakit. Kesabaran dan kemauan mempelajari kadang terkalahan dengan kecepatan mengerti obat. Iklan-iklan obat gampang berdatangan dengan kata dan gambar penuh kepastian. Kita memikirkan obat-obat tapi sulit mengerti beragam perkara sebelum, saat, dan setelah sakit. Penyakit itu pelajaran bisa diketahui dengan membaca dan obrolan, selain menonton acara-acara bertema kesehatan di televisi atau media sosial.


Pelajaran sulit diberikan Susan Sontag dalam buku berjudul Penyakit Sebagai Metafora (2021). Judul saja sudah memusingkan. Ia menerangkan: “Dua penyakit secara mengagumkan, dan dengan cara yang sama, diganduli ornamen metafora: tuberkulosis dan kanker. Fantasi yang diilhami oleh tuberkulosis di abad paling akhir, tang kini diilhami oleh kanker, adalah tanggapan terhadap penyakit yang dianggap sulit disembuhkan dan tak terduga-duga – yaitu penyakit yang tak dipahami – di zaman ketika premis utama pengobatan adalah semua penyakit dapat disembuhkan. Penyakit semacam itu, seturut definisi, sungguh misterius.” Kita kewalahan dalam mengerti penyakit. Metafora-metafora bertumbuh meminta orang memiliki kecermatan dalam bahasa dan raga. Begitu.


 

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),

Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)

FB: Kabut

52 tampilan
bottom of page