Search Results | Majalah Basis
top of page

Search Results

232 item ditemukan untuk ""

  • Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-72, 2023: 6 artikel pendidikan dari para ahli

    Berikut daftar isi edisi ini yang memuat 6 artikel pendidikan dari para ahli KACABENGGALA / A. Sudiarja Rabindranath Tagore: Pendidikan Ashram di Shantiniketan ... 2 PENDIDIKAN / Anita Lie Rabindranath Tagore dan Kemerdekaan Belajar ... 12 PENDIDIKAN / Odemus Bei Witono Habermas dan Komunikasi ... 24 PENDIDIKAN / Sri Wahyaningsih Sekolah Kehidupan ... 30 PENDIDIKAN / C. B. Mulyatno Paulo Freire: Dialog Hati sebagai Proses Pendidikan Otentik yang Membebaskan ... 34 BUKU / Ahmad Baiquni Visi Profetik Armstrong … 37 SOSIAL / Iwan Pranoto Institut Teknologi di Tanah Jajahan … 42 BUKU / Raudal Tanjung Banua “Ayoveva” dan “Rintik yang Buta”: Triyanto Triwikromo & Danarto atas “Jagad Jawa” ... 46 SOSIAL / Ahmadul Faqih Mahfudz Yang Penting Selamat ... 58 CERPEN / Tjahjono Widarmanto Gemblak ... 65

  • Teras Basis | Awan di Tengah Palagan | Youtube

    Telah tersedia di Youtube. Selamat menikmati ...

  • Teras Basis: Awan di Tengah Palagan | C. Bayu Risanto

    Perbincangan seru "Bagaimana ramalan cuaca menentukan hasil akhir peperangan?" ... and anything else in between tentang atmospheric sceince. Narasumber: C. Bayu Risanto, postdoctoral research departement hydrology & atmospheric sciece University of Arizona Pewawancara: Dian Vita Ellyati Link pendaftaran Zoom: bit.ly/awanditengahpalagan Perbincangan ini berdasarkan artikel yang termuat dalam Majalah Basis No. 01-02, 2023 Pemesanan via WA: 081225225423

  • Penjelajahan Identitas Anak

    MANUSIA siapa pun pasti penasaran bagaimana ia bisa sampai berada di bumi ini. Dari sperma mana yang membuahi ovumnya dan dari rahim mana ia dilahirkan. Pencarian asal-usul diri yang kompleks ini dikisahkan secara menggugah oleh Hector Malot dalam novelnya Nobody’s Boy (2021). Remi, seorang bocah laki-laki, yakin ia memiliki ibu kandung, Ibu Barberin, sampai usianya delapan tahun. Ketika itu, tiba-tiba saja seorang lelaki yang tak pernah ia kenal datang dan mengacaukan hidupnya yang tenang dengan mengatakan kalau ia hanyalah anak pungut yang tidak jelas asal muasalnya. Lelaki itu diperkenalkan Ibu Barberin sebagai suaminya yang selama ini pergi bekerja. Tapi, ternyata lelaki itu bukan orangtua kandungnya, sama seperti Ibu Barberin. Remi ditemukan secara tidak sengaja di jalanan Kota Paris, lalu diambil oleh Pak Barberin karena iba yang sedikit disertai keserakahan, siapa tahu suatu hari nanti orangtua kandung Remi akan mencari lalu membalas kebaikkannya. Sialnya, sampai usia Remi delapan tahun, tak seorang pun mencarinya. Remi sendiri sempat tak percaya oleh fakta itu saking terkejutnya. Kejutan tak diundang itu serupa dengan gempa bumi hebat yang betul-betul telah membuat kalut dan memporakporandakan isi kepalanya. Mungkin akan lain cerita jika seandainya Remi pernah mempertanyakan di mana akte kelahirannya atau ari-arinya di kubur. Sayangnya, seorang bocah seperti Remi mendefinisikan ibu cukup dari cinta kasihnya, “Kalau aku menangis ada seorang ibu yang selalu memelukku erat-erat dan membuaiku dengan lembut, sampai aku berhenti menangis. Dia selalu memberikan ciuman selamat malam setiap aku pergi tidur, … dia akan menghangatkan kaki-kakiku di antara kedua tangannya dan menyanyi untukku. … Semua itu dan banyak lainnya, juga dari caranya berbicara padaku serta menatapku, dan betapa dia selalu mengomeliku dengan lembut, membuatku yakin bahwa dia benar-benar ibuku” (hlm. 7). Bagi Remi, perilaku penuh cinta kasihlah yang menggambarkan seseorang adalah ibu atau bukan. Bagi Remi, perilaku penuh cinta kasihlah yang menggambarkan seseorang adalah ibu atau bukan. Hector Malot membawa para pembaca ikut menelusuri pencarian orangtua kandung Remi, yang sekaligus juga pencarian jati diri bocah itu. Macam-macam terpaan yang dialami Remi membawa pembaca pada peristiwa-peristiwa membaca yang menyayat hati, menegangkan, melegakan, menjengkelkan, serta menggelikan. Semenjak kejadian tak diinginkan itu, Remi terpaksa meninggalkan Ibu Barberin karena Pak Barberin tidak rela hartanya terus dikuras oleh anak kecil yang bukan siapa-siapanya. Kenyataan mengharuskan bocah itu berkeliling Kota Paris, bertumpu dari satu orang ke orang lainnya seraya menunggu nasib baik Tuhan mempertemukannya dengan kasih sayang orangtua kandungnya. Dari mulai orang yang tidak peduli dan memandang sebelah mata, hingga orang yang rela berkorban untuk dirinya. “Aku tidak punya siapa-siapa… aku akan selalu sendirian…. Sebatang kara” (hlm. 125), ucap Remi untuk kesekiankalinya ketika ia mengingat tidak punya ibu dan ayah kandung. Siapa pun manusianya, hidup sebatang kara takkan pernah mudah. Apalagi bagi seorang bocah. Ketegangan terus mengiringinya tanpa siapa pun dapat menjadi tempatnya bersandar. Karenanya, masa itu Remi lebih dekat hidup dengan kata kelaparan dan kesukaran ketimbang kata aman dan nyaman. Siapa pun manusianya, hidup sebatang kara takkan pernah mudah. Apalagi bagi seorang bocah. Ketegangan terus mengiringinya tanpa siapa pun dapat menjadi tempatnya bersandar. Salah satu peristiwa yang membuatnya hampir tamat, ketika Remi di tambang batu bara untuk menggantikan seseorang yang sakit selama beberapa hari. Niatnya membantu sebentar untuk sementara, ternyata yang sebentar itu bertepatan dengan musibah. Kejadian begitu cepat, air bah sekonyong-konyong datang membanjiri lorong-lorong gelap tambang. Ratusan pekerja tambang meninggal. Dari ratusan itu, hanya belasan yang nyawanya masih diberikan kesempatan melanjutkan hidup. Mujurnya Remi termasuk di dalamnya. Menariknya selepas itu melihat berbagai macam reaksi orang-orang yang menyaksikannya tetap hidup, “Ada beberapa orang yang mendekatiku dan menjabat tanganku dengan mata basah oleh air mata. Ada juga yang memalingkan kepala. Mereka ini orang-orang yang sedang berdukacita, dan dengan getir mereka bertanya di dalam hati, kenapa anak yatim-piatu ini justru selamat, sementara ayah-ayah dan anak-anak lelaki mereka terkubur di dalam tambang sebagai mayat-mayat yang terapung-apung kian kemari di perairan gelap….” (hlm. 264). Itu bukan kali pertama hidup Remi berada di ujung tanduk. Berkali-kali ia nyaris celaka, namun berkali-kali juga ia berhasil selamat. Ia bukan orang “penting”—dalam kaca mata kebanyakan orang,—bukan anak orang kaya raya yang apa pun dapat tersedia, bukan juga anak presiden yang dijaga setiap saat, namun ia terus memperoleh kemujuran dalam setiap kesulitan. Mengapa? Selain peristiwa-peristiwa sederhana yang sebenarnya berarti dalam, buku garapan Hector patut diberi acungan jempol karena sedikit banyak berhasil menyuarakan isi hati dan pikiran para anak-anak maupun remaja. Mereka sering diremehkan karena lahir lebih lambat—seolah tidak tahu apa-apa—dari mereka yang lebih dewasa—seolah tahu semuanya. Anak-anak jarang atau bahkan tak pernah diperkenankan mengambil keputusan sendiri, anak-anak dianggap tidak bisa atau tidak becus dalam mengerjakan sesuatu. Mereka tidak dilibatkan dalam persoalan demi persoalan, karena katanya mereka takkan mengerti. Padahal belum tentu. Mereka membutuhkan ruang-ruang kesalahan untuk mendewasakan diri, sementara ruang-ruang kesalahan yang tercipta sangat terbatas jumlahnya. Mau membantu justru dicap merepotkan. Diminta harus patuh sementara orang dewasa menghargai anak juga sebagai seorang manusia—yang tidak luput dari kesalahan—pun tidak. Buku garapan Hector patut diberi acungan jempol karena sedikit banyak berhasil menyuarakan isi hati dan pikiran para anak-anak maupun remaja. Mereka sering diremehkan karena lahir lebih lambat—seolah tidak tahu apa-apa—dari mereka yang lebih dewasa—seolah tahu semuanya. Ini buku bagus, menyenangkan bagi anak, mengetuk hati orang dewasa. Tapi buku sebagus apa pun memang tak akan mengubah banyak jika kita sekadar membaca dan selesai.

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #7 | Rabindranath Tagore

    ADA yang menarik pada era media sosial sekarang ini, ketika dihubungkan dengan gaya hidup di kalangan anak muda dalam 20 tahun terakhir, yaitu antusiasme kegiatan di alam bebas, ambil contoh adalah hiking, camping, penjelajahan alam, ultratrail, dan mendaki gunung. Akun Instagram yang berhubungan dengan kegiatan alam itu bisa memiliki follower dalam jumlah fantastis, puluhan hingga ratusan ribu. Anak saya pun menyukai kegiatan di alam bebas, dan begitu menikmati ketika "dilepas" untuk bermain-main. Di antara yang kemudian terselip dalam akun IG, untuk menampilkan keindahan, kedekatan bahkan keintiman, dan kepemilikan dengan alam adalah "quote" dan menyelipkan sebuah nama "Rabindranath Tagore". Dalam mesin pencarian google, input "quotes about nature", "the best quotes about nature", dan semacamnya, akan menampilkan nama-nama tokoh dunia yang memiliki visi, kecintaan, dan keintiman dengan alam. Rabindranath Tagore adalah nama yang sering muncul. Pada sesi ke-7 (atau terakhir) Sekolah Basis musim kedua ini, Prof. Dr. Anita Lie dan Prof. Dr. Sudiarja, membahas "Rabindranath Tagore dan Kemerdekaan Belajar" serta sumbangannya pada dunia di bidang pendidikan. Dan kemudian saya tahu alasan mengapa alam menempati posisi penting dalam konsep pendidikan yang dikembangkan Tagore 100 tahun lalu. Mengenal Rabindranath Tagore ---------------------------- Rabindranath Tagore,juga dikenal dengan nama Gurudev (7 Mei 1861 – 7 Agustus 1941) lahir dari keluarga Brahmana Bengali. Tumbuh di keluarga terpandang dan disegani menjadikannya memiliki privilese dalam pendidikan, akses informasi, lingkungan sosial, dan mobilitas yang luas. Ayah dan saudara-saudaranya merupakan kalangan intelektual, seniman, penyair, dan pelukis. Tagore menjadikan mereka sebagai guru pada masa ia memutuskan berhenti sekolah formal. Ia tertekan dengan model pendidikan kolonialisme Inggris. Selain kolonialisme Inggris, kondisi sosial yang terjadi adalah pembaruan budaya dan modernisasi Hindu, seperti pembaruan rumah ibadah dan penghentian penyembahan berhala. Kecerdasan pribadi, privilese keluarga, dan lingkungan keluarga yang berpendidikan membentuk Tagore menjadi sosok yang dikenal sebagai filsuf, seniman, sastrawan, penyair, dramawan, musikus, dan juga penggerak dunia pendidikan. Tahun 1913, ia menjadi orang Asia pertama yang mendapatkan hadiah nobel di bidang sastra. Model pendidikan yang dikembangkan ---------------------------------- Selepas menjalani pendidikan sekolah rumah (homeschooling), Tagore melanjutkan pendidikan di negara Inggris, namun tidak cocok. Kemudian ia pulang ke Bengali, mengembangkan syair, mengurus tanah keluarga, dan mendirikan sekolah. Mengikuti tradisi Hindu, sekolah yang dikembangkannya menempatkan kecintaan pada alam pada kedudukan penting. Siswa diajak tinggal di lingkungan alami, merasakan alam secara langsung, dan menumbuhkan kecintaan pada alam. Karenanya, peserta didik ditempatkan dalam konteks lingkungan secara utuh. Model pendidikan yang naturalis seperti itu muncul dari kritiknya terhadap peradaban barat yang dibangun dari pondasi materialisme dan munculnya disintegrasi antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Norma peradaban barat, juga yang diterapkan di negara-negara koloni, ditolaknya. Norma pendidikan barat, menurutnya, memunculkan keterbelahan antara rasio dengan rasa, cipta dengan karsa, dan keterasingan dengan alam. Cara yang ditempuh adalam melakukan persekutuan dengan alam dan menempatkan spiritualitas sebagai jalan untuk membebaskan dari keterasingan. Selain spiritualitas dan kedekatan dengan alam, dalam diri siswa juga dikembangkan aspek lainnya secara holistik, seperti rasio, perasaan, dan humanitas. Pola pendidikan diterapkan menonjolkan dharma dan berorientasi pada spiritualisme, serta melatih siswa untuk bisa menikmati proses pendidikan dibandingkan melatih kemampuan menghafal atau kemampuan teknis yang berisiko memberatkan. Selain spiritualitas dan kedekatan dengan alam, dalam diri siswa juga dikembangkan aspek lainnya secara holistik, seperti rasio, perasaan, dan humanitas. Pola pendidikan diterapkan menonjolkan dharma dan berorientasi pada spiritualisme, serta melatih siswa untuk bisa menikmati proses pendidikan dibandingkan melatih kemampuan menghafal atau kemampuan teknis yang berisiko memberatkan. Melalui harmoni dengan alam, sehingga mampu menikmati keindahan dan kebenaran dari perilaku alam, serta menghikmati keheningan sehingga makin mengenal diri, merupakan jalan untuk mencapai puncak kebenaran (the ultimate truth). Perjalanan model pendidikan Tagore mencapai puncaknya melalui pendirian universitas internasional Visva-Bharati. Universitas ini menjadi ajang pertemuan gagasan Timur dan Barat sehingga terjadi sintesis gagasan kemanusiaan yang mendalam (kosmopolitan), yang dibangun dari pilar naturalisme, humanisme, idealisme, dan internasionalisme. Pada akhirnya, pendidikan menjadi proses untuk membebaskan manusia itu sendiri. Tagore menyadari bahwa ide pendidikannya sangat idealis sehingga tidak mudah untuk diterapkan dan mewanti-wanti untuk mencermati, misalnya menempatkan siswa pada lingkungan yang masih alami. Tagore dalam konteks pendidikan di Indonesia --------------------------------- Pemikiran dan model pendidikan Tagore memiliki relevansi dan kesamaan dengan model pendidikan di Indonesia. Dalam catatan sejarah, tokoh pendidikan nasional seperti Ki Hajar Dewantara pernah bertemu dengan Tagore. Bahkan, di kota Solo, ada jalan yang diberi nama "Rabindranath Tagore". Keduanya berpandangan bahwa model pendidikan kolonial hanya bertujuan untuk kepentingan kolonial, pentingnya bahasa ibu sebagai bahasa primer di jenjang pendidikan dasar, harmoni dengan alam, dan spiritualisme. Model pendidikan dikembangkan dalam visi kontinuitas, yaitu kesadaran bahwa kebudayaan terus berkembang, konvergensi yaitu adanya kesamaan, dan konsentris yaitu adanya tujuan terpusat dan puncak dari pendidikan tersebut. Pada kasus praktis, lembaga pendidikan harus bisa membantu siswa untuk memformulasikan tujuan hidupnya, sehingga tidak kebingungan setelah lulus. Untuk membantu tujuan pendidikan tercapai, pendidik dan orang tua (yang juga dilibatkan) harus dalam posisi yang merdeka dan tidak terjebak pada kurikulum baku (yang mengharuskan diselesaikan sesuai tuntutan birokrasi pendidikan). Peserta didik diposisikan dan dilatih sebagai peserta yang merdeka dengan memprioritaskan kegembiraan dalam proses belajar. Siswa dilatih untuk mengelaborasi lingkungan sekitar dalam rupa kemampuan membuat pertanyaan-pertanyaan sehingga terbiasa untuk berpikir kritis juga kemampuan untuk merasakan atau peka terhadap lingkungan. #sekolahbasis #sekolahbasismusimkedua #majalahbasis #majalahkebudayaan #filsafat #pendidikan #filsafatpendidikan #tagore #rabindranathtagore #kemerdekaan #belajar #kemerdekaanbelajar #asetyobiwowo #asudiarja #anitalie #gpsindhunata #majalahbasisarundayataufiq

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #6 | Estetika Adorno: Musik, Masyarakat, dan Pendidikan

    ANAK pertama saya, Kak Asa, memiliki kesulitan membaca. Hasil test psikologi mendiagnosis dia memiliki gejala ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas). Dia sulit memfokuskan diri pada suatu objek dan mudah beralih perhatian. Di usia 17 tahun ini, untuk membaca, Kak Asa dibantu adiknya. Beruntung, Kak Asa memiliki telinga yang peka. Melalui telinganyalah, informasi dari luar diolah dan dipertanyakan. Telinga menjadi pintu masuk informasi bagaimana kemampuan kognisinya berkembang. "Yah, mengapa air terjun A suaranya berbeda dengan air terjun B?" ucapnya suatu hari, setelah kami selesai mengunjungi sebuah air terjun. Sungguh pertanyaan yang cukup mengejutkan. "Suara air terjun itu ditentukan oleh tinggi air terjun, debit air, lingkungan air terjun seperti dinding bukit, dan lainnya, termasuk posisi kita," jawabku. Pertanyaan lain: "Yah, mengapa suara kereta eksekutif beda dengan suara kereta ekonomi, dan KRL?" Sebagai pencinta kereta api, anak sulung ini sering mengunjungi stasiun Gawok, di Kartasura, Sukoharjo. Anak-anak seperti Kak Asa ini, dalam pantauan saya, berjumlah banyak. Kesulitan membaca karena indra matanya sulit sekali fokus, dan lebih mengandalkan telinga. Telingalah pintu masuk informasi, dan juga, tentunya, ilmu pengetahuan. Cara belajarnya pun berbeda dengan anak yang tidak kesulitan untuk membaca. Telinga mereka adalah mata dunia. Dari telinganyalah, ilmu pengetahuan bisa diajarkan. Saya lantas berpikir, bahwa musik, yang menahbiskan suara sebagai mediumnya, bisa menjadi alat yang membantu anak-anak seperti kak Asa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara lebih paripurna. Bagaimana caranya? Dalam bentuk apa? Banyak pertanyaan mengenai musik ini. Dalam pertemuan ke-6 Sekolah Basis malam ini, "Estetika Adorno: Musik, Masyarakat, dan Pendidikan", saya dikenalkan pada fungsi penting musik dalam ranah yang lebih dalam, yaitu membebaskan dan mencerahkan. Mengenal Adorno, Salah Satu Tokoh Sekolah Frankfurt Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno (11 September 1903 – 6 Agustus 1969) dikenal sebagai sosiolog, filsuf, dan musikolog. Sosok Adorno menjadi sosok penting dalam dalam lanskap filsafat Barat — khususnya Neo-Marxisme — dan merupakan Mazhab Frankfurt. Sumbangan penting dari pemikirannya adalah kritik atas industri musik yang bergeser dari nilai seni kepada konsumerisme. Pergeseran ini merupakan bentuk penindasan terhadap manusia yang dilakukan kapitalisme. Sosok Adorno menjadi sosok penting dalam dalam lanskap filsafat Barat — khususnya Neo-Marxisme — dan merupakan Mazhab Frankfurt. Sumbangan penting dari pemikirannya adalah kritik atas industri musik yang bergeser dari nilai seni kepada konsumerisme. Pergeseran ini merupakan bentuk penindasan terhadap manusia yang dilakukan kapitalisme. Karina Andjani menjelaskan sosok Adorno ini penting untuk diketahui dan dipelajari karena pemikirannya mengenai musik bisa mengekspresikan kebenaran tentang realitas dan mendorong emansipatoris. Musik memiliki potensi kritis, dilihat dari cara komponis mengolah materi musikal. Adorno memandang dan meyakini, bahwa musik tidak berbeda dengan filsafat. Keduanya mampu menganalisis realitas, bisa memperumit hal yang sederhana, bisa mengacaukan hal yang biasa dan dinilai wajar, juga menantang kondisi mapan atau status quo dengan mendorong munculnya kesadaran kritis. Contoh kondisi status quo yang bisa didobrak oleh musik adalah keterasingan pada kehidupan, penderitaan hidup, dan kontradiksi hidup. Adorno berpendapat bahwa kesadaran yang benar di dunia yang sudah salah ini merupakan hal mustahil. Di kondisi inilah, musik dapat memainkan perannya (seperti halnya filsafat) untuk mengatakan kebenaran sekaligus mendorong terjadinya perubahan, sehingga terbentuk masyarakat yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih bebas. Singkatnya, musik bisa dijadikan alat yang mampu menggambarkan realitas, yang mampu menyingkap realitas bahkan yang penuh dengan teka-teki, dan juga memberikan solusi untuk terbebas dari realitas yang membelenggu (kesadaran dan kebebasan). Musik dan Pendidikan Apakah peran musik dalam lingkup pemikiran Adorno berguna dalam dunia pendidikan? Menurut saya, sih, musik sangat penting dalam dunia pendidikan. Adorno menilai musik bisa menumbuhkan pemikiran kritis pada siswa. Musik juga bisa mengekspresikan kebenaran realitas dan menawarkan perspektif baru. Musik juga bisa mengajarkan empati. Selaras dengan perspektif pendidikan Ki Hajar Dewantara mengenai musik, bahwa musik mampu membantu keteraturan rasa dan menjadi cara menghumanisasi siswa. Setelah mengikuti sesi ke-6 Sekolah Basis ini, sebagai orang tua dengan anak yang sudah mengenyam dunia pendidikan tingkat menengah, banyak pertanyaan yang muncul, terutama pada sisi praktis, bagaimana musik bisa menjadi sarana pendidikan untuk mencerdaskan,membebaskan, bahkan mencerahkan anak-anak. Pemikiran Adorno ini masih perlu dielaborasi hingga ke tingkat praktis oleh kalangan pendidik. Mungkin juga oleh orang tua. Pendidikan akan menjadi lebih baik jika semua pihak terlibat. Bukankah begitu? #sekolahbasis #sekolahbasismusimkedua #majalahbasis #majalahkebudayaan #filsafat #pendidikan #filsafatpendidikan #adorno #theodoradorno #estetika #estetikaadorno #musik #masyarakat #musikmasyarakatpendidikan #ayuutami #bilangan.fu #karinaandjani #srihanuraga #majalahbasisarundayataufiq

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #5 | Paolo Freire: Pendidikan Orang Tertindas

    BUKU karya Paulo Freire "Pendidikan Kaum Tertindas" dengan penerbit LP3ES, pertama kali aku dapatkan dari seorang teman di Grup Apresiasi Sastra (GAS) di sebuah perguruan tinggi teknik di Bandung, saat tingkat 2 tahun 90-an. Menurutnya, buku itu sangat bagus. Dan aku sependapat dengannya setelah selesai membaca buku yang sudah dicetak ulang dengan ganti kover tiga kali itu. Semangat "pembebasan" yang menjadi spirit besar di buku dengan kasus negara Brazil itu ternyata menginspirasi aktivitas mahasiswa era 80-an dan 90-an untuk mengadvokasi masyarakat, sebagai strategi ketika kegiatan internal kampus mendapatkan tekanan. Bahkan, beberapa teman yang menjadi pengurus himpunan mahasiswa mengadopsi semangat buku tersebut dalam materi program orientasi mahasiswa baru. Mengapa buku Paulo Freire sangat penting? Bukan hanya penting, tapi juga memantik semangat "perlawanan", ketika kekuatan politik mengungkung kebebasan. Itulah yang terjadi pada era Orde Baru, namun setelah reformasi bergulir puluhan tahun kemudian, hingga kini, semangat pembebasan tetaplah relevan. Dr. Carolus Borromeus Mulyatno, yang akrab dipanggil Romo Mul, sebagai pemateri di hari ke-5 Sekolah Basis malam ini, menjelaskan bahwa pendidikan kaum tertindas, dalam versi Paulo Freire, adalah pendidikan sebagai jalan pembebasan. Paulo Freire merumuskan model pendidikan dengan berpijak pada fakta bahwa di negara Brazil sebagian besar masyarakatnya masih buta huruf dan berada dalam garis kemiskinan. Pendidikan terbaik dirancang untuk melayani orang kaya. Pada saat yang sama, masyarakat miskin mendapatkan pendidikan dengan model konvensional (disebut gaya bank). Pendidikan gaya bank adalah pendidikan yang berpusat pada guru dan monologis. Guru datang, memberikan materi yang disiapkan, dan siswa berada pada posisi penerima bahan ajar. Siswa diperlakukan objek pasif. Guru yang monolog tidak mengenali siswa dalam kehidupan sehari-hari. Guru diperlakukan sebagai pemilik ilmu dan siswa penerima ilmu. Siswa diposisikan tidak memiliki bekal apapun dengan kepala kosong ketika masuk ruang kelas. Model pendidikan gaya bank seperti ini akan menumpulkan sikap kritis peserta didik mengenai dirinya dan lingkungannya. Peserta didik tidak mendapatkan kesadaran diri dan lingkungan. Kondisi tanpa kesadaran inilah yang memasung kemerdekaan peserta didik, tidak ada demokrasi dan kesetaraan. Melalui jalan pendidikan yang berbeda dari sebelumnyalah, Paulo Freire mencoba mentransformasi masyarakat. Bagaimana caranya? Paulo Freire merevolusi model pendidikan gaya bank menjadi pendidikan mengatasi masalah. Siswa memiliki kemampuan untuk mengenali, merumuskan, dan mengutarakan masalah (alfabetikasi masalah). Siswa diberi ruang untuk berkreativitas, menyampaikan pendapat, dan ada dialogis dalam ruang kelas. Kesadaran kritis muncul melalui proses dialog (bahasa Paulo Freire adalah pedagogi hati), siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru, bertolak dari masalah yang dihadapi siswa. Siswa mengungkapkan pengalamannya dan diapresiasi. Apresiasi ini menumbuhkan kepercayaan diri dan empati karena tidak saling berkompetisi dan mengalahkan, serta tanggung jawab. Pendidikan menjadikan siswa mampu mengeksplorasi masalah, bukan sekadar mengenal dan menghafal. Melalui cara tersebut terjadi proses menumbuhkan kesadaran kritis, empati, kesetiakawanan sosial, dan pengembangan kesadaran sosial. Kekritisan akal budi yang bisa menumbuhkan aspek-aspek kehidupan secara integral, baik diri sendiri dan diri bersama masyarakat Jika proses ini bergulir dalam lingkungan yang luas, maka akan terjadi transformasi masyarakat. Dikarenakan, informasi menjadi bingkai dan menjadikan peserta didik sebagai agen transformasi masyarakat. Mengapa mempelajari pemikiran Paulo Freire? Pemikiran Paulo Freire diambil oleh budayawan sekaligus pendidik, misalnya seperti Romo Mangunwijaya, meskipun istilah pembebasan diganti dengan istilah (yang lebih tepat untuk konteks Indonesia) kemerdekaan. Kemerdekaan mewadahi dan menggambarkan adanya keragaman dan kemajemukan Indonesia. Gagasan pendidikan Romo Mangun yang mengambil pemikiran Paulo Freire ternyata juga selaras dengan gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah jalan bagi masyarakat untuk tumbuh berkembang, memungkinkan terjadinya proses demokratisasi atau rekonstruksi pemikiran. Pendidikan berpusat kepada kebutuhan siswa, dan kurikulum bukanlah bahan baku yang tidak bisa diubah. Siswa membuat kesepakatan dengan guru. Siswa tidak dipasung untuk bertanya, dan sekolah menjadi tempat untuk menumbuhkan iklim eksploratif. Dalam sekolah terjadi proses pemekaran kemerdekaan. Melibatkan keluarga dan masyarakat Penjelasan lain dari pendidikan yang memerdekakan siswa dikemukakan oleh Ibu Sri Wahyaningsih, pendiri Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM), Jogjakarta. Saya beserta keluarga pernah datang ke SALAM pada tahun 2019 untuk mencari sekolah tingkat menengah pertama anak-anak kami. SALAM berlokasi di tengah persawahan. Kami perlu berjalan menyusuri jalan setapak, melihat sekolah ini dan berdiskusi dengan Ibu Wahya, juga dengan fasilitatornya. Menurut Ibu Wahya, pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ketika ada kesenjangan (ekonomi, akses pengetahuan, dan akses sosial), maka ada dehumanisasi. Gagasan pendidikan dari Paulo Freire lebih 40 tahun lalu masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Gagasan Paulo Freire yang ingin membebaskan manusia dari belenggu melalui pendidikan juga sejalan dengan gagasan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, yaitu memerdekakan peserta didik karena manusia memiliki fitrah merdeka. Kurikulum yang dibuat pun harus berawal dan bermuara pada kemerdekaan manusia dengan berdasarkan riset kebutuhan dan keinginan serta potensi anak, sehingga memungkinkan ada pemekaran kemerdekaan dan anak menemukan potensinya. Ada kurikulum yang melibatkan keluarga dan masyarakat. Ada ruang-ruang perjumpaan yang didesain sehingga siswa bisa belajar dan bereksplorasi. Pendidikan mendekatkan siswa ke masyarakat dan tidak mengasingkannya.

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #4 | Stoikisme: Pendidikan sebagai Askesis

    6 Januari 2023 MENGIKUTI Sekolah Basis di hari ke-4 malam ini, aku disadarkan mengenai relevansi yang membumi dari filsafat dengan kehidupan sehari-hari. Anggapan awal bahwa filsafat begitu melangit karena dimulai dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sehingga memiliki rangkaian panjang untuk tiba ke manfaat praktis, terbantahkan. Dr. A. Setyo Wibowo yang akrab dipanggil Rm. Setyo menjelaskan pandangan umum tentang filsafat yang hanya dipelajari di perguruan tinggi, mengawang-awang, tidak relevan dengan kehidupan bahkan tidak berguna. Kondisi ini wajar terjadi karena filsafat kurang dikenal masyarakat. Padahal, ada satu aliran filsafat yang bisa dimanfaatkan secara praktis. Filsafat yang dimaksud bersifat personal karena berkaitan dengan moralitas dan menjadi aliran tertua dalam sejarah filsafat. Stoikisme, aliran filsafat untuk mengolah jiwa Di keluarga kami, lebih dari sepuluh tahun ini memiliki tradisi mengonsumsi buah setiap pagi. Buah menjadi sarapan wajib. Bahkan, saat puasa Ramadhan kami makan sahur dengan buah. Anak-anak, sekarang usia 17 tahun dan 16 tahun, bisa mengikuti sarapan buah tersebut lima tahun terakhir. Kunci sarapan buah ini bisa diikuti dan menjadi kebiasaan adalah adanya contoh langsung dan pengondisian. Kami, selaku orang tua memberikan contoh dan selalu menyediakan buah, termasuk mengupaskan buah ketika anak-anak belum mampu mengerjakannya sendiri. Contoh yang dilakukan setiap hari, sejak anak-anak usia SD kelas 1 memberikan hasil lima tahun kemudian, saat mereka kelas 5 dan 6. Tidak ada protes dan rewel, mereka melakukan karena paham akan pentingnya buah. Penjelasan dari sudut filsafat, aku dapatkan malam ini, melalui filsafat stoikisme. Stoikisme atau stoa adalah aliran filsafat Yunani kuno yang lahir pada awal abad ke-3 SM di kota Athena, Yunani. Zeno dari Citium sebagai pendirinya. Penerapan stoikisme di dunia pendidikan Pertama, perlu dipahami benar bahwa kita harus bisa membedakan antara "apa yang tergantung dan tidak tergantung" pada diri sendiri. Yang tergantung pada diri sendiri adalah jiwa. Dalam jiwa, kita akan mengendalikan yang berhubungan dengan hasrat dan keinginan. Yang di luar jiwa merupakan faktor yang tidak bisa dikendalikan. Penerapan untuk anak didik di sekolah, termasuk anak di keluarga, dilakukan dengan pembiasaan yang terus-menerus sejak usia dini. Pada tahap usia dini, anak-anak dibimbing, termasuk diberi contoh mengenai baik dan buruk, yang diperbolehkan dan yang dilarang. Melewati usia dini, pada usia remaja dan dewasa, ketika kemampuan nalar berkembang, mereka diajarkan untuk mengolah diri. Membentuk jiwa yang sadar dan merdeka. Tujuan yang dicapai dalam proses pendidikan bertahap, dengan metode yang berbeda pada tiap tahap, dan bahkan metode khusus untuk tiap individu dengan keunikannya adalah membentuk kemampuan mengontrol diri. Contoh praktisnya adalah anak-anak mampu memahami dan berpikir bahwa mengonsumsi makanan sebenarnya menyuplai nutrisi untuk tubuh, dan bukan untuk memuaskan kesenangan. Memahami dan berpikir adalah proses mengambil jarak pada sesuatu dan memberikan hasil rasional sesuai dengan kebutuhan. Tujuan yang dicapai dalam proses pendidikan bertahap, dengan metode yang berbeda pada tiap tahap, dan bahkan metode khusus untuk tiap individu dengan keunikannya adalah membentuk kemampuan mengontrol diri. Proses pendidikan dalam stoikisme juga membuka ruang dalam bentuk hukuman, namun dalam koridor edukasi, adil dan rasional. Latihan dalam stoikisme yang dilakukan secara terus-menerus, dalam praktik keluarga seperti yang dilakukan oleh Henry Manampiring kepada anaknya, akan menciptakan ketahanan mental. Latihan yang terus-menerus ini berpijak pada contoh dari orang tua, contoh dari guru, dan menggali kembali adat kebiasaan. Ketahanan mental dalam dimensi kehidupan yang penuh dengan kejutan informasi akibat ledakan informasi ini diperlukan sebagai cara untuk sehat secara mental dan menjadi lebih bermoral. Stoikisme bisa menjadi terapi untuk masalah kesehatan mental. Stoikisme ini sangat beragam dan luas dan dikenal pula sebagai ajaran sekolah. Stoikisme berpijak pada perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan politik). Penganut stoikisme memilih sikap hidup yang menekankan pada apatheia, yaitu hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Stoikisme berpijak pada perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan politik). Penganut stoikisme memilih sikap hidup yang menekankan pada apatheia, yaitu hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Rm. Setyo menjelaskan dengan detail bahwa stoikisme bisa menjadi jalan hidup (way of life) dengan cara yang praktis, dan bisa dipraktikkan di dunia pendidikan, termasuk di keluarga. Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia. Seorang stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Dalam stoikisme, yang penting jiwa atau logos yang rasional.

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #3 | Agama di Ruang Publik

    5 Januari 2023 SUATU hari, Kak Asa, anak sulung yang sekarang kelas 9, bilang, "Yah, kalau kita sholat di musholla, harus mengenakan sarung, kata ustadz tadi seperti itu." "Ya, iyalah, Ayah kalau ke musholla selalu mengenakan sarung," jawabku. Dialog itu terjadi tiga tahun lalu, ketika kami sekeluarga masih tinggal di kota santri, masuk daerah Tapal Kuda Jawa Timur. Sarung menjadi bagian busana yang umum dikenakan untuk lak-laki ketika ke musholla atau masjid. Pandangan Kak Asa berubah, setelah 18 bulan lalu, kami tinggal di Solo dan melihat laki-laki yang ke masjid mengenakan bukan hanya sarung, tetapi lebih banyak celana panjang, bahkan mengenakan celana jeans. Berada di lokasi yang lebih heterogen, ternyata membuat pandangannya berbeda, untuk kasus busana ibadah saat di masjid. Aku juga berharap, melalui pergaulan di ligkungan yang lebih beragam, pandangan anak-anak menjadi lebih kaya dan bisa memahami lebih substansial mengenai masalah peribadatan, bahkan masalah hubungan dengan orang yang berbeda agama dan suku. Lingkungan yang berbeda dari mereka tumbuh berkembang hingga kelas 9 sekarang ini. Pandangan mengenai sarung baru sebatas busana pada lingkup internal dalam agama Islam yang kami anut. Bagaimana dengan pandangan terhadap agama lain yang berbeda, atau bahkan baru ditemui? Dalam buku pelajaran anak-anak semasa mereka sekolah dasar, saya tidak menemui materi pelajaran mengenai agama lain, selain yang dianut, dikarenakan mereka belajar di sekolah berbasis agama Islam. Dan tidak pernah bersinggungan dengan perbedaan itu. Dalam pertemuan ketiga Sekolah Basis dengan tema "Agama di Ruang Publik", Dr. Zainal Abidin Bagir menjelaskan bahwa agama itu dikonstruksi oleh banyak faktor. Agama yang dikonstruksi oleh negara, dalam wujud adanya kolom agama dalam kartu tanda penduduk. Agama dikonstruksi oleh peneliti sosial untuk kepentingan riset. Juga agama yang tidak bisa didefinisikan, yaitu agama yang dilakukan sehari-hari. Agama dalam keseharian ini memiliki dimensi yang sangat kompleks. Sebagai contoh adalah agama yang seharusnya berada di ruang privat, namun mengharuskan untuk tampil di ruang publik, karena ekspresi agama mengharuskannya untuk tampil. Ketika ekspresi agama tampil di ruang publik, dan ada penganut agama lain yang tidak paham (akibat tidak mengetahui), maka berpotensi menimbulkan perasaan terancam. Di negara yang sangat beragam seperti Indonesia, demokratisasi membuka ruang yang lebih lebar munculnya keragaman atau pluralisme, seperti agama dengan ekspresi peribadatannya, termasuk juga budaya. Pada ruang yang terbuka lebar ini, keragaman tersebut perlu dikelola, dengan prinsip bahwa ada partisipasi dan tidak ada paksaan dalam mengekspresikan agama. Supaya keragaman tersebut bisa berjalan dengan tertib, dibutuhkan rasionalisme atau nalar publik yang menjadi pemandu. Pada ruang yang terbuka lebar ini, keragaman tersebut perlu dikelola, dengan prinsip bahwa ada partisipasi dan tidak ada paksaan dalam mengekspresikan agama. Supaya keragaman tersebut bisa berjalan dengan tertib, dibutuhkan rasionalisme atau nalar publik yang menjadi pemandu. Rasionalisme dalam versi keterlibatan penyelenggara negara adalah peran negara dalam mengelola moderasi beragama. Negara memiliki kewajiban menjaga keragaman. Negara juga menjadi sistem pendidikan yang membuka peluang siswa untuk bisa memahami perbedaan dan membuat struktur di mana siswa bisa belajar perbedaan. Pada level siswa, yaitu meningkatkan literasi keragaman, mulai dari kesadaran adanya perbedaan, dan memahami perbedaan pada level yang lebih dalam lagi. Dr. A Bagus Laksana memberikan perspektif tambahan mengenai konstruksi agama dalam ruang yang dibentuk oleh kapitalisme, di mana media berperan mengubah agama menjadi komoditas dan kapitalistik. Perlu sikap kritis bahwa ruang publik yang bisa mempertemukan keberagaman, termasuk toleransi terhadap agama, apakah benar sebagai ruang untuk tumbuh bersama secara maksimal, dan bukan ruang untuk kepentingan kapital (atau privat). Ruang publik bukanlah sekadar ruang yang diketahui bersama. Pada dimensi yang lebih kompleks seperti sekarang, menjadi penting mendudukkan agama bukan sekadar bagian moralistik dan ritual saja, namun juga mengeksplorasi bagian nalar atau rasionalitas, yang dalam semua agama mendapatkan kedudukan yang tinggi.

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #2 | Jurgen Habermas dan Komunikasi

    4 Januari 2022 Di masa kuliah dulu, paruh 90-an di Bandung, ada seorang teman yang mengoleksi buku mengenai pemikiran Jürgen Habermas yang ditulis oleh F Budi Hardiman, yakni "Kritik Ideologi" dan "Menuju Masyarakat Komunikatif", dan buku mengenai Sekolah Frankfurt (tempat Habermas berlabuh). Seingatku, membicarakan Habermas tidak lepas dari tema "komunikasi". Dan tema ini penting bagi aku sebagi ortu yang punya anak usia remaja, usia pencarian identitas diri Habermas adalah sfilsuf dan sosiolog dari Jerman. Juga, penerus Teori Kritis dari Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse. Jadi, beliau adalah generasi kedua Sekolah Frankfurt. F Budiman menjelaskan bahwa Habermas menjadi pintu masuk untuk mempelajari pemikir-pemikir penting Jerman di Sekolah Frankfurt,dengan pemikiran neo Marxisme karena lekat dengan pemikiran Marx, meski akhirnya dinilai menyimpang dari marxisme ortodoks karena merevisi berbagai pandangan Marx mengenai ide dan rasionalitas manusia. Teori Kritis yang dikembangkan Sekolah Frankfurt dengan pendekatan deterministik berakhir pada kebuntuan dalam menerjemahkan modernitas.Nah, Habermas membangkitkan optimisme dalam menerjemahkan modernitas melalui “paradigma komunikasi”. Manusia adalah makhluk komunikasi, menyampaikan bahasa dan terjadi timbal balik antar subjek komunikator. Sebagai individu, manusia juga menyatakan komunikasi itu sendiri, yakni dengan menjadi diri sendiri. Si aku menjadi diriku lewat orang lain dengan mengandaikan sebagai orang lain. Dampaknya, komunikasi akan membuka ruang untuk kebebasan manusia, dikarenakan komunikasi bisa terjadi dalam ruang pemikiran. Komunikasi harus terjadi pada ruang pemikiran yaitu "diskursus" dengan mempersoalkan klaim-klaim kesahihan. Diskursus adalah komunikasi dengan mempertanyakan argumentasi yang melatarbelakangi konten komunikasi. Pemikiran Habermas bisa diterapkan dalam pendidikan dengan mengubah paradigma komunikasi menjadi komunikasi intersubyektif yaitu menekankan komunikasi dua arah antara guru dengan siswa, melatih argumen dan pemikiran kritis, murid tidak sekadar menghafal, namun juga mampu mengemukakan sikap dirinya, juga melibatkan diri pada proses politik, untuk tidak takut dengan politik, seperti membersihkan sampah di ruang publik dan menegur orang yang membuang sampah sembarangan Habermas mendorong pendekatan interdisipliner dalam memecahkan masalah. Kerja sama antar bidang ilmu bisa dijembatani dengan komunikasi. -------- TAUFIQ Surel: taufiqpb@gmail.com Facebook: arundayataufiq Instagram: arundayataufiq

  • Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #1| Pierre Bourdieu, Habitus, Kapital Budaya, dan Pendidikan

    3 Januari 2023 MALAM ini mengikuti Sekolah Basis dengan tema "Pierre Bourdieu: Habitus, Kapital Budaya, dan Pendidikan", memberikan pemahaman yang lengkap dari pertanyaan saya mengenai arti penting pendidikan dalam hubungannya dengan upaya masyarakat untuk bisa naik kelas. Saya dan istri menaruh perhatian pada pendidikan, terutama untuk anak-anak. Dua minggu terakhir muter-muter di kota Solo, dan akhirnya bisa menemukan sekolah yang pas untuk anak-anak. Mengapa pendidikan ini menjadi penting, bahkan sangat penting? Secara singkat, (dalam kasus di negara Prancis) masyarakat itu berkelas-kelas, yang dibedakan oleh kapital sosial, pendidikan, ekonomi, dan simbolik. Orang kaya memiliki 4 jenis kapital itu. Kalangan bawah hanya memiliki satu peluang, yaitu pendidikan. Dalam dunia pendidikan pun, kaum bawah dan "mendang-mending" ini mengalami banyak hambatan ini itu, dibandingkan kalangan atas. Persentase keberhasilan kaum "jelata" untuk bisa naik kelas di negeri +62 ini, menurut riset SMERU, kurang dari 10% (di Prancis 20 %). Semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase keberhasilan kaum "jelata" makin kecil. Kasus di Prancis relevan dengan di Indonesia. Dari sudut pendidikan, Romo J. Haryatmoko memberikan solusi dengan berpijak pada fakta, bahwa kehadiran internet mengurangi kesenjangan atas akses informasi. Pembangunan infrastruktur IT yang merata, termasuk memperbesar bandwidth, juga melengkapi infrastuktur pendukung seperti jaringan listrik, menjadi keharusan untuk dilakukan oleh pemerintah. Model pendidikan diubah dengan berpijak pada empati, yang dikembangkan dari model Design Thinking. OOT, istilah "design thinking" pertama kali dikenalkan oleh John E. Arnold dalam bukunya “Creative Engineering” (1959). ---- TAUFIQ Surel: taufiqpb@gmail.com Facebook: arundayataufiq Instagram: arundayataufiq

  • Perempuan Indonesia Timur: Wiyah dan Wiwiek, Penjaga dan Pengembang Tradisi

    "Penari perlu mengolah tubuhnya sedemikian rupa melalui eksplorasi, impro­vi­sasi, dan pernapasan yang baik dan tepat sehingga menguasai berbagai macam teknik tari dan teknik me­nari. Untuk mencapainya, seorang penari tak mungkin berhenti berlatih olah tubuh, olah ritme, olah ruang, olah rasa, bahkan olah pikir, dan mengembangkan imajinasi", Nungki Kusumastuti (Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022). Dapatkan Majalah Basis No. 03-04, Tahun ke-71, 2022 via WA No. 081225225423 https://bit.ly/MajalahBasis03042022 https://bit.ly/MajalahBasis03042022-shopee Tokopedia Yayasan Basis Book Store

bottom of page