Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #5 | Paolo Freire: Pendidikan Orang Tertindas
top of page
Cari
  • Taufiq

Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #5 | Paolo Freire: Pendidikan Orang Tertindas


BUKU karya Paulo Freire "Pendidikan Kaum Tertindas" dengan penerbit LP3ES, pertama kali aku dapatkan dari seorang teman di Grup Apresiasi Sastra (GAS) di sebuah perguruan tinggi teknik di Bandung, saat tingkat 2 tahun 90-an. Menurutnya, buku itu sangat bagus. Dan aku sependapat dengannya setelah selesai membaca buku yang sudah dicetak ulang dengan ganti kover tiga kali itu.


Semangat "pembebasan" yang menjadi spirit besar di buku dengan kasus negara Brazil itu ternyata menginspirasi aktivitas mahasiswa era 80-an dan 90-an untuk mengadvokasi masyarakat, sebagai strategi ketika kegiatan internal kampus mendapatkan tekanan. Bahkan, beberapa teman yang menjadi pengurus himpunan mahasiswa mengadopsi semangat buku tersebut dalam materi program orientasi mahasiswa baru.


Mengapa buku Paulo Freire sangat penting?


Bukan hanya penting, tapi juga memantik semangat "perlawanan", ketika kekuatan politik mengungkung kebebasan. Itulah yang terjadi pada era Orde Baru, namun setelah reformasi bergulir puluhan tahun kemudian, hingga kini, semangat pembebasan tetaplah relevan.


Dr. Carolus Borromeus Mulyatno, yang akrab dipanggil Romo Mul, sebagai pemateri di hari ke-5 Sekolah Basis malam ini, menjelaskan bahwa pendidikan kaum tertindas, dalam versi Paulo Freire, adalah pendidikan sebagai jalan pembebasan.


Paulo Freire merumuskan model pendidikan dengan berpijak pada fakta bahwa di negara Brazil sebagian besar masyarakatnya masih buta huruf dan berada dalam garis kemiskinan. Pendidikan terbaik dirancang untuk melayani orang kaya. Pada saat yang sama, masyarakat miskin mendapatkan pendidikan dengan model konvensional (disebut gaya bank).


Pendidikan gaya bank adalah pendidikan yang berpusat pada guru dan monologis. Guru datang, memberikan materi yang disiapkan, dan siswa berada pada posisi penerima bahan ajar. Siswa diperlakukan objek pasif. Guru yang monolog tidak mengenali siswa dalam kehidupan sehari-hari. Guru diperlakukan sebagai pemilik ilmu dan siswa penerima ilmu. Siswa diposisikan tidak memiliki bekal apapun dengan kepala kosong ketika masuk ruang kelas.


Model pendidikan gaya bank seperti ini akan menumpulkan sikap kritis peserta didik mengenai dirinya dan lingkungannya. Peserta didik tidak mendapatkan kesadaran diri dan lingkungan. Kondisi tanpa kesadaran inilah yang memasung kemerdekaan peserta didik, tidak ada demokrasi dan kesetaraan.


Melalui jalan pendidikan yang berbeda dari sebelumnyalah, Paulo Freire mencoba mentransformasi masyarakat.



Bagaimana caranya?


Paulo Freire merevolusi model pendidikan gaya bank menjadi pendidikan mengatasi masalah. Siswa memiliki kemampuan untuk mengenali, merumuskan, dan mengutarakan masalah (alfabetikasi masalah). Siswa diberi ruang untuk berkreativitas, menyampaikan pendapat, dan ada dialogis dalam ruang kelas.


Kesadaran kritis muncul melalui proses dialog (bahasa Paulo Freire adalah pedagogi hati), siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru, bertolak dari masalah yang dihadapi siswa. Siswa mengungkapkan pengalamannya dan diapresiasi. Apresiasi ini menumbuhkan kepercayaan diri dan empati karena tidak saling berkompetisi dan mengalahkan, serta tanggung jawab. Pendidikan menjadikan siswa mampu mengeksplorasi masalah, bukan sekadar mengenal dan menghafal.


Melalui cara tersebut terjadi proses menumbuhkan kesadaran kritis, empati, kesetiakawanan sosial, dan pengembangan kesadaran sosial. Kekritisan akal budi yang bisa menumbuhkan aspek-aspek kehidupan secara integral, baik diri sendiri dan diri bersama masyarakat Jika proses ini bergulir dalam lingkungan yang luas, maka akan terjadi transformasi masyarakat. Dikarenakan, informasi menjadi bingkai dan menjadikan peserta didik sebagai agen transformasi masyarakat.


Mengapa mempelajari pemikiran Paulo Freire?


Pemikiran Paulo Freire diambil oleh budayawan sekaligus pendidik, misalnya seperti Romo Mangunwijaya, meskipun istilah pembebasan diganti dengan istilah (yang lebih tepat untuk konteks Indonesia) kemerdekaan. Kemerdekaan mewadahi dan menggambarkan adanya keragaman dan kemajemukan Indonesia. Gagasan pendidikan Romo Mangun yang mengambil pemikiran Paulo Freire ternyata juga selaras dengan gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah jalan bagi masyarakat untuk tumbuh berkembang, memungkinkan terjadinya proses demokratisasi atau rekonstruksi pemikiran.


Pendidikan berpusat kepada kebutuhan siswa, dan kurikulum bukanlah bahan baku yang tidak bisa diubah. Siswa membuat kesepakatan dengan guru. Siswa tidak dipasung untuk bertanya, dan sekolah menjadi tempat untuk menumbuhkan iklim eksploratif. Dalam sekolah terjadi proses pemekaran kemerdekaan.


Melibatkan keluarga dan masyarakat


Penjelasan lain dari pendidikan yang memerdekakan siswa dikemukakan oleh Ibu Sri Wahyaningsih, pendiri Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM), Jogjakarta. Saya beserta keluarga pernah datang ke SALAM pada tahun 2019 untuk mencari sekolah tingkat menengah pertama anak-anak kami.


SALAM berlokasi di tengah persawahan. Kami perlu berjalan menyusuri jalan setapak, melihat sekolah ini dan berdiskusi dengan Ibu Wahya, juga dengan fasilitatornya. Menurut Ibu Wahya, pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ketika ada kesenjangan (ekonomi, akses pengetahuan, dan akses sosial), maka ada dehumanisasi. Gagasan pendidikan dari Paulo Freire lebih 40 tahun lalu masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Gagasan Paulo Freire yang ingin membebaskan manusia dari belenggu melalui pendidikan juga sejalan dengan gagasan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, yaitu memerdekakan peserta didik karena manusia memiliki fitrah merdeka.


Kurikulum yang dibuat pun harus berawal dan bermuara pada kemerdekaan manusia dengan berdasarkan riset kebutuhan dan keinginan serta potensi anak, sehingga memungkinkan ada pemekaran kemerdekaan dan anak menemukan potensinya. Ada kurikulum yang melibatkan keluarga dan masyarakat. Ada ruang-ruang perjumpaan yang didesain sehingga siswa bisa belajar dan bereksplorasi. Pendidikan mendekatkan siswa ke masyarakat dan tidak mengasingkannya.



85 tampilan
bottom of page