Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #3 | Agama di Ruang Publik
5 Januari 2023
SUATU hari, Kak Asa, anak sulung yang sekarang kelas 9, bilang, "Yah, kalau kita sholat di musholla, harus mengenakan sarung, kata ustadz tadi seperti itu." "Ya, iyalah, Ayah kalau ke musholla selalu mengenakan sarung," jawabku.
Dialog itu terjadi tiga tahun lalu, ketika kami sekeluarga masih tinggal di kota santri, masuk daerah Tapal Kuda Jawa Timur. Sarung menjadi bagian busana yang umum dikenakan untuk lak-laki ketika ke musholla atau masjid. Pandangan Kak Asa berubah, setelah 18 bulan lalu, kami tinggal di Solo dan melihat laki-laki yang ke masjid mengenakan bukan hanya sarung, tetapi lebih banyak celana panjang, bahkan mengenakan celana jeans.
Berada di lokasi yang lebih heterogen, ternyata membuat pandangannya berbeda, untuk kasus busana ibadah saat di masjid. Aku juga berharap, melalui pergaulan di ligkungan yang lebih beragam, pandangan anak-anak menjadi lebih kaya dan bisa memahami lebih substansial mengenai masalah peribadatan, bahkan masalah hubungan dengan orang yang berbeda agama dan suku. Lingkungan yang berbeda dari mereka tumbuh berkembang hingga kelas 9 sekarang ini.
Pandangan mengenai sarung baru sebatas busana pada lingkup internal dalam agama Islam yang kami anut. Bagaimana dengan pandangan terhadap agama lain yang berbeda, atau bahkan baru ditemui? Dalam buku pelajaran anak-anak semasa mereka sekolah dasar, saya tidak menemui materi pelajaran mengenai agama lain, selain yang dianut, dikarenakan mereka belajar di sekolah berbasis agama Islam. Dan tidak pernah bersinggungan dengan perbedaan itu.
Dalam pertemuan ketiga Sekolah Basis dengan tema "Agama di Ruang Publik", Dr. Zainal Abidin Bagir menjelaskan bahwa agama itu dikonstruksi oleh banyak faktor. Agama yang dikonstruksi oleh negara, dalam wujud adanya kolom agama dalam kartu tanda penduduk. Agama dikonstruksi oleh peneliti sosial untuk kepentingan riset. Juga agama yang tidak bisa didefinisikan, yaitu agama yang dilakukan sehari-hari. Agama dalam keseharian ini memiliki dimensi yang sangat kompleks. Sebagai contoh adalah agama yang seharusnya berada di ruang privat, namun mengharuskan untuk tampil di ruang publik, karena ekspresi agama mengharuskannya untuk tampil. Ketika ekspresi agama tampil di ruang publik, dan ada penganut agama lain yang tidak paham (akibat tidak mengetahui), maka berpotensi menimbulkan perasaan terancam.
Di negara yang sangat beragam seperti Indonesia, demokratisasi membuka ruang yang lebih lebar munculnya keragaman atau pluralisme, seperti agama dengan ekspresi peribadatannya, termasuk juga budaya. Pada ruang yang terbuka lebar ini, keragaman tersebut perlu dikelola, dengan prinsip bahwa ada partisipasi dan tidak ada paksaan dalam mengekspresikan agama. Supaya keragaman tersebut bisa berjalan dengan tertib, dibutuhkan rasionalisme atau nalar publik yang menjadi pemandu.
Pada ruang yang terbuka lebar ini, keragaman tersebut perlu dikelola, dengan prinsip bahwa ada partisipasi dan tidak ada paksaan dalam mengekspresikan agama. Supaya keragaman tersebut bisa berjalan dengan tertib, dibutuhkan rasionalisme atau nalar publik yang menjadi pemandu.
Rasionalisme dalam versi keterlibatan penyelenggara negara adalah peran negara dalam mengelola moderasi beragama. Negara memiliki kewajiban menjaga keragaman. Negara juga menjadi sistem pendidikan yang membuka peluang siswa untuk bisa memahami perbedaan dan membuat struktur di mana siswa bisa belajar perbedaan. Pada level siswa, yaitu meningkatkan literasi keragaman, mulai dari kesadaran adanya perbedaan, dan memahami perbedaan pada level yang lebih dalam lagi.
Dr. A Bagus Laksana memberikan perspektif tambahan mengenai konstruksi agama dalam ruang yang dibentuk oleh kapitalisme, di mana media berperan mengubah agama menjadi komoditas dan kapitalistik. Perlu sikap kritis bahwa ruang publik yang bisa mempertemukan keberagaman, termasuk toleransi terhadap agama, apakah benar sebagai ruang untuk tumbuh bersama secara maksimal, dan bukan ruang untuk kepentingan kapital (atau privat). Ruang publik bukanlah sekadar ruang yang diketahui bersama.
Pada dimensi yang lebih kompleks seperti sekarang, menjadi penting mendudukkan agama bukan sekadar bagian moralistik dan ritual saja, namun juga mengeksplorasi bagian nalar atau rasionalitas, yang dalam semua agama mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Comments