top of page

Search Results

232 item ditemukan untuk ""

  • Indonesia Beroksigen

    Kita lama tak belajar oksigen meski pernah mendapat pengetahuan secuil selama di sekolah. Kini, kita ingin berpikiran lagi oksigen. Thomas Hager dalam buku berjudul The Alchemy of Air (2014) sejenak memberi ingatan: “Kita mengirup oksigen dari udara ke dalam darah kita, sedangkan hidrogen masuk ke dalam tubuh kita melalui air (bersama oksigen), sebuah zat yang mengalami siklus tanpa henti di antara wujud-wujud gas, cair, dan padat, menguap menjadi awan, dan turun kembali akhirnya masuk ke dalam mulut kita. Ketiga unsur ini, karbon, oksigen, dan hidrogen, membentuk lebih dari 90 persen tubuh kita berdasarkan berat. Maka, kita dapat mengatakan bahwa kita adalah udara yang berwujud padat.” Penjelasan sederhana tapi sulit bagi kita telanjur lama tak memikirkan raga dan oksigen. Semua tiba-tiba terlalu menginginkan oksigen selama wabah mengganas. Oksigen itu pengetahuan telat terpahamkan, jarang terceritakan atau muncul dalam perbincangan keseharian. Hari demi hari, berita melulu oksigen. Kita agak bingung untuk mengetahui semua hal tentang oksigen. Kita tentu memerlukan buku-buku sains. Selama di rumah, kita mungkin melacak pelbagai informasi di internet demi mengerti oksigen dan wabah. Dulu, kita abai atau berjarak dari urusan oksigen. Pengetahuan masih mungkin ditemukan dalam pesan-pesan para leluhur. Mereka memiliki pengalaman dan pemaknaan udara meski tak tersampaikan dengan istilah oksigen. Kesadaran alam, kondisi tubuh, kekuatan tak kasat mata, dan ritual memungkinkan umat manusia hidup. Kewarasan diharapkan meski sakit kadang menimpa. Pengetahuan-pengetahuan tradisional bermunculan sebagai kata-kata bercerita, tembang, atau gambar. Mereka belum sampai pembahasaan oksigen tapi mengerti dengan keragaman bahasa silam. Pada abad XXI, udara mulai bermasalah. Kota menjadi tempat terburuk bagi orang-orang ingin menikmati udara segar. Mereka berebutan dan berharapan. Udara mungkin malah petaka saat terlalu kotor gara-gara mesin-mesin di jalan, kantor, pabrik, rumah, dan lain-lain. Oksigen agak terpikirkan setelah orang-orang sering mengeluh bertema karbondioksida. Oksigen masih kata terucap. Orang berimajinasi oksigen selama tetap mengalami keseharian di kota. Impian udara bersih biasa beralamat di desa-desa atau pegunungan. Kita belum perlu ke Jakarta untuk mengetahui hidup dalam derita dan petaka. Bacalah puisi berjudul “Suara dari Rumah-rumah Miring” gubahan Wiji Thukul (1987) berlatar di Solo! Kita tak menemukan diksi oksigen tapi mengetahui orang-orang miskin di permukiman padat-kumuh ingin sehat dan bahagia. Simak: di sini kami bisa menikmati cicit tikus/ di dalam rumah miring ini/ kami mencium selokan dan sampah/ bagi kami setiap hari adalah kebisingan/ di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat/ bersama tumpukan gombal-gombal/ dan piring-piring… kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak/ tapi bersama hari-hari pengap yang/ menggelinding/ kami harus angkat kaki/ karena kami adalah gelandangan. Mereka ingin mendapatkan “udara” membahagiakan dalam situasi sulit dan merana. Kemiskinan justru menjadikan mereka dihajar bau, bising, dan pengap. Di keseharian, mereka menginginkan tubuh waras dengan makanan dan minuman. Suasana pun diharapkan, selain matahari dan udara bersih. Mereka memang tak mengucap oksigen. Para orangtua kadang mengajak kita berpikiran enteng tentang hidup. Tuhan terlalu baik bagi orang-orang tanpa kalkulator dalam menghitung duit bila segala sesuatu berongkos. Di desa, taman, atau pegunungan orang-orang merasa mendapatkan kesegaran. Mereka bisa menutup atau membuka mata saat bernapas. Peristiwa tanpa perhitungan duit. Di kalangan bijak, peristiwa bernapas mendapatkan udara segar dan menghidupkan termaknai dengan “balas budi”. Mereka menanam pohon, berdoa, bersih-bersih, dan membuat larangan-larangan demi udara adalah berkah. Kita menjenguk puisi lama Emha Ainun Nadjib berjudul “Doa Syukur Sawah Ladang.” Kita mungkin membaca malu-malu: demikian pun betapa riang udara yang dihirup,/ air yang direguk, sungai yang mengaliri persawahan. Puisi bertahun 1988. Desa-desa di Indonesia masih teridamkan, sebelum ada perubahan-perubahan besar. Di akhir puisi, Emha Ainun Nadjib ingin menjadi manusia penuh keberuntungan: aku bersembahyang kepadamu, berjamaah/ dengan langit dan bumimu, dengan siang dan malammu/ dengan matahari yang setia bercahaya dan/ angin yang berhembus menyejukkan desa-desa. Ia tak menaruh diksi oksigen tapi kita mendamba hidup bersama segala pemberian Tuhan tanpa terlalu berpikiran kalkulator alias kapitalistik. Di Indonesia, orang-orang kebingungan dan berharapan oksigen. Mereka belum perlu khotbah, puisi, atau risalah sains. Darurat! Kita mendapat berita-berita menakutkan dan memberi duka panjang. Sejak awal Juli 2021, berita-berita bertema oksigen bermunculan di koran-koran dan media sosial. Di Media Indonesia, 9 Juli 2021, terbaca di halaman muka: “Oksigen untuk Kehidupan”. di situ, tersampaikan pesan: “Persoalan pasokan oksigen di masa darurat adalah masalah kemanusiaan.” Di sekian rumah sakit, kebutuhan oksigen meningkat dalam usaha pelik melawan wabah. Di Media Indonesia, 15 Juli 2021, dipasang foto berketerangan: “Warga menunggu untuk mengambil tabung oksigen miliknya karena stok isi ulang oksigen telah habis di toko pengisian oksigen di Jalan Kolonel Sugiyono, Yogyakarta.” Indonesia sedang darurat. Situasi lekas ditanggapi pemerintah dan pelbagai pihak dengan pengadaan oksigen demi keselamatan atau kesembuhan. Oksigen menjadi tema terpenting dalam usaha-usaha menanggulangi wabah. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Di Kuburan ...

    INDONESIA sedang dibingungkan masalah penguburan dan kuburan. Bingung gara-gara wabah. Di sekian kota dan kabupaten, tempat untuk penguburan sudah penuh. Kebijakan-kebijakan “mendadak” dibuat demi kuburan. Kerja melelahkan dan kesedihan akibat kematian-kematian terus bertambah. Indonesia berlakon kuburan. Di Solo, 16 Juni 2021, kuburan malah menjadi sasaran perusakan. Pelaku adalah anak-anak terpengaruh tafsir “mengeras” atas ajaran agama. Makam-makam dirusak berdalih salah memahami agama. Merusak dengan benci. Mereka belum tuntas mendapat pelajaran kuburan, telanjur mendapat pengertian-pengertian salah. Kuburan menjadi tempat bermasalah di luar wabah. Di situ, anak-anak menjadi pelaku setelah mendapatkan pelajaran menolak etik-religius untuk menghormati perbedaan. Kuburan muncul sebagai masalah tambahan, setelah kita diprihatinkan kuburan dan wabah. Kasus itu disusul dengan kebingungan dalam membuat kebijakan pemakaman. Di Radar Solo-Jawa Pos, 8 Juli 2021, terbaca berita prihatin. Pejabat di DPKPP Kota Surakarta mengatakan: “Jumlah pemakaman menggunakan protokol Covid-19 di Kota Solo meningkat signifikan. Lima TPU di Solo menjadi tempat sibuk gara-gara wabah. Lahan untuk penguburan hampir habis. Wabah belum rampung, kita masih menunggu berita dan cerita lanjutan. Di Solopos, 10 Juli 2021, kita membaca berita: “Pemerintah Kota Solo tengah menyiapkan tempat permakaman umum khusus jenazah dengan protokol pemakaman Covid-19 menyusul meningkatnya kasus kematian.” Di Solo dan pelbagai kota, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan darurat bertema kuburan. Pada masa lalu, kuburan kadang mengisahkan dakwah agama dan biografi tokoh. Di buku berjudul Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008) susunan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, kita belajar sejarah dan agama melalui nisan-nisan makam tua memiliki tulisan dan simbol. Studi inskripsi untuk makam berlatar abad XI di Leran, Jawa Timur. Batu nisan merekam sejarah dan biografi. Makam di Leran ditulisi dengan aksara Arab. Di situ, terbaca: “Dengan nama Tuhan, semua yang ada di bumi itu akan binasa….” Kuburan menjadi sumber mengungkap masa lalu saat dakwah Islam terselenggara di Nusantara. Sekian tokoh diketahui nama meski sekian nisan tak bernama. Di kuburan, para sarjana ingin mewartakan kesilaman bertema iman, penghormatan, derajat, dan lain-lain. Kita terbiasa ziarah kubur tapi jarang memiliki kemauan mencari pengertian-pengertian tentang kematian, kuburan, sejarah, dakwah, tata sosial-kultural, dan lain-lain. Pada masa-masa berbeda, kuburan-kuburan berubah dalam penampilan. Permufakatan warga atau aturan pemerintah menjadikan kuburan-kuburan diadakan dengan kaidah-kaidah baru. Pengecualian adalah kuburan-kuburan mewah di pelbagai kota diurusi perusahaan-perusahaan partikelir. Kuburan menjadi tempat terakhir tapi terpahamkan juga bukti penghormatan dalam tema (silsilah) keluarga. Realisme kuburan tak mudah terpahamkan, dari masa ke masa. Kita malah pernah terbujuk imajinasi absurd persembahan Iwan Simatupang melalui novel berjudul Ziarah (1969). Iwan Simatupang bercerita tentang kuburan, menampilkan tokoh-tokoh bersandar filsafat dan nalar birokratis. Tragedi terbaca tapi pesan-pesan mengenai kuburan agak terpahamkan oleh pembaca. Kuburan melampaui tempat. Makna bergerak ke sembarang arah. Kuburan diselenggarakan dengan peraturan pemerintah tapi orang-orang membuat beragam pengertian berdasarkan asmara, iman, keluarga, filsafat, ideologi, dan lain-lain. Kuburan melampaui tempat. Makna bergerak ke sembarang arah. Kuburan diselenggarakan dengan peraturan pemerintah tapi orang-orang membuat beragam pengertian berdasarkan asmara, iman, keluarga, filsafat, ideologi, dan lain-lain. Duka, konflik, bimbang, dendam, marah, ketulusan, kangen, dan takut bercampur dalam urusan kuburan. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh: opseter, pengapur tembok kuburan, dan walikota. Kuburan menjadi tempat paling bermasalah dalam memahami negara, pekerjaan, dan hakikat manusia. Kita membaca konsekuensi menjadi opseter kuburan. Ia melakukan kesalahan. Walikota memecat dan memberi penjelasan: “Saudara harus dapat merasakan getaran, irama, dari masa. Saudara seperti ketinggalan zaman sadja. Ja, saudara telah terlalu lama bertjokol dipekuburan ini. Disini memang tempatnja sedjarah berhenti.” Omongan dari tokoh memiliki kekuasaan berdasarkan undang-undang. Pegawai dipecat itu merenung: “Benar, dia telah lama, mungkin terlalu lama, betjokol dipekuburan ini, dimana didapat banjak, mungkin terlalu banjak, bajang-bajang dan kediaman. Tapi, hal-hal ini djuga jang telah memberi kesempatan kepadanja untuk berkenalan dengan kebenaran dari djenis jang subtil: jang memperhitungkan apa jang disebut nuans. Ja! Nuans-lah jang terlalu sedikit sekali diperkirakan dalam undang-undang dasar tiap-tiap negara.” Pembaca menikmati halaman-halaman novel dengan berpikiran filsafat: mengetahui derajat manusia dan negara dalam kematian. Kita memiliki sumber-sumber dalam pelajaran kuburan. Di sekolah, rapat, pengajian, atau diskusi, masalah-masalah bertema atau berkaitan kuburan mungkin jarang mendapatkan pendalaman. Kuburan dianggap tempat bagi orang mati. Pengertian itu-itu saja. Kita menjauh dari pelajaran kuburan pernah disampaikan leluhur, orangtua, atau orang bijak dalam gubahan sastra, tembang, atau gambar. Kita mengalami hidup dalam suasana-suasana memungkinkan melupa atau tak menggubris kuburan. Pelajaran-pelajaran lama tertinggal di masa lalu. Pelajaran-pelajaran baru belum disusun. Kita pun maklum bila kedangkalan dalam pengetahuan kuburan berakibat kebencian, kemarahan, curiga, sombong, dan lain-lain. Kita mengalami hidup dalam suasana-suasana memungkinkan melupa atau tak menggubris kuburan. Pelajaran-pelajaran lama tertinggal di masa lalu. Pelajaran-pelajaran baru belum disusun. Kita pun maklum bila kedangkalan dalam pengetahuan kuburan berakibat kebencian, kemarahan, curiga, sombong, dan lain-lain. Di kancah politik, kita diajari kuburan secara formal dan doktrin. Pada peringatan hari-hari nasional, para pejabat ziarah kubur di taman makam pahlawan. Pada ulang tahun kota atau kabupaten, para pejabat berziarah ke makam-makam dianggap sebagai pemula atau leluhur. Hari-hari menjelang hajatan politik, orang-orang ingin masuk gedung parlemen atau menjadi penguasa melakukan ziarah ke pelbagai tempat. Sekian hari lalu, warga Solo mungkin bingung melihat pemasangan bendera dan baliho memuat foto tokoh politik nasional dan menjabat menteri. Solo tampak “menguning”. Kejutan tak cuma di jalan-jalan. Para pembaca koran-koran mendapat kejutan dengan pemuatan berita di halaman muka: tokoh nasional itu berkunjung ke Solo untuk ziarah. Berita terpenting adalah pengakuan bahwa si tokoh masuk trah Mangkunegaran. Kuburan terlalu politis dengan penokohan dan imajinasi kekuasaan menuju: tradisional atau modern. Dulu, Solo memiliki tokoh berpengaruh dalam omongan dan tulisan. Ia hidup dalam zaman bergerak. Sejak awal abad XX, si tokoh berseru tema-tema besar: agama, politik, buruh, pers, dan lain-lain. Ia menggerakkan pers, menghimpun buruh, dan turut dalam pergerakan-pergerakan politik. Ia disebut Hadji Misbach. Orang-orang mungkin enggan menganggap ia adalah “leluhur”. Ia pernah menggerakkan sejarah Solo tapi lekas tak terbaca gara-gara penguasa (kolonial dan Orde Baru) menempatkan Hadji Misbach di kubu kiri. Pengecapan berakibat ia terhilangkan dari memori publik dan penghormatan. Tahun demi tahun, ia mencipta biografi di Solo. Masa itu terhenti akibat hukuman pembuangan. Kematian tak memungkinkan ia dikuburkan di Solo. Nasib tak untung. Hadji Misbach berada dalam masa sulit, tak mungkin kembali atau mendapat penghormatan di Solo. Ia mungkin salah waktu dibandingkan para tokoh politik berlatar abad XXI memahami kuburan-kuburan berargumentasi ideologis. Haji Misbach dibuang ke Manokwari (1924-1926) demi stabilitas politik. Thung Ju Lan (2013) mengungkap peran Hadji Misbach di Manokwari dengan permulaan keprihatian kuburan dan kesaksian. Kuburan Hadji Misbach bernasib buruk. Orang-orang menduga ia dikuburkan di tanah pemakaman Penindi. Pada suatu masa, kuburan-kuburan tergusur akibat pendirian kantor RRI dan lapangan tenis. Semula, kuburan itu umum. Di situ, ada kuburan kalangan Kristen, Islam, dan Cina. Sisa-sisa kuburan dan sejarah makin tak terbaca. Thung Ju Lan menulis: “Namun untuk kuburan-kuburan tua, termasuk kuburan yang dianggap makam Hadji Misbach tidak bernama. Entah, kapan dan oleh siapa kuburan itu dikenali sebagai makam Hadji Misbach juga sulit ditelusuri.” Sejarah tak berhenti di situ. Sejarah justru tak terbaca dan sulit terketahui berhenti. Kini, kuburan-kuburan masih politik meski kita mengetahui kemeranaan akibat wabah. Kaum politik mungkin menunduk sejenak turut berduka dengan alamat kuburan. Mereka tetap saja bakal mengartikan kuburan adalah politik gara-gara persaingan makin dekat. Hari-hari mendebarkan membutuhkan kuburan demi capaian-capaian kekuasaan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Buah dan Wabah

    Hari Buah Internasional ataupun Tahun Internasional Buah dan Sayur 2021 tak ingar-bingar. Padahal, keduanya memberi pesan perubahan lewat konsumsi buah. (Kompas, 3 Juli 2021) DUNIA masih lara. Pengecualian kegembiraan terasa di sepakbola sedang berlangsung di Eropa dan Amerika Latin. Lara bisa reda bila orang-orang menginginkan berita-berita memuat pengharapan. Di Kompas, 1 Juli 2021, dimuat gambar unik. Gambar mungkin buah jeruk tapi penampilan terasa estetik. Di kulit buah jeruk, kita melihat ada peta Indonesia. Buah jeruk disepertikan globe. Buah itu masih sisakan selembar daun hijau. Di bawah gambar, terbaca: Hari Buah Internasional. Kita mungkin tak menjadikan itu ingatan resmi dan rutin setiap tahun. Buah mendapat hari penghormatan, menambahi jumlah hari-hari peringatan bertaraf internasional. Pemuatan gambar cukup menimbulkan imajinasi segar. Orang makan buah ingin menikmati kesegaran dengan sekian rasa. Imajinasi rupa dan rasa perlahan berkurang setelah membaca berita: “Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan tingkat konsumsi buah di Indonesia tergolong masih rendah berkisar 32,4 kilogram per kapita per tahun. Kondisi itu menunjukkan konsumsi buah di Indonesia jauh dari standar ideal, sekitar 73 kilogram per kapita per tahun.” Indonesia memiliki tanah subur tapi orang-orang belum mementingkan makan buah. Masa demi masa, tanah-tanah di Indonesia memang sering bercerita padi, singkong, jagung, teh, kopi, sawit, dan karet, ketimbang beragam buah. Pertanian buah tetap terselenggara di pelbagai tempat tapi belum “roman terbesar” dalam sejarah Indonesia. Para leluhur tak pelit memberi warisan imajinasi-imajinasi buah melalui cerita, gambar, tembang, dan lain-lain. Kita mendapat pemaknaan buah-buah dalam ritual, makan keseharian, pesta, dan industri. Buah lekas tak mengingatkan tanah saat industri minuman dan makanan makin mengabarkan buah-buah. Buah tanpa wujud. Buah berubah rupa. Buah sering rasa. Orang-orang masih ingin memiliki masa lalu dengan merawat segala cerita berlimpahan imajinasi termiliki dongeng, peribahan, pepatah, dan segala petuah bijak. Di agama, orang-orang sadar ada pengajaran-pengajaran buah berkaitan keimanan, kemanusiaan, dan kebahagiaan. Buah-buah dalam pengisahan suci, tak lupa bermunculan dalam tragedi atau kejahatan. Buah belum punah di Bumi. Orang-orang masih makan dan minum buah, selain memandangi atau berimajinasi. Buah masih dimengerti penting dalam kesehatan, kecantikan, dan kebersamaan. Buah tetap menghasilkan laba besar dalam perdagangan dunia. Buah belum jemu digunakan dalam pelbagai kiasan hidup. Buah mengajak orang berpikiran mesum sampai ketakjuban estetika. Di nalar industrial, buah kadang mencipta petaka-petaka setelah perusahaan-perusahaan memilih bergelimang laba dengan kejahatan-kejahatan berpokok buah. Buah kadang sastra. Kita simak “Sajak Semangka” gubahan F Rahardi (1983). Ia sering menggubah sastra dan mengurusi majalah Trubus, majalah getol memberitakan dan menceritakan buah. Sajak tak harus jelas: sebungkah semangka taiwan menggeliat/ dia bulat/ manis/ dan besar kemungkinan tak berbiji/ Tukirim berpisau. Lastri berpensil/ mereka bersemangka bersama-sama. F Rahardi mengungkap sikap manusia-manusia atas buah sebagai santapan dan kiasan berlaku dalam kehidupan bersama. Puisi ingin melucu sambil mengajak pembaca mengerti hubungan manusia dan buah dalam peradaban. Puisi digubah dan dibaca berlatar abad XX. Kita mungkin terkejut mengetahui nasib buah-buah di Nusantara dengan membaca buku susunan Alfred Russel Wallace. Buku terbit seratusan tahun lalu. Pada 2009, terbit edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Buku diterbitkan Kobam dalam ukuran besar dan tebal. Kita terkesima sejak gambar di sampul. Gambar tiga perempuan dan satu lelaki. Mereka bersama buah-buah dan seekor burung. Rupa buah-buah memang penting dalam pengembaraan dan penjelasan Wallace. Di pelbagai tempat, ia berkunjung dan mencatat. Ia mengalami, mencatat secara “ilmiah” dan dokumentatif. Buah-buah menjadi perhatian selain binatang. Pengalaman Wallace menikmati durian: “Buah ini tidak asam, tidak manis, tidak masam, tapi rasanya adalah rasa yang paling diinginkan selain rasa-rasa tersebut karena rasanya begitu sempurna. Buah ini tidak menimbulkan rasa mual atau akibat buruk lain. Sekali kita makan, maka akan semakin sulit untuk berhenti. Memakan durian adalah sensasi tersendiri yang melengkapi pengalaman dari Eropa ke Timur.” Buah itu menjadi masalah. Wallace menuliskan pengalaman melihat dan makan. Di kalangan Eropa, durian menjadi sasaran untuk pujian berlebihan. Sekian orang justru memberi kebencian, mengumbar kata-kata “menghinakan” dan “merusak”. Pertengkaran makna terjadi, menularkan pengetahuan dan pengalaman bermula buah. Wallace gamblang menulis penilaian orang-orang Eropa atas buah-buah di Timur. Kita menganggap itu masalah kepekaan ia mengembara di hutan-hutan Nusantara. Ia menerapkan ilmu, mahir bercerita. Tulisan-tulisan mengenai flora-fauna terbaca di Eropa, pemenuhan hasrat atas pengetahuan Timur. Kita perlahan mengerti bahwa buah masuk dalam pembentukan “peradaban” terbedakan mutu. Eropa ingin tinggi dibandingkan tata cara makan buah dan pemaknaan di Timur. Pada masa kolonial, bukti-bukti tampak dari kebiasaan menaruh buah di atas meja makan. Keluarga-keluarga Eropa “menamai” pelbagai buah dengan keilmuan dan pamrih politik-kultural. Lumrah saja berlangsung perseteruan bahasa, derajat, dan ilusi global. Sejarah buah di Indonesia paling “politis” berlangsung masa 1950-an. Kebijakan pangan dan kesehatan menempatkan buah berperan besar. Keluarga-keluarga diminta sehat dengan makan buah, pengesahan dalam empat sehat lima sempurna. Buah dalam keseharian berubah mengikuti nalar-birokrasi. Di pekarangan dan kebun, orang-orang menanam dan memetik buah. Sekian buah digunakan dalam ritual. Di keseharian, orang-orang makan buah tanpa dokumen resmi bertandang tangan dan stempel pemerintah. Mereka membuat dan mengedarkan cerita-cerita buah. Perubahan besar terjadi setelah kebijakan pemerintah dan arus perdagangan global. Buah-buah itu politik dan laba. Pada akhir abad XX, cerita buah lekas amburadul: meninggalkan kesakralan dan ketakjuban pernah terkandung dalam cerita, rupa, dan tembang. Industri buah mengakibatkan nalar dan imajinasi berpijak kenikmatan dan menghasilkan laba besar. Buah-buah makin industrial. Orang-orang diajak menikmati minuman dijelaskan “sari” atau “rasa” buah. Buah bukan rupa. Di tatapan dan pegangan, buah itu menjadi serbuk. Buah dalam permen-permen. Buah adalah sirup-sirup pelbagai warna dan bermerek. Buah pun tema “mendadak” dibesarkan selama wabah. Situasi dunia mengharuskan orang-orang sehat. Mereka makan buah. Anjuran-anjuran mengonsumsi buah dimaksudkan menghindari pertambahan duka akibat wabah. Penjelasan-penjelasan tentang buah berdasarkan sains. Para ahli kesehatan, aparat pemerintah, dan tokoh publik berkhotbah mementingkan buah. Pada saat orang-orang berpikiran dan menginginkan buah, industri telah kebablasan memberi ruwet berkaitan nama-nama dan nafsu ekspor-impor. Buah meninggalkan masa silam dan sejarah bercerita. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020), Tulisan dan Kehormatan (2021) FB: Kabut

  • Ingatan (Membekas) Buku Bekas

    PEDAGANG buku bekas di Ciputat bercerita: “Buku bekasnya yang beredar di pedagang buku bekas mencakup filsafat, politik, ekonomi, sastra, dan kajian agama.” Penjelasan singkat tercantum di Kompas, 20 Juni 2021. Tokoh dimaksud bernama Mohammad Hatta. Kita mungkin tak menduga koleksi buku milik pembaca tekun berkacamata itu bisa beredar di pasar buku bekas. Curiga demi curiga bisa diajukan tapi jawaban mungkin meragukan. Hatta tentu tak pernah berpikiran bakal mengartikan koleksi buku adalah “dagangan” dengan hitungan kiloan atau kardusan. Kita tak sedang sedih memikirkan tokoh membentuk biografi dengan buku-buku. Kita berurusan dengan buku bekas, pedagang, pembaca, dan kolektor. Penggunaan diksi bekas sering menjatuhkan harga atau peremehan menjadi cuma benda. Kita ingin memberi perbedaan buku bekas dibandingkan sekian benda bekas. Buku bekas dalam perniagaan di peraguan terhormat atau telantar. Buku-buku bekas dimiliki para pembaca dan kolektor berbeda nasib: terbaca atau terpandang. “Bekas” terlalu bermasalah bila mengusut makna-makna terberikan, dari duit sampai pengetahuan. Diksi bermasalah lagi: perburuan. Diksi tergunakan di Kompas. Kita simak: “Persaingan dalam berburu buku bekas ternyata sangat ketat. Para pemburu buku biasanya punya trik tersendiri untuk mendapatkan buku bekas yang punya nilai tinggi.” Perburuan mengesankan ada misi-misi berbekal keberanian, uang, dan keberuntungan. Perburuan kadang mencipta konflik dan dendam. Kita telanjur mengerti itu gara-gara sekian orang mula-mula mengucap dalam bahasa Inggris, diterjemahkan menjadi “berburu” atau “perburuan”. Kita bergerak saja ke negeri jauh, menuju silam. Pembaca berimajinasi dengan sekian sebutan: buku bekas, buku antik, buku langka, atau buku legendaris. Kejadian dalam novel berjudul Balthasar’s Odyssey: Nama Tuhan yang Keseratus (2006) gubahan Amin Maalouf. Kita ikuti percakapan dua orang mengandung penjelasan dan imajinasi pelik. Perkataan membimbing pembaca menuruti halaman-halaman mendebarkan: “Tak seorang pun yang sungguh-sungguh pernah mengutip langsung dari buku itu. Maka para pedagang yang bersungguh-sungguh, dan sebagian besar ulama, meyakini bahwa buku itu tak pernah ada, dan beberapa jilid yang dipertontonkan dari waktu ke waktu adalah hasil garapan para pembajak atau penipu. Judul buku legendaris ini adalah Nama Tersembunyi yang Tak Terungkap, tetapi buku itu juga dikenal sebagai Nama yang Keseratus. Bila kujelaskan nama apakah itu, kau akan tahu mengapa buku itu begitu banyak diburu.” Kita singgah sejenak saja, kembali ke masalah perbukuan dan perdagangan buku di Indonesia, tak lupa memikirkan orang-orang berpredikat kolektor. Puluhan tahun, orang-orang selalu mencari buku-buku gubahan Pramoedya Ananta Toer. Sekian orang memilih mengurusi buku-buku sastra peranakan Tionghoa. Ada juga orang getol membeli dan mengumpulkan ratusan buku cap roman picisan dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Buku-buku Soekarno tentu menjadi pencarian dengan duit jutaan. Di Indonesia, orang-orang masih memerlukan masa lalu, menginginkan buku-buku. Mereka mengenali tokoh-tokoh, mengerti buku-buku pernah menghebohkan. Sekian dalih menjadikan buku-buku “wajib” diperoleh. Di situ, orang-orang membahasakan kemauan. Buku-buku diberi sebutan-sebutan berdampak ke harga dan faedah. Kota-kota menjadi incaran. Nama pedagang, nama toko buku, alamat, dan segala hal dipikirkan demi mendapatkan buku-buku. Cerita-cerita atau bualan-bualan makin menambah keseruan dalam urusan buku bekas. Keajaiban tercipta atau dicipta menjadikan makna buku langgeng. Di babak perdagangan buku bekas, orang-orang mengingat kecewa, jengkel, girang, marah, sedih, dan sombong. “Dosa-dosa” dalam edisi perniagaan buku bekas, langka, antik, atau legendaris adalah bohong dan fitnah. Pengalaman-pengalaman berpusat atau berkaitan buku bekas dituliskan P Swantoro, terbit berjudul Dari Buku ke Buku: Sambung-menyambung Menjadi Satu (2002). Buku memuat sekian hal: mencari, membeli, membaca, mengingat, mengulas, dan lain-lain. Ratusan buku berusia tua beragam bahasa. Kita terkesima mengetahui kemauan Swantoro menulis ratusan halaman mengenai buku, tak lupa diimbuhi masalah-masalah lain. Kita mengandaikan Swantoro berada di rumah atau ruangan dengan ribuan buku lama. Ia “beribadah” dengan membaca buku-buku di garis waktu memanjang. Buku bukan melulu benda. Swantoro menulis biografi dan ulasan, tak sampai menjadi novel. Kita mungkin kelimpungan bila itu menjadi novel seribuan halaman. Kita mengandaikan Swantoro berada di rumah atau ruangan dengan ribuan buku lama. Ia “beribadah” dengan membaca buku-buku di garis waktu memanjang. Buku bukan melulu benda. Swantoro menulis biografi dan ulasan, tak sampai menjadi novel. Penulis juga memulai gandrung buku dalam edisi bekas. Pada 1998, Indonesia gonjang-ganjing. Penulis masih murid SMA, mentas dari terpuruk biografis. Murid itu ingin berubah di sekolah dan rumah. Hari demi hari di sekolah, ia mengikuti saja kewajaran belajar di kelas meski sulit bergairah. Di waktu sela, ia mendekam di perpustakaan: membaca buku, koran, dan majalah. Di rumah, ia menghuni kamar berantakan bersama saudara. Kamar untuk menjauhi godaan-godaan masa remaja. Di situ, ia bersama buku-buku dan majalah-majalah bekas. Jumlah buku dan majalah terus bertambah gara-gara ia rajin membeli ke kios-kios buku bekas di belakang Stadion Sriwedari dan Gladag di Solo. Si remaja bersekutu dengan buku-buku (bekas). Buku-buku menuntun ia menjadi pembaca dan penulis, berjalan jauh tak berkesudahan. Ia mengerti sulit menjadi penulis. Tahun-tahun berlalu, ia tak lekas menjadi penulis di koran atau majalah. Pada babak berbeda, ia mulai menjadi pedagang buku bekas: berjualan di kampus-kampus dan tempat-tempat pertunjukan seni di Solo. Berdagang buku bekas tanpa janji untung melimpah. Ia memilih berbagi cerita dan memberi harga murah-murah saja asal bertemu jemaah buku. Dagangan ditambahi kaset bekas. Ia terlena dengan buku dan kaset. Hidup dalam edisi bekas dan bekas. Pada saat menjadi penulis, ia mulai mengerti kemujaraban buku-buku dan majalah-majalah bekas telah bersama sejak 1998. Esai demi esai ditulis mengacu buku-buku bekas dalam beragam tema. Majalah bekas kadang digunakan dalam lacak kutipan. Sekian esai dimuat di koran dan majalah. Tahun demi tahun berganti, ia makin bersekutu dengan buku dan majalah bekas. Jadilah ia keranjingan membuat resensi buku lawasan dan menggarap kliping pelbagai tema! Kini, ia bingung mengikuti perdagangan buku bekas. Buku-buku itu sering masalah harga dan kolektor. Ia terlalu lama menanti tulisan-tulisan dokumentatif dari para pedagang, pembeli, pembaca, atau kolektor buku bercap bekas, langka, antik, kuno, atau legendaris. Penantian tulisan-tulisan malah dijawab kelimpahan foto dan bualan-bualan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Lalu, Hari Berlalu ...

    PADA suatu masa, ia memberi bait mirip berseru: yang sudah jelas tulis sajak itu antara menyingkap dan sembunyi antara munafik dan jatidiri. Bait menginginkan orang jangan ketagihan kiasan. Ia sesumbar: “tidak perlu kiasan lagi”. Tahun demi tahun, ia rajin menulis puisi tapi mengajak kita meninggalkan kiasan. Kita telanjur diajari bahwa puisi itu bermain kiasan. Si pembuat bait tanpa tanda seru tapi menantang itu bernama Toeti Heraty (27 November 1933-13 Juni 2021). Bait mengesankan ia sedang ingin mengubah pengertian, peran, dan persembahan puisi bila berurusan wanita. Ia bukan melawan atau membalik puisi. Kita membaca ada kejengkelan dan kelakar. Larik terasa maklumat: “kata mentah tidak diubah menjadi indah.” Ia mengerti kesibukan orang-orang menggubah puisi sering dalam kemanjaan dan sengsara demi “indah-indah”. Puisi masih kata. Pada suatu hari, Toeti mengurusi kata. Kita membaca dalam puisi berjudul “Suatu Kata”. Di mata-membaca, puisi itu “oposisi” dari seruan “kata mentah tidak diubah menjadi indah”. Toeti, nama tercatat dan ramain diomongkan dalam kesusastraan Indonesia, setelah ia memberi puisi-puisi mengungkap keperempuanan. Kita simak ia berurusan kata, terpuisikan mengenai kata: sebenarnya, hanya suatu kata saja kata, ucapan, nada, dapat dieja berapa pula suku katanya, huruf mati dan huruf hidup. Sibuk dengan kata memungkinkan puisi-puisi ditulis, terpasang di majalah dan terbit sebagai buku-buku. Ia telah terakui dan menjadi perhatian. Pada 1985, Toeti menerangkan: “Penulisan sajak bagi saya bukan penulisan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan menulis pemaparan, tetapi mencatat kesan-kesan. Dan bila kebetulan dianggap saja, syukurlah.” Kita menduga ia menempatkan diri berjauhan dengan sibuk dan serius diselenggarakan para penggubah puisi. Ia memastikan tak mau “habis” dalam puisi saja. Ia memiliki sekian “jalan” menampilkan diri saat diketahui berlatar pendidikan kedokteran, psikologi, dan filsafat. Kemauan menulis puisi bukan tindakan menemukan ketinggian di kancah sastra. Toeti beranggapan dengan berpuisi “sebagai catatan pinggir atas kehidupan sehari-hari”. Menulis puisi diinginkan tapi tak berlebihan. Keinsafan bila tak berpuisi: “Bila tidak dituliskan, akan mengganggu berkepanjangan.” Selama puluhan tahun, Toeti itu nama besar dan berpengaruh dalam perpuisian Indonesia. Ia tak tentu selalu berpuisi. Urusan-urusan besar dikerjakan: seni, ilmu, bisnis, dan lain-lain. Dua buku memastikan tenar dalam sastra: Sajak-Sajak 33 (1971) dan Mimpi dan Pretensi (1982). Pengakuan di sastra sampai di pemilihan puisi-puisi telah digubah puluhan tahun. Terbitlah buku berjudul Nostalgi = Transendensi (1995). Budi Darma menikmati dan mencermati persembahan puisi-puisi dari Toeti. Ia menulis: “Dan sajak adalah juga pemikiran, bertulang punggung sekian banyak penghayatan.” Di luar buku-buku puisi, Toeti menguat dengan bertulang punggung pemikiran melalui penerbitan buku filsafat. Pada peringatan 70 tahun, Toeti sudah dalam posisi bertambah penting di Indonesia. Ia bersama pengarang, pengajar, intelektual, seniman, aktivis, dan lain-lain. Episode Toeti, dari remaja sampai tua, berisi pembuktian setelah omelan, keraguan, tuduhan, dan ejekan. Toeti sanggup melewati itu semua dengan gelisah dan jawaban. “Toeti melihat kegelisahan itu sebagai kebutuhan seorang manusia untuk diakui sebagai seorang pribadi, bukan sebagai anak perempuan atau istri,” tulis Melani Budianta dalam buku Toeti Heraty berjudul Pencarian Belum Selesai (2003). Toeti dalam keluarga dan Toeti membuat keluarga memang bergelimang kejutan-kejutan tapi “diwajarkan”. Toeti mengalami ingin wajar dan puisi-puisi mengandung jejak-jejak diri dalam keluarga-keluarga. Gelisah dimiliki sejak bocah. Pada suatu masa, Toeti kelahiran Bandung diajak keluarga mengalami hidup di Kediri pada 1940-an. Episode menentukan diri menggandrungi buku, pijakan kelak menjadi penikmat dan penulis buku-buku. Kenangan Toeti: “Di rumah itu aku mulai menggebu membaca buku. Di paviliun, tinggal seorang guru wanita Belanda yang meminjami aku banyak buku, antara lain Bruintje Beer. Dan, mulailah aku berlangganan surat kabar untuk anak-anak Jong Indie dengan cerita komik Tarzan dan Robinson Crusoe. Tetapi, zaman buku-buku bacaan berbahasa Belanda segera resmi berakhir datanglah tentara Jepang menduduki Kediri.” Pada saat muda, Toeti melanjutkan studi ke Belanda. Buku-buku telah menjadi peta. Kemampuan berbahasa Belanda itu “keuntungan” meski pernah bermasalah pada masa pendudukan Jepang. Keranjingan buku sejak bocah bertambah saat remaja. Keluarga Toeti mulai tinggal di Jakarta. Babak itu berfilsafat. Toeti beranjak dewasa membaca buku-buku Bertrand Russell, Nietzsche, dan Khrisnamurti. Ia pun mulai menikmati sastra dan musik. Toeti menapaki pengalaman-pengalaman mengurusi kegelisahan dan menghasilkan jawaban-jawaban. Toeti pun membekali diri untuk melakukan pengelanaan-pengelanaan terjauh. Ia beredar ke pelbagai negara. Di Indonesia, Toeti memiliki posisi-posisi penting dalam ilmu dan seni. Ia tercatat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta dan angota Akademi Jakarta. Tahun-tahun berlalu, Toeti menjadi tua. Ia telah membuat pertimbangan menjadi lansia. Toeti memberi petunjuk: “Penambahan usia memerlukan suatu kompensasi dalam penampilan, suatu upaya khusus. Ubahlah gaya penampilan itu. Yang biasanya citra temaram supaya menjadi ceria. Yang biasanya anggun menjadi menantang, yang biasanya penantang menjadi lugas atau lembut. Perubahan penggunaan warna kesayangan dan gaya berpakain.” Toeti memang menua tapi ia malah mengadakan beragam hal, tampil sebagai penggerak dan pembuat kebijakan-kebijakan penting. Ia masih saja menulis, berpikiran memberi persembahan buku. Setahun lalu, ia turut dibingungkan oleh wabah. Toeti tak diam. Ia menulis, membuka ingatan-ingatan dan bertulang punggung pengalaman mutakhir. Ia bercerita hari-hari selama wabah. Toeti tinggal di Jakarta, kota pernah “merah” akibat wabah. Pada suatu pagi, Toeti memiliki peristiwa: “Menunggu lagu Indonesia Raya di Metro TV pukul 06.00 WIB, dan sarapan dibawa masuk ke kamar. Rasanya lega, bila gula darah antara 100-140. Sesudah itu tetap harus minum bermacam-macam obat.” Hari demi hari, berulang dan berulang. “Ini semua adalah ritual pagi yang menjengkelkan,” pengakuan Toeti dalam buku berjudul Ajaib, Nyata, Terkadang Lucu (2020). Ia masih saja berpikir. Toeti terus menulis. Di sela mengalami hari-hari menjengkelkan, ia merenung: “Akan tetapi, apa ini harus menjadi kalimat terakhir tulisanku.” Ia menulis kalimat: “Lalu, hari berlalu…” Pada usia tua, Toeti masih sanggup menulis dan menulis. Buku itu mungkin warisan terakhir. Di situ, kita membaca dua paragraf: “Akan tetapi yang paling menakjubkan adalah memperoleh cicit kembaranku, yang mana bersamaan ketika aku merayakan hari ulang tahunku yang ke-86, ia lahir ke duni. Nekat lahir untuk menjadi hadiah terindah pada hari jadiku itu meskipun lahir dalam kondisi prematur, kekar dan sangat maskulin. Aku sangat bersyukur dengan keajaiban ini. Tentu ada hal-hal yang menjengkelkan atau mengecewakan dalam hidup, tetapi itu meningkatkan adrenalinku. Semangat hidup semakin terangsang oleh tantangan tetapi juga mengidam-idamkan rasa tenang dan damai. Mungkin sebagai persiapan untuk damai terakhir. Damai terakhir, sekaligus misteri.” sekian hari lalu, ia memang dalam damai. Di Kompas, 15 Juni 2021, Intan Paramaditha menulis: “Ada Toeti Heraty untuk setiap perempuan.mengenang Toeti adalah mengingat setiap langkah untuk memastikan berlangsungnya estafet pengetahuan yang menghargai pemikiran perempuan.” Kita pun mencatat Toety Heraty sebagai tokoh dengan fragmen-fragmen belum selesai, menunggu orang-orang membuat “sambungan” atau menjadikan alur itu terus bersebaran dan berkepanjangan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • SEKOLAH BASIS

    Majalah Basis menapak usia ke-70. Di era Whatsapp dan Twitter, majalah cetak Basis masih eksis di 2021 ini. Untuk berbagi bahagia, Majalah Basis bekerjasama dengan Komunitas Utan Kayu (KUK), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), TribunNews, Periplus, Bentara Budaya dan Jesuit Insight menawarkan 10 zoominar SEKOLAH BASIS guna “menembus fakta”, menyentuh kedalaman etika, politik, seni, pandemi, ekonomi, filsafat dan teologi. Daftarkan segera, dan tautan zoom akan diberikan sehari sebelum acara. Hari #1 : Kamis, 1 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Profil Majalah Basis Pembicara: Bandung Mawardi (Pegiat Literasi) Penanggap: Dr. Rémy Madinier (Senior Researcher at CNRS-France) Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis1juli Hari #2 : Jumat, 2 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Estetika Seni Adorno Pembicara: Goenawan Muhamad (Penulis-Perupa, Pendiri Tempo) Penanggap: Dr. G. P. Sindhunata Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis2juli Hari #3 : Sabtu, 3 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Etika Komunikasi di Era Digital Pembicara: Dr. J. Haryatmoko Penanggap: Dr. Agus Sudibyo (Dewan Pers) Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis3juli Hari #4 : Minggu, 4 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Komunisme Masih Hidup? Pembicara: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno Penanggap: Prof. Hermawan Sulistyo, Ph. D. Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis4juli Hari #5 : Senin, 5 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Albert Camus dan Pandemi Pembicara: Prof. Dr. A. Sudiarja Penanggap: Dr. A. Setyo Wibowo Moderator: Yulius Tandyanto, M. Fil Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis5juli Hari #6 : Selasa, 6 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Agama, Rasionalitas dan Teologi Publik  di Zaman Post-Sekular: Berdialog dengan J. Habermas Pembicara: A. Bagus Laksana Ph. D Penanggap: Dr. Fitzerald Sitorus Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis6juli Hari #7 : Rabu, 7 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Retorika, Semiotika dan Hermeneutika: Belajar dari Intellektual Muslim Fakhr al-Din al-Razi Pembicara: Dr. J. B. Heru Prakosa Penanggap: Ulil Abshar Abdalla Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis7juli Hari #8 : Kamis, 8 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Estetika dan Rasa Pembicara: Ayu Utami (Sastrawati) Penanggap: Dr. G. P. Sindhunata Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis8juli Hari #9 : Jumat, 9 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Prospek Demokrasi di Era Kapitalisme Digital Pembicara: Dr. B. Hari Juliawan Pembicara: Yustinus Prastowo (Stafsus Menkeu) Moderator: Dr. A. Setyo Wibowo Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis9juli Hari #10 : Sabtu, 10 Juli 2021, pk. 19.00-21.00 Tema: Kilas Balik Majalah Basis Pembicara: Dr. G. P. Sindhunata Pembicara: Dr. A. Setyo Wibowo Moderator: Christina Udiani (KPG) Pendaftaran: https://penerbitkpg.qrd.by/sekolahbasis10juli Sertifikat Basis akan diberikan kepada peserta yang rajin mengikuti ke-10 zoominar.

  • Soeharto Berdesa!

    PRESIDEN Joko Widodo dan para menteri tekun mengabarkan dan memuliakan desa. Pelbagai kebijakan dan penamaan menempatkan desa sebagai masalah besar abad XXI. Indonesia sedang berdesa. Hari demi hari, berita-berita bertema desa terbaca di koran-koran. Menteri dan para pejabat belum lelah membahasakan desa dengan segala pamrih dan konsekuensi picisan. Pada 2020 dan 2021, desa-desa tetap terucap selama wabah. Di Suara Merdeka, 8 Juni 2021, kita mengutip editorial: “Dana desa bisa menjadi kekuatan dalam mengembangkan berbagai potensi ekonomi desa. Identifikasi menjadi langkah awal, disusul kemudian mengoptimalkan dan mengembangkan jaringan pemasaran…. Dana desa merupakan implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.” Kini, pemerintah malah lantang mengumumkan pembuatan ratusan desa wisata, setelah polemik dan peremehan makna desa berlangsung gara-gara dana miliaran rupiah dan acara-acara kekuasaan. Dua kata terheboh bikin sebal: desa wisata. Kita diminta bersabar dalam kesuksesan capaian ratusan desa wisata melalui pengesahan dokumen, pidato pejabat, hitungan laba, album foto, dan parade bahasa Inggris. Hari-hari menanti itu diselingi ingatan seabad Soeharto. Kita mengenang bertema desa. Ingatan terpenting nasib desa pada masa Orde Baru ditentukan dalil-dalil kekuasaan. Kita mengingat sebutan membuat desa selamat dan terpuji: “Desa Pelopor P-4”. Desa-desa masa lalu mendapat ketetapan. Bukti ke publik adalah pembangunan tugu atau pemasangan papan. Desa-desa direstui Soeharto, masuk daftar keberhasilan menjadikan warga desa mengamalkan Pancasila. Penguasa mengartikan warga desa wajib sopan, patuh, tertib, lugu, dan maklum. Soeharto menggelar permainan besar bertema desa. Kita terlarang kaget bila mengerti Soeharto mengisahan diri sebagai orang desa. Biografi membentuk Indonesia selama puluhan tahun. Soeharto berdesa! Di majalah Sarinah edisi 6 Juli 1987, pembaca diajak memuji Soeharto dalam peringatan ulang tahun. Presiden “tercinta” berusia 66 tahun. Di situ, Soeharto ditampilkan dalam kesederhanaan. Dipasanglah foto hitam-putih berketerangan: “Rumah tempat Soeharto dilahirkan di Kemusuk, Argomulyo.” Soeharto lahir di desa, sebelum menjadi orang terpenting dan tinggal di Jakarta. Desa kelahiran itu mencipta sejarah. Soeharto pun memiliki kehendak “memperbaiki” nasib desa-desa di seantero Indonesia. Pidato-pidato dan sekian kebijakan bertema desa, mengesahkan Soeharto tak melupa asal. Puncak dari pemaknaan desa adalah penamaan “Desa Pelopor P-4”. Soeharto bangga bila desa-desa memenuhi kaidah-kaidah sesuai kemauan penguasa. Desa jangan teringat sebagai tempat pembangkangan, protes, atau mengutuk. Di Jakarta, keluarga mengesahkan kebahagiaan dalam peringatan ulang tahun Soeharto. Acara sederhana tanpa mengundang ribuan orang. Di rumah, peristiwa cuma doa bersama, ciuman, pelukan, dan makan bersama. Soeharto ingin sederhana. Di mata ratusan juta penduduk Indonesia, Soeharto memberi pesan kesederhanaan, menampik segala curiga tentang kelimpahan dan kemanjaan. Soeharto mengesankan membawa biografi perdesaan. Keterangan di Sarinah makin menguatkan anggaoan: “… keinginan Pak Harto untuk sederhana muncul dari prinsip hidupnya yang samadyo, wajar, sederhana, tak ingin menyulitkan orang lain.” Mitos diri bijak dan sederhana itu dimengerti publik tanpa bantahan atau bisik-bisik mencurigakan. Soeharto tetap teladan, sosok idaman bagi Indonesia. Semua itu berlatar Orde Baru. Ingat Soeharto, ingat desa, ingat sederhana. Pada 1991, terbit buku berjudul Gemuruh Kemusuk susunan Djudjuk J, Lazuardi Adi Sage, S Budhi Rahardjo. Imbuhan judul ingin membakukan sejarah: “Profil Desa Perjuangan”. Kemusuk itu Soeharto. Kemusuk tentu tak cuma Soeharto. Daftar tokoh penting Indonesia dilahirkan di Kemusuk. Keterangan terbaca: “Kemusuk bukan saja sebagai tempat kelahiran orang-orang terkenal semacam mereka, tapi juga merupakan saat manis dan romantis di masa kanak-kanak mereka.” Kemusuk, desa bersejarah. Soeharto dianggap “putra Kemusuk sejati”. Dulu, Soeharto adalah bocah bermandikan lumpur di desa. Pada masa berbeda, ia bergelimang kekuasaan. Masa demi masa, Soeharto dalam pemitosan desa. Mitos terampuh agar awet menjadi penguasa. Mitos itu membesar dan berpengaruh dengan penerbitan buku edisi terjemahan bahasa Indonesia berjudul Anak Desa: Biografi Presiden Indonesia (1976) garapan OG Roeder. Semula, buku terbit berbahasa Inggris (1969), terbaca orang-orang di pelbagai negara. Orang-orang Indonesia bersabar menanti edisi terjemahan. Pembahasaan politis minta dibenarkan pembaca mengacu peristiwa 6 Juni 1921: “Ketika anak itu dilahirkan, di langit tidak kelihatan tanda-tanda yang kudus. Pun tidak ada letusan gunung berapi setelah ia lahir ke dunia dan tiada ramalan tentang seorang “Putera Fajar” seperti yang pernah diramalkan pada anak-anak orang kaya dan berpengaruh yang hendak mengagungkan dirinya sendiri. Kelahiran Soeharto tidak berbeda dengan kelahiran anak-anak lainnya di kampung itu, dengan orang tua yang melarat tetapi berbesar hati.” Soeharto bermula melarat tapi berakhir dengan tuduhan-tuduhan korupsi. Soeharto tertolak sebagai manusia sederhana gara-gara keluarga Cendana dan kroni berpanen duit. Indonesia seperti menjadi “sawah subur” bagi mereka, bukan sawah-sawah di Kemusuk masa 1920-an. Babak setelah 1998, orang-orang mustahil mengakui Soeharto itu “melarat”. Soeharto justru mendapat mitos baru. Sejarah Indonesia mencatat ia bergelimang kekuasaan dan harta. Tahun demi tahun, urusan mengusut harta Soeharto bertambah ruwet. Tempo, 4-10 Februari 2008, hadir sebagai edisi khusus Soeharto dengan judul puitis: “Setelah Dia Pergi”. Seribu soal belum terjawab. Soeharto mewariskan masalah-masalah. Di Tempo, kita membaca: “Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan… Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu.” Pada masa akhir, Soeharto luput dari tema desa. Soeharto mendapat kritik, kecaman, dan hujatan. Tokoh berasal dari desa dan pernah membuat maklumat politis bertema desa mengalami hari-hari terakhir bermasalah kekuasaan dan harta. Desa, tema terlalu terlupa. Di buku sejarah, Soeharto tetap berperan dalam membesarkan tema desa. Ratusan judul buku cerita anak dalam program Inpres sering bertema desa. Mitos diselenggarakan dengan serius, memiliki metode dan perhitungan dampak. Pada 1997 dan 1998, desa-desa terapeskan oleh krisis moneter. Soeharto sulit memikirkan desa-desa saat Indonesia ramai demonstrasi. Indonesia mengalami “kebangkrutan” atau “kejatuhan” tanpa janji selamat. Soeharto memikirkan dan bertaruh. Gagal. Ia tak mengakhiri dengan indah dalam pengawetan tema desa, sebelum terbahasakan secara berbeda oleh penguasa-penguasa baru. Kini, sekian tugu tinggalan masa Orde Baru masih bisa terbaca. Desa dan Pancasila dipahat dengan huruf, logo, dan angka. Sekian tugu rusak, berlumut, dan murung. Pada edisi berbeda, desa-desa berdandan menjadi desa wisata. Dulu, Soeharto mungkin telat memikirkan desa sebagai tempat keramaian. Desa itu alamat bagi turis-turis dari pelbagai negeri. Soeharto tampak “kolot” mengartikan desa adalah pertanian, kerja bakti, pilkades, pasar malam, dan ritual. Soeharto belum memiliki siasat terampuh menempatkan desa dalam perhitungan “laba” bernalar pariwisata. Kini, sekian tugu tinggalan masa Orde Baru masih bisa terbaca. Desa dan Pancasila dipahat dengan huruf, logo, dan angka. Sekian tugu rusak, berlumut, dan murung. Pada edisi berbeda, desa-desa berdandan menjadi desa wisata. Dulu, Soeharto mungkin telat memikirkan desa sebagai tempat keramaian. Soeharto pun tak semulia Soekarno dalam mendapat pujian-pujian berdalih desa. Pada masa 1950-an, terbit buku berjudul Desa garapan Soetardjo Kartohadikusumo. Buku gamblang menjadi persembahan berlatar revolusi mengacu seruan-seruan Soekarno. Buku tebal berusaha mementingkan desa dalam arus sejarah Indonesia. Soekarno ada dalam pengecapan penting dan pembuktian. Pada 1984, buku itu dicetak ulang sengaja berselera beda. Buku ingin dianggap “cocok” dengan misi-misi Soeharto, meninggalkan kesilaman bersama Soekarno. Di halaman prakata, pembaca menunduk atas tafsir terbaru kemauan penulisan buku oleh Soetardjo Kartohadikusumo. Situasi telah berbeda: “Agaknya beliau menyadari sepenuhnya peranan desa sebagai kekuatan hidup bangsa Indonesia, dan memang di desalah dijumpai falsafah hidup Pancasila sebagai praktek hidup sehari-hari.” Kini, peringatan seabad Soeharto dalam dilema makna berbarengan dengan peringatan-peringatan sejarah selama Juni. Kita mengenang Pancasila, Soekarno, dan Soeharto. Semua dimaknai dalam Juni. Sekian pihak menginginkan Juni adalah “Bulan Bung Karno”. Di situ, pemaknaan Pancasila makin kokoh. Pada peringatan dan makna berbeda, kita sungkan melanggengkan Soeharto dan Pancasila melalui tema desa. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Pidato dan Pidato

    PADA masa Orde Baru, Soeharto menjadi orang paling rajin memberi pidato di mana saja, kapan saja, dan apa saja. Sekian pidato dihadiri pejabat dan tamu-tamu penting. Dulu, publik mengingat ada perbedaan: pidato dengan teks dan pidato tanpa teks. Pemandangan teringat adalah Soeharto berdiri dengan gagah, tangan memegang kertas. Tokoh besar sedang berpidato. Jutaan orang diminta turut mengikuti pidato melalui radio dan televisi. Di depan televisi, orang-orang melihat Soeharto mengucap kata-kata secara tenang dan wajah kalem agak serius. Ia sedikit bergerak. Pidato itu menjemukan tapi terus diselenggarakan selama puluhan tahun. Para pembaca bertemu (lagi) salinan atau teks pidato tercetak di koran dan majalah. Birokrasi membesarkan Orde Baru, militer, pengusaha, dan pihak-pihak ingin selamat atau untung memilih mencatat dan mengingat isi pidato. Mereka bergairah mengutip dalam omongan atau tulisan demi terhubung dengan “kebijakan” dan “kebijaksanaan” Soeharto. Soeharto, tokoh belum terpikat pamer seribu tanda seru. Ia memilih kalimat berakhir tanda titik tapi mampu menimbulkan bujukan, ancaman, tekanan, sindiran, dan pujian. Soeharto sulit bermain tanda baca untuk terbaca atau terdengar. Ketenangan justru menambahi ketegangan. Pidato tak mutlak bahasa dan suara. Orang-orang mengingat rupa Soeharto. Lelaki ganteng. Wajah itu resik. Ia kadang menggunakan kaca mata. Di kepala, peci hitam. Pada saat Soeharto berpidato, Indonesia diharapkan tenang. Jangan berisik! Jangan mengantuk! Jangan melamun! Indonesia masa Orde Baru terbentuk oleh pidato-pidato Soeharto. Pidato kenegaraan atau beragam jenis pidato Soeharto paling berpengaruh. Pidato itu referensi terpenting. Eriyanto dalam buku berjudul Kekuasaan Otoriter (2000) membahas pidato-pidato Soeharto. Ia menjelaskan bahwa pidato itu “dikutip oleh para menteri, data dan keterangan yang disampaikan dijadikan rujukan oleh pidato yang disampaikan oleh pejabat di daerah.” Pengulangan pasti terjadi. Indonesia dalam pengulangan demi mengerti maksud-maksud presiden. Bahasa digunakan dalam pidato-pidato makin menjadikan publik adalah sasaran kepatuhan, keteraturan, ketertiban, keseragaman, dan “kesopanan”. Pada masa lalu, pidato-pidato Soekarno juga terampuh. Orang-orang terbiasa mengutip pidato Soekarno untuk urusan politik, pendidikan, agama, seni, olahraga, ekonomi, pertanian, dan lain-lain. Soekarno mula-mula mengabarkan dan mengobarkan ide-imajinasi Indonesia dengan pidato-pidato. Sejarah bergerak dengan suara keras. Bahasa Indonesia diucapkan sebagai bahasa menggirangkan, meledak, puitis, dan mendebarkan. Soekarno itu bergerak. Ia memang menjadikan Indonesia adalah hari-hari berpidato, sebelum ia tamat dari kekuasaan. Soekarno terkenang dengan pesona berpidato. Pada saat sakit, pidato Soekarno tetap menggetarkan. Pada 1961, Soekarno mengakui di hadapan penikmat pidato di Bandung: “Sebelum saya memberikan keterangan, lebih dahulu saya minta maaf jikalau pidato saya nanti kurang sempurna, sebab sebagai sejak tadi malam saya katakan, sebenarnya kesehatan saya pada waktu sekarang terganggu. Kata orang Jawa kemrekes rasanya.” Ia tetap saja berpidato, mengiring detik-detik dengan kata-kata terucap mendapat perhatian dan tercatat. Soekarno selalu teringat meski Indonesia bertokoh “baru” dan dinamakan Orde Baru. Orang-orang merindu Soekarno. Kuping mereka ingin mendengar suara Soekarno. Zaman pidato seru telah berlalu tapi masih mungkin terdengar lagi dengan memutar kaset. Di majalah Tempo, 17 Agustus 1991, kiriman foto dari Radityo. Mobil terparkir di pinggir jalan. Sekian orang berkumpul di pintu mobil. Keterangan diberikan di bawah foto: “Di Yogyakarta, tak cuma kaset lagu-lagu cengeng saja yang laris, juga kaset pidato Bung Karno. Menjualnya dengan cara menjajakan keliling kota dengan mobil khusus berisi peringatan.” Kita melihat di foto, terbaca keterangan buatan pedagang kaset: “Di sini menjual kaset pidato Bung Karno, seizin pemerintah pusat.” Di belakang mobil ada juga tulisan: “Siapapun yang mencemarkan nama Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, setiap saat dituntut.” Publik perlahan bernostalgia pidato Soekarno, mendengarkan lagi Indonesia masa lalu. Pada 2021, masa lalu menjadi acuan. Ganjar Pranowo memilih Soekarno, bukan Soeharto. Pilihan berdalih pidato, bukan kegantengan atau kesangaran. Ganjar Pranowo mengadakan lomba pidato ala Bung Karno dalam peringatan Bulan Bung Karno di Jawa Tengah (Jawa Pos, 2 Juni 2021). Para peserta adalah murid, mahasiswa, dan umum. Pidato berdurasi 1-3 menit diunggah ke Instagram. Ganjar Pranowo ingin orang-orang makin mengenal proklamator, terutama murid-murid berjarak jauh dari zaman pidato dibentuk Soekarno. Ajakan belajar dan meniru. Kita dibujuk Ganjar Pranowo bahwa sejarah pidato memang “milik” Soekarno, bukan Soeharto atau sekian presiden pernah memberi pidato di Indonesia, dari masa ke masa. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Teguh Esha dan Ali Topan, Jadilah Sejarah

    BUKU memiliki stempel: “Persewaan Buku Orglas, Cemani 47/5”. Buku pernah dipinjam sekian orang. Buku terbaca dengan uang sewa. Buku itu berkumpul bersama buku-buku Marga T, Mira W, Maria A Sardjono, Ashadi Siregar, dan lain-lain. Pada masa lalu, persewaan buku memanjakan pembaca dengan koleksi ratusan atau ribuan novel (populer) ditambah beragam majalah. Di situ, ada juga buku-buku garapan Teguh Esha. Buku berstempel berjudul Penembak Bintang. Buku produksi dari Penerbit Ali Topan. Ingatlah kita, Ali Topan itu mula-mula tokoh dan novel gubahan Teguh Esha! Novel laris, digarap menjadi film. Teguh Esha membuat penerbitan menggunakan nama si tokoh: Ali Topan. Penembak Bintang dijual dengan harga Rp 2.250,00. Puluhan tahun, orang pasti mengingat Teguh Esha (1947-2021) tentu Ali Topan. Buku-buku digarap Teguh Esha pernah digemari tapi pelan-pelan tertinggal di masa lalu saja. Pembaca berkurang, berbarengan keramaian penerbitan novel-novel di Indonesia. Ia tetap teringat tapi tak langgeng dengan ketenaran. Kaum muda abad XX plonga-plongo bila diajukan nama dan novel dari masa 1970-an. Teguh Esha mungkin masuk daftar tak diketahui atau tak memicu penasaran. Kita agak membuktikan “keengganan” koran-koran memuat obitorium atau esai mengenai Teguh Esha. Kompas, 18 Mei 2021, cuma memuat berita kecil. Abad XXI terlalu “meremehkan” masa lalu setelah orang-orang memilih tak bermasa lalu. Dulu, buku-buku Teguh Esha memang berkibar dan berkobar di kalangan muda, mencipta “revolusi” dalam imajinasi bersuasana Orde Baru. Di pembuka Penembak Bintang, Teguh Esha menaruh kutipan beratasnama Beatles: You say you want a revolution/ Well you know/ We all want to change the world. Kamu muda mengerti situasi dunia sedang terhibur dan membara melalui musik, bacaan, dan ideologi. Kehadiran novel-novel gubahan Teguh Esha menjadi pembeda dari kelimpahan novel-novel gubahan kalangan perempuan: bermula atau bersekutu dengan majalah-majalah cap wanita dan keluarga. Jakob Sumardjo selaku penikmat dan pengulas novel-novel populer mendapati pesona novel-novel gubahan kaum perempuan “menguasai” pasar di Indonesia. Jakob Sumardjo (1999) mencatat: “Novel-novel ini banyak diterbitkan oleh majalah-majalah wanita dan penerbit swasta, dan rata-rata mengalami cetak ulang. Ini menunjukkan bahwa jumlah pembaca novel kelompok wanita sudah cukup mapan, yang dalam studi sejarah biasanya menjadi tumpuan hidupnya genre novel ini.” Teguh Esha muncul dengan selera dan seruan mengajak para lelaki mengerti dunia mutakhir. Ia bergerak dari klise-klise terdahulu. Kita tentu wajib membandingkan dengan novel-novel gubahan Motinggo Busye, Nasjah Djamin, Remy Sylado, Eddy D Iskandar, Ali Shahab, atau Ashadi Siregar. Kita mengenang ribuan atau jutaan orang di Indonesia keranjingan membaca novel. Pidato-pidato bertema minat baca anggaplah omong kosong atau bualan murahan. Ingat, novel-novel itu laris. Sekian novel dikerjakan menjadi film pun memikat jutaan penonton. Masa lalu mengabarkan pesta cerita di Indonesia. Kita bergirang saja ketimbang mendengarkan ocehan pejabat, pengamat sastra, atau kaum moralis. Masa demi masa, Indonesia tak pernah kekurangan jemaah membaca novel. Pasar masih ramai. Teguh Esha tercatat di album masa lalu. Pada saat kita menerima berita kematian, sedikit koran dan sedikit orang mengajukan obituarium. Tokoh terasa berlalu tanpa doa dan selebrasi kenangan. Kita mengunjungi masa lalu lagi. Di sampul novel berjudul Ali Topan, Kesandung Cinta (1977) dipasang sikap: “Novel perdana Teguh Esha yang telah difilemkan. Filem tersebut sangat mengecewakan penulisnya. Buku ini untuk mengusap rasa kecewa di hari ribuan penggemar Ali Topan!” Dulu, orang-orang meramaikan industri novel dan film. Kecewa itu konsekuensi. Kita tak melupa posisi dan novel gubahan Teguh Esha juga berkaitan majalah-majalah. Sekian hal saling menopang makin membesarkan Ali Topan. Ketenaran menjadi milik Teguh Esha dan tokoh dalam novel. Novel-novel Teguh Esha diterbitkan Cypress (Jakarta). Sederhana tapi idaman. Orang-orang terhibur sambil mengungkap marah-marah, kecewa, dendam, dan tuntutan. Di lembaran “Maklumat”, kita membaca canda: “Boss gue Teguh Esha membikin buku ini buat dibaca, bukan buat dipajang doang. Jadi, kalo ada di antara ente yang masih buta hurup di jaman Orde Baru ini, harap pergi ke dokter hurup, minta dimelekin. Gimana caranya deh, terserah situ aje. Itu bukan urusan gue.” Kita membaca seruan dari si tokoh, Ali Topan. Kita lanjutkan sikap mengejek dan meralat atas pembuatan film dianggap jelek. Ali Topan berpidato: “Jadi begini nih. Ali Topan yang bener ada di buku ini, bukan di filem onoh. Kalu kurang yaqin, lu pada liatin deh tampang gue yang patent di sampul buku ini. style kan? Pokonya, gitu deh. Boss gue Teguh Esha udah siap dengan kisah-kisah gue lainnya untuk dinovelken.” Di situ, kita membaca pula keberanian menaruh Ali Topan dibandingkan Sherlock Holmes dan James Bond. Kenekatan mencipta mitos! Industri novel, majalah, dan film mengikutkan bisnis penampilan kaum muda, berpusat ke sosok Ali Topan. Pengumuman kecil di buku: “Kaos Ali Topan untuk kalian. Helo! Buat kalian, anak-anak jalanan dan gadis-gadis kesepian yang doyan pakai kaos oblong mutakhir dan tidak norak, hubungi segera Sekretariat Penggemar Ali Topan dengan alamat majalah Le Laki, Jl Kramat, Kwitang II/39 B, Jakarta Pusat.” Zaman bertokoh Ali Topan. Apa-apa selalu Ali Topan. Teguh Esha, sosok kondang tapi rawan mendapat “kritik” publik. Kemeriahan di pasar novel berdampak peristiwa-peristiwa mengejutkan. Pada suatu masa, Teguh Esha menulis cerita bersambung di majalah Panji Masyarakat, tetap bertokoh Ali Topan tapi berlatar pesantren. Ia bercerita santri berarti mengungkap masalah-masalah keagamaan. Para pembaca majalah Tempo juga ingat Teguh Esha pernah bermasalah dalam paham agama. Di luar itu, Teguh Esha pernah turut dalam industri musik dalam garapan lirik. Indonesia sedang bertokoh Teguh Esha dan Ali Topan, sebelum sejarah memang menepikan saat dunia terlalu ramai. Kita simak keterangan “resmi” saat Indonesia “dikuasai” Ali Topan dalam cerita-cerita termiliki ribuan atau jutaan orang. Di halaman muka novel berjudul Ali Topan, Detektif Partikelir (1979), terbaca: Ali Topan bukan sekedar gaya/ Ia adalah jiwa/ Berontak untuk bebas/ Masa depan taruhannya. Larik-larik menjadi dalih kaum muda Indonesia. Pembaca bersabar untuk sampai cerita. Halaman-halaman digunakan untuk “Kamus Preman Ali Topan”. Di sejarah sastra, novel itu berhak masuk daftar novel memukau dalam selera struktur cetakan. Teguh Esha, sosok penting di perkembangan dan kehebohan industri novel di Indonesia. Kita kehilangan sambil menunggu ada terbitan buku biografi atau album memuat sekian hal (ter)penting. Sekian orang mungkin masih ingat bila Teguh Esha belum mau redup setelah masa gemilang berlalu. Dulu, ia dan teman-teman pernah mengurusi terbitan buku mengenai Ismail Marzuki. Kita berharapan juga ada ajakan sekian pihak menulis mengenai Teguh Esha untuk terbit sebagai buku mengenang. Kita beruntung masih sempat mengikuti ikhtiar menghormati para seniman dan pelaku industri hiburan dengan pementasan Ali Topan The Musical. Catatan dan penjelasan termuat di majalah Tempo, 17 April 2011. Tulisan-tulisan penting terbaca ulang menghormati Teguh Esha. Di Tempo, kita membaca: “Novel Ali Topan meledak pada zamannya. Dia merekam gejala sosial remaja dan tante girang. Pada akhirnya Ali mencari tuhannya.” Kita mencatat juga alasan memberi nama tokoh melegenda. Teguh Esha bilang: “Waktu itu saya lagi jalan-jalan. Nama Ali waktu itu lagi ngetop. Ada Ali Sadikin, Muhammad Ali, Ali Said, Ali Moertopo. Tiba-tiba muncul nama Topan. Jadilah Ali Topan.” Kita membuktikan semua itu jadilah sejarah. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • "Medis" dan Politis

    PADA 20 Mei 2021, koran-koran sepi dari artikel, iklan, dan berita bertema Kebangkitan Nasional. Situasi masih sulit. Orang-orang meributkan segala hal. Di Jawa Pos, 20 Mei 2021, kita membaca opini berjudul megah: “Kebangkitan Nasional dan Kencendekiawanan.” Penulis bernama Meithiana Indrasari terasa berlebihan membuat kalimat: “Cendekiawan dan bangsa ibarat dua pasang kaki kuda yang saling memacu kemajuan menuju cita-cita kebangsaan.” Kalimat sulit dimengerti tapi tersaji di lembaran koran minta direnungkan para pembaca. Kita ke masa lalu saja ketimbang bingung untuk merenung. “Didikan dan pimpinan di dalam sekolahan ini begitu baik adanya, sehingga bukan saja sekolahan ini mencukupi akan maksudnya, yaitu memberi kepada masyarakat kita beberapa dokter yang banyak jasanya bagi nusa dan bangsa,” Soetomo menilai STOVIA, tempat ia belajar dan menggerakkan sejarah Indonesia. Soetomo tampil sebagai pemuka dalam pergerakan (politik) kebangsaan, selain menunaikan misi sebagai dokter dan membesarkan pers. STOVIA, tempat terpenting dalam pembentukan biografi dan mencipta sejarah di tanah jajahan. Kita membaca pujian Soetomo melalui buku berjudul Kenang-Kenangan Dokter Soetomo (1984) dengan editor Paul W der Veur. Soetomo dan para murid STOVIA berikhtiar mengubah nasib dengan pembentukan Boedi Oetomo (1908). Sejarah kecil lekas membesar. Pada masa berbeda, tokoh-tokoh itu menjadi dokter, wartawan, penggerak politik, dan guru. Kita mengerti bahwa institusi pendidikan kedokteran mula-mula tak melulu berurusan kesehatan tapi berdampak jauh ke politik-kultural. Pada awal abad XX, orang-orang pernah belajar di STOVIA dan para dokter menentukan nasib tanah jajahan melalui ide, alat, busana, bahasa, dan buku. Mereka bergerak tapi sadar dilema, penghukuman, dan kebahagiaan. Kehadiran mereka makin bermakna saat gerakan politik membesar berbarengan wabah demi wabah. Kaum terjajah sakit dan korban wabah. Dokter-dokter lulusan STOVIA bekerja tanpa melupa misi-misi politik-kultural. Sosok penting dan berpengaruh adalah Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia turut dalam episode awal Boedi Oetomo tapi lekas meninggalkan gara-gara perbedaan pendapat. Ia tetap saja mengabdi sebagai dokter, tetap galak dalam berpolitik. Soetomo memuji meski pernah bersengketa secara politis: “Sebagai dokter partikelir di Solo, maka tidak sedikitlah kesenangan dan pendapatannya: orang-orang sakit dari macam-macam golongan dan bangsa menaruh kepercayaan padanya, hingga bertambah hari bertambah banyaklah bilangan handai tolannya.” Pujian tanpa turut mencantumkan keterangan bahwa musuh pun makin bertambah dalam kancah politik. Musuh di kalangan sesama bumiputra dan musuh di kubu pemerintah kolonial. Tjipto Mangoenkoesoemo memang pembuat “onar” dan mencipta sejarah pengabdian dalam kesehatan tanpa tanding. Ia sering ruwet dalam politik dan “terkalahkan” tapi menjadi panutan para penggerak bangsa. Kita sejenak mengingat peran Tjipto Mangoenkoesoemo di Solo melalui buku garapan M Balfas berjudul Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati (1952). Semua bermula dari kecewa atas kebijakan pemerintah kolonial dan gelagat kelembekan Boedi Oetomo. Tjipto Mangoenkoesomo meninggalkan Batavia, memilih hidup di Solo. M Balfas bercerita: “Masa ini adalah masa diam bagi djiwanja jang gelisah. Dengan djarum suntiknja ia dapat menolong si sakit dan dengan djarum suntiknja pula ia mendapat penghasilan jang baik… Dengan pekerdjaan ini tjuma sebagian sadja dari tjita-tjitanja dapat didjalankan: membantu meringankan penderitaan rakjat, dengan tidak memungut pembajaran jang tinggi atau dengan tjuma-tjuma sadja. Tetapi hidupnja tenang, terlalu tenang bagi djiwanja jang gelisah. Ia menunggu si sakit datang ke rumahnja atau pergi ke rumah mereka di kampung-kampung.” Kita mengimajinasikan Tjipti Mangoenkoesoemo tinggal di kota nglaras. Ia tak lagi bergejolak saat berperan menjadi dokter. Di Solo, ia pun lekas membuat onar berakibat terusir gara-gara pemahaman picik kaum feodal dan pemerintah kolonial. Pada masa lalu, dokter lumrah rajin menulis, turut dalam pentas seni, mengurusi surat kabar, membesarkan pergerakan politik, dan mencipta pendidikan-pengajaran modern. Soetomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo bisa menjadi panutan. Dua sosok pernah bersama tapi bersimpang jalan. Peran STOVIA dan para dokter pribumi terbukti menentukan arah sejarah Indonesia. Hans Pols dalam buku berjudul Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019) mengingatkan sejarah bermetafora: “Dengan menggunakan alat intelektual yang mereka dapatkan selama pendidikan medis, para dokter dan pelajar kedokteran Hindia Belanda menjadi ahli diagnosis masyarakat kolonial. Mereka menganalisis proses evolusi sosial dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menghambat atau mempercepatnya, dan mendiagnosis ancaman-ancaman terhadap kesehatan tubuh sosial kolonial sambil memikirkan cara untuk menetralisirnya.” Sejarah Indonesia mulai bermetafora kedokteran. Sejarah itu berlanjut sampai masa sekarang, pernah menguat pada masa revolusi saat Soekarno kelimpungan dalam membuat kebijakan kesehatan dalam situasi politik tak keruan. Pada masa lalu, dokter lumrah rajin menulis, turut dalam pentas seni, mengurusi surat kabar, membesarkan pergerakan politik, dan mencipta pendidikan-pengajaran modern. Soetomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo bisa menjadi panutan. Dua sosok pernah bersama tapi bersimpang jalan. Terjajah itu “sakit”. Masa demi masa, tanah jajahan menanggungkan “sakit” akibat kebijakan-kebijakan kolonial. “Sakit” berkepanjangan. Kaum bumiputra perlahan mengerti nasib dengan kata-kata berkaitan sakit dan sehat dalam beragam bahasa di Nusantara. Kemunculan kaum terpelajar dan pengesahan profesi dokter bagi pribumi menandakan perubahan besar dalam urusan kesehatan dan politik-kolonial. Sekian kota di tanah jajahan menjadi tempat pergumulan dan sengketa kubu-kubu ingin sehat, mulia, dan bahagia tapi selalu mendapat “sakit”, hukuman, dan penghinaan dalam lakon kolonial. Tatanan hidup awal abad XX, sebelum dan setelah pendirian Boedi Oetomo, mengartikan kesadaran baru bertumbuh di Indonesia. Masa depan mulai terpikirkan secara “medis” tapi dibuktikan gamblang dalam tindakan-tindakan politis. Para tokoh berperan besar, menerima pujian dan makian dalam kerumitan mengartikan pengabdian kesehatan dan pemenuhan misi ideologi di tanah jajahan. Daniel Dhakidae (2003) menempatkan episode STOVIA dan Boedi Oetomo itu sebagai konsekuensi politik etis. Kaum bumiputra melek moderitas dan kedokteran tapi terbelit dalam kapitalisme, politik-kolonial, dan diskriminasi kultural. Dampak sejarah itu makin rumit pada masa 1950-an dan 1960-an. Diksi-diksi kesehatan atau “medis” termiliki publik dalam arus sejarah Indonesia, sejak awal abad XX sampai sekarang. Pada sekian babak, publik makin mengerti bahasa-bahasa “sakit” melekat dalam politik, selain masalah kesehatan, sosial, dan pendidikan. Babak penting dalam masalah kesehatan dan politik terbaca dalam buku Vivek Neelakantan berjudul Memelihara Jiwa-Raga Bangsa (2019). Sejarah dalam masa kekuasaan Soekarno. Pada masa 1950-an, Indonesia mau “waras” dan mulia tapi segala keterbatasan dan kisruh membuat Indonesia “sakit” setelah sanggup bercerai dari kolonialisme. Kerja besar mutlak diselenggarakan demi Indonesia sehat: jiwa dan raga. Pemerintah tak sanggup bekerja sendirian, memerlukan bantuan-bantuan asing atau uluran pihak-pihak partikelir. Kerja besar masih direpotkan dengan adu ideologi berlatar Perang Dingin. Pada saat Indonesia masih menderita gara-gara malaria, sekian kebijakan terasa dilematis. Misi politik dan ekonomi biasa mendikte program-program kesehatan di Indonesia dan negara-negara di dunia ketiga saat menerima atau terpaksa turut dalam paket bantuan Amerika Serikat dan WHO. Vivek Neelakantan mengingatkan babak 1950-an: “… kontrol penyakit tropis, termasuk malaria, adalah bagian vital untuk ekonomi pasca-Perang Dunia II dalam memastikan pasokan bahan baku yang tak terputus ke industri Amerika Serikat dan menciptakan pasar luar negeri. Selain itu, kontrol penyakit tropis seperti malaria dianggap sebagai senjata ampuh dalam perang melawan komunisme.” Masa lalu terlalu ruwet. Kita masih menengok babak-babak sejarah saat mengetahui Indonesia masa sekarang terjerat dalam dilema-dilema: wabah, kesehatan, politik, dan investasi. Situasi-situasi masa lalu masih mungkin terbaca untuk mengerti masa sekarang. Selama wabah, kita sibuk dan bingung dengan segala polemik kebijakan-kebijakan pemerintah atau seruan-seruan dari pelbagai lembaga internasional. Di publik, keruwetan-keruwetan bertamabah berkaitan kesehatan dan tatanan hidup berubah drastis. Kita mengerti situasi abad XXI terlalu berbeda dengan situasi saat kaum bumiputra sekolah di STOVIA, pendirian Boedi Oetomo, dan kerja-kerja politik para dokter di tanah jajahan. Mereka dalam babak sejarah perlahan tersingkap meski tak utuh. Kini, Indonesia dalam sejarah dilematis berkepanjangan. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Persembahan Rukiah

    PADA masa 1930-an, Ibu Sud menggubah lagu tentang kereta api. Lagu itu mengabadi. Masa demi masa, jutaan anak di Indonesia bersenandung: “Naik kereta api, tut, tut….” Pengisahan kereta api melaju, dari kota ke kota. Indonesia masih berlakon kolonial, mengerti kemodernan dengan “ular besi” bergerak cepat: memberi ketakjuban bagi bumiputra. Ibu Sud tak meniatkan mengabarkan sejarah tapi kesanggup merekam zaman melalui lagu mengajak bocah-bocah mengerti sejarah Indonesia memiliki bab alat transportasi. Ibu Sud menambahi dengan gubahan lagu bercerita becak pada masa 1940-an. Lagu itu langgeng sampai sekarang. Kereta api tak cuma lagu dalam imajinasi anak-anak. Pada masa berbeda, kereta api terbaca dalam puisi. Kita simak puisi berjudul “Kereta Api”, tersaji dalam dua halaman dihiasi ilustrasi oleh Dahlan Djazh. Puisi sederhana, mengajak anak-anak berimajinasi suka cita: Tut, tut, tut, tut, tut, tut…. inilah dia kereta api! Melalui pegunungan melalui hutan-hutan, sawah dan ladang, bukan penghalang, inilah dia kereta api. Di adegan berbeda, suara kereta api berganti: Tit, tit, tit, tit, tit, tit berangkatlah dia kereta api. Diksi-diksi mudah terbaca oleh bocah usia 8-10 tahun. Puisi sengaja dipersembahkan untuk bocah-bocah. Puisi terdapat dalam buku berjudul Taman Sandjak Si Ketjil (1959). Para pembaca sastra atau penikmat bacaan anak Indonesia mungkin tak mengetahui dan menganggap buku itu langka sepanjang masa. Puisi-puisi dalam buku tipis itu digubah oleh S. Rukiah Kertapati. Nama lekas mengingatkan perseteruan sastra masa 1960-an. Para periset sastra biasa menemukan nama Rukiah masih daftar golongan kiri alias dimusuhi oleh rezim Orde Baru gara-gara malapetaka 1965. Nama pernah berkibar dengan puisi dan prosa melalui buku-buku terbitan Balai Pustaka. Ia jarang teringat sebagai penulis buku anak. Selama puluhan tahun, kita pun sulit menemukan ulasan atau penghormatan atas Rukiah dalam menggerakkan bacaan anak di Indonesia. Nama jarang berjajar dengan Aman, Soekanto SA, Mansur Samin, dan puluhan pengarang buku anak. Rukiah dan sastra kiri sudah sering terbaca dalam esai-esai garapan para indonesianis atau kritikus sastra di Indonesia. Kini, kita mengurusi Rukiah dan sastra anak. Malapetaka 1965 menjadikan Rukiah menghilang dari sastra. Nama dan tulisan tetap teringat tapi nasib Rukiah sulit diketahui. Di surat balasan untuk John Mcglynn bertahun 1981, Rukiah mengabarkan: “Sesungguhnya – sudah lama saya tak pernah berpikir yang berat-berat, karena enam belas tahun ini saya memang hanya bekerja dan berpikir yang enteng-enteng… Saya tak pernah lagi memikirkan soal-soal kesusastraan, filsafat dan kebudayaan yang memang sebetulnya sangat saya gemari di waktu lampau. Pokoknya saya sudah melupakan dan meninggalkan kehidupan dan kebiasaan saya di zaman silam” (Tempo, 9 Mei 2021). Ia “bercerai” dari sastra, setelah mendapatkan ganjaran kejam dari militer dan disahkan oleh rezim Orde Baru, sejak 1965. Dulu, ia sempat berpikir bakal “tamat” dalam penangkapan dan penahanan. Tahun-tahun berlalu, ia masih hidup dengan sekian kesakitan dan keputusan mengejutkan. Sastra masa Orde Baru kehilangan Rukiah tapi ikhtiar menghidupkan nama dan sekian buku kadang dihadapkan tuduhan-tuduhan ideologis. Dulu, buku-buku itu terbitan Balai Pustaka, memberi tanda restu dari penerbit milik pemerintah. Pada situasi politik berbeda, buku-buku itu “hilang”. Orang-orang sulit mencari dua buku garapan Rukiah: Kejatuhan dan Hati dan Tandus. Buku-buku dinikmati sebagai bacaan bermutu, lumrah mendapat penghargaan dan perbincangan dari kalangan kritikus sastra. Dulu, orang-orang belum terlalu sembrono menaruh buku dalam sengketa politik-sastra membara pada masa 1950-an dan 1960-an. Nasib berbeda setelah Rukiah dikaitkan dengan Lekra. Buku “tersulit” dicari mungkin Taman Sandjak Si Ketjil. Perbincangan sastra kiri masih jarang memiliki ratusan atau ribuan halaman mengenai bacaan anak atau sastra untuk anak. Dulu, Rukiah menulis puisi-puisi anak, belum bermaksud masuk ke perdebatan sengit dalam ideologi atau sastra melibatkan sekian kubu. Ia dengan ketulusan ingin memberi persembahan memikat bagi bocah-bocah. Sastra anak di Indonesia belum “makmur” bila dibandingkan dengan sastra disantap kaum dewasa. Penulisan dan penerbitan buku anak masih terbatas meski kita masih mungkin berpendapat terjadi pembesaran melalui majalah Kunang-Kunang, Si Kuntjung, dan buku-buku terbitan Balai Pustaka atau penerbit-penerbit partikelir. Sejak masa 1930-an, sastra anak turut berkembang tapi perlahan dikuasai oleh buku-buku edisi terjemahan atau saduran dari pengarang-pengarang kondang di dunia. Pengarang Indonesia menekuni sastra anak masih sedikit. Rukiah, nama wajib tercatat tapi dalam buku-buku sejarah dan perkembangan sastra anak di Indonesia nama itu tak tercantum atau tak pernah diketahui para pengamat sastra. Kemunculan nama Rukiah dan Sugiarti Siswadi dalam laporan panjang di Tempo, 9 Mei 2021, cukup memberi tanda seru. Dulu, Rukiah pun mengisahkan sosok dan pekerjaan berlatar Mei selalu terperingati di seluruh dunia. Ia menulis tentang buruh berharap berterima dalam imajinasi dan pengenalan anak. Kita simak cuplikan dari puisi berjudul “Anak Buruh”. Puisi memicu kesadaran masa lalu atas nasib buruh di Indonesia: Ajahku mendjadi buruh, setiap hari mengeluh, kerdja berat ‘ meras keringat, mentjari upah. O, tahankan lelah! Anak mengetahui nasib tak menentu bagi buruh. Anak itu berharapan: “Kini ajah menderita. Ibuku pedih sengsara. Tapi, o, ibu dan ajah, tunggulah dihari esok Siaplah dihari esok Puisi telat kita baca tapi masih Mei. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

  • Gabah, Masa Lalu, Duka

    BERITA kecil di Jawa Pos, 6 Mei 2021, membikin iri. Perempuan anggun berkacamata, guru besar di Universitas Negeri Jakarta. Kita membaca berita bukan mengenai pendidikan tapi makan. Ia juga Ketua Umum PGRI, memiliki misi besar dalam pendidikan tapi diberitakan bukan sedang memasalahkan pendidikan Indonesia abad XXI. “Saya sudah lima bulan mengonsumsi beras shirataki,” pengakuan Unifah Rosyidi seperti dikutip di Jawa Pos. Mengonsumsi demi sehat. Beras mungkin aneh bagi pembaca. Sekian bulan lalu, Joko Widodo pernah berseru tentang impor menggunakan diksi “benci”. Publik geger atas pilihan diksi setelah terbiasa mengetahui Joko Widodo adalah sosok kalem dan santun. Sekian hari setelah pidato, Indonesia geger lagi oleh keributan (rencana) impor beras. Berita-berita di koran dan televisi bikin panas. Opini tersaji di koran dan majalah membuat pembaca pening. Impor dan beras, perkara dilema menimpa Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Ingatan untuk isi berita di Jawa Pos, berharap tak mengagetkan: “Selama ini beras shirataki yang dikonsumsi adalah produk impor. Dia beli sekitar Rp 200 ribu per kilogram. Menurut informasi yang dia terima, beras itu rendah kalori atau minim karbohidrat. Juga tidak memicu kolesterol. Beras itu efektif mendorong kandungan kolesterol dalam tubuh terbuang lewat urine.” Penjelasan tentang impor. Kita mendingan memikirkan serius “kebaikan-kebaikan” beras meski mahal. Kini, beras itu dikabarkan sudah diproduksi di dalam negeri, dibuat anak-anak SMK. Unifah Rosyidi mendukung usaha membuat beras shirataki. Berita dari tokoh pendidikan mulai agak memberi keterangan penting melampaui makan. Simak: “… beras shirataki terbuat dari umbi iles-iles atau umbi porang. Bahan baku beras shirataki impor sejatinya berasal dari Indonesia, kemudian diekspor. Lalu, kembali masuk ke Indonesia dalam bentuk beras shirataki siap olah.” Nah, urusan ekspor dan impor itu sulit terpahamkan. Seumur hidup, penulis belum pernah melihat atau mengonsumsi beras shirataki. Penulis cuma mengerti beras jatah atau beras dibeli di selepan. Ada juga beras pemberian teman-teman dalam kemasan plastik. Beras dengan harga terjangkau. Sejak kecil, kita diajari sekian bentuk dan penamaan: padi, gabah, beras, dan nasi. Konon, ada hikmah-hikmah berbeda dari para leluhur saat mengisahkan padi, gabah, beras, dan nasi. Pemaknaan melalui cerita, peribahasa, pantun, atau pepatah memungkinkan bocah-bocah mengamati sebelum makan. Di negara memiliki hamparan sawah selalu berkurang, bocah-bocah belajar padi di halaman-halaman buku pelajaran. Pengalaman di sawah mungkin dialami sedikit bocah. Pada situasi berbeda, sawah dengan tanaman padi adalah pemandangan bagi turis dan latar dalam pemotretan. Padi, gabah, beras, dan nasi tak terlalu lagi terpikirkan menggunakan sains atau petuah leluhur. Pada saat bernostalgia tanpa sambungan-sambungan pengalaman bermakna, kita mendapat berita mengejutkan berjudul “Gabah Capai Titik Terendah” dimuat di Kompas, 6 Mei 2021. Kita lupakan dulu masalah beras shirataki dengan harga Rp200 ribu per kilogram. Gantian mengikuti berita gabah dan harga. Simak: “Harga gabah di tingkat petani pada April 2021 mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir. Pasokan melimpah di tengah panen raya dan penyerapan yang rendah jadi pemicunya.” Kita bisa melihat pula foto di atas berita: petani sedang menjemur gabah hasil panen di Cisauk, Tangerang, Banten.” Kita pusing dan mencret memikirkan kebijakan pemerintah untuk pertanian dan lakon perniagaan pertanian memilih mengangeni masa lalu. Dulu, penulis biasa main ke rumah tetangga memiliki latar ombo (halaman luas). Tetangga biasa menjemur gabah di situ, sekian hari. Adegan menjemur dan ngukut memberi hiburan. Penulis kadang turut bermain di situ, membuat sekian bentuk-gambar di hamparan gabah berwarna kuning. Menit-menit sebelum hujan, kehebohan terjadi bagi penjemur gabah. Sekian orang terlibat demi keselamatan gabah dari hujan. Latar ombo juga digunakan atau dipinjam oleh para tetangga. Orang memiliki latar ombo itu dihormati dan menentukan nasib para petani di kampung. Gagal menjemur di latar, tetangga menjadikan jalan adalah tempat terbaik menjemur gabah, terkena pas dan lekas kering. Nah, orang-orang lewat wajib hati-hati. Adegan pit onthel atau sepedo motor melintasi gabah itu lumrah. Gabah-gabah kadang berceceran. Pitik tak mau kalah. Pitik dan manuk kadang berada di jemuran gabah memicu marah dan pengusiran. Sekian hari gabah dalam karung dibawa ke selepan. Waktu dan peristiwa menjadikan penulis mengetahui perubahan sebutan. Di selepan, mata melihat beras. Nah, orang-orang lewat wajib hati-hati. Adegan pit onthel atau sepedo motor melintasi gabah itu lumrah. Gabah-gabah kadang berceceran. Pitik tak mau kalah. Pitik dan manuk kadang berada di jemuran gabah memicu marah dan pengusiran. Kini, kangen melihat jemuran gabah. Rumah-rumah tetangga tak lagi berhalaman luas. Jalan-jalan terlarang untuk menjemur gabah. Pihak selepan memiliki latar ombo memberi jadwal penjemuran gabah untuk para petani. Gabah-gabah mengingatkan masa lalu, kenangan, kebersamaan, upah bila membantu, dan lain-lain. Benda-benda untuk menjemur dan ngukut gabah pun memberi kenangan-kenangan. Piring gembreng wis borot biasa digunakan memasukkan gabah dalam karung. Ah, gabah belum menjadi beras dan nasi telah terindukan. Pada 7 Mei 2021, teman di kejauhan mengabarkan tentang kematian dan gabah. Ibu mertua meninggal. Teman mengabarkan: “Ibu mertua menjadi tumpuan anak-anaknya. Bahunya terlalu kuat dan hebat. Menjadi penyeimbang lahir-batin bapak. Ia tidak bisa banyak bicara. Namun, ahli bekerja. Rumahnya yang luas dan benar-benar rapi bukti keterampilannya. Pun hari ini, teronggok gabah yang dijemurnya beberapa hari lalu. Belum sempat ia giling.” Cerita mengenai ibu sudah tua masih mengurusi gabah dijemur, gabah digiling ke selepan. Kesadaran tentang keluarga memerlukan pangan, tak harus menggampangkan dengan membeli saja. Di Nusantara, kehadiran nasi di piring memiliki alur lambat dan rumit meski mulai digampangkan dengan membeli dan menggunakan benda-benda baru. Teman mengabarkan kematian tapi seperti menjadi berita selingan berduka dari Jawa Pos dan Kompas. Begitu. Bandung Mawardi pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020) FB: Kabut

bottom of page