Lalu, Hari Berlalu ...
top of page
Cari

Lalu, Hari Berlalu ...


PADA suatu masa, ia memberi bait mirip berseru:

yang sudah jelas

tulis sajak itu

antara menyingkap dan sembunyi

antara munafik dan jatidiri.





Bait menginginkan orang jangan ketagihan kiasan. Ia sesumbar: “tidak perlu kiasan lagi”. Tahun demi tahun, ia rajin menulis puisi tapi mengajak kita meninggalkan kiasan. Kita telanjur diajari bahwa puisi itu bermain kiasan. Si pembuat bait tanpa tanda seru tapi menantang itu bernama Toeti Heraty (27 November 1933-13 Juni 2021). Bait mengesankan ia sedang ingin mengubah pengertian, peran, dan persembahan puisi bila berurusan wanita. Ia bukan melawan atau membalik puisi. Kita membaca ada kejengkelan dan kelakar. Larik terasa maklumat: “kata mentah tidak diubah menjadi indah.” Ia mengerti kesibukan orang-orang menggubah puisi sering dalam kemanjaan dan sengsara demi “indah-indah”.


Puisi masih kata. Pada suatu hari, Toeti mengurusi kata. Kita membaca dalam puisi berjudul “Suatu Kata”. Di mata-membaca, puisi itu “oposisi” dari seruan “kata mentah tidak diubah menjadi indah”. Toeti, nama tercatat dan ramain diomongkan dalam kesusastraan Indonesia, setelah ia memberi puisi-puisi mengungkap keperempuanan. Kita simak ia berurusan kata, terpuisikan mengenai kata:

sebenarnya, hanya suatu kata saja

kata, ucapan, nada, dapat dieja

berapa pula suku katanya, huruf mati

dan huruf hidup.


Sibuk dengan kata memungkinkan puisi-puisi ditulis, terpasang di majalah dan terbit sebagai buku-buku.


Ia telah terakui dan menjadi perhatian. Pada 1985, Toeti menerangkan: “Penulisan sajak bagi saya bukan penulisan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan menulis pemaparan, tetapi mencatat kesan-kesan. Dan bila kebetulan dianggap saja, syukurlah.” Kita menduga ia menempatkan diri berjauhan dengan sibuk dan serius diselenggarakan para penggubah puisi. Ia memastikan tak mau “habis” dalam puisi saja. Ia memiliki sekian “jalan” menampilkan diri saat diketahui berlatar pendidikan kedokteran, psikologi, dan filsafat. Kemauan menulis puisi bukan tindakan menemukan ketinggian di kancah sastra. Toeti beranggapan dengan berpuisi “sebagai catatan pinggir atas kehidupan sehari-hari”. Menulis puisi diinginkan tapi tak berlebihan. Keinsafan bila tak berpuisi: “Bila tidak dituliskan, akan mengganggu berkepanjangan.”


Selama puluhan tahun, Toeti itu nama besar dan berpengaruh dalam perpuisian Indonesia. Ia tak tentu selalu berpuisi. Urusan-urusan besar dikerjakan: seni, ilmu, bisnis, dan lain-lain. Dua buku memastikan tenar dalam sastra: Sajak-Sajak 33 (1971) dan Mimpi dan Pretensi (1982). Pengakuan di sastra sampai di pemilihan puisi-puisi telah digubah puluhan tahun. Terbitlah buku berjudul Nostalgi = Transendensi (1995). Budi Darma menikmati dan mencermati persembahan puisi-puisi dari Toeti. Ia menulis: “Dan sajak adalah juga pemikiran, bertulang punggung sekian banyak penghayatan.” Di luar buku-buku puisi, Toeti menguat dengan bertulang punggung pemikiran melalui penerbitan buku filsafat.


Pada peringatan 70 tahun, Toeti sudah dalam posisi bertambah penting di Indonesia. Ia bersama pengarang, pengajar, intelektual, seniman, aktivis, dan lain-lain. Episode Toeti, dari remaja sampai tua, berisi pembuktian setelah omelan, keraguan, tuduhan, dan ejekan. Toeti sanggup melewati itu semua dengan gelisah dan jawaban. “Toeti melihat kegelisahan itu sebagai kebutuhan seorang manusia untuk diakui sebagai seorang pribadi, bukan sebagai anak perempuan atau istri,” tulis Melani Budianta dalam buku Toeti Heraty berjudul Pencarian Belum Selesai (2003). Toeti dalam keluarga dan Toeti membuat keluarga memang bergelimang kejutan-kejutan tapi “diwajarkan”. Toeti mengalami ingin wajar dan puisi-puisi mengandung jejak-jejak diri dalam keluarga-keluarga.


Gelisah dimiliki sejak bocah. Pada suatu masa, Toeti kelahiran Bandung diajak keluarga mengalami hidup di Kediri pada 1940-an. Episode menentukan diri menggandrungi buku, pijakan kelak menjadi penikmat dan penulis buku-buku. Kenangan Toeti: “Di rumah itu aku mulai menggebu membaca buku. Di paviliun, tinggal seorang guru wanita Belanda yang meminjami aku banyak buku, antara lain Bruintje Beer. Dan, mulailah aku berlangganan surat kabar untuk anak-anak Jong Indie dengan cerita komik Tarzan dan Robinson Crusoe. Tetapi, zaman buku-buku bacaan berbahasa Belanda segera resmi berakhir datanglah tentara Jepang menduduki Kediri.” Pada saat muda, Toeti melanjutkan studi ke Belanda. Buku-buku telah menjadi peta. Kemampuan berbahasa Belanda itu “keuntungan” meski pernah bermasalah pada masa pendudukan Jepang.

Keranjingan buku sejak bocah bertambah saat remaja. Keluarga Toeti mulai tinggal di Jakarta. Babak itu berfilsafat. Toeti beranjak dewasa membaca buku-buku Bertrand Russell, Nietzsche, dan Khrisnamurti. Ia pun mulai menikmati sastra dan musik. Toeti menapaki pengalaman-pengalaman mengurusi kegelisahan dan menghasilkan jawaban-jawaban. Toeti pun membekali diri untuk melakukan pengelanaan-pengelanaan terjauh. Ia beredar ke pelbagai negara. Di Indonesia, Toeti memiliki posisi-posisi penting dalam ilmu dan seni. Ia tercatat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta dan angota Akademi Jakarta.

Tahun-tahun berlalu, Toeti menjadi tua. Ia telah membuat pertimbangan menjadi lansia. Toeti memberi petunjuk: “Penambahan usia memerlukan suatu kompensasi dalam penampilan, suatu upaya khusus. Ubahlah gaya penampilan itu. Yang biasanya citra temaram supaya menjadi ceria. Yang biasanya anggun menjadi menantang, yang biasanya penantang menjadi lugas atau lembut. Perubahan penggunaan warna kesayangan dan gaya berpakain.” Toeti memang menua tapi ia malah mengadakan beragam hal, tampil sebagai penggerak dan pembuat kebijakan-kebijakan penting.


Ia masih saja menulis, berpikiran memberi persembahan buku. Setahun lalu, ia turut dibingungkan oleh wabah. Toeti tak diam. Ia menulis, membuka ingatan-ingatan dan bertulang punggung pengalaman mutakhir. Ia bercerita hari-hari selama wabah. Toeti tinggal di Jakarta, kota pernah “merah” akibat wabah. Pada suatu pagi, Toeti memiliki peristiwa: “Menunggu lagu Indonesia Raya di Metro TV pukul 06.00 WIB, dan sarapan dibawa masuk ke kamar. Rasanya lega, bila gula darah antara 100-140. Sesudah itu tetap harus minum bermacam-macam obat.” Hari demi hari, berulang dan berulang. “Ini semua adalah ritual pagi yang menjengkelkan,” pengakuan Toeti dalam buku berjudul Ajaib, Nyata, Terkadang Lucu (2020). Ia masih saja berpikir. Toeti terus menulis. Di sela mengalami hari-hari menjengkelkan, ia merenung: “Akan tetapi, apa ini harus menjadi kalimat terakhir tulisanku.” Ia menulis kalimat: “Lalu, hari berlalu…”

Pada usia tua, Toeti masih sanggup menulis dan menulis. Buku itu mungkin warisan terakhir. Di situ, kita membaca dua paragraf: “Akan tetapi yang paling menakjubkan adalah memperoleh cicit kembaranku, yang mana bersamaan ketika aku merayakan hari ulang tahunku yang ke-86, ia lahir ke duni. Nekat lahir untuk menjadi hadiah terindah pada hari jadiku itu meskipun lahir dalam kondisi prematur, kekar dan sangat maskulin. Aku sangat bersyukur dengan keajaiban ini. Tentu ada hal-hal yang menjengkelkan atau mengecewakan dalam hidup, tetapi itu meningkatkan adrenalinku. Semangat hidup semakin terangsang oleh tantangan tetapi juga mengidam-idamkan rasa tenang dan damai. Mungkin sebagai persiapan untuk damai terakhir. Damai terakhir, sekaligus misteri.” sekian hari lalu, ia memang dalam damai.


Di Kompas, 15 Juni 2021, Intan Paramaditha menulis: “Ada Toeti Heraty untuk setiap perempuan.mengenang Toeti adalah mengingat setiap langkah untuk memastikan berlangsungnya estafet pengetahuan yang menghargai pemikiran perempuan.” Kita pun mencatat Toety Heraty sebagai tokoh dengan fragmen-fragmen belum selesai, menunggu orang-orang membuat “sambungan” atau menjadikan alur itu terus bersebaran dan berkepanjangan. Begitu.



 

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),

Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)

FB: Kabut




86 tampilan
bottom of page