Gabah, Masa Lalu, Duka
BERITA kecil di Jawa Pos, 6 Mei 2021, membikin iri. Perempuan anggun berkacamata, guru besar di Universitas Negeri Jakarta. Kita membaca berita bukan mengenai pendidikan tapi makan. Ia juga Ketua Umum PGRI, memiliki misi besar dalam pendidikan tapi diberitakan bukan sedang memasalahkan pendidikan Indonesia abad XXI. “Saya sudah lima bulan mengonsumsi beras shirataki,” pengakuan Unifah Rosyidi seperti dikutip di Jawa Pos. Mengonsumsi demi sehat. Beras mungkin aneh bagi pembaca.
Sekian bulan lalu, Joko Widodo pernah berseru tentang impor menggunakan diksi “benci”. Publik geger atas pilihan diksi setelah terbiasa mengetahui Joko Widodo adalah sosok kalem dan santun. Sekian hari setelah pidato, Indonesia geger lagi oleh keributan (rencana) impor beras. Berita-berita di koran dan televisi bikin panas. Opini tersaji di koran dan majalah membuat pembaca pening. Impor dan beras, perkara dilema menimpa Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Ingatan untuk isi berita di Jawa Pos, berharap tak mengagetkan: “Selama ini beras shirataki yang dikonsumsi adalah produk impor. Dia beli sekitar Rp 200 ribu per kilogram. Menurut informasi yang dia terima, beras itu rendah kalori atau minim karbohidrat. Juga tidak memicu kolesterol. Beras itu efektif mendorong kandungan kolesterol dalam tubuh terbuang lewat urine.” Penjelasan tentang impor. Kita mendingan memikirkan serius “kebaikan-kebaikan” beras meski mahal.
Kini, beras itu dikabarkan sudah diproduksi di dalam negeri, dibuat anak-anak SMK. Unifah Rosyidi mendukung usaha membuat beras shirataki. Berita dari tokoh pendidikan mulai agak memberi keterangan penting melampaui makan. Simak: “… beras shirataki terbuat dari umbi iles-iles atau umbi porang. Bahan baku beras shirataki impor sejatinya berasal dari Indonesia, kemudian diekspor. Lalu, kembali masuk ke Indonesia dalam bentuk beras shirataki siap olah.” Nah, urusan ekspor dan impor itu sulit terpahamkan. Seumur hidup, penulis belum pernah melihat atau mengonsumsi beras shirataki. Penulis cuma mengerti beras jatah atau beras dibeli di selepan. Ada juga beras pemberian teman-teman dalam kemasan plastik. Beras dengan harga terjangkau.
Sejak kecil, kita diajari sekian bentuk dan penamaan: padi, gabah, beras, dan nasi. Konon, ada hikmah-hikmah berbeda dari para leluhur saat mengisahkan padi, gabah, beras, dan nasi. Pemaknaan melalui cerita, peribahasa, pantun, atau pepatah memungkinkan bocah-bocah mengamati sebelum makan. Di negara memiliki hamparan sawah selalu berkurang, bocah-bocah belajar padi di halaman-halaman buku pelajaran. Pengalaman di sawah mungkin dialami sedikit bocah. Pada situasi berbeda, sawah dengan tanaman padi adalah pemandangan bagi turis dan latar dalam pemotretan. Padi, gabah, beras, dan nasi tak terlalu lagi terpikirkan menggunakan sains atau petuah leluhur.
Pada saat bernostalgia tanpa sambungan-sambungan pengalaman bermakna, kita mendapat berita mengejutkan berjudul “Gabah Capai Titik Terendah” dimuat di Kompas, 6 Mei 2021. Kita lupakan dulu masalah beras shirataki dengan harga Rp200 ribu per kilogram. Gantian mengikuti berita gabah dan harga. Simak: “Harga gabah di tingkat petani pada April 2021 mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir. Pasokan melimpah di tengah panen raya dan penyerapan yang rendah jadi pemicunya.” Kita bisa melihat pula foto di atas berita: petani sedang menjemur gabah hasil panen di Cisauk, Tangerang, Banten.”
Kita pusing dan mencret memikirkan kebijakan pemerintah untuk pertanian dan lakon perniagaan pertanian memilih mengangeni masa lalu. Dulu, penulis biasa main ke rumah tetangga memiliki latar ombo (halaman luas). Tetangga biasa menjemur gabah di situ, sekian hari. Adegan menjemur dan ngukut memberi hiburan. Penulis kadang turut bermain di situ, membuat sekian bentuk-gambar di hamparan gabah berwarna kuning. Menit-menit sebelum hujan, kehebohan terjadi bagi penjemur gabah. Sekian orang terlibat demi keselamatan gabah dari hujan. Latar ombo juga digunakan atau dipinjam oleh para tetangga. Orang memiliki latar ombo itu dihormati dan menentukan nasib para petani di kampung. Gagal menjemur di latar, tetangga menjadikan jalan adalah tempat terbaik menjemur gabah, terkena pas dan lekas kering. Nah, orang-orang lewat wajib hati-hati. Adegan pit onthel atau sepedo motor melintasi gabah itu lumrah. Gabah-gabah kadang berceceran. Pitik tak mau kalah. Pitik dan manuk kadang berada di jemuran gabah memicu marah dan pengusiran. Sekian hari gabah dalam karung dibawa ke selepan. Waktu dan peristiwa menjadikan penulis mengetahui perubahan sebutan. Di selepan, mata melihat beras.
Nah, orang-orang lewat wajib hati-hati. Adegan pit onthel atau sepedo motor melintasi gabah itu lumrah. Gabah-gabah kadang berceceran. Pitik tak mau kalah. Pitik dan manuk kadang berada di jemuran gabah memicu marah dan pengusiran.
Kini, kangen melihat jemuran gabah. Rumah-rumah tetangga tak lagi berhalaman luas. Jalan-jalan terlarang untuk menjemur gabah. Pihak selepan memiliki latar ombo memberi jadwal penjemuran gabah untuk para petani. Gabah-gabah mengingatkan masa lalu, kenangan, kebersamaan, upah bila membantu, dan lain-lain. Benda-benda untuk menjemur dan ngukut gabah pun memberi kenangan-kenangan. Piring gembreng wis borot biasa digunakan memasukkan gabah dalam karung. Ah, gabah belum menjadi beras dan nasi telah terindukan.
Pada 7 Mei 2021, teman di kejauhan mengabarkan tentang kematian dan gabah. Ibu mertua meninggal. Teman mengabarkan: “Ibu mertua menjadi tumpuan anak-anaknya. Bahunya terlalu kuat dan hebat. Menjadi penyeimbang lahir-batin bapak. Ia tidak bisa banyak bicara. Namun, ahli bekerja. Rumahnya yang luas dan benar-benar rapi bukti keterampilannya. Pun hari ini, teronggok gabah yang dijemurnya beberapa hari lalu. Belum sempat ia giling.” Cerita mengenai ibu sudah tua masih mengurusi gabah dijemur, gabah digiling ke selepan. Kesadaran tentang keluarga memerlukan pangan, tak harus menggampangkan dengan membeli saja. Di Nusantara, kehadiran nasi di piring memiliki alur lambat dan rumit meski mulai digampangkan dengan membeli dan menggunakan benda-benda baru. Teman mengabarkan kematian tapi seperti menjadi berita selingan berduka dari Jawa Pos dan Kompas. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments