Tempe: Kita dan Dunia
top of page
Cari

Tempe: Kita dan Dunia

Bandung Mawardi

DI koran-koran, kita masih bisa bertemu berita meminta renungan. Berita-berita penting tak selalu derita gara-gara wabah. Di Kompas, 6 Juli 2020, kita berpikir pangan setelah membaca berita berjudul “Membawa Tempe Menembus Dunia.” Kita mengingat (sejarah) tempe dan menantikan nasib tempe saat dimintakan pengakuan secara internasional melalui UNESCO. Tempe sudah mendapat pengakuan warisan budaya tak benda nasional tapi memerlukan “lebih” di tatapan mata dan selera dunia. Ketua Forum Tempe Indonesia, Made Astawan, menerangkan: “Rekomendasi tempe sebagai warisan budaya tak benda akan diajukan ke UNESCO pada 2021 dan diharapkan diterima 2023. Dukungan masyarakat dan pemerintah penting untuk capaian ini”.


Tempe mau mendunia. Siasat dan sokongan besar diperlukan demi mengurusi tempe.

Misi besar itu ambigu. Tempe memiliki sejarah panjang berkaitan pangan keseharian, ritual, dan industri. Tempe pun masalah saat diumumkan sering menjadi santapan publik. Kedelai untuk bahan baku tempe masih bergantung impor. Situasi tak menguntungkan berlangsung lama tanpa ada siasat manjur mengesahkan tempe itu khas Indonesia, tak cuma bagi orang-orang Jawa. Di sejarah peradaban Jawa, tempe tercatat di pelbagai teks sastra dan dihadirkan dalam ritual-ritual sejak ratusan tahun lalu. Cerita tentu tak lengkap. Penafsiran tempe sudah berlimpahan tapi urusan membuat kebijakan tempe oleh pemerintah dan pelbagai pihak masih diragukan. Indonesia belum memastikan bisa mengadakan bahan baku tempe secara memadai dan bermutu.


Misi besar itu ambigu. Tempe memiliki sejarah panjang berkaitan pangan keseharian, ritual, dan industri. Tempe pun masalah saat diumumkan sering menjadi santapan publik. Kedelai untuk bahan baku tempe masih bergantung impor.

Sokongan sudah terbukti adalah mengenalkan tempe pada bocah-bocah melalui lagu-lagu. Kita teringat Eno Lerian bersenandung “Du Di Dam” pada masa 1990-an:

Kamu makannya apa/

tempe/

saya juru masaknya…

Lagu mengenalkan tempe goreng dan tempe bacem. Di rumah dan sekolah, pengajaran tempe diselenggarakan keseharian oleh guru dan orangtua. Pada situasi dan imajinasi berbeda, kita mendengar lagu aneh berjudul “Enakan Tempe Gue” dibawakan Dewi Ayu:

Tempe sama-sama tempe, digoreng dioseng rasanya gak beda/

sudah kuhidangkan, abang beli di luaran… Enakan tempe gue, enakan punya gue/

dijamin pasti bersih, gak usah bayar lagi… Nikmati sepuasnya/

pengen nambah, nambah aja.

Lagu tak melulu mengatakan tempe sebagai makanan tapi mengarah pula ke imajinasi berahi. Tafsir tempe menjadi berlebihan dan “melenceng”.


Kita memerlukan penguatan cerita mengenai tempe ditunjang pelbagai riset untuk sampai ke pengakuan dunia. Semula, tempe itu makanan tapi memiliki arah menjadi cerita-cerita mengenai keluarga, desa, bisnis kuliner di perkotaan, dan lain-lain. Ikhtiar di jalan berbeda pernah dibuktikan oleh Hermana. Kita mungkin belum mengenal atau lupa. Ia meraih gelar doktor dengan disertasi tentang tempe (Tempo, 1 Oktober 1983). Hermana berpendapat bahwa “selain mutu protein tempe tinggi, makanan ini juga mengandung vitamin B-12 yang tak ditemukan pada bahan makanan nabati lain”. Disertasi itu menguatkan bukti khasiat tempe bagi orang-orang Indonesia. Dulu, sarjana Belanda (van Ceen) bingung menemukan jawab: “Mengapa orang Indonesia tahan terhadap penyakit infeksi saluran pencernaan”. Jawaban adalah tempe. Pembuktian secara ilmiah oleh Hermana memastikan keunikan “kedudukan tempa dalam menu orang Indonesia”. Tempe memang berkhasiat, sejak ratusan tahun lalu. Khasiat ingin mendapat pengakuan dunia pada abad XXI.


Dulu, sarjana Belanda (van Ceen) bingung menemukan jawab: “Mengapa orang Indonesia tahan terhadap penyakit infeksi saluran pencernaan”. Jawaban adalah tempe.

Gelagat mengenalkan tempe ke orang-orang dari pelbagai negeri pernah diusahakan oleh William Wongso. Di Tempo, 31 Januari 2011, terbaca berita William Wongso membuat hidangan olahan tempe dalam penerbangan internasional maskapai Garuda Indonesia. Ia memasak menggunakan bahan tempe dengan beragam olahan, bermaksud mengajak orang-orang asing selama penerbangan mencicipi dan menikmati tempe. Di Indonesia, tempe diakui sudah berusia ratusan tahun, disantap orang-orang dalam beragam jenis olahan. Berita itu agak unik saat pembaca mengandaikan ada orang menikmati tempe di ketinggian, bukan di warung pinggir jalan atau serambi rumah. Tempe turut dalam penerbangan, berharap “terbang” derajat di pengakuan UNESCO.


Anggapan tempe sudah berusia melebihi 500 tahun agak “diralat” oleh Fadly Rahman dalam buku berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016). Tempe itu kreasi olahan kedelai sebagai produk nabati pilihan pengganti daging pada abad XIX, berkaitan erat dengan produksi tahu mulai dikenalkan di Jawa. Referensi sering diajukan untuk usia tempe adalah Serat Centhini. Fadly Rahman menafsir tempe terceritakan dalam Serat Centhini kemungkinan mula-mula dibuat dari ampas kelapa. Penafsiran berbeda mengesankan pembuatan tempe dari kedelai dikenalkan oleh orang-orang Tionghoa meski tak secanggih dibandingkan teknik membuat tempe pada abad XIX. Tempe dianggap makanan cocok dan khas di negeri beriklim tropis.


Kesejarahan tempe semakin menguat dalam buku berjudul Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia (1967). Buku tebal seribuan halaman disusun dan diterbitkan mula-mula atas perintah Soekarno ingin mengenalkan masakan-masakan Indonesia pada dunia. Harsono Hardjoutomo dalam buku itu turut menerangkan: “Kedele tak pernah dimakan dalam bentuk bidji, tetapi banjak dalam bentuk tahu, jaitu endapan proten dari sarinja, dan sebagai tempe, setelah direbus dan ditumbuhi djamur tempe”. Khazanah tempe terbaca dan terasakan di kitab masakan bersejarah warisan Soekarno: besengek tempe, bistik tempe, botok, mendoan tempe, oblok-oblok tempe bosok, oseng-oseng tempe, pepes tempe, sambal goreng tempe, terik tempe, tempe bacem, tumpang, dan lain-lain.


Kita memiliki album cerita dan berita mengenai tempe, dari masa ke masa. Tempe moncer meski makanan-makanan baru berdatangan dan menggoda lezat atau bergengsi. Dulu, keluarga biasa makan tahu dan tempe sering teranggap miskin atau sederhana, dibandingkan dengan keluarga bersantap daging. Pada situasi berbeda, tempe sempat memiliki derajat rendahan, sebelum ada ikhtiar-ikhtiar dan pengisahan bahwa tempe untuk semua. Tempe itu makanan bersejarah, terhormat, dan bergizi. Kini, kita menantikan kerja-kerja mengenalkan dan meminta pengakuan tempe oleh UNESCO. Sejarah tempe ingin merekah dengan mencipta selera dunia. Begitu.

_________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut




99 tampilan
bottom of page