top of page
Cari
Bandung Mawardi

Tanaman dan Makanan

“GAYA hidup yang mengonsumsi hanya pangan nabati kian digandrungi kaum urban,” kalimat pembuka di Kompas, 4 Oktober 2020. Pada hari Minggu, kita membaca masalah tanaman dan masakan. Konon, pilihan bersantap pangan nabati mengurangi depresi. Orang-orang memiliki acuan dari bacaan, cerita teman, dan pengalaman. Kita membaca petikan dari riset di negeri jauh: “Saat ini diperkirakan sekitar 8 persen dari populasi dunia adalah vegan dan vegetarian.” Di Indonesia, tercatat ada ratusan ribu orang.


Ingat makanan, ingat tanaman. Kompas memuat infografik berjudul “Tak Ada Nasi, Umbi Pun Jadi”. Kita sedang kebingungan dalam pemenuhan pangan di rumah selama wabah setelah berhitung duit diajak memikirkan lagi sekian jenis tanaman tumbuh di Indonesia. Sekian orang mengaku memiliki pengalaman makan umbi-umbian saat bocah. Pengalaman mungkin akibat miskin atau belum ada tawaran jajanan (kemasan) beragam di toko-toko. Bocah masih suka bermain di kebun, bertualang di sawah atau pinggir sungai. Mereka melihat pelbagai tanaman. Sekian teringat nama. Dulu, bocah makan mungkin setelah mendapat perkenalan atau penjelasan dari orangtua dan teman.


Sekian orang mengaku memiliki pengalaman makan umbi-umbian saat bocah. Pengalaman mungkin akibat miskin atau belum ada tawaran jajanan (kemasan) beragam di toko-toko.

Pada masa wabah, penampilan beragam jenis pangan selain nasi merangsang nostalgia masa bocah, sebelum dibuat ketagihan jajanan-jajanan kemasan. Sehalaman gambar dan kata, kita mendapat keterangan umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian, dan buah-buahan. Pada abad XXI, kita kangen makan talas dan gembili. Sekian orang memiliki daftar berbeda bersumber tanah kelahiran. Sekian jenis tanaman itu diolah menjadi makanan kemasan, diperdagangkan di toko dan pasar. Kita mengetahui makanan itu dinamakan dengan bahasa Inggris atau asing. Usaha agar makanan bermartabat, ingin bertaraf internasional.


Nostalgia kadang memerlukan pembahasaan berbeda. Kita membuka buku berjudul Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan dan Kumpulan Resep (2003) susunan Suryatini N Ganie. Kita membaca ratusan istilah mendapat penjelasan ringkas dan panjang. Kangen mengerti lagi hal-hal dalam pangan. Kita mengaku sudah kehilangan sekian nama, lupa bentuk, dan gagal mengingat rasa. Upaboga di Indonesia itu bacaan. Kita membaca, belum tentu mengalami atau membuktikan. Dulu, orang-orang di desa biasa membuat masakan dengan benguk. Penjelasan: “Termasuk golongan kacang-kacangan. Jenis ini merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang mempunyai andil dalam penyuburan tanah dengan zat lemasnya… Daun dan polong benguk yang masih muda enak dibuat pecel, sayur lodeh, sambal goreng, urap, dan sebagainya, setelah direbus terlebih dahulu untuk menghilangkan bulu-bulu yang menempel”. Para bocah ingat dulu pernah gatal-gatal gara-gara tanaman benguk. Adegan menghilangkan gatal adalah menggosok tangan pada rambut kepala.


Kangen mengerti lagi hal-hal dalam pangan. Kita mengaku sudah kehilangan sekian nama, lupa bentuk, dan gagal mengingat rasa. Upaboga di Indonesia itu bacaan. Kita membaca, belum tentu mengalami atau membuktikan.

Bacaan kadang membuat kita malu, lupa atau tak mengetahui ratusan hal. Kita mungkin bingung menjelaskan sekian hal itu di hadapan teman, kekasih, anak, atau tetangga. Kita berpikiran lagi nama, bentuk, rasa, warna. Pembuatan ensiklopedia pangan adalah kerja dokumentatif bakal sulit lengkap. Di sekian tempat, khazanah pangan berlimpah. Pencatatan dengan memberi penjelasan atau pengisahan membutuhkan ribuan halaman. Suryatini N. Ganie tak ingin terlalu sampai pencatatan lengkap. Ensiklopedia justru ajakan agar para pembaca membuat biografi pembahasaan tanaman dan makanan, sebelum terdesak pembahasaan “baru” oleh industri pangan dan “penelantaran” istilah-istilah lama.


Ensiklopedia justru ajakan agar para pembaca membuat biografi pembahasaan tanaman dan makanan, sebelum terdesak pembahasaan “baru” oleh industri pangan dan “penelantaran” istilah-istilah lama.

Kita mengutip entri gatot. Sekian hari, publik ribut oleh omongan tokoh pernah memiliki karier di militer dan tebar pengaruh politik. Kita sedang berurusan pangan, bukan tokoh atau guncang-politik. Suryatini N. Ganie menjelaskan gatot: “Makanan olahan dari singkong yang dikupas dan dibiarkan di panas matahari dan hujan hingga berjamur, dan memberikan warna coklat kehitam-hitaman. Produk ini kemudian disayat kecil-kecil, direbus dan dicampir dengan gula. Gatot merupakan makanan khas Jawa Tengah, terutama di Jogjakarta. Konon, gatot yang terkenal enak dapat diperoleh di Pasar Kranggan, Jogjakarta”. Pada saat masih SD, penulis terbiasa makan gatot. Makanan itu enak. Makanan itu murah.


Tanaman dan makanan memiliki babak-babak sejarah masih terlacak atau sulit “terbaca” lagi melalui pelbagai peninggalan. Sejarah di Indonesia pun sejarah tanaman. Setiaji D. Sastrapradja dalam buku berjudul Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia (2012) mencatat ada jumlah hampir sama antara tanaman pertanian asli dan pendatang. Ada pula kesulitan mencari “nenek moyang” jagung dan kelapa. Sejarah terhampar tapi jarang memiliki pembaca atau perenung. “Tidak semua orang tertarik untuk mengetahui jenis-jenis tanaman yang berguna dalam kehidupannya, apalagi kemauan mengetahui sejarah panjangnya,” sindiran Setiaji D. Sastrapradja. Posisi kita sering dilema dalam mengamati sejarah tanaman atau selalu saja menjadi juru makan setiap hari. Makan segala jenis olahan tanpa penjelasan dan pengisahan. Urusan makan telah dijauhkan dari tanaman, “terpisah” dari sejarah.

Kini, masalah terpenting bagi orang-orang adalah makan, belum ada gelagat berpikiran serius (sejarah) tanaman untuk pangan. Terbukti! Di Solo dan pelbagai tempat, wabah menjadikan ingatan makanan-makanan lawas bermunculan untuk dijajakan. Sekian makanan beragam penamaan nasi, sayur, lauk, dan lain-lain. Kita membaca gejala-gejalan itu “hiburan kultural” atau jawaban atas situasi hidup tak menentu. Pada beragam makanan, orang-orang memberi pemahaman sakral, murah, sederhana, pengharapan, dan kebersamaan. Di keluarga dan pelbagai kalangan, usaha menjelaskan dengan nama dan sajian berselera tradisional agak menguak keterlenaan menuruti lakon pangan mutakhir. Cara mengartikan lagi tanaman dan makanan di desa dan kota memiliki selisih berkaitan kebiasaan hidup dan dampak wabah.


Sekian makanan beragam penamaan nasi, sayur, lauk, dan lain-lain. Kita membaca gejala-gejalan itu “hiburan kultural” atau jawaban atas situasi hidup tak menentu. Pada beragam makanan, orang-orang memberi pemahaman sakral, murah, sederhana, pengharapan, dan kebersamaan.

Pada situasi wajar, kita terbiasa mendapat berita atau cerita keinginan orang-orang rumit dalam pertimbangan makanan-makanan dikonsumsi demi sehat. Pada abad XXI, sehat itu belum tentu ujung kebiasaan makan. Kesalahan dan kengawuran dalam makan sering berakibat sakit dan kematian. Kita terpaksa malu membuka buku berjudul Fakta Mengejutkan Makanan Modern: Memperbaiki Pola Makan Menuju Hidup Sehat dan Alami (2010) garapan Michael Pollan. Judul “mengatakan” pembaca itu bodoh dan telat mengerti hal-hal besar. Edisi terjemahan bacaan memang sering “jatuh makna” dalam penjudulan. Buku itu dalam bahasa Inggris berjudul (lebih) bermutu: The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. Penjelasan ringkas: “… makan telah berimbas pada sesuatu yang dapat mengubah dunia dan segala yang dibutuhkan untuk mengubah dunia. Makan dengan penuh kesadaran terdengar sangat menyulitkan, namun dengan mempraktikannya, kita akan mendapat kepuasan dalam hidup”. Penjelasan memuat pokok-pokok masalah terbesar, setelah kita “terlibat dalam mata rantai makanan industri tanpa pikir panjang”.

Wabah belum mampu memusnahkan ketagihan selera dan tata cara kita berada dalam arus makanan industri. Segala masalah waktu, tempat, selera, gengsi, dan uang menentukan pengabaian dampak-dampak terburuk. Makan memang membuktikan perubahan (sejarah dan nasib) dunia. Manusia sengaja membuat penghancuran dan pembunuhan diri dengan makanan, detik demi detik selama puluhan tahun. Makan terasa jauh dari pengetahuan-pengetahuan sakral, ekologis, etis, dan kultural setelah dunia memungkinkan kita “berpesta” makanan untuk mati, bukan memuliakan hidup. Begitu.


_____________

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut


118 tampilan

Comments