top of page
Cari
Bandung Mawardi

Tahu dan Tempe

PARIYEM diantar pulang, dari kota menuju Gunung Kidul. Ia sedang hamil, diminta hidup di desa, tak usah bekerja dulu sebagai babu. Majikan (Ndoro Kanjeng dan Ndoro Putri) turut mengantar pulang ke desa dengan pesan-pesan dan gelagat bahagia. Di perut Pariyem, ada benih dari priyayi. Linus Suryadi AG membahasakan melalui tokoh Pariyem: Kedatangan kami disambut gembira/ Kaget, mereka amat gugup dan gembira/ Bapak baru pulang dari sawah/ simbok baru pulang dari pasar/ Pairin sibuk menganyam caping/ sedang Painem menyiapkan sarapan:/ Bukan nasi dang, bukan nasi liwet/ beras Delanggu atau beras Cianjur/ Tapi sebagaimana makanan pokok kami/ ketela jrendal kering digodhog, gathot/ ketela jrendal tumbuk diedang, thiwul/ Itulah makanan pengganjal perut kami. Kita membaca penggalan keluarga di desa dan makanan dalam buku berjudul Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa (1980) gubahan Linus Suryadi AG.


Kita membaca kemiskinan tampak dalam makanan. Di situ, pengarang tak berbagi cerita bahwa ada tahu dan tempe. Di desa, keluarga-keluarga miskin memang sulit dipastikan bisa makan nasi dengan lauk tahu atau tempe secara rutin. Dua makanan terbuat dari kedelai masuk dalam daftar idaman. Keluarga miskin bakal girang bila bisa menikmati itu setiap hari meski cuma edisi sarapan. Di perkotaan, keluarga miskin bermenu tahu dan tempe kadang kelumrahan. Mereka menganggap itu masih keberuntungan. Di keluarga menengah atau agak mapan, tahu dan tempe belum tentu bersekutu dengan nasi. Tahu dan tempe sebagai gorengan bisa disantap bersama cabai dan segelas teh. Konon, peristiwa itu masih sederhana, belum dituduh “kemewahan”. Pada hari-hari terakhir, menu tahu-tempe mungkin agak “mewah” gara-gara harga kedelai naik dan cabai rawit merah pun naik. Sekian orang bisa memilih makan tahu dan tempe dengan cabai rawit (merah atau hijau).


Kedelai memicu gegeran di pergantian tahun. Harga kedelai berdampak ke produksi dan konsumsi tahu dan tempe dianggap santapan harian di Indonesia. Kita simak laporan di Kompas, 4 Januari 2021: “Para produsen tahu dan tempe di Indonesia mogok produksi pada 1-3 Januari 2021. Mereka menggelar aksi serentak tersebut karena harga kedelai impor naik dari harga normal Rp 6.500 - Rp 7.000 per kilogram menjadi Rp 9.000 - Rp 10.000 per kilogram. Alhasil, awal tahun baru ini, tahu dan tempe susah didapat”. Para penggemar tahu dan tempe makin kecewa. Hari-hari sudah mengecewakan gara-gara wabah malah ditambah “derita” sulit makan tahu dan tempe. Menu itu mungkin masih bisa diperoleh tapi berbeda harga dari sekian hari lalu. Kita tak memilih menangis dan sungkan tertawa mendapati Indonesia berduka akibat kedelai. Negara berlimpahan cerita-cerita mengandung tahu dan tempe sedang dipaksa merana.


Hari-hari sudah mengecewakan gara-gara wabah malah ditambah “derita” sulit makan tahu dan tempe. Menu itu mungkin masih bisa diperoleh tapi berbeda harga dari sekian hari lalu. Kita tak memilih menangis dan sungkan tertawa mendapati Indonesia berduka akibat kedelai.

Gegeran kedelai itu menjadi berita utama di Solopos, 4 Januari 2021. Berita mengalahkan hal-hal berkaitan wabah. Penting! Darurat! Kita mendapat warta bahwa 160.000 produsen atau pengrajin tahu-tempe mogok produksi tapi belum berdampak besar. Harga kedelai tak kunjung turun. Mogok itu sia-sia? Para penggemar tahu-tempe wajib sabar dan tambah menderita? Konsekuensi terasa dilematis. Tindakan menaikkan harga tahu dan tempe diakui makin menambahi sedih selama wabah. Di pelbagai kota, kedelai atau tahu-tempe menjadi tema rumit. Imajinasi itu makanan idaman bagi keluarga miskin atau acuan selera bagi keluarga sederhana mungkin terabaikan dulu saja. Indonesia sedang “dikutuk” kedelai.


Kompas edisi 10 Januari 2021 memuat tulisan dari kerja litbang berjudul “Tahu dan Tempe Makin Dicari di Masa Pandemi”. Masalah besar saat wabah. Kita terlarang abai. Pengutipan dari hasi Survei Sosial Ekonomi Nasional BPKS edisi Maret 2020: “… rata-rata setiap orang mengonsumsi tempe dan tahun 37 potong setiap bulan.” Riset demi riset terbaca dan tergunakan dalam mengamati situasi mutakhir. Kita membaca: “Penggemar tempe dan tahu sedemikian banyak hingga dua makanan protein ini pun menjadi salah satu komoditas pangan yang turut menentukan batas kemiskinan. Tempe dan tahu berada di urutan keempat dari 10 komoditas yang paling menentukan garis kemiskinan.” Indonesia memastikan tahu-tempe adalah masalah besar sepanjang masa.


Tempe dan tahu berada di urutan keempat dari 10 komoditas yang paling menentukan garis kemiskinan.” Indonesia memastikan tahu-tempe adalah masalah besar sepanjang masa.

Kita bernostalgia saja saat gagal melihat tahu-tempe di piring tersaji di atas meja. Nostalgia melalui bacaan. Pada 1941, terbit buku serial “koentji tani” berjudul Kedelai susunan Soetan Sanif. Buku terbitan Balai Pustaka, institusi bentukan dan dipengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Kita membaca buku bersifat laporan, bukan fiksi. Simak saja: “Perloe kiranja kita ketahoei bahwa kedelai itoe, lebih-lebih dipoelaou Djawa mendjadi soeatoe makanan jang teroetama bagi anak negeri. Beroepa-roepa barang makanan diperboeat orang dari kedelai itoe. Siapakah jang tiada kenal akan ketjap, tempe, tahoe? Semoeanja diperboeat dari pada kedelai”.


Buku tipis tak mungkin memberi penjelasan lengkap tentang sejarah dan usaha bercocok tanam di Indonesia, dari masa ke masa. Kita diajak mengingat lagi beragam jenis tanaman diusahakan di Indonesia dalam lakon pertanian. Pada abad XX, kedelai itu penting. Kita bingung saja kebutuhan kedelai masih melulu impor. Dulu, ada keterangan: “Kedelai itoe boleh dikatakan tidak memilih-milih tanah. Ditempat jang koeroes masih dapat ia memberi hasil. Tanaman itoe menjoekai tempat jang agak kering. Tanah jang berair-air bagoes baginja. Bila poelau Djawa diperhatikan njatalah makin ketimoer, makin banjak kedelai itoe diperoesahaankan orang…. Karesidenan jang paling banjak memperoesahakan kedelai ialah Pekalongan, Japara, Rembang, Djogdjakarta, Soerakarta, Madioen, Kediri, Soerabaja dan Besoeki”.


Sehari tanpa tahu-tempe, jutaan orang Indonesia bisa merana. Pada hari-hari bersedih, kita geleng-geleng kepala atau menunduk. Bingung. Indonesia mungkin keterlaluan “lucu” mendapat kutukan gara-gara kedelai.

Puluhan tahun atau seabad silam, orang-orang di Jawa belum kebingunang atau geger gara-gara kedelai. Tanah-tanah di Jawa bisa ditanami kedelai, tak terlalu bergantung dengan negara-negara asing dianggap memiliki kemampuan ampuh dalam urusan kedelai. Kita bernostalgia tanpa wajib memberi tuduhan-tuduhan buruk atas situasi mutakhir. Indonesia terlalu berubah, sejak masa kolonial sampai abad XXI. Kedelai turut dalam babak-babak perubahan. Sekian hal memberi kewajaran tapi mengikutkan pula dilema-dilema.

Kedela itu tahu dan tempe. Jumlah orang makan tahu-tempe setiap hari terus bertambah. Indonesia mungkin negara bergelimang tahu-tempe dalam pelbagai olahan. Sehari tanpa tahu-tempe, jutaan orang Indonesia bisa merana. Pada hari-hari bersedih, kita geleng-geleng kepala atau menunduk. Bingung. Indonesia mungkin keterlaluan “lucu” mendapat kutukan gara-gara kedelai. Kita bimbang dalam membuat protes, demonstrasi, mengumbar marah, atau mengajak jutaan orang menangis bersama. Begitu.


_____________

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut


122 tampilan

Comments