Tafsir dan Peristiwa
Sejak kebangkitan Islam pada abad ke-20 di Timur Tengah menandai dunia Islam mengalami perubahan sosial secara universal. Pasalnya, pascakebangkitan Islam itu berdampak pada keberagaman konsep pemikiran Islam. Ijtihad pemikiran lahir dari Muhammad ibn Abd Al-Wahab (1703-1787), Jamal Al-Din Al-Afghani (1839-1879), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), Abul A’la Maududi (1903-1979), dan Sayyid Quthb (1906-1966).
Para pemikir Islam kontemporer memiliki karakteristik dalam menafsirkan sosial-historis Islam begitu berbeda. Perbedaan dapat terlihat dari lahirnya pemikiran: Islam tekstualis, Islam pembaharuan, Islam fundamental, dan Islam neo-fundamental. Mafhum, pascakebangkitan Islam di Timur Tengah merupakan upaya Muslim konservatif mengembalikan jihad politik-militeristik. Kebangkitan Islam itu menandai adanya penyebaran doktrin islamisme di negera Islam maupun masyarakat Muslim di (Indonesia).
Meluasnya pemahaman doktrin gerakan Muslim konservatif pascakebangkitan Islam juga mempengaruhi ijtihad dasar penafsiran pada Al Quran & hadis menjadi beragam. Namun, keberagaman dalam perbedaan penafsiran itu selalu berujung konflik internal terhadap tataran sosial dan kebudayaan. Konflik internal terjadi disebabkan doktrinasi Islam dijadikan komoditas menentukan takhta kepemimpinan Islam (khilafah).
Kontestasi politik mengatasnamakan agama ini menimbulkan fanatisme Muslim konservatif nekat mengasumsikan makna yang terkandung dalam literatur keislaman (Al Quran & hadis) lebih secara tekstual. Sehingga, paradigma itu mengalami pergeseran dalam monograf, kitab tafsir, dan kitab hadis lantaran disebabkan adanya misi jihad politik-militeristik secara komunal. Peristiwa ini yang kini menjadi perdebatan pelik umat Muslim abad ke-21. Ambisi Muslim konservatif telah menjadikan makna jihad sebagai gerakan monovalen dan doktrin mempolitisasi agama demi kepentingan takhta kekuasaan.
Genealogi persoalan tersebut telah dibahas oleh Asma Afsaruddin secara komprehensif dalam buku Tafsir Dekonstruksi Jihad & Syahid (2018). Tesis Asma memiliki konseptualisasi secara mendalam ketika membahas dekonstruksi penafsiran makna jihad dan syahid dalam Al Quran. Asma berhasil mengumpulkan literatur kitab-kitab tafsir dan kitab hadis dari para ulama terdahulu sebagai upaya untuk membandingkan corak tafsir yang berkembang dalam sejarah peradaban umat Muslim.
Dari hasil kajian penelitian Asma, kitab-kitab pra-modern (abad ke-3 H/9 M) memberikan informasi bahwa pemaknaan jihad fi sabilillah memiliki keutamaan sebagai berjuang di jalan Allah. Makna “berjuang di jalan Allah” memiliki penekanan arti bersungguh-sungguh, sabar, dan bersifat non-kombatif. Namun, kemunculan kata jihad di beberapa ayat Al Quran sering mengalami ambiguitas dan dimaknai polisemi dalam konteks yang berbeda. Perbedaan itu dapat terlihat tatkala makna jihad banyak ditafsirkan dari situasi konteks sosio-politik setelah periode wafatnya Rasulullah. Kemunculan makna jihad menjadi lebih keras sebagai doktrin peperangan dari pemimpin Islam yang bersifat politis dan kemartiran gerakan radikal.
Maka, di sinilah sebenarnya Asma ingin membandingkan dan memahami beberapa tafsir awal pra-modern dari ulama Sunni, Syiah, dan Ibadhi pada periode Mekkah-Madinah. Melalui perbandingan paradigma mufasir awal peradaban Islam seperti dalam Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Tafsir Abdul-Razzaq b. Hammam b. Nafi’ al-Shan’ani, Tanwir al-Miqbas, Tafsir al-Qummi, Tafsir al-Ayyasyi, Tafsir Furat b. Ibrahim, Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Wahidi, Tafsir al-Zamakhsyari, Tafsir al-Razi, dan Tafsir al-Qurthubi, dapat menjadi acuan untuk mencermati adanya keberagaman dalam memaknai kata jihad secara kolektif.
Dari telaah literatur mufasir awal, mereka sangat memahami konteks sosiologi masyarakat Arab dalam menafsirkan ayat-ayat jihad. Pada masa Rasulullah, misalnya, makna jihad sering dimaknai sebagai bentuk peperangan demi tujuan menyebarluaskan panji ajaran kebenaran. Namun pasca Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin meninggal, dinasti-dinasti Islam mulai berdiri, menyebabkan makna jihad mengalami pergeseran sebagai memperjuangkan pemerintahan Islam (khilafah) dan gerakan kemartiran membela Islam. Ijtihad penafsiran jihad para pemimpin Islam lantas memaknai sebagai bentuk peperangan, teror, sikap radikal, mengatasnamakan agama demi melalukan kekerasan terhadap umat manusia.
Maka, sejarah konflik pemimpin Islam pun tidak lepas dari perseturuan antarkeluarga dan saudara tatkala sistem monarki dijadikan sebagai dasar konstitusi pemerintahan. Keserakahan dan sikap otoriter pemimpin Islam sering membawa ayat-ayat Al Quran sebagai sandaran jihad politik praktis. Di sinilah yang sering kita kurang sadari bahwa makna jihad seolah menjadi menyempit ketika hanya disandarkan pada masa Rasullullah tanpa melihat kontekstualisasi dan konseptualisasi kandungan ayat-ayat jihad secara gradual. Makna jihad tidak semestinya dimaknai sebagai gerakan kombatif, tetapi lebih tepat disandarkan sebagai gerakan non-kombatif. Sehingga, bila Muslim konservatif memaknai jihad sebagai bentuk peperangan dan gerakan militeristik, mereka sama saja akan mengulang kegagalan dan kehancuran para pemimpin Islam dalam sejarah peradaban umat Muslim.
Muhamad Taufik Kustiawan
Comments