Surat dan "Suratan Nasib"
top of page
Cari

Surat dan "Suratan Nasib"

Bandung Mawardi

SURAT memicu debat. Kita sedang menanggungkan duka dan bosan gara-gara wabah tapi surat malah menambahi masalah. Di koran-koran, pemberitaan surat itu bukan mengenai asmara. Surat tak ada kaitan dengan lagu Dewa 19 berjudul “Kangen”. Lagu itu masih mementingkan surat di jalinan kerinduan dan penantian. Surat tanpa patah hati seperti di lirik lagu Didi Kempot saat menerima surat pada suatu sore. Sejak puluhan tahun lalu, sepucuk surat bisa berakibat tangisan atau girang tak berujung bila melulu asmara.


Sekian hari lalu, kita ribut gara-gara surat. Ribut politis setelah surat dibuat Andi Taufan Garuda untuk para camat di seantero Indonesia bocor ke publik, terbagikan di media sosial. Surat buatan Staf Khusus Presiden berkop Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Surat pendek justru memunculkan tanggapan-tanggapan panjang dari parlemen, politikus, pengamat politik, ahli bahasa, dan lain-lain. Sekian tuduhan mengarah ke Andi Taufan Garuda Putra berdalih salah prosedur, berkepentingan ganda, abai etika publik, berpotensi ke delik korupsi, atau ceroboh berbahasa.


Surat bertema wabah buatan Andi Taufan Garuda Putra itu mengejutkan dan membingungkan di hari-hari tak keruan. Kita diajak berpikir sejenak mengenai surat, pembuat surat, wabah, politik, bisnis, dan undang-undang. Surat bertanggal 1 April 2020 dengan penanda tangan Andi Taufan Garuda Putra telanjur menjadi masalah rumit. Pembuat surat mendapat kecaman-kecanam. Ia pun meminta maaf dan menganggap polemik surat menjadi pelajaran penting. Kegaduhan surat berlangsung menjelang kita membuat peringatan di masa wabah: Hari Kartini. Kita bakal mengenang tokoh rajin menulis surat di akhir abad XIX dan awal abad XX. Surat-surat ingin mengubah diri dan negeri. Kita terlalu lama mengerti Kartini itu surat-surat diterbitkan menjadi buku berbahasa Belanda, menunggu lama diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dijuduli Habis Gelap Terbitlah Terang pada masa 1930-an.


Indonesia belum selesai dengan sejarah surat. Kita anggap surat-surat Kartini berpengaruh di tatanan politik, identitas, keintelektualan, gejolak religiositas, dan kebahasaan saat kolonialisme masih berlangsung. Kita melupa bila penulis surat di masa lalu tak cuma Kartini. Tokoh-tokoh dikaitan dengan babak perubahan abad XIX dan XX juga menulis surat: Raden Saleh, Sosrokartono, Soewardi Soerjaningrat, dan lain-lain. Kita belum memiliki museum surat atau buku ratusan jilid mendokumentasi surat-surat para penggerak bangsa. Kita memastikan daftar nama tambahan sebagai penulis surat berpengaruh di sejarah Indonesia: Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwan Simatupang, HB Jassin, Soedjatmoko, Pramoedya Ananta Toer, Nashar, Ajip Rosidi, dan lain-lain.


Indonesia disusun dengan surat-surat menggunakan beragam bahasa. Pada masa lalu, bahasa paling sering digunakan adalah bahasa Belanda, sebelum digantikan bahasa Indonesia. Surat menjadi pelajaran di sekolah-sekolah. Pengetahuan tentang surat penting dalam birokrasi, pekerjaan, pendidikan-pengajaran, asmara, perdagangan, dakwah, seni, dan lain-lain. Para sarjana Belanda menerbitkan buku-buku pelajaran surat. Orang-orang di tanah jajahan dianjurkan memahami “ilmu persuratan", tak boleh sembrono dalam menulis surat. Abdoel Moeis, pengarang tenar Indonesia, menulis pula buku petunjuk surat berbahasa Indonesia bagi pelajar dan umum. Pada masa 1930-an, “ilmu persuratan” semakin penting. Orang-orang mulai diajak rajin menulis surat-surat resmi atau tak resmi. Kebiasaan menulis “surat pembaca” meriah gara-gara penerbitan surat kabar. Indonesia masa lalu berlimpahan surat mencipta sejarah.


Pada masa 1930-an, “ilmu persuratan” semakin penting. Orang-orang mulai diajak rajin menulis surat-surat resmi atau tak resmi. Kebiasaan menulis “surat pembaca” meriah gara-gara penerbitan surat kabar. Indonesia masa lalu berlimpahan surat mencipta sejarah.

Surat tak cuma kertas, warna tinta, tanda tangan, amplop, dan perangko. Surat memiliki beragam khasiat. Surat pun bisa menimbulkan ganjaran berupa sensor dan hukuman. Pada masa pergerakan politik kebangsaan, surat dianggap momok oleh pemerintah kolonial. Surat sanggup mengedarkan ide-ide perlawanan dan membesarkan nasionalisme. Surat pun bahasa. Surat menjadi rangsang perubahan-perubahan di gejolak sejarah Indonesia.


Polemik surat dalam situasi wabah memang terlalu bermasalah. Kita seperti diingatkan untuk menengok sejarah Indonesia dalam persuratan, dari masa ke masa. Kita menepi dulu dari masalah-masalah politik. Kita membuka lembaran-lembaran pelajaran surat masa lalu. Di majalah Keluarga edisi April 1960, kita membaca artikel Pak Mangkuto berjudul “Djangan Serampangan dengan Surat-Menjurat”. Artikel ditujukan ke kaum muda. “Diabad ruang angkasa ini dimana pelajanan akan alat-alat perhubungan makin bertambah madju, disamping meluasnja dengan pesat orang-orang jang tahu tulis-batja, seputjuk surat memegang peranan jang penting sekali,” tulis Pak Mangkuto. Telepon sudah turut mengubah Indonesia tapi surat tetap mujarab dalam pelbagai kepentingan hidup. Pesan penting: “Kesalahan atau kelalaian jang mungkin tak disengadja bisa mengakibatkan salah faham jang besar, surat-menjurat memanglah meminta ketelitian dan kesopanan!” Pelajaran di masa lalu, tak lagi terbaca di masa sekarang.


Telepon sudah turut mengubah Indonesia tapi surat tetap mujarab dalam pelbagai kepentingan hidup. Pesan penting: “Kesalahan atau kelalaian jang mungkin tak disengadja bisa mengakibatkan salah faham jang besar, surat-menjurat memanglah meminta ketelitian dan kesopanan!” Pelajaran di masa lalu, tak lagi terbaca di masa sekarang.

Pada masa Orde Baru, surat masih pelajaran penting. Kita membuktikan dengan penerbitan buku berisi surat-surat buatan ribuan bocah di seantero Indonesia untuk Presiden Soeharto. Mereka menulis surat berharap mendapat foto atau mendoakan sang penguasa. Surat-surat itu dipilih dan diterbitkan menjadi buku: bukti rezim Orde Baru masih disahkan oleh surat. Kaum intelektual masih berpihak ke surat dalam menggerakkan ide-imajinasi. Surat menjadi semakin luwes di perubahan zaman. Orang-orang masih memuliakan surat tanpa takut dianggap kuno.


Para pembaca majalah Horison mengingat ada surat-surat pengarang turut dimuat, bermaksud bisa dibaca publik. Surat itu bersifat terbuka. Ada serial “Surat dari Jakarta” menguak pelbagai masalah sastra, identitas, politik, kota, dan lain-lain. Para pujangga berhak menulis puisi-puisi dijuduli dengan “surat”. Teks-teks cerita gubahan para pengarang kadang memilih bentuk surat. Pemuliaan surat semakin penting saat para pendengar menikmati lagu-lagu bercerita surat. Lakon pers bertambah semarak dengan keterlibatan pelanggan melalui rubrik surat pembaca. “Ilmu persuratan” semakin bertambah dan memungkinkan Indonesia bergelimang lembaran kertas ditulisi kata-kata.


Pada abad XXI, surat belum tamat. Di peristiwa-peristiwa politik besar, kita biasa mendapat undangan menulis surat-surat bersifat publik. Surat bisa dimuat di koran, majalah, atau beredar di media sosial. Kini, orang-orang menanggungkan masalah kekerasan, hukum, agama, diskriminasi, atau pendidikan memilih menulis surat. Mereka lekas menulis surat dialamatkan ke presiden, berharap mendapat perhatian. Surat masih berkhasiat meski pelajaran surat di sekolah-sekolah perlahan tak diminati murid. Kita belum rampung bernostalgia dan belajar “ilmu persuratan”, Indonesia malah ruwet gara-gara surat.


Surat masih berkhasiat meski pelajaran surat di sekolah-sekolah perlahan tak diminati murid. Kita belum rampung bernostalgia dan belajar “ilmu persuratan”, Indonesia malah ruwet gara-gara surat.

Kita masih dalam ikhtiar merampungkan wabah. Albert Camus dalam novel berjudul Sampar memberi kita sindiran bahwa surat pernah menjadi pilihan bagi orang-orang “dikurung” di kota selama wabah. Orang-orang menulis surat untuk mengungkapkan segala hal. Peristiwa menulis surat itu “kelegaan” sejenak dan siasat menghindari putus asa. Mereka mengerti bahwa surat-surat tak pernah bisa dikirimkan ke kantor pos atau mendapat balasan. Perkara terpenting adalah menulis surat bermisi membahasakan pelbagai masalah tanpa mengetahui bakal kalah atau selamat dalam wabah. Surat-surat itu biografis dan rekaman zaman. Kita berhak meniru membiasakan menulis surat bila capek berdebat dan ribut di media sosial. Surat-surat kelak terbaca dan terwariskan ke anak-cucu.


Kini, surat bertokoh Andi Taufan Garuda Putra memicu debat itu menghasilkan peristiwa boleh teringat seabad. Ingat surat, ingat wabah. Ingat surat, ingat debat. Penandatangan surat mengundurkan diri dari kedudukan sebagai Staf Khusus Presiden. Di Kompas, 25 April 2020, kita membaca: “… mengundurkan diri setelah mendapat kritik dari publik terkait isu konflik kepentingan.” Di Republika, 25 April 2020, kita membaca: “Andi sebelumnya diketahui terlilit kontroversi terkait surat yang ditujukan kepada para camat di berbagai daerah untuk bekerja sama dengan perusahaan yang dipimpinnya, PT Amartha Mikro Fintek.” Surat itu tak berkhasiat malah membesarkan debat dengan seribu tuduhan dan argumentasi. Kini, surat itu menghasilkan “suratan nasib”, memberi jalan lain. Surat tetap teringat. Begitu.


__________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut


103 tampilan
bottom of page