top of page
Cari
Bandung Mawardi

Sumpah Bersambal Sepanjang Masa

PADA setiap peringatan Sumpah Pemuda, koran-koran biasa mengadakan edisi mengistimewakan masalah pemuda atau bahasa Indonesia. Edisi itu berbeda dalam pemuatan artikel, berita, iklan, atau karikatur. Kita terbiasa mengartikan Sumpah Pemuda mengacu hal-hal sering terucap dalam pidato presiden, tema buatan pemerintah, dan ingatan sejarah “tersamakan”. Koran-koran pun ingin menandai peringatan Sumpah Pemuda dengan pengulangan-pengulangan untuk mengingatkan pembaca. Pengulangan bisa juga penguatan bosan, tahun demi tahun.


Jawa Pos, 28 Oktober 2020, memberi hidangan berbeda. Di halaman depan, kita melihat foto cabai, bawang merah, bawang putih, tomat, dan jeruk. Semua itu memastikan pembuatan sambal. Lihatlah, ada sambal berwarna merah! Olah kata diberikan: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia … dan Satu Rasa: Pedas!” Di lembaran koran, pembuatan tanda seru menggunakan cabai dan lombok. Kata-kata mengarah ke sejarah (1928) dan gairah makan. Pembaca mungkin salah duga. Jawa Pos tak mengadakan edisi istimewa bertema kaum muda atau bahasa Indonesia. Sambal justru dipentingkan dalam memaknai Sumpah Pemuda saat kita masih direpotkan wabah.


“Nah, sebagian pendapat juga menyebutkan bahwa peradaban cita rasa pedas Indonesia berkiblat ke Tiongkok,” tulis di Jawa Pos. Orang-orang dipaksa membuka sejarah untuk mengerti kedatangan tanaman cabai, masakan-masakan dari pelbagai negeri, dan situasi-situasi politik. Narasumber dari LIPI mengungkapkan, rentetan dan bukti-bukti sejarah sambal di Indonesia belum selesai dalam debat. Pementingan sejarah mungkin terbenarkan dengan keputusan orang-orang Indonesia suka makan sambal sejak ratusan tahun lalu: “Atas nama kepedihan dan keprihatinan dari kolonisasi, kemiskinan, dan keterbatasan.”

Pembaca mendapat pengisahan kuliner terbagikan dari William Wongso. Tokoh tenar itu mengatakan: “Kalau di Jawa, ada kepercayaan sistem boksiyah: lombok-terasi-uyah.” Kalimat berkaitan urutan pengolahan sambal. Sejak kecil sampai menjadi tokoh perkulineran, William Wongso mengaku paling suka sambal terasi. Biografi itu memungkinkan ia melakukan pencatatan jenis-jenis sambal di Nusantara, dibandingkan dengan selera pedas di Eropa. Pada artikel istimewa garapan Fadly Rahman, kita membaca sejenis konklusi tentang manusia-manusia Indonesia dan sambal pada masa kolonial: “Dengan sensasi pedasnya, sambal telah turut serta dalam menggugah semangat kebangsaan”.


Pada artikel istimewa garapan Fadly Rahman, kita membaca sejenis konklusi tentang manusia-manusia Indonesia dan sambal pada masa kolonial: “Dengan sensasi pedasnya, sambal telah turut serta dalam menggugah semangat kebangsaan”.

Sambal dalam sejarah diminta dimaknai pedas. Sambal itu pedas. Pada masa berbeda, pedas itu kritik. Di hadapan kekuasaan, orang berhak memberi kritik pedas. Ingat, pedas itu kritik, bukan lagi sambal. Pedas cenderung milik kaum ingin menjadikan Indonesia tak terlena oleh “manis” gara-gara ocehan pejabat dan impian muluk selalu disampaikan dalam ratusan pidato. “Manis” ciptaan mereka dilawan dengan pedas. Kita tak mengingat piring atau makanan, tapi olah bahasa berlatar kekuasaan. Kita sulit menuduh bahwa orang-orang suka memberi kritik itu rajin makan dengan sambal, setiap hari.


Sambal memang memiliki sejarah. Pedas pun terbaca dalam sejarah. Kita mendingan membuka buku Upaboga di Indonesia (2003) susunan Suryatini N Ganie untuk mengerti sambal: “Makanan pedas penggugah selera atau pelengkap hidangan yang berbahan pokok cabai dan garam. Ada dua kategori sambal, yaitu mentah dibuat dari bahan-bahan mentah yang dihaluskan atau sekadar dipotong-potong halus. Sedangkan sambal masak dibuat dari bahan-bahan yang dihaluskan terlebih dahulu sebelum dimasak atau ditumis dahulu sebelum dihaluskan”. Di situ, kita mendapat contoh sambal-sambal disantap di Indonesia, tak ada penjelasan sejarah sampai ke negeri jauh. Dugaan ada pengaruh peradaban-peradaban asing dalam persambalan agak terbaca dalam buku berjudul Dapur Naga di Indonesia (2008) susunan Suryatini N Ganie dan Myra Sidharta. Kita disuguhi sekian sambal lazim disantap orang-orang Indonesia sejak lama: sambal bubuk kering, sambal pedas pecinan, sambal taoge, sambal betawi kramat, sambal kemanten china, sambal pete, sambal kluwek, dan lain-lain.


Biografi leluhur di Nusantara mengandung bab makan sambal. Mereka membuat sambal dari sekian bahan. Sambal dihidangkan dengan nasi, daun, dan sekian lauk. Penamaan sambal pun mengesankan ritual, keluarga, pergaulan sosial, politik, perdagangan, dan lain-lain. Di Jawa Pos, ada ajakan mengakui bahwa para penggerak Indonesia sejak masa kolonial memiliki kebiasaan makan dengan sambal. Kebiasaan itu terus berlangsung sampai masa revolusi, masa pembangunan, dan masa sekarang. Di meja para penguasa atau meja dihadapi orang-orang berpredikat apa saja mengaku memikirkan Indonesia, sambal-sambal tersajikan.

Suryatini N Ganie dalam buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, dan RA Roekmini (2005) menginformasikan bahwa keluarga Kartini memiliki kebiasaan makan sambal. Di meja makan, ada sambal goreng teri garing. Kita membaca bumbu: bawang merah, bawang putih, lengkuas, serai, cabai merah, garam, asam, terasi, gula, daun salam, dan lain-lain. Ada juga sambel goreng tempe. Di keluarga-keluarga bangsawan, priyayi, atau elite di Nusantara masa lalu, sambal itu penting bagi penentuan selera kuliner. Di kalangan jelata tempo doeloe, sambal juga disantap tapi jarang terceritakan melalui dokumen-dokumen atau foto-foto. Kita perlahan mengerti sambal memang turut membentuk biografi dan menggerakkan Indonesia.


Di kalangan jelata tempo doeloe, sambal juga disantap tapi jarang terceritakan melalui dokumen-dokumen atau foto-foto. Kita perlahan mengerti sambal memang turut membentuk biografi dan menggerakkan Indonesia.

Tahun demi tahun berlalu, sekian cerita sambal masih terus disampaikan untuk mengingatkan Nusantara adalah khazanah sambal. Cara mengingatkan pun dilakukan dengan mendirikan warung, rumah makan, atau restoran mengunggulkan sambal. Di desa dan kota, kita melihat spanduk-spanduk memuat gambar-gambar sambal atau deretan daftar sambal. Orang-orang dibujuk makan dengan sambal, makan bermaksud memiliki pengalaman bersambal. Pedas ditanggungkan tapi ketagihan. Sambal membikin keringatan. Sambal membuat orang menangis. Sambal tetap saja idaman.


Kita dan sambal menjadi album semakin tebal, dari hari ke hari. Di dapur, orang-orang masih membuat sambal. Kejutan pun tiba. Pergilah ke warung membawa duit sekian ribu! Kita bakal melihat sambal-sambal dalam bungkusan digantungkan seperti kita melihat gantungan sampo atau jajanan bocah. Kita tinggal tunjuk sambal kesukaan: sambal terasi, sambal ijo, sambal kemiri, sambal bawang, dan lain-lain. Sekian bungkus bisa dibeli untuk lekas diplotot dalam piring tanpa kerepotan membuat sambal. Konon, harga murah membuat orang-orang memilih membeli sambal dalam bungkusan. Sekian orang mengaku membeli dan makan sambal dalam bungkusan itu ingin gampang dan ngirit. Kita boleh memaklumi atau berduka mengetahui telah ada jalan berbeda dalam pengisahan sambal abad XXI. Begitu.


_____________

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut







168 tampilan

Comments

Couldn’t Load Comments
It looks like there was a technical problem. Try reconnecting or refreshing the page.