Soekanto SA: Ketokohan dan Bacaan
Bandung Mawardi
BERITA berdatangan, 8 Juni 2020. Pengarang dan pendongeng kondang itu pamitan. Penulis sejenak berduka, berlanjut ke pemanggilan ingatan membaca buku-buku garapan Soekanto SA, tak lupa berita-berita masa lalu. Dulu, ia sering diberitakan di Kompas, Tempo, dan Femina. Soekanto SA turut menggerakkan majalah Si Kuntjung. Tahun-tahun lalu, Soekanto mendapat penghormatan besar di kalangan pembaca, teringat publik saat menjadi berita-berita.
Penulis berharapan bakal ada berita atau obituari di koran-koran pada 9 atau 10 Juni 2020. Sekian koran dibeli dan dibaca. Berita dan obituari tak ada. Penulis menunggu Minggu. Kompas mungkin memuat tulisan mengenai Soekanto SA, bacaan anak, dan dongeng. Di halaman-halaman Kompas, 14 Juni 2020, penulis tak menemukan Soekanto SA. Di halaman 8, ada tulisan memuat masalah buku cerita anak. Secuil. Bre Redana di “Udar Rasa” menulis diri dalam keseharian: “Sastra dan Kewarasan Kita”. Di situ, ia mencantumkan Franz Kafka, Gabriel Garcia Marquez, James Joyce, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan Putu Wijaya. Soekanto SA tak ada. Penulis sedih. Penulis memilih memberi penghormatan kecil meski serampangan untuk terus memiliki dan menjadi ahli waris Soekanto SA.
Cerita setengah halaman di majalah Si Kuntjung, Nomor 41, Tahun XIII, 1969. Majalah berslogan: “Murah harganja, mahal nilainja”. Kita membaca cerita gubahan Soekanto SA berjudul “Hidup dari Daun Turi”, setengah halaman saja dan memiliki ilustrasi apik. Tokoh dalam cerita adalah guru bernama Pak Wardjono. Di kelas, ia berbagi cerita ke murid-murid berkaitan pelajaran ilmu hayat. Cerita membuat pelajaran menjadi memikat. Pak Wardjono berkata: “Didaerahku dulu, daun turi adalah makanan kambing jang disukai. Karena dengan diberi makan daun turi, kambing akan memberikan susu jang gurih dan apabila disembelih, dagingnja akan enak rasanja.” Murid-murid mendengarkan penuh perhatian. Mereka penasaran dengan daun turi dan kambing, bertambah penasaran setelah Pak Wardjono bercerita satai dan gulai kambing.
Dulu, Pak Wardjono hidup di keluarga miskin. Ia membantu mencari nafkah dengan memetik daun turi saat masih dini hari. Daun-daun itu diikat dan dibawa ke pasar untuk dijual. Di pasar, para peternak kambing membeli dagangan daun turi. Jual-beli beres, penjual daun turi wajib mengantarkan ke rumah peternak. Cerita itu berakhir. Murid-murid mulai belajar flora dan fauna, setelah mendapat cerita guru. Soekanto SA sanggup membuat cerita cukup setengah halaman tapi mengena ke pembaca. Ia tak berpamrih setor pesan-pesan bijak. Pengisahan tentang bocah miskin menjual daun turi. Pada saat dewasa menjadi guru, masalah daun turi dan kambing menjadi cerita dalam pelajaran ilmu hayat. Cerita sederhana tapi mengesankan.
Soekanto SA sanggup membuat cerita cukup setengah halaman tapi mengena ke pembaca. Ia tak berpamrih setor pesan-pesan bijak.
Kita membaca cerita di majalah Si Kuntjung untuk menghormati dan mengenang Soekanto SA, berpamitan pada 8 Juni 2020. Ia rajin menulis buku anak dan mendongeng, dari masa ke masa. Keberpihakan ke sastra anak dibuktikan dengan terbitan puluhan buku cerita anak. Ia pun menulis artikel-artikel mengenai sastra anak dan berceramah di pelbagai acara bertema anak. Pengabdian puluhan tahun, memilih di peran memerlukan kesetiaan dan kebersahajaan mempersembahkaan bacaan bagi anak-anak di seantero Indonesia. Warisan-warisan masih mungkin terlacak dan dipelajari saksama bila ingin memberi penghormatan penuh di jagat kesusastraan anak. Kita memastikan memberi tempat terhormat pada Soekanto SA dan menghormati para tokoh mengabdi di sastra anak: Samsudi, Aman, Zuber Usman, Mansur Samin, Arswendo Atmowiloto, Djokolelono, Dwianto Setyawan, dan lain-lain. Keampuhan Soekanto SA adalah pengarang dan pendongeng.
Pada 1989, Bentara Budaya dan Kelompok Pecinta Bacaan Anak-anak mengadakan acara berjudul “Anak, Bacaan, dan Mainan” dalam pemaknaan Tahun Anak Nasional 1989. Soekanto turut menjadi pembicara memberi pesan agar anak-anak direstui membaca buku-buku cerita (lama atau baru) berdalih “dapat membuat anak-anak tenggelam dalam dunianya sendiri, memberikan eskapisme dari keseharian yang berarti pula memberi anak-anak kenikmatan, tidak secara eksplisit dibebani moral yang dirasakan oleh anak-anak sebagai dominasi dari dunia orang dewasa, tapi lebih memberinya stimulus pengembangan imajinasinya, suatu yang sangat vital dalam hidupnya.” Kalimat panjang itu disusun mengacu ke percakapan Soekanto SA dengan para pengarang tenar di Indonesia. Ia rajin mendata buku-buku memikat dibaca para pengarang saat masih bocah. Data dan tafsir mengarah ke pembenaran bahwa buku cerita anak mujarab membentuk identitas.
Ketekunan mengurusi buku dan cerita anak telah dilakukan sejak masa 1950-an. Ia turut memberi pengamatan untuk terbitan majalah dan buku-buku. Pada masa 1950-an, dua majalah untuk anak memberi pengaruh besar: Kunang-Kunang dan Si Kuntjung. Soekanto SA pun berperan besar di majalah Si Kuntjung pimpinan Sudjati SA. Di Indonesia, penerbit Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Djambatan, Indrapress, Sinar Harapan, Gramedia, BPK Gunung Mulia, dan lain-lain memiliki peran di penerbitan buku anak-anak. Mereka kadang bermufakat dengan pemerintah dalam pelaksanaan Inpres bermisi pengadaaan bacaan anak di seantero Indonesia. Acara peringatan dan pembuatan organisasi pun menguatkan perkembangan kesusastraan anak. Soekanto SA sering memiliki peran dan selalu memberi pengamatan dokumentatif.
Acara peringatan dan pembuatan organisasi pun menguatkan perkembangan kesusastraan anak. Soekanto SA sering memiliki peran dan selalu memberi pengamatan dokumentatif.
Di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 susunan Tempo, kita membaca keterangan tentang Soekanto SA: “Telah menulis 500 cerpen dan novel anak-anak, belakangan ini ia menghidupkan salah satu cabang seni tertua: kesusastraan lisan". Buku-buku telah terbit berupa novel dan kumpulan cerita: Ompeng dan Uli (1958), Dunia Penuh Tawa (1975), Gadis yang Cekatan (1977), Suka dan Duka (1971), Orang-Orang yang Tercinta (1971), Sahabat dan Kembang (1971), Anak-Anak Malam (1973), Segenggam Kapas (1974), dan lain-lain. Masa demi masa, Soekanto SA semakin serius menekuni sastra anak meski mengerti ada kelemahan dalam pelbagai kebijakan pemerintah dan kelengahan dalam industri perbukuan anak.
Pada peringatan “Bulan Buku 1987”, Soekanto SA berbagi pemikiran di majalah Femina, 21 Mei 1987. Soekanto SA mengingatkan bahwa cara terbaik dan termudah agar anak-anak kelak gandrung buku dimulai dengan ibu memangku anak untuk membacakan buku. Raga itu berpengaruh. Suara ibu membaca kata-kata gampang mengesankan anak. Soekanto SA menganjurkan ibu menjadi pembaca buku dan pendongeng untuk anak-anak. Pada 1986, Soekanto diundang ke Jepang dalam Kongres Bacaan Anak-Anak. Ia berjumpa para penulis, pakar, dan pihak-pihak berkepentingan dengan penerbitan buku anak. Peristiwa itu memastikan wanita (ibu) pihak terpenting di pemajuan perbukuan anak. Di pangkuan ibu, membaca buku itu kenikmatan tiada tara bagi anak-anak untuk menikmati cerita demi cerita, dari masa ke masa.
Soekanto SA mengingatkan bahwa cara terbaik dan termudah agar anak-anak kelak gandrung buku dimulai dengan ibu memangku anak untuk membacakan buku. Raga itu berpengaruh. Suara ibu membaca kata-kata gampang mengesankan anak.
Di sekian peristiwa perbukuan, Soekanto SA sadar ada perkembangan sastra anak kadang melegakan tapi tetap saja “prihatin” atas kebijakan salah arah atau jeratan politis-bisnis. Pada 1972, Indonesia turut dalam Tahun Buku Internasional oleh PBB. Acara lazim adalah seminar-seminar dan penerbitan buku. Soekanto SA berperan dengan penulisan buku berjudul Matahari Jakarta: Lukisan Kehidupan M Husni Thamrin. Buku itu diterbitkan Pustaka Jaya (1973). Di perbukuan anak, penulisan cerita dan biografi tokoh memberi undangan memasuki imajinasi dan tilikan ke sejarah. Pada masa Orde Baru, tercatat penulisan penerbitan buku untuk anak berupa biografi para tokoh sejarah semakin marak.
Pada 1984, Ikapi mengadakan acara di Jakarta bertajuk Pesta Bacaan Anak-anak dan Remaja. Soekanto SA lega dan memuji: “Penggunaan perkataan ‘pesta’ menunjukkan dasar pikiran bahwa buku harus memberikan kebahagiaan kepada anak-anak". Kita mendingan membuka Tempo edisi 1 Desember 1984. Pengumuman bahwa Pesta Buku Anak-anak dan Remaja itu pertama kali diadakan di Indonesia, 30 November-8 Desember 1984. Pengumuman berpesan: “Pesta buku ini dimeriahkan pula dengan kegiatan anak-anak, peragaan alat-alat pendidikan, temu muka dengan pengarang kesayangan, diskusi buku, dan seminar. Tidak saja anak-anak dan remaja, para orang tua dan guru, penulis cerita, ilustrator, perancang grafis, dan siapa saja yang mencintai buku kami harapkan kehadirannya dalam pesta buku ini. Datanglah bersama keluarga Anda!”
Lakon sastra dan perbukuan anak semakin marak. Soekanto SA terus ambil peran. Pembuktian dari celotehan Agus Dermawan T di Kompas, 16 Desember 1979 bahwa Soekanto itu pengarang cerita anak tak habis dimakan zaman. Maria Hartiningsih di Kompas, 26 Juni 2009, menjuluki Soekanto SA adalah “penulis cerita anak yang legendaris”. Pada usia tua, Soekanto terus menulis cerita anak. Sekian cerita berselera religius. Ia pun menulis buku untuk orang-orang bisa dan mau mendongeng. Pengalaman selama puluhan tahun tak ingin dimiliki sendiri atau terucap saja. Ia lekas menulis, terbit menjadi buku-buku, menambahi kontribusi dalam perbukuan anak di Indonesia. Kini, kita mewarisi buku-buku membuktikan pengabdian Soekanto SA (18 Desember 1930-8 Juni 2020) di sastra anak. Pengarang bersahaja itu telah memberi jejak, menanti kita turut menempuhi atau melihat saja. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments