Sepatu: Duka dan Sejarah Bergerak
Kejadian-kejadian mencengangkan di pelbagai negara lekas beredar untuk disimak jutaan orang di dunia. Pada Jumat, 15 Maret 2019, serangan teroris terjadi di dua masjid di Selandia Baru. Puluhan orang terkapar oleh tembakan. Berita itu membuat orang-orang berduka, berairmata, dan berdoa. Kutukan demi kutukan ditujukan pada pelaku serangan biadab. Di keramaian kutukan, orang-orang pun berdoa dan memberi tanda empati pada para korban.
Di halaman Solopos, 20 Maret 2019, dipasang foto kedukaan. Lima puluh pasang alas kaki (sepatu) dicat putih dijajarkan di halaman Gereja All Souls, Christchurch, Selandia Baru, 19 Maret 2019. Pilihan simbol sepatu itu menandai duka dan mengenang para korban. Pembaca berhak mengartikan jajaran alas kaki diandaikan semula ditaruh di halaman masjid. Orang-orang datang ke masjid untuk salat, melepas alas kaki dahulu di luar. Di ruangan bersujud, mereka tanpa alas kaki. Pemandangan jajaran sepatu atau sandal di luar masjid itu teringat warga di Christchurch. Kini, para pemilik atau pengguna alas kaki telah tiada. Pengecatan dengan warna putih ditafsirkan para korban adalah orang-orang tak bersalah. Foto itu mengharukan, menebar pesan ke para pendoa di seluruh dunia.
Sepatu itu duka. Pada jajaran sepatu, orang-orang berbeda agama dan etnis saling menguatkan untuk membuat dunia damai. Mereka berdoa dengan tata cara dan bahasa berbeda. Kebersamaan berharapan tak lagi terjadi peristiwa-peristiwa biadab di hari-hari mendatang. Para korban meninggalkan sepatu. Di mata kita, sepatu itu memuat biografi mereka dalam menunaikan misi-misi hidup. Keberakhiran mereka tanpa sepatu. Kaki-kaki telanjang dalam beribadah mengisahkan kebersahajaan untuk memuji Tuhan.
Di negara berbeda, pesan ke warga dunia masih memilih simbol sepatu. Krisis politik di Venezuela belum jua berakhir. Kecaman-kecaman sudah diberikan ke penguasa atas kegagalan mengatasi lapar, kemiskinan, dan derita jutaan orang. Kisruh politik melibatkan negara-negara memihak dan memusuhi. Krisis itu naik di taraf menakutkan bagi agenda-agenda demokrasi dan kemanusiaan. Di Indonesia, kita membaca berita demi berita dan opini demi opini masih sulit mendapat penjelasan gamblang atas nasib Venezuela.
Sikap imajinatif dan politis diungkapan di Pameran Teater Internasional VI di Sao Paulo, Brasil. Di Media Indonesia, 19 Maret 2019, kita melihat foto mencengangkan bertokoh perempuan dan tentara tak tampak wajah. Representasi tentara di sepatu-militer. Perempuan itu artis asal Venezuela bernama Deborah Castillo. Ia tampak sedang menjilati sepatu dikenakan tentara. Tindakan itu “bentuk protes terhadap rezim otoriter dan penindas” di Venezuela.
Kita terkejut melihat adegan perempuan menjilati sepatu tentara. Pesan di peristiwa teater ingin mengajak orang-orang di permainan simbolik. Sepatu itu mungkin mengartikan cara militeristik dalam mematuhkan dan menertibkan warga di situasi krisis. Sepatu militer mungkin pula berarti ajakan agar ada pemihakan ke nasib jutaan orang menderita ketimbang para tentara terus mengabdi ke penguasa. Sepatu di sejarah Amerika Latin mengandung roman revolusi. Sejarah revolusi demi revolusi menempatkan tentara di halaman penting dan menentukan. Artis itu memanggil sejarah sambil menantikan ada roman bakal berubah di tahun-tahun mendatang menjadi terang. Orang-orang bercerai dari lapar, derita, dan duka.
Sejarah revolusi demi revolusi menempatkan tentara di halaman penting dan menentukan. Artis itu memanggil sejarah sambil menantikan ada roman bakal berubah di tahun-tahun mendatang menjadi terang. Orang-orang bercerai dari lapar, derita, dan duka.
Dua berita mutakhir datang ke Indonesia. Kita melihat dua foto di situasi berbeda dari Selandia Baru dan Venezuela. Kita sedang menjalani hari-hari belum tentu menempatkan sepatu sebagai simbol utama. Para elite politik memang terus bersepatu di acara-acara resmi dan pertemuan-pertemuan demi raihan suara pada hari “keramat”, 17 April 2019. Sekian orang bersepatu mulai “kesandung” kasus-kasus menguak aib. Para tokoh kesandung korupsi, berita bohong, ujaran kebencian, dan fitnah. Sepatu-sepatu di kaki mereka mungkin mahal tapi tak memastikan pengena memiliki derajat kemuliaan atau beradab.
Kaum bersepatu kesandung itu gagal mengingat sejarah Indonesia saat bergerak oleh kaki-kaki bersepatu kaum sekolahan di jalan pergerakan politik kebangsaan. Para penggerak bangsa di awal abad XX mulai mengenakan sepatu, malu jika cekeran. Mereka masuk ke sekolah-sekolah dan universitas-universitas di tanah jajahan dan Eropa. Sepatu menandai kemodernan atau kemajuan. Mereka tak menjadikan sepatu membentuk biografi kesombongan, kerakusan, dan kemunafikan.
Sepatu di kaki-kaki Soetomo, Soekarno, Soegondo Djojopoespito, WR Soepratman, Hatta, dan Sutan Sjahrir digunakan di kerja membentuk dan memuliakan Indonesia. Mereka berpenampilan necis dan bersepatu. Kaum bersepatu paling bermakna di foto-foto Kongres Pemuda II (1928). Orang-orang berfoto dengan “pameran” sepatu mengisahkan mereka itu kaum maju dan “menentukan” sejarah Indonesia. Di luar kaum bersepatu, kita tetap memiliki tokoh-tokoh cekeran dan bersandal memiliki janji besar melawan kolonialisme. Mereka mungkin jarang terpotret atau memiliki halaman berbeda di arus sejarah Indonesia.
Sepatu terus saja mengisahkan Indonesia. Pada masa revolusi, sepatu-sepatu di kaki-kaki para pengurus partai politik, militer, dan saudagar memiliki simpangan-simpangan mendebarkan. Mereka berebutan kekuasaan dan modal. Revolusi sudah bersepatu untuk berlari atau berhenti. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas dibentuk di desa dan kota, mengajarkan ke orang-orang adab baru. Ikhtiar mencari ilmu dianjurkan bersepatu. Konon, kebijakan itu demi kepantasan dan memenuhi etika modern menginduk ke Eropa atau Amerika. Jumlah pengguna sepatu semakin bertambah, belum tentu bertambah makna.
Pada 2011, kita diingatkan lagi tema sepatu dan Indonesia. Pemberi ingatan itu Goenawan Mohamad dengan buku berjudul Indonesia/Proses. Buku molek berisi esai-esai mengenai (sejarah) Indonesia dengan garapan kulit muka bergambar sepatu militer. Sepatu berwarna hitam tanpa tokoh. Tentara tiada di situ. Ia sedang absen. Gambar mengingatkan peran tentara dalam album sejarah Indonesia. Peran memiliki dilema-dilema. Sepatu militer tanpa pengguna itu mengesankan ada drama sejarah Indonesia bergantung pada tokoh di peristiwa-peristiwa imajinatif. Begitu.
Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Solo
Comments