top of page
Cari

"Secuil" Terpahami

PENULIS esai ini belum pernah mengoperasikan ponsel pintar. Tahun demi tahun, ia masih menggunakan ponsel cuma bisa untuk mengirim-menerima pesan pendek dan telepon. Urusan mengirim tulisan ke pelbagai media cetak dan situs masih bergantung dengan warung internet. Adegan sejenak di warung internet ditambahi kemampuan terbatas memasang kliping di FB Kabut. Pergi dari warung internet dengan tarif 2 atau 3 ribu rupiah, ia tak mengetahui keramaian dan sengketa berlangsung di media sosial atau berita-berita terbaru. Pengalaman “memalukan” tapi agak menghindarkan dari kesibukan dan kecapekan berurusan pikat-pemanjaan teknologi mutakhir.


Telat mengetahui berita sudah wajar. Keinginan untuk turut mengetahui segala hal beredar di media sosial sering tergantikan dengan pilihan membaca buku, majalah lawas, dan membuat kliping koran-koran secara harian. Di luar rutinitas, ia memilih sibuk menjadi “bapak rumah tangga”. Di Kompas, 14 Oktober 2019, berita berjudul “Literasi Digital Menentukan”. Berita agak mengejutkan meski tak gampang dipahami: “Kasus pengungkapan pendapat di media sosial oleh tiga istri perwira atau prajurit Tentara Nasional Indonesia terkait penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, yang berujung pada pencopotan suami masing-masing dari jabatan militer, merefleksikan literasi digital yang rendah dan krisis empati publik.” Ada kasus besar berkaitan jagat digital. Kita diajak prihatin mengacu ke puja media sosial.


Keinginan untuk turut mengetahui segala hal beredar di media sosial sering tergantikan dengan pilihan membaca buku, majalah lawas, dan membuat kliping koran-koran secara harian.

Berita itu terbaca setelah khatam buku berjudul Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan (2019) garapan Agus Sudibyo. Buku rumit tapi berkhasiat bagi pembaca tak terlalu mengerti situasi mutakhir di jagat digital dan belum memiliki ponsel pintar. Alinea menjelaskan belum berlimpahan istilah asing: “Tak bisa disangkal bahwa media sosial memang menghadirkan kegembiraan, gairah, dan kemudahan baru bagi masyarakat. Sebuah mode interaksi sosial baru telah lahir dan mengentakkan dunia. Masyarakat menikmati dan berasyik masyuk dengan ‘mainan baru’ itu saban hari. Jumlah pengguna media sosial terus mengalami lompatan fantastis. Hingga pada suatu titik, kita mendapati ada yang mabuk kepayang dan lupa diri. Mereka menggunakan media sosial bukan untuk menguatkan empati sosial dan saling pengertian antar-sesama… Media sosial mereka gunakan sebagai sarana untuk menghujat, menghakimi, merendahkan, dan memfitnah orang lain.” Berita di koran perlahan dimengerti setelah menikmati buku apik tapi tak semua sanggup dipahami bagi orang belum berponsel pintar.


Hari demi hari, jutaan orang memegang-membelai ponsel pintar bersibuk dengan Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Ramai sepanjang hari. Sedetik pun tak ingin libur atau cuti. Jagat digital memang sedang berlangsung untuk memberi girang dan lara. Kasus di berita Kompas tentu mengagetkan. Media sosial berkaitan suami-istri, TNI, dan menteri. Hal terpenting pastilah undang-undang, etika, dan situasi politik.


Hari demi hari, jutaan orang memegang-membelai ponsel pintar bersibuk dengan Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Ramai sepanjang hari. Sedetik pun tak ingin libur atau cuti. Jagat digital memang sedang berlangsung untuk memberi girang dan lara.

Konon, orang-orang telanjur memahami media sosial itu “gratis”. Agus memberi ralat bahwa media sosial sebagai “jalan raya gratis” itu wajib dimengerti secara kritis agar orang-orang tak terlena berkepanjangan. Peringatan: “Kita juga mesti membayangkan di sepanjang jalan raya itu dipasangi spanduk, baliho, papan reklame, dan lain-lain. Isinya adalah pesan-pesan komersial, sosial, politik yang terus-menerus menarik dan mengusik perhatian pengguna jalan.” Oh, umat media sosial dibentuk menjadi konsumen tulen untuk pelbagai hal. Di situ, untung besar diraih belum tentu “kue” terbagikan ke umat media sosial sudah sibuk setiap hari gara-gara terkecoh “gratis”. Ingat, tak ada gratis dalam jagat media sosial.


Agus memberi ralat bahwa media sosial sebagai “jalan raya gratis” itu wajib dimengerti secara kritis agar orang-orang tak terlena berkepanjangan.

Penulis esai ini lekas membuka lagi buku berjudul The Long Tile (2007) garapan Chris Anderson. Buku pernah moncer dan berpengaruh tapi belum terbaca seri lanjutan untuk mengetahui dampak mutakhir. Chris Anderson menjelaskan: “Model ekonomi abad XXI telah menunjukkan buktinya dalam bentuk garis besar dalam database milik Google, Amazone, Netflix, dan iTunes.” Ia memberi cerita dan uraian bahwa abad XXI memiliki tata cara bisnis menghasilkan untung besar berjulukan long tail. Kita berubah oleh internet. Kita dianjurkan menjadi konsumen fanatik di pesta digital. Buku itu terasa “lawas” saat disandingkan dengan buku berjudul Jagat Digital. Internet berkembang terlalu cepat dan pemujaan media sosial terus membesar.


Agus tekun mengurusi pers ketimbang sibuk jadi pembahas bisnis. Kita menuju masalah berita. Pertarungan sedang terjadi antara media lama dan baru. Agus paham dan memberi gambaran ke pembaca: “Media baru bertarung secara langsung dengan media lama untuk memperebutkan perhatian khalayak, data pengguna, dan kue iklan. Bukan sekadar lawan, mereka bahkan adalah ‘lawan dalam selimut’. Mereka memanfaatkan pasokan berita dari media massa jurnalistik yang sering terjadi secara cuma-cuma atau tanpa imbal balik sepadan.” Petika itu membuat kita berpikiran lagi profesi jurnalis atau wartawan. Konon, zaman digital telah memberi ajaran baru: “setiap orang adalah sumber sekaligus pewarta pada dirinya sendiri.” Penjelasan-penjelasan Agus di Jagat Digital agak “merecoki” penulis esai ini dengan kebiasaan setiap pagi membeli 4-6 koran cetak. Sejak pagi sampai sore, ia membuka halaman-halaman koran: memikirkan dan mengliping. Koran itu “media lama”. Ia telanjur mengakrabi “media lama” dengan boros duit tapi menemukan takjub dan “kesabaran” mencerna berita, artikel, iklan, dan lain-lain tersaji di koran.


Artikel bermutu dimuat di Kompas, 14 Oktober 2019, berjudul “Buzzer Media Sosial dan Kepercayaan Publik” ditulis oleh Ika Karlina Idris. Pembaca artikel beruntung disuguhi penjelasan dan contoh agak terang. Artikel “melengkapi” bagi pembaca Jagat Digital. Di buku, Agus belum memiliki bab khusus mengenai buzzer. Ika Karlina Idris memberitahu: “Istilah buzzer awalnya dikenal dalam dunia pemasaran (marketing) karena adanya kebutuhan untuk mendapat audiens terkait pesan-pesan promosi.” Oh, kini buzzer itu cenderung di perkara politik atau demokrasi sedang meramaikan Indonesia. Kita diingatkan agar mengerti sumber informasi, muslihat, pamrih bisnis, dan capaian politik. Di koran, kita menemukan bacaan bisa terbaca berulang sambil merenung dengan tangan memegang erat, bukan sentuhan-sentuhan lembut di ponsel pintar. Edisi digital memang ada tapi mengliping edisi cetak terasa menggirangkan.


Di koran, kita menemukan bacaan bisa terbaca berulang sambil merenung dengan tangan memegang erat, bukan sentuhan-sentuhan lembut di ponsel pintar. Edisi digital memang ada tapi mengliping edisi cetak terasa menggirangkan.

Kita berurusan lagi dengan keampuhan telepon pintar. Revolusi digital itu pesta telepon pintar. Agus mengakui: “Telepon pintar hari ini adalah episentrum kehidupan masyarakat urban. Semua aktivitas dapat disatukan dan diintegrasikan ke dalam telepon pintar.” Pesona! Segala di benda kecil. Pesona itu tetap belum dimengerti oleh penulis esai ini gara-gara belum pernah mengoperasikan atau memiliki ponsel pintar meski 2019 mau berakhir. Hari-hari tanpa kesibukan jari, mata, dan telinga berpusat di ponsel pintar. Ia masih mungkin melamun dan menggerakkan tangan untuk mencuci baju, piring, menyapu, dan menyeterika. Agus telah memberi peringatan tapi pembaca buku masih seperti manusia dari akhir abad XIX, belum mengerti dan mengalami semua hal berlakon ponsel pintar dan pengesahan revolusi digital.


Hari ini semakin sulit dimengerti atau ditafsir dengan keluguan-keluguan lawas. Agus mengutip celotehan dari Tara Clarke: “Facebook layaknya saudara serumah. Ia mengetahui banyak tentang kita dan terus-menerus berinteraksi dengan kita, sementara Google ibaratnya adalah tetangga kita yang selalu ada kapan pun kita butuhkan.” Kalimat sederhana mengandung metafora tak terlalu rumit. Kalimat gampang dipahami tapi terasa “mengejutkan” bagi pengguna masih bergantung ke warung internet dengan waktu terbatas dan mengeluarkan ongkos: 2 atau 3 ribu rupiah.


Kita pastikan Jagat Digital adalah buku penting untuk dibaca agar mengerti dampak “pembebasan” dan “penguasaan”. Buku tebal bermutu meski cuma “secuil” bisa dipahami oleh pembaca “beriman” terus menikmati koran cetak dan juru kliping harian.

Kita pastikan Jagat Digital adalah buku penting untuk dibaca agar mengerti dampak “pembebasan” dan “penguasaan”. Buku tebal bermutu meski cuma “secuil” bisa dipahami oleh pembaca “beriman” terus menikmati koran cetak dan juru kliping harian. Pikat buku agak lama berjudul Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (2004) garapan Yasraf Amir Piliang agak muncul selesai membaca Jagat Digital. Ada penjelasan sempat teringat mengenai homo digital. Komunikasi cenderung bersifat elektronis dan digital. Penulis esai ini beruntung membaca buku-buku Yasraf Amir Piliang, sebelum bertemu Jagat Digital. Buku-buku edisi cetak terbaca, linglung masih melanda. Eh, revolusi digital membadai sepanjang hari. Begitu.



Bandung Mawardi

kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

119 tampilan
bottom of page