Ramalan Bintang dan Sastra
top of page
Cari

Ramalan Bintang dan Sastra

PADA awal 2020, kita sempat membaca Kompas, 4 Januari 2020. Di halaman mengenai sains, terbaca tulisan berjudul “Ramalan Bintang Tak Pernah Mati.” Kita mengutip: “Percaya dengan astrologi berarti meyakini posisi benda langit dan perubahannya memengaruhi perilaku manusia. Akar astrologi itu ada sejak 1.500 tahun sebelum Masehi, di era Babilonia.” Ilmu lawas banget. Tulisan penting bagi kita untuk mengerti ramalan bintang di Barat dan Timur. Ada corak agak membedakan. Pendapat dosen UGM perlu dikutip: “… manusia suka ramalan bintang untuk dijadikan sarana rekreasi atau hiburan semata.”


Kita bergerak ke masa lalu, mencari kesinambungan penerimaan publik atas ramalan bintang. Kita bertemu para tokoh dan pendapat di sekian majalah. Alkisah, Semar, Gareng, dan Petruk duduk lesehan menikmati minuman hangat. Mereka sedang bercakap hal penting. Semar berkata: “Sakbenere bae, prakara astrologie karo horoscoop koewi, apa mitajani, apa pantjen ora kena dioegemi?” Gareng berlagak memberi jawaban serius: “Nek prakara dioegemi kena-kena bae. Sing wis taksoemoeroepi, para bakoel petek koewi, nek metja oetawa mbedeki nasib wong, mesti dipilihake sing bisa kalakon lan njenengake njang wong sing dipetek.” Semar terus meminta penjelasan lengkap. Gareng tak kehabisan jawaban. Gareng tampil sebagai orang berlimpah informasi: “Toekang petek, emboeh astroloog emboeh petekloog, takperang dadi rong golongan: toekang petek tjilik, alias toekang petek begedjil, jaikoe djinising toekang petek sing moeng waton wani metek, dadi kasrane bangsaning bakoel abab petek. Sing aran toekang petek gede, jaikoe sing wis oleh nama, misoewoer lan akeh sing ngandel, sanadjan wewatjane pada mlesed ping 1001.”


Percakapan serius itu renungan di masa lalu saat orang-orang mulai terbujuk mengetahui nasib melalui astrologi. Percakapan serius antara Semar dan Gareng dimuat di majalah Kadjawen edisi 25 April 1941. Petruk ikut mengajukan pelbagai persoalan berkaitan astrologi berlatar Indonesia dan dunia. Para peramal sering menginformasikan peristiwa-peristiwa bakal terjadi pada masa 1940-an. Mereka meramal dengan melihat ke langit, bereferensi ke bintang-bintang. Zaman kemajuan telah berlangsung di Indonesia tapi urusan astrologi dan horoskop tak jua sirna. Di pelbagai surat kabar, hal itu malah jadi rubrik diminati para pembaca. Di akhir percakapan, Gareng bernasihat: “Prakara petek oetawa wewetjan, sanadjan sing metek doctor oetawa meester in de petek, ora preloe digoegoe.” Ajakan terpenting dari ujung percakapan mereka adalah hidup dijalani dengan bekerja keras agar nasib tak sengsara dan pudar makna.


Nasihat Gareng tak manjur. Orang-orang Indonesia tetap saja serius menikmati rubrik-rubrik ramalan perbintangan di pelbagai koran dan majalah. Pada masa 1950-an dan 1960-an, astrologi dan horoskop menjadi masalah genting. Orang-orang ingin peruntungan berdasarkan ramalan tanpa mau berpikir dan bekerja keras. Hidup tergantung gerak bintang dan penjelasan peramal. Situasi itu membuat pelbagai institusi prihatin. Di majalah Mekar Sari edisi 10 September 1965, pembaca menemukan pengumuman kecil dari Kejakasaan Tinggi Jakarta dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Mereka memberi anjuran agar redaksi pelbagai terbitan surat kabar dan majalah tak lagi memuat rubrik astrologi atau horoskop.


Dalih pembuatan anjuran di masa politik sedang panas dan revolusi mau guncang: “Kaputusan mau digawe saka tetimbangan, manawa perusahaan penerbitan, surat kabar apadene madjalah lan sakpiturute ora ngemungna dadi piranti kanggo golek kauntungan materiil, nanging dadi piranti revolusi lan pendidikan kang ampuh, lan pengemote astrologi, horoscope, bintang meramal, lan sakpiturute pranjata ora mudjudake pendidikan kang prajoga, nanging malah ngengurangi militansi sadjorining perdjoangan, djalaran bisa mblenggu djiwa lan rasio kang gawe nglokroning ketahanan revolusi, luwih-luwih ing babagan mental.” Konon, seruan itu sesuai dengan ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno mengenai pemberantasan klenik. Kemunculan anjuran atau seruan itu puluhan hari menjelang malapetaka 1965. Urusan astrologi perlahan “menghilang” dari uraian politis atau gerakan sosial-kultural. Koran dan majalah tetap memiliki halaman-halaman menggoda penasaran bagi pembaca. Halaman astrologi atau horoskop belum punah.


Indonesia sedang ribut. Pers ramai memberitakan politik ketimbang tetap mengikuti anjuran Kejaksaan Tinggi Jakarta dan PWI. Berita agak mengejutkan muncul dua tahun setelah anjuran pada 1965. Kita simak berita kecil di majalah Pedoman Masjarakat edisi Januari 1967: “... ada surat kabar jang telah memuat kembali horoscope atau ramalan perbintangan.” Kenekatan atau tak lagi mematuhi seruan dianggap bakal menimbulkan petaka. Redaksi menulis: “... ramalan perbintangan akan merusak perkembangan dan kepribadian anak, jang sedikit banjaknja terpengaruh oleh ramalan demikian. Redaksi majalah berhaluan Islam itu memastikan ramalan perbintangan bertentangan dengan Islam dan membuat ilmu klenik merajalela di Indonesia. Di sela orang-orang ribut masalah PKI dan Soeharto, astrologi dan horoskop diusahakan tak dilupakan sebagai masalah genting bagi rasionalitas dan sikap beragama di Indonesia, mengacu ke sajian di pers.


Tahun demi tahun berlalu, ramalan perbintangan malah laris dalam terbitan koran dan majalah. Rubrik itu memiliki peminat. Di majalah remaja, ramalan perbintangan sampai pada taraf keranjingan. Gairah membaca rubrik di majalah biasa diperbincangkan saat mereka berkumpul di sekolah atau rumah. Ramalan tentang asmara, uang, dan nasib baik menjadi tema “terpenting” dalam pergaulan meski mereka berpendidikan modern. Mereka tentu tak mau “terbelenggu” pelbagai usulan dan argumentasi lawas termuat di Kadjawen, Mekar Sari, dan Pedoman Masjarakat. Hidup pada masa Orde Baru tak memuat larangan bagi orang-orang menuruti kalimat-kalimat di ramalan bintang. Mereka tetap tekun mengikuti, tak dianggap mengganggu agenda pembangunan nasional. Pengakuan atas makna pada zodiak-zodiak tak menjadikan remaja melawan rezim Orde Baru.


Pada abad XXI, zodiak pernah dijadikan dalih mengadakan acara sastra mentereng di Komunitas Salihara (Jakarta) dan memunculkan program penulisan cerita untuk terbit sebagai buku. Penggerak acara bercap sastra itu Ayu Utami, pengarang novel laris berjudul Saman. Seri sastra menurut zodiak pun terbit, tersaji ke pembaca dalam kemasan apik dan isi menggoda. Di buku berjudul Kisah Orang-orang Corpicorn (2013), Ayu Utami menjelaskan: “Sang kambing gunung selalu ingin mendaki ke puncak. Kakinya menjejak tanah, tapi matanya membidik ke titik paling tinggi. artinya, ia ingin menjadi yang paling hebat, dan ia akan mewujudkan ambisinya dengan langkah-langkah yang tetap dan menapak. Kambing gunung tenang dan tahu, tak perlu menjadi elang untuk ke pucuk-pucuk gunung.” Garapan sastra berdasarkan zodiak seperti usaha “menjawab” pelbagai tuduhan pada masa lalu. Para pembaca mungkin ingat buku itu ketimbang kliping dari majalah-majalah lama. Begitu.


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut

140 tampilan
bottom of page