"Pemujaan" Beras
top of page
Cari

"Pemujaan" Beras

INGAT beras, ingat Soeharto. Buku sejarah sering memberi halaman untuk kesaktian Soeharto mengurusi beras di lakon besar berjudul swasembada (pangan) beras (1984). Lembaran sejarah jarang mendapat tambahan untuk membaca lagi masalah beras di masa pemerintahan Soekarno dan kerumitan beras setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Beras masih masalah terbesar, masalah tak pernah mampu dijawab secara bermutu oleh para presiden di Indonesia.


Beras masih masalah terbesar, masalah tak pernah mampu dijawab secara bermutu oleh para presiden di Indonesia.

Kita mundur dulu ke masa lalu. Buku berjudul Rentjana 3 Tahun Produksi Beras (1960) susunan Departemen Pertanian terbuka bagi pemikir dan pelamun beras. Buku dengan sampul bergambar padi menguning. Padi itu menunduk. Buku tak lagi terbaca. Kita menduga buku sudah tersingkir dari perpustakaan-perpustakaan. Buku jarang terkutip di buku-buku ilmiah atau artikel-artikel ingin melulu mengurusi politik-beras di Indonesia, dari masa ke masa.


Keterangan penting: “Sesudah Perang Dunia ke-II selesai, terdapat gedjala-gedjala jang menundjukkan adanja perkisaran dalam pemakaian bahan-bahan makanan setjara intensif dari jang selama ini biasa dipakai oleh golongan-golongan penduduk jang tertentu kearah konsumsi beras. Faktor-faktor jang menjebabkan perkisaran ini dapat disebutkan sebagai berikut: (1) meningkatnja djumlah penduduk dikota-kota, (2) meningkatnja djumlah golongan fungsionil, (3) kenaikan taraf pendapatan dan pendidikan, (4) adanja pertukaran penduduk jang intensif dari desa ke kota dan sebaliknja.” Semua itu membenarkan kebutuhan beras semakin naik. Pemerintah sulit memenuhi meski memiliki kebijakan-kebijakan besar. Jurus terakhir adalah “mempertinggi tingkatan produksi beras setjepat mungkin.” Kita belum lupa bahwa masa 1960-an malah seru gara-gara congkrah politik ketimbang memikirkan pertanian. Pada geger atau malapetaka, kaum petani pun ada di kerumitan sejarah berdarah. Pemenuhan kebutuhan beras semakin mustahil.


Kita belum lupa bahwa masa 1960-an malah seru gara-gara congkrah politik ketimbang memikirkan pertanian. Pada geger atau malapetaka, kaum petani pun ada di kerumitan sejarah berdarah. Pemenuhan kebutuhan beras semakin mustahil.

Zaman kemustahilan itu menambahi beban berat pangan di Indonesia. Pada masa 1970-an dan 1980-an, Soeharto (telanjur) bersumpah ingin menjadikan Indonesia bergelimang beras. Jumlah pemakan nasi semakin bertambah melalui perintah-perintah politik: mengakibatkan peremehan dan ketersingkiran beragam jenis makanan pokok di pelbagai tempat. Soeharto keterlaluan berpikir beras. Konon, kerja kolosal itu terbukti. Di luar pengumuman pihak pemerintah dan penghargaan internasional, kita justru mendapat tumpukan masalah pangan semakin tinggi. Seruan hidup bergantung beras memberi petaka-petaka sulit disembuhkan. Penguasa memaksa Indonesia itu beras.


Kita bergerak jauh meninggalkan masa 1960-an dan 1980-an. Bacalah Media Indonesia, 14 Januari 2020! Pengumuman dari Kementerian Pertanian dijuduli “Orientasi Ekspor Beras, Kementan Bangun Kostraling.” Publik mesem membaca ambisi kebangetan: “Pemasaran beras berorientasi ekspor menjadi prioritas program Kementerian Pertanian (Kementan). Pada tahun ini, Kementan menargetkan ekspor beras sebanyak 500 ribu ton.” Kita membaca pengumuman di awal tahun. Bersabarlah menunggu ratusan hari. Di akhir tahun, kita berharap ada pengumuman penuh pujian bahwa Indonesia berhasil mengekspor beras 500 ribu ton. Kita menolak pengumuman berisi keluhan, tanda seru, tebar kesalahan, dan permintaan maaf. Ingatan paling seru di awal tahun: Indonesia bakal mengekspor beras. Doa boleh diberikan. Ragu boleh disetorkan ke pemerintah.

Kita tinggalkan mimpi pemerintah. Kita memberi tatapan ke berita tak terlalu penting untuk disodorkan ke para pejabat mengurusi pertanian. Berita terdapat dalam Tempo, 4 November 2018. Lihatlah, foto lelaki mengenakan kaus hitam tak berlengan! Di pundak, ada sekarung beras. Di belakang, tatanan beras dalam kemasan plastik di tangga. Lelaki itu kondang. Kaum musik mengenali ia bernama Marzuki Mohamad atau Juki. Ingatlah kita pada Kill the DJ. Juki dan beras? Ia tak sedang mengerjakan album mengenai beras.


Oh, Juki dan warga bakulan beras. Mereka mendirikan UD Anarkisari di Prambanan. Mereka membeli gabah dari para petani di sekian desa dengan harga melebihi patokan penebas atau tengkulak. Nah, para pemuda di UD Anarkisari mengelola secara girang untuk dijual ke publik. Keseharian mereka belum berpikiran ekspor-impor. Mereka bukan menunaikan misi atas nama pemerintah. Kerja bareng ingin memuliakan petani dan menawarkan beras bermutu ke konsumen. Penjelasan dari Juki penting dipahami meski tak setaraf penjelasan menteri atau para pejabat: “Anarki di Indonesia berkonotasi pada tindakan barbar. Padahal anarki berarti perjuangan keadilan yang berprinsip welas asih.” Ia mengucap dengan terang. Pengertian pun jadi terang. Mereka pantas menamai ikhtiar itu UD Anarkisari. Pelanggan dan pengabar kerja mereka adalah Dian Satrowardoyo dan Nicholas Saputra melalui aku Instagram. Berita pernah terbaca. Kita boleh menjadikan itu kliping bersanding pengumuman-pengumuman pemerintah disajikan di koran dan majalah.


Kliping jangan selalu bertema beras. Kini, kita masih senewen mengurusi beras dan kelabakan memikirkan keragaman pangan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan masa lalu telah merusak dan menghinakan. Keinsafan orang-orang di Indonesia memiliki makanan pokok beragam telah dikalahkan oleh beras. Kita telanjur berpikiran basi: Kementerian Pertanian adalah kementerian mengurusi beras sebagai masalah terpokok. Kita wajib memberi ruang berpikir untuk beragam jenis pangan. Berpikir mengakibatkan sedih, marah, murung, ngambek, atau linglung.


Kita telanjur berpikiran basi: Kementerian Pertanian adalah kementerian mengurusi beras sebagai masalah terpokok.

Pada akhir 2019, kita disuguhi buku berjudul Sagu Papua untuk Dunia susunan Ahmad Arif. Buku dalam “Seri Pangan Nusantara” terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Kutipan sangar dari Soekarno (1952) ditaruh di halaman awal: “Pangan merupakan soal mati-hidupnja suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakjat tidak dipenuhi maka malapetaka. Oleh karena itu, perlu usaha setjara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.” Kita tergugah tapi bingung saat menilik album sejarah dan perkembangan pangan di Indonesia sering seribu masalah ketimbang warta gembira.


Buku membuat kita “menangis”. Kelaparan dan kurang gizi masih melanda Papua. Pangan jadi masalah terpokok. Kita tak mutlak berpikiran sagu tapi kebingungan memaknai beras. Ahmad Arif menulis: “Perubahan pola konsumsi masyarakat asli Papua dari sagu ke beras sebenarnya tidak hanya terjadi di Kota Sorong atau kota-kota besar lain seperti Jayapura dan Merauke. Perubahan pola makan bahkan terjadi hingga di pelosok desa. Para pengonsumsi sagu saat ini rata-rata merupakan generasi terakhir karena anak cucu mereka kebanyakan telah beralih ke beras.” Sejak ribuan tahun lalu, beras tak wajib menjadi makanan pokok bagi penduduk di ribuan pulau. Pendirian negara dengan para presiden di masa lalu mulai menjadi beras tema terbesar berdalih kekuasaan dan kemakmuran. Gagasan politik dan duit berlimpahan menjadikan beras itu “mematuhkan” mulut dan perut ratusan juta orang di seantero politik untuk makan sesuai seruan pemerintah dan memiliki ketergantungan sering fatal. “Pemujaan” beras mengubah sejarah: mencipta angan kemakmuran dan malapetaka. Begitu.




Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut

133 tampilan
bottom of page