Pancasila: Masalah dan Sekolah
top of page
Cari

Pancasila: Masalah dan Sekolah


Bandung Mawardi

SEJAK sekian hari lalu, keriuhan pendapat dan argumentasi gara-gara haluan ideologi Pancasila. Para politikus, pengamat politik, ulama, dan intelektual suguhkan kata-kata mengandung debat bagi orang-orang mau bernalar. Di rumah, kita tak ingin terlalu turut ribut dengan orang-orang mengaku memikirkan RUU HIP. Peristiwa-peristiwa selama 3 bulan di rumah dan pemaknaan bersama keluarga agak mengurangi kesemberonoan atau reaksioner atas masalah-masalah malah selalu politis meski bermula dari maksud-maksud “luhur”. Pancasila dalam keributan lagi. Di rumah, kita “ditulari” ribut itu di hadapan televisi. Halaman-halaman koran pun memuat artikel dan berita saat terbaca di rumah.


Berita baru datang lagi tetap memasalahkan Pancasila. Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah memberlakukan kembali pelajaran Pancasila di semua tingkat pendidikan karena pentingnya mata pelajaran Pancasila bagi generasi muda. Bamsoet mengakui, sejak era reformasi, pelajaran pendalaman tentang Pancasila tidak dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. Hal ini berbeda saat Orde Baru berkuasa, pemerintah Soeharto kala itu mewajibkan penataran P-4 (Media Indonesia, 28 Juni 2020). Ketua MPR berhak memberi pendapat tapi masalah membandingkan Pancasila di masa kekuasaan berbeda itu mengesankan klise.


Kita malah sempat mendapat berita “Rencana Gabungkan Pendidikan Agama dan Pancasila Diprotes” di Jawa Pos, 19 Juni 2020, menguak masalah Pancasila, agama, dan mata pelajaran di sekolah. Kita belum ingin mengurusi berita dengan mata-politik. Ada perkara serius, sambungan dari ruwet sejak puluhan tahun lalu: agama dan Pancasila. Kita mengutip berita tapi lekas mendapat penjelasan atau koreksi dari pemerintah: “Penggabungan mata pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti dengan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan sempat menjadi bahan diskusi di internal Kemendikbud. Namun, belum menjadi keputusan, rencana itu sudah banjir penolakan.” Konon, orang-orang penting sedang berdiskusi serius untuk rencana kurikulum baru. Di situ, ada pikiran-pikiran tentang perubahan mata pelajaran.


Situasi dan pemikiran orang-orang di jagat pendidikan mutakhir memastikan Indonesia melanjutkan sejarah panjang “dikutuk” mata pelajaran. Sejak pendirian sekolah-sekolah modern di tanah jajahan sampai Indonesia melakoni revolusi dan pembangunan nasional, penentuan mata pelajaran itu “kutukan”. Kisruh politik, debat intelektual, reaksi tokoh agama, dan industri perbukuan jarang “berdamai” bila beruruan pembuatan mata pelajaran. Konon, sekian mata pelajarang itu memajukan Indonesia. Di luar misi terbesar, mata pelajaran sering mendapat curiga dan menghasilkan kecewa-kecewa.


Kisruh politik, debat intelektual, reaksi tokoh agama, dan industri perbukuan jarang “berdamai” bila beruruan pembuatan mata pelajaran.

Pada abad XXI, sejarah debat ruwet itu berlanjut. Kita sudah mulai mendapat berita-berita mengenai mata pelajaran berpokok agama dan Pancasila. Kita menilik masa lalu. Keributan pernah berlangsung pada masa Orde Baru saat orang-orang berpikir agama dan Pancasila di alur pembangunan nasional. Di majalah Panji Masyarakat, Nomor 351, 1992, memuat berita utama: “Presiden, Tinjau Kembali Buku PMP!” Majalah dengan gambar bocah-bocah bertengkar, kaum remaja mabuk, hura-hura, dan lain-lain. Indonesia diguncang masalah-masalah iman, moral, nasionalisme, kepribadian, akhlak, keilmuan, dan lain-lain. Mata pelajaran dituduh sebagai sumber atau momok untuk sekian dampai terakui baik dan dampak-dampak terbukti buruk.


Presiden Soeharto mengundang Tim P-4, BP-7, Departemen Agama, dan Departemen P dan K memikirkan ulang buku pelajaran PMP. Rapat penting setelah bermunculan protes-protes dari pelbagai kalangan mengarah ke materi-materi di buku PMP masa 1980-an. Menteri Agama Alamsjah Prawiranegara mengatakan: “Moral Pancasila tidak anti agama, tetapi menghormati dan mengagungkan agama”. Penjelasan disampaikan menanggapi riset atas buku PMP “mendorong kecenderungan orang untuk tidak beragama”. Soeharto diberitakan mengerti perasaan umat Islam. Ia pun memberi instruksi agar ada revisi buku pelajaran PMP. Kita mengingat lagi, PMP itu mata pelajaran jarang sepi dalam perdebatan berkaitan pendidikan, agama, dan politik di Indonesia, dari masa ke masa.


Ingatan-ingatan itu memerlukan buku-buku lama pernah diajarkan di sekolah-sekolah. Di Bilik Literasi (Solo), tersimpan puluhan buku pelajaran PMP. Buku-buku itu sumber perdebatan. Kini, kita membaca buku lawas lagi saat orang-orang berdebat kurikulum, pelajaran agama, pelajaran Pancasila, dan lain-lain. Pembuatan PMP itu serius, melibatkan pelbagai kementerian. Di buku PMP SD Kelas 1 terbitan Departemen P dan K, Daoed Joesoef (1980) menjelaskan: “Penyusunan buku Pendidikan Moral Pancasila ini didasarkan atas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No II/MPR/1978 serta Silabus Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975”.

Buku disusun melalui diskusi dan persetujuan melibatkan dosen, guru, editor, sebelum disampaikan kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Penerangan, Ketua Penasihat Presiden dalam Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Ketua Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasula untuk mendapatkan tanggapan-tanggapan. Rute belum selesai. Rencana buku pelajaran diteliti oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengarah. Tahap akhir adalah masalah kesempurnaan bahasa dengan melibatkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kita mengandaikan PMP itu mata pelajaran “terpenting” bagi tata kekuasaan dan pemenuhan ambisi-ambisi pembangunan nasional atas instruksi-instruksi Soeharto. Pada masa berbeda, orang-orang lumrah menuduh Soeharto sengaja “mengampuhkan” PMP demi keagungan Orde Baru. Tujuan terbesar PMP di sekolah-sekolah: “membentuk insan pembangunan yang ber-Pancasila.”


Kita mengandaikan PMP itu mata pelajaran “terpenting” bagi tata kekuasaan dan pemenuhan ambisi-ambisi pembangunan nasional atas instruksi-instruksi Soeharto. Pada masa berbeda, orang-orang lumrah menuduh Soeharto sengaja “mengampuhkan” PMP demi keagungan Orde Baru.

Murid-murid di SD mungkin terlalu berat belajar PMP. Mereka wajib belajar dengan kepatuhan, rajin, dan bernilai baik. PMP itu “wajib” bila ingin menjadi manusia diharapkan oleh rezim Orde Baru. Di buku PMP SD Kelas 3, terbitan Departemen P dan K, 1990, kita membaca kalimat-kalimat sakti ingin terpahami murid-murid di seantero Indonesia: “Ketetapan MPR Nomor 11/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara telah menggariskan bahwa Pendidikan Nasional berlandaskan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat jasmani dan rohani”. Tuntutan-tuntutan dijelaskan melalui mata pelajaran dan pemberian nilai.

Materi-materi serius diajarkan ke murid-murid kelas 5. Kita mungkin kaget bila membaca ulang buku lawas berjudul PMP SD Kelas 5 dengan sampul berwarna biru: ada gambar Garuda Pancasila dan peta Indonesia. Kita kutipkan bab-bab wajib dipelajari murid: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebebasan Beragama, Aku dan Keluargaku, Kita Hidup Menurut Pancasila, Perjuangan Kemerdekaan Kita, Kebudayaan Kita, Kita Wajib Mematuhi Peraturan, Bagaimanakah Bentuk dan Pemerintahan Negara Kita, Kecelakaan Lalu Lintas, Ekonomi Kita, dan Masyarakat Giat Menabung”. Di sekolah, murid belajar PMP dan belajar sekian mata pelajaran. Di tatapan mata penguasa, murid diwajibkan menjadi insan ber-Pancasila. Murid tak boleh menggugat, malas, dan bodoh. Pelajaran terberat diterima murid kelas 6. Murid-murid mulai diajarkan pemilu, demokrasi Pancasila, pembangunan nasional, dan lain-lain.


Pada masa Orde Baru, PMP itu mata pelajaran “terampuh” bila ingin menjadi manusia sesuai dalam kaidah-kaidah dibuat pemerintah. Masa lalu, kita mengingat murid-murid suntuk belajar PMP. Pada masa berbeda, keruntuhan rezim Orde Baru sempat memunculkan usulan-usulan meniadakan PMP, mengganti PMP, atau melanjutkan dengan nama mata pelajaran berbeda. Tahun-tahun berlalu, kita masih saja bermasalah dengan pelajaran Pancasila di sekolah-sekolah. Pada 2020, wabah belum punah tapi kita malah diajak ruwet lagi oleh pelajaran-pelajaran di sekolah berkaitan kurikulum dan Pancasila.


Kita mungkin kangen membaca pidato atau tulisan-tulisan Soekarno masa lalu, sebelum Pancasila sebagai pelajaran di sekolah belum rampung bermasalah. Dulu, Pancasila dipelajari dalam kursus-kursus, sebelum resmi menjadi mata pelajaran. Soekarno menjadi pengajar dalam kursus-kursus diadakan di Istana Negara, 1958. Kita menemukan uraian-uraian memikat tentang Pancasila dengan beragam referensi, memicu pemikiran dan penasaran atau melampaui mata pelajaran. Kita membaca melalu buku berjudul Pancasila Sebagai Dasar Negara (1986). Pada masa 1950-an, Pancasila pun disampaikan dalam seminar-seminar dengan peserta dewasa, sebelum dijadikan pelajaran untuk dipahami bocah-bocah dan kaum remaja di seantero Indonesia. Begitu.


_________



Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut

103 tampilan
bottom of page