top of page
Cari
Majalah Basis

Pancasila dan Rekor

Pada masa 1950-an, ikhtiar mengajarkan Pancasila ke publik dilakukan dengan mengadakan kursus. Soekarno turut menjadi pembicara dalam kursus-kursus. Pancasila juga disampaikan melalui seminar-seminar. Penulisan buku-buku bertema Pancasila gencar dilakukan pada masa 1950-an. Para intelektual, seniman, sastrawan, pendidik, dan pejabat menulis buku-buku ingin mengajarkan Pancasila.


Pada masa berbeda, Pancasila itu dijalankan kolosal dalam bentuk penataran. Acara itu “perintah” dan “wajib” membuat orang-orang sulit tulus atau mengerti secara terang tentang Pancasila. Di sekolah-sekolah, kita mengingat kebijakan mengenalkan dan mengajarkan Pancasila melalui pelajaran bernama PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Pelajaran itu dimaksudkan menguatkan pengertian Pancasila sudah rutin dibacakan setiap upacara hari Senin atau hari-hari besar nasional. Kita mencatat ada sekian cara dalam melanggengkan dan memberi tafsir atas Pancasila, dari masa ke masa. Saran, kritik, anjuran, dan protes terjadi di pilihan cara mengajarkan Pancasila. Pada masa Orde Baru, keluhan atas kebijakan-kebijakan pemerintah berkaitan Pancasila sering mengakibatkan ganjaran pemecatan, penjara, atau pengecapan sebagai “kiri”.


Kita sengaja mengingat daftar cara pengajaran Pancasila gara-gara ada acara heboh di Boyolali, Jawa Tengah, 25 Agustus 2019. Kita tertegun dan merenung sejenak untuk mengerti Pancasila. Di Alun-Alun Kidul, Boyolali, para pejabat sedang mengadakan acara pemecahan rekor. Ribuan warga turut datang demi kesuksesan acara. Semula panitia merencanakan pemecahan rekor pembacaan teks Pancasila dengan peserta 25.000 orang. Jumlah itu bertambah. Pada hari pelaksanaan, tercatat ada 37.449 orang. Nah, mereka serentak membaca teks Pancasila dipimpin oleh Wakil Bupati Boyolali, M Said Hidayat (Jawa Pos-Radar Solo, 26 Agustus 2019)


Acara mengejutkan bagi kaum peragu. Ribuan orang bermaksud tulus belajar Pancasila atau memenuhi pamrih pemecahan rekor? Kita diharapkan memberi pujian dulu. Acara dalam suasana Agustusan. Misi utama tentu memuliakan dan mengerti Pancasila. Ikhtiar mewujud dengan membaca teks Pancasila atau menirukan pembacaan teks Pancasila. Kita mengimajinasikan tempat itu meriah. Pada saat ribuan orang mengucap sila-sila secara berurutan bakal terdengar keras dan jelas. Pagi cerah membuat Pancasila teringat sejenak meski orang-orang belum tentu membekali diri dengan bacaan untuk sampai ke sejarah terjauh, sejak Soekarno di pengasingan sampai pidato bersejarah, 1 Juni 1945. Kita menduga bekal orang-orang adalah gawai untuk berpotret, botol berisi air, makanan, dan lain-lain.


Pembacaan teks Pancasila itu rekor? Kita agak bingung dengan acara-acara pada abad XXI. Segala hal bisa dijadikan dalih pemecahan rekor. Pemerintah kabupaten, dinas, sekolah, universitas, pabrik, komunitas, dan pelbagai pihak seperti sedang bersaing membuat dan mengoleksi rekor, dari tahun ke tahun. Sekian rekor sering membuat takjub dan prihatin. Peristiwa dengan kitab suci pernah berselera rekor. Makan saja jadi rekor. Menari pun rekor. Pada bulan Agustus, rekor sering dicapai berkaitan bendera merah-putih. Konon, pemecahan rekor demi peningkatan patriotisme. Kita mengingat puisi memecahkan rekor. Pembuatan buku sejarah jadi rekor. Duh, apa-apa selalu rekor! Kini, pembacaan teks Pancasila resmi meraih rekor. Piagam jadi bukti rekor. Kita bakal kerepotan membuat catatan pemecahan rekor sudah terjadi selama setahun.


Rekor-rekor diberitakan dan disebar di media sosial minta pujian, tepuk tangan, dan doa.

Kita masih meragu kepantasan raihan atau pemecahan rekor berkaitan Pancasila. Kita berharap para pendahulu tak pernah berpikiran rekor dalam mengajarkan Pancasila melalui pelbagai cara. Soekarno tentu tak perlu piagam rekor. Notonagoro, Drijarkara, Ki Hadjar Dewantara, atau Yudi Latif mungkin sungkan jika diberi piagam rekor berkaitan Pancasila. Mereka rajin menulis artikel dan buku mengenai Pancasila. Kita jangan menganggap terlambat bahwa dulu ada puluhan juta orang belajar PMP harus tercatat dalam pemecahan rekor. Duh, peragu atau pemberi protes pemecahan rekor pembacaan teks Pancasila anggaplah orang sulit mengerti “zaman rekor”. Kini, kabupaten atau kota tak memiliki acara pemecahan rekor bakal malu.


Pemecahan rekor itu berdampak sesaat atau berkepanjangan? Ah, kita hentikan saja masalah Pancasila dan rekor. Kita kangen belajar (lagi) pidato Soekarno, 1 Juni 1945. Radjiman Wediodiningrat dalam pengantar penerbitan buku Lahirnja Pantja Sila (1947) mengingatkan: “Lahirnja Pantja Sila ini adalah buah stenografisch verslag dari pidato Bung Karno jang diutjapkan dengan tidak tertulis dahulu (voor de vuist) dalam sidang jang pertama pada tanggal 1 Djuni 1945 ketika sidang membitjarakan ‘Dasar (Beginsel) Negara Kita’, sebagai pendjelmaan daripada angan-angannja. Sudah barang tentu kalimat-kalimat sesuatu pidato jang tidak tertulis dahulu, kurang sempurna tersusunnja. Tetapi jang penting ialah isinja!” Pidato memang bersejarah, belum perlu mendapat piagam rekor.


Kita mengutip pidato Soekarno, pidato menggebu dan mencerahkan: “Saudara-saudara! Dasar-dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarkan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apalagi yang lima bilangannya? Pandawa lima pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asa atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”


Di petikan pidato itu kita tak menemukan ada diksi rekor atau kemauan memecahkan rekor. Dulu, urusan pamer pemecahan rekor belum ada. Kita cuma membaca di buku ada keterangan dalam tanda kurung (tepuk tangan riuh). Pidato Soekarno mendapat tepuk tangan itu lumrah. Sejak pidato dan tepuk tangan, para pemikir dan pemimpin Indonesia mulai mengajarkan Pancasila dengan pelbagai cara terwariskan ke kita tapi belum ada niat pemecahan rekor. Begitu.


Bandung Mawardi,

Kuncen Bilik Literasi

FB: Kabut

69 tampilan

Comments