Padi dan "Puisi"
SEKIAN hari lalu, ada acara dinamakan Tani Day. Menteri hadir di situ dan memberi pengumuman-pengumuman besar mengenai impian pertanian atau pangan di Indonesia. Penamaan terasa aneh. Para petani di Indonesia dituduh terbiasa berbahasa Inggris saat bekerja di sawah atau berkumpul di balai desa. Penamaan itu menginginkan ada “peninggian” martabat atau tema pertanian-petani di abad XXI. Sejak 2014, kita mulai memiliki daftar program di kementerian pertanian atau institusi-institusi berpokok pertanian sering menggunakan istilah-istilah asing alias berbahasa Inggris. Peristiwa-peristiwa pertanian bakal memiliki sangkaan baru atas pelbagai maksud. Penggunaan bahasa Inggris belum mengubah “kodrat” pertanian atau nasib petani di album “perintah” para pejabat di kementerian.
Pertanian memang bukan melulu urusan menteri atau presiden. Di Indonesia, pertanian itu masalah rumit sering diobrolkan dan ditulis di surat kabar. Masalah semakin bertambah. Dugaan saja saat menilik masa lalu. Kita membuka buku berjudul Memoar Pangeran Achmad Aria Djajadinigrat (1936). Buku biografi memuat masalah pertanian di tanah jajahan pada awal abad XX. Achmad Djajadiningrat mengenang usaha kakek: “Kira-kira pada tahun 1860 kakekku Raden Adipati Aria Natadiningrat pada masa sebagai Bupati Padeglang telah membangun sistem irigasi… Para petani pribumi kemudian mengecap faedahnya berpuluh-puluh tahun lamanya.” Usaha pejabat lokal itu membuktikan lakon pertanian masa lalu belum memberi kepastian nasib. Situasi politik awal abad XX mendorong ada kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah kolonial Belanda. Achmad mencatat pembentukan Departement van Landbouw (Departemen Pertanian) pada 1905. Pada tahun berbeda, institusi itu berubah nama menjadi Departement van Landbouw, Nojverheid en Handel (Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan). Keberadaan institusi dan beragam kebijakan dipujikan oleh Achmad Djajadiningrat untuk mengetahui perubahan nasib petani di Banten.
Kita diingatkan pertanian menjadi urusan penting oleh pemerintah kolonial Belanda. Pementingan berlanjut saat Indonesia memiliki presiden dan para menteri. Kita memiliki sekian menteri pertanian, dari masa ke masa. Indonesia tetap terpahami negara agraris, negara dengan penduduk sebagai petani. Catatan itu berubah saat desa-desa cenderung “sial” dan orang-orang memilih membuat kota semakin besar dan “gemuk”. Pada abad XXI, menteri pertanian masih ada. Pada masa setelah Pilpres 2019, menteri pertanian itu menjadi incaran para elite partai politik. Konon, posisi sebagai menteri pertanian dimaknai “strategis”. Diksi itu aneh untuk dimengerti dalam pertanian dan politik.
Pada masa setelah Pilpres 2019, menteri pertanian itu menjadi incaran para elite partai politik. Konon, posisi sebagai menteri pertanian dimaknai “strategis”. Diksi itu aneh untuk dimengerti dalam pertanian dan politik.
Kita bisa capek mengikuti kegiatan-kegiatan di kementerian pertanian. Kita istirahat dari program-program besar, menengok ke desa-desa memiliki tokoh dan usaha pertanian sederhana. Di Jawa Pos-Radar Solo, 2 Februari 2020, terbaca berita cukup mengherankan. Paragraf ambisius: “Upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai lumbung padi terus dilakukan. Salah satunya dengan merombak sistem pertanian lama menjadi lebih modern.” Lama dan modern mengabadi dalam masalah raihan kemakmuran. Pertanian terbedakan lama dan modern, sejak awal abad XX. Pembedaan belum berbuah dengan kaidah-kaidah aktual. Kita seperti membaca roman absurd melebihi kelucuan novel berjudul Kering gubahan Iwan Simatupang. Camkanlah, Indonesia itu lumbung padi!
Kerja sederhana dilakukan oleh Budi Santoso di Jatisobo, Polokarto, Sukaharjo, Jawa Tengah. Ia menyemai bibit padi di nampan menggunakan ladu dari sungai. Penyemaian di nampan-nampan terbuat dari kayu. Keterangan: “Satu nampan ukuran 30 x 60 cm. Lima kilogram bibit seharga Rp 50 ribu, bisa menjadi 30 nampan. Cukup untuk lahan 1.200 meter persegi sampai 1.500 persegi.” Semula, nampan berisi ladu atau lumpur dari Kali Samin, bukan dari tanah sawah. Bibit padi 1,5 gelas air mineral ditaburkan di situ dan ditaburi abu sekam. Penjelasan Budi Santoso: “Tidak perlu pakai pupuk, cukup ladu Kali Samin saja. Saya pernah coba pakai pupuk, hasilnya terlalu hijau.” Keuntungan metode sederhana di nampan adalah “kuantitatif”. Apabila bibit disemai di sawah bakal mendapatkan musuh: burung dan keong. Dugaan: 5 kilogram benih cuma 70 persen bisa tumbuh. Jumlah 30 persen diserang hama. Di nampan, keberhasilan mencapai 99 persen. Konon, panen bakal lebih melimpah.
Apabila bibit disemai di sawah bakal mendapatkan musuh: burung dan keong. Dugaan: 5 kilogram benih cuma 70 persen bisa tumbuh. Jumlah 30 persen diserang hama. Di nampan, keberhasilan mencapai 99 persen. Konon, panen bakal lebih melimpah.
Budi Santoso belum sekondang Masanobu Fukuoka. Kita mengenali melalui buku berjudul Revolusi Sebatang Jerami (1991). Buku terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh YOI. Pilihan menerjemahkan biografi petani Jepang itu dipengaruhi kunjungan Mochtar Lubis ke rumah dan lahan pertanian milik Masanobu Fukuoka di Jepang. Deskripsi dan pengakuan Mochtar Lubis: “Rumah Fukuoka adalah rumah petani Jepang asli terbuat dari kayu, tidak besar tapi molek.” Petani itu pasti sederhana. Puluhan tahun, ia bertani dalam tabah dan kerja keras. Ia bukan petani terlalu bermimpi tapi nglakoni. Mochtar Lubis mengisahkan: “Dalam percakapan kami, saya mendapat kesan yang dalam, betapa Fukuoka penuh damai dalam dirinya dan dengan dunia sekelilingnya.” Ketenangan itu religiositas memancar di kerja-kerja pertanian. Ketenangan tanpa mesin dan segala hal berdatangan dari Barat berjanji muluk meningkatkan hasil atau mutu pertanian.
Dalil sulit terbantah dari Masanobu Fukuoka: “Saya yakin bahwa suatu revolusi dapat berawal dari satu ikat jerami ini. Dilihat sepintas, jerami padi ini mungkin tampak ringan dan tidak berarti. Hampir tidak seorang pun percaya bahwa jerami tersebut dapat memulai suatu revolusi. Tetapi saya telah menyadari bobot dan kekuatan jerami ini. Bagi saya, revolusi ini sangat nyata.” Puluhan tahun, ia bersama tanah dan tanaman. Janji suci bertani adalah mengurangi atau menghilangkan mesin merusak-mencemari, pupuk membikin sakit-menodai tanah, atau kesibukan-kesibukan berlebihan tak berarti. Ia bertani “alamiah”. Nasihat mirip seruan di filsafat: “Tujuan pokok bertani bukanlah menanam tanaman melainkan membudidayakan dan mengangkut harkat manusia.” Ah, pertanian malah melahirkan kalimat-kalimat filsafat dan perbuatan keseharian tanpa “mematuhi” sodoran mimpi-mimpi besar pemerintah.
Janji suci bertani adalah mengurangi atau menghilangkan mesin merusak-mencemari, pupuk membikin sakit-menodai tanah, atau kesibukan-kesibukan berlebihan tak berarti. Ia bertani “alamiah”.
Pengalaman petani unik asal Jepang itu mungkin terbaca segelintir orang. Para menteri pertanian mungkin pernah khatam dan mengutip dalam pidato-pidato atau percakapan? Kita bakal norak jika memaksa menteri membaca buku dan membuat resensi disampaikan ke para pegawai pemerintah dan kaum petani di seantero Indonesia. Buku itu mirip “puisi”, bukan “roman absurd” memiliki amanat menjadikan Indonesia adalah lumbung padi dengan pertanian (lebih) modern. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Kommentare