Omongan dan Buku
top of page
Cari

Omongan dan Buku

SEJAK puluhan tahun lalu, omongan menteri selalu penting. Kita menjadi pengutip omongan-omongan menteri, dari urusan sepele sampai gawat. Orang boleh menjadi pengumpul kutipan untuk mengerti pemikiran dan tindakan menteri jika resmi berdinas selama 5 tahun. Omongan menteri di bidang pendidikan sering terkenang dalam penentuan nasib Indonesia dan tanggapan publik. Sejak Ki Hadjar Dewantara sampai Nadiem Makarim, kita mengerti pelbagai kebijakan kementerian terasa di omongan, sebelum dokumen-dokumen resmi. Kita pun mengingat segala polemik bermula dari omongan Daoed Joesoef atau Fuad Hassan. Kita mengingat dua menteri itu pernah memeriahkan lakon pendidikan dengan omongan-omongan bergelimang pemikiran.


Sejak Ki Hadjar Dewantara sampai Nadiem Makarim, kita mengerti pelbagai kebijakan kementerian terasa di omongan, sebelum dokumen-dokumen resmi. Kita pun mengingat segala polemik bermula dari omongan Daoed Joesoef atau Fuad Hassan.

Kini, kita mengutip omongan Nadiem Makarim di hari-hari terakhir 2019. Pada 23 Desember 2019, Nadiem Makarim mengatakan: “Selama ini, kita suka mementingkan anak itu harus baca apa, anak umur ini harus baca ini dan itu. Padahal, paradigma yang paling penting adalah bagaimana cara agar anak itu mencintai membaca” (Republika, 24 Desember 20`9). Ia berkata tentang membaca tanpa berhasil mengucap “buku”. Membaca itu peristiwa. Buku itu benda. Menteri itu menjelaskan bahwa perkara terpenting adalah “kegemaran anak membaca, bukan apa yang dibaca". Anak suka membaca komik tak usah dilarang dengan dalih-dalih berat. Oh, kita diajak berpikir makna gemar dan buku. Perkataan terindah dari menteri pantas dikutip berkaitan membaca: “mencintai proses membalikkan halaman.” Kita lekas mengetahui itu adegan bocah memegang buku dan membalik halaman-halaman kertas, bukan sesuatu di gawai. Konon, pemerintah dan penggerak pustaka sedang menggoda bocah-bocah untuk membaca buku-buku edisi digital di gawai.


Oh, kita diajak berpikir makna gemar dan buku. Perkataan terindah dari menteri pantas dikutip berkaitan membaca: “mencintai proses membalikkan halaman".

Kita bandingkan omongan menteri berlatar abad XXI dengan omongan Soeharto saat berkuasa di masa lalu. Beliau mengajak orang tua menjadikan buku sebagai “sahabat keluarga”. Omongan bijak dan memastikan misi keaksaraan rezim Orde Baru. Pada 1995, Soeharto rajin mengajukan tema buku ke publik. Puncak dari omongan-omongan adalah penetapan Mei sebagai Bulan Buku Nasional (Gatra, 13 Mei 1995). Kebijakan itu tercatat dalam buku besar sejarah Indonesia, terlupa setelah rezim Orde Baru runtuh, 1998. Soeharto pun mengingatkan bahwa “buku sama penting dengan posisi guru”. Kita boleh bingung mengartikan buku itu “sahabat” dan “guru”. Kebijakan itu menginginkan industri buku di Indonesia meningkat demi pembentukan keluarga dan masyarakat belajar secara berkelanjutan. Tahun demi tahun berlalu, omongan dan kebijakan itu turut berlalu tanpa bukti-bukti bermutu.


Kita perlu mengutip pula omongan menteri saat Bulan Buku Nasional diresmikan Soeharto. Menteri di masa itu bernama Wardiman Djojonegoro. Buku itu tema penting di kementerian. Pak Menteri mengatakan: “Juga mendorong masyarakat memberi kado berupa buku. Misalnya dalam undangan perkawinan ditulis ‘tanpa mengurangi penghargaan mohon jangan dikirim cendera mata kecuali buku’”. Usulan itu memiliki alur panjang. Lelaki dan perempuan resmi menjadi suami-istri memulai hidup bersama dengan buku-buku. Mereka memiliki momongan pasti mengasuh dengan buku-buku. Bocah bakal mengerti dan menggandrungi buku tanpa perintah-perintah atau menantikan seruan presiden dan menteri. Pemberian kado buku itu penting.


Masalah buku dan anak pernah rumit di masa 1950-an dan 1960-an, episode awal sebelum kebijakan para menteri di masa Orde Baru dan omongan Nadiem Makarim. Di buku dokumentasi berjudul Batjaan Anak-Anak: Pandangan Beberapa Achli (1966) susunan Organisasi Pengarang Indonesia, kita menemukan sekian pendapat mengenai buku anak dan peristiwa membaca bagi anak. Kita mengutip pendapat dari tulisan Bahaoeddin: “… tidaklah mengherankan bagaimana larisnja buku-buku komik jang didjual ditoko-toko buku. Hanja sajang isinja (tjerita-tjerita dan peristiwa-peristiwa) umumnja tidak dapat dipertanggungdjawabkan. Bahkan banjak diantaranja jang dapat merusak djiwa anak-anak ketjil, sehingga banjak orang tua dan para pendidik jang berteriak-teriak memperotesnja. Tjara jang baik bukanlah memberantas buku-buku komik, akan tetapi memberi petundjuk dan memimpin tjara memilih bahan jang akan dikomikkan.” Sejak lama, komik sudah ditetapkan jadi musuh atau momok!


Di Indonesia, penerbitan komik terus bertambah-berlimpahan. Permusuhan kaum moralis dan komik semakin seru. Kita mengingat persaingan komik pun sengit. Komik Indonesia pernah tenar meski lekas keok oleh komik-komik asal Amerika Serikat dan Jepang. Nah, Nadiem Makarim tak mengulang ketakutan masa lalu. Ia memberi hak pada anak-anak Indonesia membaca komik meski tak ada keterangan komik cap Indonesia, Amerika Serikat, Eropa, Jepang, atau Korea Selatan. Kita berharap ada orang-orang menerjemahkan omongan Nadiem Makarim dengan menggerakkan pembuatan dan penerbitan komik di Indonesia. Anggaplah itu kerja keaksaraan sesuai dengan misi-misi besar pemerintah dan kodrat zaman.


Kita berharap ada orang-orang menerjemahkan omongan Nadiem Makarim dengan menggerakkan pembuatan dan penerbitan komik di Indonesia. Anggaplah itu kerja keaksaraan sesuai dengan misi-misi besar pemerintah dan kodrat zaman.

Sekian tahun pemerintah sudah mengadakan lomba penulisan buku anak. Konon, kebijakan itu memenuhi misi keaksaraan di seantero Indonesia. Buku-buku hasil lomba diterbitkan dan diedarkan ke segala penjuru. Kita menantikan 2020 mulai ada lomba komik diselenggarakan oleh kementerian dipimpin Nadiem Makarim. Kita bakal melihat keseruan dan menghimpun ribuan omongan dari publik untuk semakin mengerti kegandrungan anak membaca komik. Kita pun menginginkan membaca komik itu tetap beradegan membalikkan halaman kertas, belum menggeser tampilan bacaan dengan jari di gawai. Begitu.


Bandung Mawardi

kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

190 tampilan
bottom of page