Monumen Kefanaan
top of page
Cari

Monumen Kefanaan

PADA abad XXI, monumen masih diperlukan menandai sejarah atau menuruti nalar-imajinasi lama dengan cerita dan tema gampang terlupa. Monumen tegak tak memastikan segala misi dan argumentasi tegak, melewati tahun-tahun sulit diramalkan. Monumen itu diresmikan dengan pidato, tepuk tangan, lagu, tanda tangan, dan salaman. Berpotret di depan monumen keharusan di pembuatan sejarah ingin terlihat, belum tentu terwariskan ke anak dan cucu.


Pada hari-hari berganti, monumen diterpa sinar matahari dan dimandikan hujan. Debu-debu menempel di monumen. Pada suatu hari, monumen mungkin berlumut. Di Indonesia, orang-orang iseng membuat coretan kata atau gambar di monumen menggunakan cat dan spidol. Kita tak memiliki janji pemeliharaan atau perlindungan atas monumen-monumen telanjur diadakan di pelbagai kota dan desa. Jumlah monumen mengartikan kepemilikan sejarah semakin bertambah. Pendapat itu bisa keliru. Sejarah bukan cuma berdiam di monumen. Di tatapan mata, monumen itu fana. Pada hari tak terjanjikan, monumen bisa rubuh atau sengaja dihancurkan dengan pelbagai dalih. Monumen itu molek atau pikat sekejap.


Dulu, monumen melulu sejarah heroisme. Monumen untuk peristiwa berdarah di lakon menang-kalah. Monumen pun “mengabadikan” dan “mengultuskan” tokoh. Di Indonesia, monumen-monumen terlalu memihak ke tokoh-tokoh keraton, politik, dan militer. Di hadapan monumen, kita memiliki masa lalu penuh “perintah”. Sekian orang menganggap itu nasihat, petuah, atau ajaran. Pada monumen-monumen, upacara diselenggarakan menguatkan masa lalu masih mungkin mengandung “salah” dan “sesat”. Monumen pun anggaran. Kita tak usah bersedih melihat monumen itu perhitungan duit. Kita dianjurkan bertepuk tangan memiliki monumen-monumen, tak perlu bisikan curiga atau membuat gosip-gosip murahan.


Kita mengartikan akhir tahun dengan memberi sambutan monumen baru di Solo, Jawa Tengah. Monumen dikerjakan selama 50 hari. Hitungan waktu dan mutu mungkin tak selaras. Monumen tegak demi peringatan 30 tahun konvensi hak anak. Peresmian pada 20 November 2019. Monumen tak boleh berdiri tanpa kerumunan dan pidato-pidato. Upacara peresmian menjadikan monumen bermakna dan fana. Monumen baru dengan masalah lama. Peresmian dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmavati, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo, dan tokoh-tokoh penting. Cara peresmian wagu: para tokoh memotong untaian bunga melati dengan gunting. Di dekat monumen, mereka dan anak-anak menanam pohon (Solopos, 21 November 2019).


Monumen masih terlalu penting dan memerlukan upacara peresmian terasa seru. Goenawan Mohamad di Tempo, 16 November 2019, memberi kritik atas pamrih pendirian monumen-monumen di Indonesia. Semula, penguasa ingin menjadikan monumen itu sejarah perkasa tapi sering luput dalam memberi makna ke publik. Monumen dituduh “hasil kerja para pegawai yang cemas untuk membiarkan sejarah berlangsung dengan ribut dan bebas". Kritik untuk monumen penting dan bersejarah di Jakarta. Kemegahan monumen dan kata (teks) sering selisih makna dan sulit berkisah ke publik. Kritik itu tak harus datang ke Solo gara-gara memiliki monumen baru.


Monumen bertokoh anak, bukan memajang tokoh-tokoh penguasa, militer, artis, atau pengusaha.

Monumen dikerjakan tergesa. Konon, para pekerja harus lembur demi monumen tegak berdiri dan tampak elok. Monumen mengabarkan ketergesaan khas dalam pengisahan dan penjelasan di Indonesia. Di Monumen 30 Tahun Konvensi Hak Anak, kita melihat ada empat patung anak mengumumkan 4 hak dasar anak: hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan hak partisipasi. Penjelasan hak dengan monumen-patung mungkin memenuhi pula hak anak. Di pelbagai ruang, monumen-monumen sering bertokoh dewasa. Di Solo, monumen itu sengaja berada di taman di Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, untuk mengundang anak atau keluarga memberi tatapan. Monumen boleh dipandang sambil merenungi nasib anak-anak di abad XXI. Sulit merenung dan menggapai makna, orang-orang lekas menjadikan monumen adalah tempat berpotret. Makna sudah dicipta meski jepretan.


Sejak puluhan tahun lalu, orang-orang berdebat identitas di monumen atau cara “menanamkan” ideologi di patung atau relief. Konon, pembuatan monumen harus melalui pertimbangan serius: estetika, politik, ekologi, etika, dan lain-lain. Dana pasti patokan. Pada masa revolusi dan pembangunan, monumen-monumen menjadi juru bicara atas seruan dan perintah. Pemerintah menginginkan sejarah berupa peristiwa dan tokoh dimengerti publik sebagai pemicu merampungkan revolusi dan meraih kesuksesan pembangunan nasional. Monumen diajarkan di buku-buku pelajaran. Kunjungan ke monumen menjadi kebijakan sekolah-sekolah dinamai darma wisata atau piknik-sejarah. Murid-murid membawa buku tulis dan pensil mencatat segala hal di monumen. Mereka tak lupa berpotret. Guru memberi keterangan pendek. Semua itu sah dalam penghormatan sejarah dan mengartikan monumen-monumen.


Ben Anderson (2000) menganggap monumen itu komunikasi politik. Monumen menghubungkan masa lalu dan masa depan. Para pembuat monumen, sejak masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto selalu berpamrih itu warisan ke anak dan cucu. Komunikasi bakal terus berlangsung. Angan kadang patah. Anak dan cucu tak selalu menerima cerita atau mendapat kebenaran atas monumen. Di kerja-kerja politik, monumen memanipulasi sejarah dan tokoh. Soeharto tampak menginginkan monumen-monumen menjadi sejenis advertensi. Dulu, para leluhur memberikan candi-candi bergelimang cerita. Pada masa Orde Baru, warisan berupa monumen memiliki kaidah-kaidah iklan atau mengesahkan album bualan penguasa. Indonesia bermonumen masih berlangsung sampai sekarang dengan beragam misi, tak selalu politik atau pengultusan tokoh. Monumen itu penting. Penguasa berlagak menolak fana.


Pada saat monumen 30 Tahun Konvensi Hak Anak diresmikan dan publik mulai mengunjungi untuk melihat, nasib anak-anak semakin tak jelas di zaman kuasa digital. Mereka membuat “monumen” di keampuhan ponsel pintar. “Monumen” lekas diperlihatkan ke orang-orang. Kesibukan membuat “monumen” itu mungkin harian. “Monumen” itu paduan kata dan foto. Kita selalu digital ketimbang merasakan hidup keseharian dengan memberi tatapan ke pelbagai hal. Kita meragu monumen itu dikunjungi anak-anak sambil “mengemakan” hak-hak dasar. Pembuatan monumen mungkin perlu tapi pengisahan dan penjelasan semakin perlu. Kita tak ingin monumen itu “rusak” di hitungan hari dan terlupa. Rusak bisa diselesaikan dengan dana perbaikan. “Terlupa” bakal menjadikan sejarah dan pengertian atas anak semakin amburadul.


Pada tahun-tahun berlalu, kelak bakal ada anak mengajukan soal-soal minta dijelaskan orangtua atau guru mengenai monumen. Di Solo, monumen-monumen terus bertambah. Ruang kota disediakan untuk monumen dan patung, tak cuma untuk sekolah, rumah, toko, hotel, stadion, dan rumah sakit. Pengunjung ke Monumen 30 Tahun Konvensi Hak Anak diramalkan menurun jika pembuatan patung Soekarno naik kuda di Solo sisi timur sudah selesai. Di kota, kita belum rampung dikabari pembuatan monumen dan patung. Undangan ke publik adalah berkunjung dan berpotret. Perkara cerita dan makna nanti dulu. Begitu.


Bandung Mawardi

kuncen Bilik Literasi Solo


FB: Kabut

63 tampilan
bottom of page