top of page
Cari
Majalah Basis

Mobil dan Mustahil

SEGALA kebijakan jalan “sengaja” memanjakan mobil. Sejarah kemanjaan diciptakan dengan sains, dokumen resmi birokrasi, undang-undang, iklan, pidato, dan celotehan. Jalan itu tampak hitam, “halus”, rata, dan keras. Jalan untuk roda-roda bergerak cepat, meninggalkan impian-impian lama. Kita melihat orang-orang dalam mobil memenuhi hasrat duduk dengan enak dan membuat raga seperti di “pertunjukan” teragung. Kekuasaan dan kenikmatan sedang diselenggarakan dengan sekian hal: bau, suara, hawa, dan lain-lain. Di luar mobil, ada gangguan, kotoran, gerah, dan kekacauan.


Orang-orang melihat mobil. Daftar merek telah dipelajari tanpa harus masuk di buku-buku pelajaran. Ilmu itu telah datang tergesa dan beredar dengan “dakwah” paling meriah. Orang-orang melihat mobil dengan kagum, iri, penasaran, dan muak. Mobil-mobil mendesak kita memikirkan perkara-perkara rumit dan “terlalu” sia-sia jika memaksa harus disandarkan ke teologi atau ritual paling purba. Kerepotan tercipta setelah mobil-mobil berada dan menempuhi jalan memiliki panjang jutaan kilometer.


Masalah terbrengsek pada akhir 2019: mobil mewah. Berita di koran-koran membikin sebal. Kita membaca berita di Jawa Pos, 16 Desember 2019: “Berdasar pantauan Jawa Pos, keempat mobil yang diamankan adalah dua Ferrari, satu Porsche, dan satu unit Aston Martin berwarna abu-abu. Empat mobil tersebut tiba di polda sekitar pukul 15.00 kemarin. Keempatnya pun langsung diparkir di halaman gedung putih Mapolda Jatim. Dengan bertambahnya mobil bertipe supercar tersebut, polda telah menyita 13 unit. Sebab, sebelumnya polda menyita sembilan unit. Di antaranya empat Ferrari, 1 McLaren, 1 Jaguar, dan 1 Mini Cooper….” Semua itu bermasalah dengan dokumen resmi dan pajak. Mobil-mobil mewah terlalu merepotkan.


Masalah terbrengsek pada akhir 2019: mobil mewah.

Di Solopos. 17 Desember 2019, kita membaca penjelasan Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan: “Kita akan bekerja sama dengan pihak pajak karena salah satu kebijakan dari Bapak Kapolri kami harus bersinergi dengan pemda. Apalagi kepolisian juga membantu hal ini untuk menambah pendapatan asli daerah.” Berita-berita tak pendek, muncul dan bersambung sekian hari. Kita turut dipusingkan miliaran rupiah, etika, birokrasi, undang-undang, dan ejekan. Pada masa orang-orang ribut nasib sengsara Bumi, kita bertele-tele di masalah mobil mewah.


Kita “tinggalkan” masalah mutakhir dengan membaca pengakuan biografis tokoh sibuk memikirkan arsitektur, kota, dan puisi. Ia bernama Eko Budihardjo. Di omongan dan tulisan, ia sering lucu tapi mengantarkan kritik-kritik pedas. Kita mengutip pengakuan di majalah Panji, 4 Juli 2001: “Sejak saat itu saya sudah merasakan enaknya jadi dosen. Apalagi dosen yang dikirim ke luar negeri, pulang bisa membawa mobil mewah. Mobil mewah itulah yang selalu ada di pikiran dan mendorong saya giat agar dikirim belajar ke luar negeri. Akhirnya, giliran itu tiba juga, yaitu pada 1978. Sialnya, saat itu pas ramai kasus Robby Tjahyadi, yang menyalahgunakan paspor belajar untuk berbisnis. Akhirnya, saya pulang ke Tanah Air tanpa membawa mobil mewah.” Lelucon biografis. Ia beruntung tak jadi membawa dan memiliki mobil mewah. Urusan mobil itu mungkin berpengaruh dari album kritik saat ia menulis artikel di koran dan majalah bertema perkotaan.


Kita sempat diingatkan oleh Eko Budihardjo bahwa impian memiliki mobil mewah bukan cuma dimiliki kaum politik, saudagar, dokter, PNS, artis, dan anak-anak pejabat. Dosen pun berhak memenuhi impian berada di mobil mewah berdalih kehormatan, kemanjaan, atau kesuksesan. Impian itu dilumrahkan asal kita mau berkeliling ke kampus-kampus di seantero Indonesia. Kampus menjadi tempat parkir mobil-mobil milik dosen, bersaing dengan mobil-mobil digunakan para mahasiswa. Nalar dan imajinasi keintelektualan perlahan digantikan kesibukan di lahan parkir dan pameran mobil mengacu ke gaji dan fasilitas. Kita terlambat membuat ralat bahwa dosen tak wajib bermobil.


Mobil memang “berkaitan” dengan pendidikan. Pagi menjadi kerepotan bagi pengguna jalan di Solo. Di depan sekolah-sekolah dengan murid-murid berasal dari keluarga berduit, jalan menjadi milik orangtua mereka. Kemacetan menjadi rutin. Mobil-mobil berdatangan, menurunkan murid. Jalan itu memang milik mobil ketimbang sepeda motor. Pada saat pulang, macet terulang. Mobil-mobil diparkir “menguasai” jalan, sebelum berjalan membawa murid-murid pulang sekolah. Adegan mengantar dan menjemput anak seperti penjelasan bahwa mobil “menentukan” kecerdasan dan kehormatan murid. Di situ, mobil sah diperlukan dalam pemajuan pendidikan di Indonesia. Sah!


Orang-orang boleh marah atau senewen dapat maklumat kebermaknaan mobil dalam pendidikan. Ingin menghentikan marah dengan mesem? Kita ajak untuk masuk ke imajinasi mobil dan rupa. Pada 2011, ada Art Motoring di Galeri Nasional, Jakarta. Benda-benda otomotif dipamerkan menjadi unik oleh para perupa. Para seniman menunaikan ibadah seni di situ. Konon, pameran seni otomotif itu ingin “mengajak para seniman menimbang kembali bentuk, fungsi, dan daya sebuah kendaraan modern dalam kaitannya dengan pencitraan terhadap kehendak serta hasrat manusia” (Tempo, 5 Juni 2011).


Kita perlahan diajak menerima kehadiran mobil-mobil pun penjelasan berpesan seni. Daniel Mananta pemilik mobil Toyota Alphard Vellfire tercatat mengawali rupa mobil berubah dari “asal”. Mobil Mercedes-Benz C250 CGI milik Piyu-Padi diberi motif batik. Gejala itu “tiruan” dari Amerika Serikat. Sejak lama, mobil-mobil memang untuk seni. Urusan seni bersaing dengan pamrih orang-orang menjadikan mobil itu iklan komersial dan iklan politik. Mobil pun digunakan untuk pameran “agama” dan kegemaran makan atau pelesiran. Simbol-simbol agama ada di mobil. Tempelan nama restoran dan tempat pelesiran pun terlihat, meminta pujian dari orang-orang di sepanjang jalan.


Orang memuja mobil tak habis-habis. Masa lalu mobil berubah cepat, dari pengutukan sampai pemujaan. Isabel Allende dalam novel The House of the Spirits: Rumah Arwah (2010) bercerita keberanian orang membeli mobil. Di mata orang mobil itu membawa kekuatan iblis. Tuduhan-tuduhan mengandung ketakutan dan kebencian diarahkan ke mobil. Hari demi hari, mobil memerlukan penjelasan religius, tak cukup dengan penjelasan teknologi. Kutukan itu berlaku dalam novel gubahan Isabel Allende. Pemilik mobil dan istri mengalami kecelakaan mengenaskan. Kepala si istri terlepas dalam kecelakaan mobil. Kejadian itu justru disikapi orang-orang dengan cara mengedarkan gosip saat jalan-jalan semakin ramai oleh mobil berseliweran.


Di Indonesia, mobil-mobil semula kemewahan dan polemik berkaitan agama. Polemik berlanjut dengan deretan dalih adat, politik, dan bisnis. Mobil mulai menjadi benda terceritakan dalam teks-teks sastra sejak awal abad XX. Mobil memang terbaca imajinasi, sebelum kita mengalami sumpek saat mobil-mobil di jalan dan mobil-mobil ada di rumah-rumah. Mobil memberi lakon teragung di sejarah Indonesia meski mulai bergelimang cerita korupsi dan pajak. Kita geleng-geleng kepala saja. Kita juga boleh berdoa agar jumlah mobil jangan sama dengan jumlah penduduk di Indonesia. Kita pun memastikan mustahil terhindar dari mobil untuk kebutuhan atau sasaran kutukan. Begitu.


Bandung Mawardi

Kuncen Bilik Literasi Solo


127 tampilan

Comentarios


bottom of page