Menunaikan Persahabatan di Meja Makan
PERSETERUAN diciptakan karena makanan, tapi anak-anak juga mendatangkan perdamaian yang manis lewat makanan. Dari pesan biologis dan humanis, makanan dihadirkan dalam pelbagai cerita berlatar tradisi-kolektif ke urban-medis. Yang tampak pasti, pesan makanan tidak lagi semacam dikuasai oleh para tetua dengan pesan-pesan bijak dan sakral. Sakral bagi anak dalam bacaan anak mutakhir lebih mewujud dalam ekspresi keseharian. Makanan dirayakan melampaui sajian bagi perut. Makanan juga sajian bagi keragaman sebagai umat manusia. Salah satunya, kita cerap dalam buku cerita bergambar berjudul Cap Go Meh (2017) garapan Sofie Dewayani dan digambari oleh Eugenia Gina yang telah mengalami cetak ulang keenam.
Makanan itu mukjizat. Sejarah umat manusia dikumpul dan diramu oleh makanan. Victoria Pope (National Geographic Indonesia, Desember 2014) menulis ritual La Rejunta atau perkumpulan menyambut ziarah yang melibatkan 20 ribuan umat Katolik di Malpa Alta, Meksiko. Ritual bersifat kultural-teologis ini dikatakan, “Setiap langkah dalam La Rejunta adalah ritual. Setahun sebelum acara, para pria masuk hutan dan mengumpulkan kayu bakar yang ditumpuk tinggi di dekat rumah majordomo [penanggung jawab] agar kering dan siap digunakan untuk memasak di tempat terbuka. Para petani setempat menyuplai sebagian besar jagung, daging, dan sayuran yang diperlukan. Bumbu instan atau jalan pintas kuliner lainnya tidak boleh digunakan. Makanan sangat penting dalam kehidupan di Malpa Alta, sehingga bisa disejajarkan dengan mata uang untuk menukar tugas-tugas yang telah diselesaikan, kasih sayang yang telah dibagikan, keimanan yang telah diperhabarui.” Di momentum inilah, orang saling bersatu melebur kemiskinan, luka, dan perbedaan di tengah mukjizat makanan.
Makanan sangat penting dalam kehidupan di Malpa Alta, sehingga bisa disejajarkan dengan mata uang untuk menukar tugas-tugas yang telah diselesaikan, kasih sayang yang telah dibagikan, keimanan yang telah diperhabarui.
Cap Go Meh diawali oleh ilustrasi dua anak dan bapak mengelilingi meja makan. Kalau kita ingin mengidektifikasi kadar konflik dan harmoni suatu keluarga, lihat saja meja makannya. Meja makan di buku Cap Go Meh melampaui fungsinya memberi makan secara harfiah ataupun esensial bagi keluarga. Meja makan memungkinkan mengundang pihak lain datang yang juga berarti undangan berdialog, mengobrol, dan makan. Diceritakan, “Lili, cobalah ini, makanan Lebaran buatan ayahku sendiri. Ada lontong, telur pindang opor ayam, sambal goreng ati, kelapa sangrai, bubuk kedelai dan sayur sambal goreng. Semua namanya Lontong Cap Go Meh.”
Ada bapak berpakaian koko, sarung, dan peci. Dua anak langsung bisa dibayangkan pembaca sebagai perwakilan dari dua agama dan etnisitas di Indonesia; Nisa seorang Muslim-berkerudung dan Lili seorang anak peranakan Tionghoa berbaju cheongsam warna merah. Nisa bercerita tentang keramaian Lebaran. Ada pergi salat Idul Fitri, makan, berkunjung, dan dapat uang banyak.
Lili tidak mau kalah, “Lontong Cap Gomeh itu makanan Imlek, Nisa!” Lili melanjutkan penjelasan, “Cap itu sepuluh, Go artinya lima, Meh itu malam. Begitu, Nisa! Malam kelima belas di bulan pertama, setelah Tahun Baru Imlek. Jadi, perayaan tahun baru kami juga lama. Lima belas hari lamanya! Ada arak-arakan naga, kilin, dan barongsai keliling kota […] Kami memakai baju Cheongsam, menjinjing lampion dan turun ke jalan. Selain lontong Cap Go Meh, ada juga kacang, dan kue keranjang.”
Justru, lontong Cap Go Meh tidak dikenal di perayaan di tanah leluhur Tiongkok. Aji ‘Chen’ Bromokusumo dalam buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013) menduga bahwa lontong Cap Go Meh sama tuanya dengan imigran Tionghoa di Nusantara. Resep dari negeri asal bertemu dengan negeri baru disesuaikan dengan lidah, keragaman bumbu setempat, dan kultur, “Komunikasi yang paling gampang adalah komunikasi dengan universal language, yaitu bahasa makanan atau urusan mulut dan perut.”
Perebutan klaim makanan antara Nisa dan Lili pun tidak berlangsung lama. Kengototan untuk paling memiliki makanan bertaut dengan ekspresi beragama lewat peristiwa menyenangkan segera diakhiri oleh tawa dan kesadaran. Tidak ada gunakan menjadi orang paling berhak mengklaim dan menguasai. Dalam proses panjang diplomasi itu, ada makanan yang hadir terpengaruh kultur setempat, pun terjadi sebaliknya. Cerap, “Tapi, lontong Cap Go Meh itu makanan Lebaran. Makanan Imlek juga, Nisa! Imlek atau lebaran, makanan favorit kita ternyata sama.”
Tidak ada gunakan menjadi orang paling berhak mengklaim dan menguasai. Dalam proses panjang diplomasi itu, ada makanan yang hadir terpengaruh kultur setempat, pun terjadi sebaliknya.
Cap Go Meh tidak menampilkan alur yang muluk memang. Tema keragaman tampak besar dan heboh beberapa tahun ini, sengaja dikemas lewat makanan yang (selalu) punya cerita. Buku dilabeli “Bianglala Anak Nusantara” yang tertera di sampul depan dan penjelasan tambahan dari penulis di halaman akhir juga menjelaskan “menjadi” bagian dari Indonesia, “Makanan ini dibuat oleh warga keturunan Tionghoa dengan menggunakan tanaman dan rempah-rempah Jawa. Setiap unsur makanan ini memiliki makna simbolik tersendiri. Potongan lontong yang bulat melambangkan bulan purnama, sementara warna merah pada sambal mewakili harapan akan kebahagiaan hidup. Masyarakat Jawa ternyata menyukai Cap Go Meh dan sekarang makanan ini turut menjadi simbol perayaan Idul Fitri di sebagian wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.” Meski sayang, penjelasan akhir tidak digarap dalam nuansa kebahasaan anak. Niat menjelaskan menjadi lebih kuat sekalipun penulis tidak sekalian menampilkan referensi yang bisa dilacak anak bersama orangtua.
Makanan memang masih tetap dipersepsikan dengan suci dan mulia dengan caranya. Seorang anak diajak perlahan secara natural mengerti bahwa apa yang disantap tidak pernah ada untuk sekadar disantap meski pengajaran makan untuk urusan biologis masih lebih kuat daripada alasan kebudayaan. Kolomnis dan pakar boga, Bondan Winarno, dalam esai “Diplomasi Pangan, Diplomasi Boga” di Tempo, 11 September 2005. Bondang mengatakan, “Makanan adalah sesuatu yang netral dan tidak mengandung prasangka, karena itu paling mudah diterima sebagai sajian atau hadiah yang bersahabat.” Terutama untuk urusan rekreatif, orang tidak lagi sekadar ingin menapaki tempat, tapi juga menapaki cerita dari sepiring makanan.
Cerita makanan inilah yang juga diusakan oleh penerbitan buku Pecinan Semarang: Sepenggal Kisah, Sebuah Perjalanan (2013) garapan Ananda Astrid Andrianne dan Anastasia Dwirahmi. Ada pertemuan antara makanan khas peranakan dan khas pribumi Semarang. Salah satunya, penulis menapaki Pasar Pagi Gang Baru yang menjadi rujukan mencari bahan makanan berkualitas, bagi warga peranakan atau warga Semarang. Pasar justru lahir dari politik kolonial yang represif, “Sejarah Pasar Gang Baru dimulai sejak orang Tionghoa dilarang keluar dari wilayah pecinan oleh Belanda (kebijakan wijkenstelsel). Pasar ini bisa dibilang lahir tanpa perencanaan. Karena tidak boleh keluar dari pecinan, orang Tionghoa merasa kesulitan ketika harus berbelanja bahan makanan, maka perlahan-perlahan dan sedikit pedagang dari kalangan pribumi mulai berdatangan dan berjualan demi memenuhi kebutuhan warga pecinan.”
Dalam proses panjang asimiliasi meski manusianya tumbuh dan berganti, cara mempersepsikan makan dan makanan yang diciptakan akan terus awet, berubah, dan terbentuk sesuai kondisi sosial-kultural. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebudayaan negeri yang baru bukanlah sesuatu yang pakem, seram, pasti, dan menolak keterbukaan untuk membentuk identitas kolektif orang-orang dari pelbagai latar.
__________
SETYANINGSIH
Esais dan pengulas buku.
Menulis cerita anak, tapi lebih sering mengulas buku cerita anak.
FB: Setyaningsih
kuncen Penerbit Babon IG: @penerbitbabon
Comments