Menderu di Solo
top of page
Cari

Menderu di Solo


“SUARA menderu lokomotif uap terdengar dari Jl Slamet Riyadi depan Loji Gandrung, Solo, Minggu, 16 Februari 2020,” tulis di Solopos edisi 17 Februari 2020. Acara kerumunan orang dalam peringatan 275 tahun Kota Solo. Di lokomotif tua buatan 1921, orang-orang melihat kain panjang berwarna merah-putih. Warna itu mengingatkan imajinasi Indonesia di benda buatan Jerman. Di belakang Lokomotif, ada 2 gerbong dinamai Djoko Kendil. Gerbong dibuat di Belanda, 1938. Semua serba tua di angan menjadikan Solo itu moncer dan menderu di kemajuan.


Kota berusia tua menghadirkan ketuaan lagi berupa lokomotif dan gerbong. Tua itu khas? Tua dimengerti birokrasi sebagai penarik minat para turis mengunjungi Solo. Tua belum perlu dimengerti dengan sejarah, perubahan sosial, gejolak politik, atau seni. Urusan terpenting dari pengakuan tua adalah pariwisata. Solo ngotot dijadikan kota bagi turis, belum tentu kota bagi warga memiliki kemauan-kemauan sederhana. Kota mulai terbaca oleh mata uang. Pariwisata itu hitungan duit, sulit mengarah ke pemaknaan serius atas kesejarahan kota dan kebahagiaan publik. Mata duit menjadikan kebijakan-kebijakan untuk Solo cenderung sembarangan tapi “jalan terus”. Nah, kini gerak bernalar pariwisata itu berkesan lawasan lagi dengan kereta uap dan gerbong tua.


Solo ngotot dijadikan kota bagi turis, belum tentu kota bagi warga memiliki kemauan-kemauan sederhana. Kota mulai terbaca oleh mata uang. Pariwisata itu hitungan duit, sulit mengarah ke pemaknaan serius atas kesejarahan kota dan kebahagiaan publik.

Pelesiran itu naik sepur tua bergerak di rel tengah kota. Kereta melewati tempat-tempat ramai. Jalan di Solo semakin ramai oleh suara lokomotif bercampur suara mobil, bus, dan sepeda motor. Lagu-lagu di toko dan teriak orang-orang menambahi orkes amburadul. Di Solo, orang-orang sudah terbiasa dengan Sepur Kluthuk Jaladara. Kini, bertambah lagi dengan sepur sengaja dipahami bertema pariwisata. Dolan ke Solo memiliki pilihan naik sepur uap asal berduit. Orang mendapat unik dengan sepur tua ketimbang rutin naik kereta api melalui Stasiun Balapan, Stasiun Purwosari, atau Stasiun Jebres.


Kota dan kereta. Di lagu lawas gubahan Ibu Sud, dua kota disebut: Bandung dan Surabaya. Solo tak ada di lagu. Solo mungkin sudah bercerita kereta api atau kereta uap sejak lama tapi belum terpilih di tebaran imajinasi ke bocah-bocah. Alat transportasi itu memang mengubah Solo. Kereta berdampak pada politik, perdagangan, kesenian, pangan, dan lain-lain. Solo memiliki stasiun-stasiun terkenang warga dan para pengunjung. Stasiun mulai dikenang dengan lagu asmara berbahasa Jawa: cengeng dan wagu. Didi Kempot bersenandung “Stasiun Balapan”.


Solo memiliki stasiun-stasiun terkenang warga dan para pengunjung. Stasiun mulai dikenang dengan lagu asmara berbahasa Jawa: cengeng dan wagu. Didi Kempot bersenandung “Stasiun Balapan”.

Kita “mampir” dulu ke sejarah Bandung di buku Haryoto Kunto berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984). Pembukaan perkebunan-perkebunan di Priangan memicu perubahan besar Bandung. Percepatan menjadi modern dipengaruhi “pemasangan rel kereta api dari Batavia ke Bandung, lewat Bogor dan Cianjur yang diresmikan pada tanggal 17 Mei 1884.” Di Bandung, pemandangan kereta api lewat itu mencengangkan. Bandung pun semakin ramai. Berdirilah hotel, losmen, atau rumah penginapan di sekitar stasiun. Sekian orang datang sebagai pejabat, saudagar, turis, pelajar, dan lain-lain. Kunto memastikan kedatangan kereta api berdampak ke perhotelan dan pariwisata.


Sejarah itu berlangsung di Bandung. Apakah sama di Solo? Pada peringatan 275 tahun Kota Solo, warga diajak bernostalgia dengan sepur uap. Ajakan mungkin menghindarkan warga dari gelagat-gelagat protes atas nasib Solo abad XXI. Solo memang semakin ramai tapi belum tentu membahagiakan. Solo “jatuh miskin”. Kita mengartikan itu miskin makna kebahagiaan. Kota nglaras dan bersahaja berubah oleh nalar-nalar cepat, ramai, untung, dan kondang.


Solo memang semakin ramai tapi belum tentu membahagiakan. Solo “jatuh miskin”. Kita mengartikan itu miskin makna kebahagiaan. Kota nglaras dan bersahaja berubah oleh nalar-nalar cepat, ramai, untung, dan kondang.

Kehadiran lokomotif tua bernomor D1410 itu ingin menghidupkan lagi kelawasan tapi dipekerjakan di deru pariwisata demi duit, belum tentu mengangkut sejarah atau penggalan-penggalan biografi berlatar masa lalu. Kita mendingan membuka buku berjudul Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (2017) susunan Olivier Johannes Raap. Penjelasan di awal: “Buku ini diberi judul Sepoer Oeap karena membahas jaringan rel yang pernah dibangun untuk kereta api bertenaga uap. Jalur pertama diresmikan pada 1867, saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda.” Kita simak juga penjelasan untuk melengkapi nostalgia Kunto di Bandung: “Sejarah awal perkembangan kereta api di Jawa sejalan dengan pembangunan pabrik gula. Seperti mesin pabrik gula, kereta api juga didatangkan sebagai bagian dari hasil revolusi industri di Eropa.” Semua benda dan alat asing berdatangan ke Jawa: membuat orang-orang tergoda dan bergairah turut di perubahan tatanan zaman.


Solo menjadi tempat penting di laju sejarah kereta api atau kereta uap? Kita sampai di halaman 16, melihat foto Stasiun Solo Balapan bertahun 1953. Olivier memberi keterangan: “Stasiun Solo Balapan pernah dibongkar dua kali lalu dibangun kembali dalam keadaan lebih besar. Bangunan pertama berdiri pada periode 1872-1884, bangunan kedua pada 1884-1923, dan bangunan ketiga dari 1923 berfungsi hingga sampai sekarang.” Nah, Didi Kempot mengalami, melihat, dan mengabadikan Stasiun Balapan saat sudah besar dan berlatar akhir abad XX. Stasiun itu telanjur lagu ketimbang ingatan atas peristiwa Sarekat Islam atau pernikahan Paku Buwono X di masa lalu.


Nah, Didi Kempot mengalami, melihat, dan mengabadikan Stasiun Balapan saat sudah besar dan berlatar akhir abad XX. Stasiun itu telanjur lagu ketimbang ingatan atas peristiwa Sarekat Islam atau pernikahan Paku Buwono X di masa lalu.

Setahun terakhir, Didi Kempot moncer lagi. Kita malah belum mendengar lagu mengenai Sepur Kluthuk Jaladara. Didi Kempot belum patah hati? Sepur tua melintas di tengah kota tak mampu merangsang gubahan lagu? Apa mungkin kehadiran kereta uap dengan upacara peresmian oleh pejabat di Solo bakal memberi dalih meminta Didi Kempot memberi gubahan lagu. Kita mengira lagu itu bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengajak orang-orang datang ke Solo dan naik kereta uap. Solo tentu semakin ramai dan sering dipotret. Begitu.



__________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut

80 tampilan
bottom of page