Mata: Pelarian dari Frustrasi Dunia Modern
top of page
Cari

Mata: Pelarian dari Frustrasi Dunia Modern


Tatkala seorang novelis-kritikus sosial menulis cerita (petualangan) anak, kita tetap mendapati pelbagai kritik sosial bersebaran di sekujur novel. Mata di Tanah Melus (2018) garapan Okky Madasari memang tidak mengemas kritik itu secara gambang seperti berorasi di jalan. Kritik itu ingin tampil dalam suasana perasaan bocah perempuan berumur 12 tahun yang sering mengeluh atas tingkah laku orang dewasa di sekitarnya. Seorang bocah yang sering didera kekesalan, “Ah…orang dewasa selalu tak punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan sederhana.”


Mata, anak tunggal dari sepasang suami-istri yang jurnalis dan penulis cerita. Namun, sebagai anak yang tumbuh di wilayah urban Jakarta, riwayat imajinatifnya justru dihidupi oleh cerita lisan dari Nenek Mar setiap kali liburan sekolah. Nenek Mar bercerita ketika kecil pernah hilang selama 40 hari di negeri antah berantah berpenduduk raksasa. Waktu itu sedang terjadi gerhana matahari. Tidak ada yang percaya pada cerita Mar kecil, kecuali Mata yang merasa lebih hidup dalam cerita-cerita lisan dan tentu buku-buku cetak sebagai produk literasi modern. Mata mengatakan, “Dengan cerita aku bisa pergi ke laut, ke gunung, ke tengah hutan, bahkan ke luar angkasa. Melalui cerita aku bertemu ibu peri, pangeran matahari, penyihir dengan ramuan-ramuan mematikan, juga putri-putri perkasa yang bisa mengubah dunia. Di dalam cerita, aku bertemu banyak sekali teman baru, orang yang jauh lebih aku percaya dibanding siapa pun yang aku temui di sekolah atau sekitar rumah—bahkan dibanding orangtuaku sendiri.” Ngeri!


“Dengan cerita aku bisa pergi ke laut, ke gunung, ke tengah hutan, bahkan ke luar angkasa. Melalui cerita aku bertemu ibu peri, pangeran matahari, penyihir dengan ramuan-ramuan mematikan, juga putri-putri perkasa yang bisa mengubah dunia. Di dalam cerita, aku bertemu banyak sekali teman baru, orang yang jauh lebih aku percaya dibanding siapa pun yang aku temui di sekolah atau sekitar rumah—bahkan dibanding orangtuaku sendiri.” Ngeri!

Petaka

Dunia cerita memang pelarian Mata saat menghadapi orangtua yang terlalu sibuk serta bisa sangat cuek, pendidikan agama di sekolah yang horor-mendoktrin, dan keretakan rumah tangga karena soal ekonomi. Inilah petaka bagi anak di dunia modern. Terutama karena masalah rumah tangga, Mama Mata mengatasi dengan mengajak Mata liburan ke Belu di Indonesia Timur, wilayah yang dikatakan tidak terpetakan oleh Google. Mata memulai petualangan dengan kesal karena harus berada di area terpencil, tanpa sinyal, dan ke mana-mana harus berjalan kaki. Apalagi ketika di jalan menuju hotel, mobil sewaan mereka menabrak sapi dan pemilik meminta ganti rugi 20 juta. Sapi mati itu justru selalu menghantui Mata dalam mimpi. Mereka dianjurkan melakukan ritual tolak bala di puncak gunung. Dari ritual yang tampak mengesalkan dan tidak masuk akal, Mata dan mama Mata saling terpisah dan tersesat di negeri orang-orang Melus.


Pembaca sungguh harus bersabar karena negeri Melus baru dibuka Okky di halaman 76! Seperti melanjutkan kritik sosial sebagai kekhasan, di sini Okky menampilkan lagi pertentangan manusia baik diwakili oleh orang Melus yang menjaga tanah kelahiran sebagai pusaka dan orang Bunag yang gemar merampas, membunuh, dan menenteng senjata. Pembaca boleh saja secara sederhana mengartikan peristiwa di Melus sebagai misi penyelamatan lingkungan dan toleransi. Mata bersama anak Melus, Atok, pun menelusuri Hutan Kaktus, Kerajaan Kupu-kupu, danau yang menghisap untuk mencari mama. Mereka juga bertemu Ratu Kupu-kupu yang sendu. Ternyata, niatan melarikan diri dari dunia nyata manusia modern tetap saja berakhir di dunia Melus yang sama mengalami frustasi sosial.


Seperti melanjutkan kritik sosial sebagai kekhasan, di sini Okky menampilkan lagi pertentangan manusia baik diwakili oleh orang Melus yang menjaga tanah kelahiran sebagai pusaka dan orang Bunag yang gemar merampas, membunuh, dan menenteng senjata.

Dari Mata di Tanah Melus yang lumayan imajinatif dan misterius di sampul, kita mungkin sempat berpamrih lebih bahwa cerita (petualangan) anak garapan penulis Indonesia memiliki kekhasan tak kalah dari cerita-cerita terjemahan yang sering menuai pujian, seperti The Big Friendly Giant (Roald Dahl), Alice’s Adventures in Wonderland (Lewis Carroll), Robinso Crusoe (Daniel Defoe), Thumbelina (H.C. Anderson). Ingat, dulu Indonesia pernah dimartabatkan oleh cerita daerah nan falsafi tentang anak pemalas yang bertemu gergasi di hutan dan diberi alat-alat ajaib lewat buku Cerita Si Penidur (1928) garapan Aman Dt. Madjoindo yang mengalami cetak ulang ke-6 pada 1975. Aman juga menggarap cerita realis Si Dul Anak Betawi yang juga masuk cerita anak klasik Indonesia.


Ingat, dulu Indonesia pernah dimartabatkan oleh cerita daerah nan falsafi tentang anak pemalas yang bertemu gergasi di hutan dan diberi alat-alat ajaib lewat buku Cerita Si Penidur (1928) garapan Aman Dt. Madjoindo yang mengalami cetak ulang ke-6 pada 1975.

Di Mata di Tanah Melus, masalah-kritik sosial wajib ada mengisari hidup anak. Hal ini rentan membuat cerita jadi semacam ambisi pelarian bercerita orang dewasa yang kecewa pada makin buruknya tatanan hidup sehari-hari. Keluguan seorang anak ternyata tidak cukup mewakili-menyampaikan kegirangan atau semacam optimisme khas anak dalam petualangan yang sungguh(an), bukan sekadar pelarian semu. Namun, terbitan buku anak garapan penulis Indonesia kekinian tetaplah sebuah optimisme literasi anak Indonesia di tengah bacaan impor.


Setyaningsih,

penikmat buku anak.

111 tampilan
bottom of page