top of page
Cari
Majalah Basis

Mata: Lokalitas dan Kemaritiman



Di buku ketiga serial Mata menjelajahi Indonesia, Mata dan Manusia Laut (2019), Okky Madasari justru tetap menikmati peran sebagai prosais dewasa pengkritik sosial daripada prosais anak. Bahkan baru di bagian pertama cerita, pembaca disodori masalah yang rumit khas aktivis; ketertinggalan listrik, akses pendidikan yang parah di kampung-kampung laut, dan kemiskinan struktural bertaut dengan kekalahan maritim. Jika Orde Baru menggunakan anak untuk mempropagandakan kebaikan-kebaikan negara pembangunan, Okky menyuarakan protes atas ketidakmerataan pembangunan lewat figur anak.


Menaut ke judul novel, Okky kali ini menokohkan bocah Bajo di Kampung Sama, Sulawesi Tenggara, bernama Bambulo. Tema terlihat sangat besar bagi Indonesia yang kini tengah memikirkan cara kembali berjaya di laut setelah membentuk orientasi kepentingan ekonomi-sosial-politik di darat. Berasal dari wilayah maritim Indonesia yang sering terabai tapi dikatakan mengagetkan publik luar negeri, Bambulo ditokohkan dengan istimewa.


Sejak lahir, Bambulo sudah terpilih oleh takdir untuk mewakili kearifan manusia laut. Lumba-lumba yang menyimbolkan keagungan mengiringi takdirnya memahami lautan. Kita cerap, “Bambulo tak pernah pergi ke atol saat purnama. Bambulo tak pernah diajak melaut saat purnama, sebab begitulah aturan orang Sama. Aturan yang selalu diwariskan sejak dulu kala, dari leluhur pertama mereka […] Pada malam purnama, ikan-ikan bertelur dalam dekapan hangat cahaya bulan. Pada malam purnama, dewa-dewa turun ke lautan dan tak ada manusia yang boleh mengganggu mereka” (hal. 90-91).


Selalu menjadi pola cerita yang sama, Mata tiba-tiba terpisah dari ibunya dan mengikuti Bambulo bertualang. Di sini, Mata yang memang sejak awal dipasang sebagai sang tokoh, tetap belum merdeka mengalami petualangan. Ketakutan, keterpaksaan, dan tanpa antusiasme masih begitu dominan. Mata seperti hanya sekadar hadir untuk menegaskan ada orang-orang yang terlihat sangat berbeda dari dirinya yang datang dari dunia modern. Di seri ini, kehadiran Mata lebih mewakili arogansi kedaratan yang sering mengabaikan perairan. “Bambulo dan leluhurnya memang orang laut-seperti para pelaut. Bukan seperti ikan-ikan yang hidup di laut. Mereka membangun kampung di atas laut, berenang di laut, mahir bersampan menyeberang lautan, menjalani kehidupan di laut-bukan darat. Dan mereka adalah manusia-manusia yang sama seperti dirinya” (hal. 69).


Demi menunjukkan pada Mata tentang kedigdayaan laut, Bambulo melanggar aturan alam sampai terjadi bencana. Dia juga bertemu dengan pihak-pihak antagonis, tapi berhasil mengalahkan mereka dengan bantuan dari pihak protagonis. Seperti sudah pakem dalam cerita anak bahwa keberanian dan kebenaran sebaiknya menang. Tatanan alam yang sempat terganggu pun akhirnya kembali pulih dan Mata bisa bertemu kembali dengan ibunya.


Karena digarap dengan riset yang serius, Okky terlalu dibebani data riset yang membuat beberapa bagian buku lebih terdengar seperti laporan daripada cerita. Ia seperti tidak bisa menolak diri untuk menuliskan apa yang didapat selama di Sulawesi Tenggara. Rasa bahasanya terasa kurang renyah, tidak dipenuhi naluri penasaran, atau komikal mengingat garapan sampul memuat ruh petualangan. Bahkan, ibu mata yang sangat protektif ambisius sebenarnya tidak masalah tidak dimunculkan dalam buku.


Karena digarap dengan riset yang serius, Okky terlalu dibebani data riset yang membuat beberapa bagian buku lebih terdengar seperti laporan daripada cerita. Ia seperti tidak bisa menolak diri untuk menuliskan apa yang didapat selama di Sulawesi Tenggara.

Dalam penggarapan cerita anak mutakhir, lokalitas bisa dikatakan sebagai tren. Penulis biasanya memijak di antara dua alasan; keinginan kuat menuliskan ulang masa lalu atau mengapresiasi kekayaan kultur sebagai bentuk empati atas kelupaan manusia modern atas masa lalu. Serial Mata yang jelas menjangkarkan diri di wilayah-wilayah Nusantara, sepertinya lebih kuat memijak di alasan kedua. Namun, lokalitas semacam ini cenderung memberikan jebakan tidak tersadari. Bisa saja penulis terlalu bernostalgia pada tradisi yang tampak diagungkan sekaligus bersikap sinis pada masa sekarang. Atau yang sangat menjangkiti gairah menjelajah Nusantara, selalu cerita (akhirnya) menjebak pada pesan berwisata.


Meski di seri ketiga peran Mata semakin figuran, Mata dan Manusia Laut tidak terlalu parah seperti serial kedua, Mata dan Rahasia Pulau Gapi, yang tiba-tiba menjelmakan Mata si bocah naif menjadi penyelamat situs-situs sejarah untuk di-heritage-kan. Serial keempat sekaligus pamungkas berjudul Mata di Dunia Purba masih dalam penggarapan. Okky mengatakan, “…ingin para pembaca cilik mengenal sejarah, antropologi, geografi, dan kekayaan Indonesia” (Jawa Pos, 23 Mei 2019). Dalam urusan narasi berbahasa, kita yakin anak-anak adalah genius penyerap bahasa. Namun, pembaca bisa sedikit berharap bahwa di serial pamungkas, Okky mau bertaruh untuk berbahasa secara lebih segar, kekanakan, enigmatik, atau bahkan menunjukkan selera humor cerdas. Semogalah!


Setyaningsih,

Esais dan penulis cerita anak Koki Petualang dari Desa Orke (2018)

Tim penulis Semaian Iman, Sebaran Pengabdian (2018)

langit_abjad@yahoo.com


104 tampilan

Comments


bottom of page