Maklumat Piring
AKHIR pekan, orang-orang mungkin ingin bahagia dengan sekian cara dan makna. Bahagia mungkin dengan bersepeda saat pagi. Pulang dari bersepeda mengeliling kampung, taman, atau kota, orang mampir ke warung untuk jajan soto, nasi pecel, atau nasi berkat. Orang bersepeda dan makan itu ingin bahagia. Di rumah, ada orang ingin bahagia dengan mengerjakan hal-hal keseharian tanpa menganggap Sabtu atau Minggu adalah hari malas atau jeda. Ia tetap memasak, mencuci, bekerja, dan lain-lain. Ia malu mengartikan akhir pekan adalah jajan makanan atau makan di luar rumah. Ia menetapi keseharian dengan wajar, sederhana, dan berhemat. Ia makan hasil masakan di rumah. Isi piring tetap sederhana, belum ingin terbedakan dengan hari-hari kemarin. Urusan makan bukan pemanjaan selera tapi pertimbangan atas kesanggupan menanggungkan hidup selama wabah memicu beragam masalah.
Keinginan menjadikan hari demi hari adalah sederhana agak “terganggu” saat membuka halaman-halaman koran. Di Jawa Pos, 21 November 2020, tersaji maklumat atau pengumuman memiliki logo: Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Pengumuman pasti penting! Tulisan dan gambar seperti memberi imajinasi kelezatan. Simak kata-kata: “Isi Piringku. Lengkapi gizimu untuk perkuat daya tahan tubuh di masa pandemi”. Pesan boleh dimengerti secara wajar. Makanan bergizi memang penting. Kewajaran itu berubah setelah melihat gambar. Lihatlah, ada dua tangan memegang garpu dan pisau! Pemilik tangan itu mungkin orang di taraf hidup mapan, memiliki tata cara makan khas Eropa, atau orang itu asal negeri jauh. Dua tangan itu tampak luwes dalam gerakan makan.
Di piring, kita melihat beragam makanan. Pemandangan memukau, membikin kita ngiler tapi cemburu. Gambar itu mengarah ke orang-orang sadar makanan bergizi. Orang-orang itu berduit atau berada di tarf kehidupan mapan. Pembaca perlahan menduga pengumuman berlogo lembaga penting bukan untuk umum. Pengumuman “istimewa” bagi orang-orang sadar makanan. Kita meragu adegan makan itu terjadi di rumah atau restoran. Penampilan gambar telah “mengganggu”, memicu cemburu bagi orang-orang sedang kesulitan mencari nafkah dan mengadakan makanan sederhana di piring-piring demi kebahagiaan keluarga.
Keterangan di pengumuman: makanan pokok (nasi, kentang, mi kering), lauk hewani (ikan kembung, daging ayam, telur ayam, daging sapi), lauk nabati (tahu, tempe), sayuran, dan buah-buahan (pepaya, jeruk, pisang). Semua memiliki ukuran atau porsi demi gizi. Semua itu sulit terpenuhi di kelurga-keluarga miskin dan “dimiskinkan” oleh wabah. Pengiritan terjadi dalam pemenuhan kebutuhan pokok (pangan) akibat susah mencari nafkah atau pemerolehan rezeki cuma sedikit. Gambar dan keterangan di koran itu membuat cemburu tak terampunkan.
Kita mulai membaca berita, memiliki kalimat-kalimat membuktikan kerja pemerintah bertema makanan: “Kementerian Kesehatan telah memberikan panduan gizi seimbang pada masa pandemi melalui program Isi Piringku…. Program Isi Piringku sebenarnya mendorong masyarakat untuk makan dengan gizi seimbang. Akan tetapi, karena konsep gizi seimbang sulit dimengerti sepenuhnya oleh masyarakat, disederhanakanlah menjadi Isi Piringku. Di posyandu-posyandu dan sekolah-sekolah, konsep Isi Piringku digambarkan secara visual agar mudah dikenali anak-anak maupun orang dewasa.” Berita terbaca tapi makanan tetap masalah rumit tak seperti pemikiran pemerintah. Di akhir pekan, membaca berita tentang makanan malah membuat pembaca “merana” gara-gara mengaku bukan pihak disasar oleh pengumuman “mengilerkan” dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Berita terbaca tapi makanan tetap masalah rumit tak seperti pemikiran pemerintah. Di akhir pekan, membaca berita tentang makanan malah membuat pembaca “merana” gara-gara mengaku bukan pihak disasar oleh pengumuman “mengilerkan” dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
“Merana” mungkin bisa dikurangi dengan bernostalgia masalah pangan di Indonesia masa lalu. Pada 1953, terbit buku kecil dan tipis berjudul Makanlah Makanan Jang Sehat susunan Nji S Hadisurtita. Gambar di sampul adalah sayuran, ikan, dan buah-buahan. Gambar belum berwarna tapi gampang terpahami oleh pembaca. Buku digunakan dalam Pemberantasan Buta Huruf untuk para ibu dan wanita “didaerah-daerah jang terbelakang dan didesa-desa.” Tema penting untuk mengajak para wanita bisa membaca-menulis dan sadar makanan sehat sesuai anjuran-anjuran pemerintah.
Nji S Hadisurtita menjelaskan: “Makanan itu meskipun sederhana tetapi dikerdjakan dengan berhati-hati, rapi dan baik-baik, diatur begitu rupa sampai siapa melihatnja tertarik, keluar air liurnja. Disadjikan dipiring jang bersih. Lagi pula rasanja sedap, lezat dipandang bagus, harga murah, mudah didapat, berguna untuk badan.” Kalimat-kalimat dibaca dan dipahami. Buku itu mengajarkan menu sederhana tapi bergizi bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Sekian jenis makanan di piring sederhana tapi seperti pengumuman dibuat oleh pemerintah berkaitan makanan bergizi dan makanan. Buku itu “propaganda” dengan keinginan menjadikan keluarga Indonesia sehat, bukan keluarga memuja selera atau manja makanan. Kita sengaja mengingat untuk mengurangi cemburu dalam cara mengumumkan program pemerintah dinamakan Isi Piringku.
Pada masa wabah, kita gampang gegabah dalam berpendapat. Tema makanan sering mengakibatkan kemunculan pendapat-pendapat belum tentu bermufakat dengan kemauan pemerintah. Pendapat ditentukan oleh kondisi di keluarga, pendapatan, gejolak pasar, dan lain-lain. Pada saat membaca pengumuman Isi Piringku, ibu-ibu mulai mengeluh saat mengetahui harga sayuran mulai naik. Konon, harga dipengaruhi oleh iklim. Sekian pedagang telanjur mengatakan masalah harga berkaitan jelang Natal dan tahun baru. Ikhtiar membuat masakan sederhana saja semakin sulit. Piring-piring untuk keluarga tetap harus memiliki isi tapi pertimbangan-pertimbangan terlalu “membingungkan”.
Pada saat membaca pengumuman Isi Piringku, ibu-ibu mulai mengeluh saat mengetahui harga sayuran mulai naik. Konon, harga dipengaruhi oleh iklim. Sekian pedagang telanjur mengatakan masalah harga berkaitan jelang Natal dan tahun baru. Ikhtiar membuat masakan sederhana saja semakin sulit. Piring-piring untuk keluarga tetap harus memiliki isi tapi pertimbangan-pertimbangan terlalu “membingungkan”.
Keluarga-keluarga sederhana ingin bersantap masakan rumah perlahan digoda oleh pemberitaan jajan dan makanan di televisi, koran, dan internet. Pihak-pihak masih memiliki penghasilan besar mulai pamer foto sedang menikmati makanan enak di restoran atau tempat-tempat istimewa. Di pelbagai tempat, pemberitaan masalah makanan mulai berurusan kenikmatan, tak bergantung pengumuman pemerintah. Industri makanan instan atau kemasan justru mulai membesar saat wabah dengan iklan-iklan bermuslihat. Pengajaran makanan dari pihak keluarga “direcoki” oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan makanan. Semua memiliki dalih demi kesehatan, perekonomian, pertanian, dan lain-lain.
Pengajaran makanan dari pihak keluarga “direcoki” oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan makanan. Semua memiliki dalih demi kesehatan, perekonomian, pertanian, dan lain-lain.
Kita bisa sejenak mampir di halaman memberitakan makanan di Republika, 21 November 2020. Tulisan itu berjudul “Sensasi Mi Campur Nasi.” Pembaca diharapkan jangan gegabah membandingkan dengan pengumuman pemerintah: Isi Piringku. Bacalah dengan cengengesan saja. Perusahaan besar mengumumkan menu baru: Pop Mie PaNas (Pakai Nasi). Kita melihat ada tiga gambar: nasi di piring, mi di mangkuk, dan makanan kemasan berupa “mie instan cup”. Penjelasan dari PT Indofood: “Produk ini dihadirkan sebagai jawaban atas insight masyarakat Indonesia akan perpaduan mi instan dan nasi. Produk inovasi ini menjadi yang pertama di Indonesia.” Kita tak perlu menilaikan sajian mi instan dan nasi dalam wabah bukan piring itu ke pemerintah sedang gencar mengumumkan Isi Piringku. Ingat, kita cengengesan saja.
Pada saat kita membaca Isi Piringku membikin cemburu tapi membaca pengumuman PT Indofood kita boleh mesem. Pihak perusahaan pun berpesan: “Sudah pasti kebiasaan masyarakat akan semakin dinamis seiring perkembangan zaman. Di sinilah Pop Mie PaNas menjadi teman andalan yang mudah dikonsumsi.” Kita diajak menjadi konsumen untuk makan mi instan dan nasi dalam wadah bukan piring. Pada saat kita makan mungkin melupa pemerintah belum lelah menjelaskan Isi Piringku. Sensasi mi instan campur nasi itu tak memiliki kewajiban mengajarkan piring atau mengikuti alur maklumat Isi Piringku. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
留言