Kemelaratan dan Pengakuan
top of page
Cari

Kemelaratan dan Pengakuan


PADA saat jumlah penjual gorengan semakin bertambah di kampung-kampung dan di pinggir jalan besar perkotaan, tempe itu tema di Media Indonesia, 4 Juli 2019. Kita diperkenalkan dengan Agus Tempe, pengusaha tempe organik. Pemberian cap organik membedakan dengan tempe-tempe sering disantap kaum gorengan. Di Bekasi, Jawa Barat, Agus Tempe membuat tempe berbahan kacang koro pedang. Pasokan bahan dari Temanggung, Jawa Tengah. Kita mendapat informasi tambahan mungkin menimbulkan sejenis pusing dan sangsi: “Ia juga berambisi mengatasi ketergantungan pada impor kedelai yang mayoritas jenisnya mengandung GMO. Di Amerika, bahan ini dikembangkan jadi biofuel, yakni untuk bahan bakar nabati atau solar. Belakangan bahan ini juga digunakan sebagai pakan ternak, bukan untuk bahan pangan manusia.” Sodoran kalimat-kalimat itu boleh dipikirkan sambil menatap gorengan hangat di piring dan teh masih panas.


Kaum gorengan diharapkan berpikir lagi mumpung belum malam. Susulan pengetahuan tentang bersantap tempe: “Kebiasaan makan tempe mentah sudah dijalani Agus sejak masih tinggal bersama orangtuanya di Yogyakarta. Ayahnya yang seorang mantan kepala kantor penerangan dan ibunya yang seorang guru, mengajaknya untuk sadar hidup sehat dan makan makanan sehat, antara lain dengan makan tempe mentah.” Para ibu bisa mengirit pengeluaran dapur alias tak usah menggoreng tempe. Tepung pun tak diperlukan. Sajian tempe mentah di piring berikan ke suami dan anak-anak dengan khotbah pendek: hidup sehat. Kaum gorengan mungkin ingin mencoba dan sejenak beralih predikat menjadi kaum mentahan. Bisnis dan penerangan itu mengembalikan kita ke tema tempe di keseharian. Indonesia tentu menjadi negara dengan pemakan tempe berjumlah jutaan setiap hari. Penjual gorengan selalu laris. Sejak pagi sampai malam, gorengan tersedia di rumah, warung makan, dan angkringan. Gorengan itu tahu, tempe, bakwan, dan lain-lain.


Bisnis dan penerangan itu mengembalikan kita ke tema tempe di keseharian. Indonesia tentu menjadi negara dengan pemakan tempe berjumlah jutaan setiap hari. Penjual gorengan selalu laris.

Kita bakal lama memikirkan tempe organik dan makan tempe mentah. Sejak bocah, kita belum mendapat pengajaran memadai tentang tempe dari orangtua, guru, tetangga, sarjana, dan pemerintah. Tempe itu cuma dimengerti sering dimakan untuk menemani nasi. Di keluarga-keluarga sederhana menganut kewajaran: makan setiap hari cuma dengan tahu-tempe. Penjelasan bahwa mereka tak selalu makan daging dan telur. Argumentasi umum: anggaran. Di keluarga miskin, makan tempe sudah kebahagiaan setelah rutin makan nasi, sayur, dan karak buatan sendiri. Seabad lalu, tempe cenderung mengisahkan kemiskinan. Kisah itu tercatat di biografi para tokoh dan berita di majalah-majalah lawas. Tempe agak lambat mendapat pengesahan sebagai jajanan dipisahkan dari sepiring nasi. Kini, makan tempe tanpa nasi sudah lumrah.


Kita membuka buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) susunan Cindy Adams. Soekarno, pengisah tempe. Kita simak pengisahan Soekarno sebelum melamun ke masa lalu kemelaratan dan kehinaan: “Tempe adalah bungkah jang lunak dan murah terbuat dari katjang kedele jang diberi ragu. Negeri tempe berarti negeri jang lemah. Itulah kami djadinja. Kami terus-menerus dikatakan sebagai bangsa jang mempunjai otak seperti kapas. Kami mendjadi pengetjut: takut duduk, takut berdiri, karena apapun jang kami lakukan selalu salah. Kamu mendjadi rakjat seperti dodol dengan hati jang ketjil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami mendjadi suatu bangsa jang hanja dapat membisikkan, ‘Ja Tuan.’ Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja mereka pegang teguh setjara tidak sadar.” Bermula tempe, Soekarno mengisahkan pelbagai hal tentang manusia Indonesia berlatar masa kolonial. Kita mundur lagi. Pada saat masih bocah, Soekarno sulit makan tempe: “Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan adalah ubi kaju, djagung tumbuk dengan makanan lain….” Tempe sengaja tiada atau memang lupa disebut di situ.


Bermula tempe, Soekarno mengisahkan pelbagai hal tentang manusia Indonesia berlatar masa kolonial. Kita mundur lagi. Pada saat masih bocah, Soekarno sulit makan tempe.

Orang-orang di tanah jajahan sulit makan. Pada tempe, mereka mampu berpikiran menghilangkan lapar meski “terjebak” di pembentukan diri. Tempe terlalu cepat direndahkan dalam membahasakan sifat atau watak bagi kaum terjajah. Tempe lekas dihajar makanan-makanan lain di pembedaan derajat sosial-kultural-politik, belum tentu berkaitan kesehatan. Kita mengingat tempe-tempe masa lalu dibuat dengan tata cara sederhana. Penampilan khas adalah tempe dibungkus daun, belum plastik. Dulu, orang-orang di desa suka tempe-tempe dibungkus daun, sebelum ada produksi melimpah berkonsekuensi harga murah berupa tempe-tempe dikemas dengan plastik. Nostalgia Soekarno perlahan tak berarti lagi di zaman orang-orang Indonesia mampu membeli tempe setiap hari. Nasib tempe memang agak disepelekan jika bersaing dengan daging dan telur di meja makan.


Pada abad XXI, tempe menjadi tema ruwet berkaitan ekspor-impor, kebijakan pemerintah, masalah pangan sehat, bisnis kuliner, dan lain-lain. Indonesia tetap bercerita tempe. Presiden-presiden berganti, tema tempe tetap penting dan disantap jutaan orang: dari rumah melarat di desa sampai di istana kepresidenan. Indonesia belum siap kehilangan tempe atau menanggungkan derita dengan darurat tempe selama setahun gara-gara kedelai dari negeri jauh langka dan mahal. Kaum gorengan tetap bersumpah sampai menjelang mati ingin makan tempe. Mereka seperti memiliki obsesi hidup-mati bersama tempe.


Presiden-presiden berganti, tema tempe tetap penting dan disantap jutaan orang: dari rumah melarat di desa sampai di istana kepresidenan.

Kaum gorengan bertepuk tanganlah! Berita kecil di majalah Tempo, 8 Maret 2015, membuktikan tempe itu memikat orang asing. Ingat, tempe tak lagi diremehkan seperti di zaman kolonial! Miss Universe 2015 bernama Paulina Vega datang ke Indonesia: kerasan dan kagum. Perempuan cantik berusia 22 tahun membuat pengakuan terbuka sanggup menghabiskan sepiring penuh nasi kuning. Miss Universe tak takut gendut. Pengakuan puitis: “Saya merasa bisa mencium dan merasakan kebudayaan kalian.” Paulina Vega tak lupa secara resmi mengumumkan bahwa suka tempe. Di Indonesia, ia menikmati tempe. Ia makan tempe tanpa ingatan biografi Soekarno dan sejarah kemelaratan pernah melanda di Indonesia. Miss Universe 2015 itu tamu. Kaum gorengan sempat mendapat sekutu sejenak sebagai sesama pemakan tempe. Kita menduga tempe disantap Paulina Vega tak dibeli di pinggir jalan atau angkringan. Begitu.


Bandung Mawardi,

kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

73 tampilan
bottom of page