Kaum Buku
PADA hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan dan Hari Konstitusi, P. Swantoro (26 Januari 1932-11 Agustus 2019) pamitan. Di desa dan kota, jutaan bendera berkibar mengartikan pemuliaan Indonesia. Lomba-lomba sudah diselenggarakan berdalih memeriahkan dan menghibur. Lagu-lagu wajib atau nasional terdengar di pelbagai tempat. Indonesia memang bendera, lomba, dan lagu di setiap Agustus. Swantoro mengartikan Agustus dengan memberi warisan tulisan untuk terbaca bagi orang-orang menepi dari keriuhan iklan, diskon di pusat perbelanjaan, dan pemecahan rekor “menumpangi” ingatan sejarah Indonesia.
Pada 1987, Swantoro menulis ingatan ke tokoh dan UUD 1945. Tokoh itu bernama Soepomo. Ia berperan penting dalam sejarah dengan rancangan dan penetapan UUD 1945, 18 Agustus 1945. Ia adalah sarjana hukum lulusan Universitas Leiden dan mengerti gejolak pergerakan politik kebangsaan. Pada hari-hari menegangkan, Soepomo ambil peran dengan kata dan pikiran untuk membuat pijakan atas pendirian Indonesia. Swantoro sengaja mengajak pembaca mengingat Soepomo agar Agustus tak melulu bertokoh proklamator (Soekarno-Hatta).
Swantoro di jalur jurnalisme sejarah sering menulis tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia dan dunia. Tulisan-tulisan pendek tapi merangsang pembaca melacak peran dan latar kemunculan tokoh di babak-babak terpenting atau “sempat” terlupakan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan menjadi buku dengan judul mentereng: Masalalu Selalu Aktual (2007). Puluhan tulisan membuktikan Swantoro tangguh dan tekun sajikan sejarah ke sidang pembaca. “Sejarah adalah bagian hidup dari Swantoro,” kata Sindhunata. Pujian dari wartawan dan sastrawan turut jadi saksi atas “keberimanan” Swantoro di sejarah. Swantoro memang memilih sejarah dalam studi sampai mendapat gelar sarjana di UGM. Pengetahuan itu disemaikan dengan menjadi pengajar sejarah, sebelum memutuskan “penuh” menjadi wartawan di Kompas.
Puluhan tulisan membuktikan Swantoro tangguh dan tekun sajikan sejarah ke sidang pembaca.
Penjudulan buku mengesankan Swantoro “tanggap” masa lalu dan situasi saat mengalami zaman dengan timbunan masalah dan angan masa depan. Sindhunata menilai tulisan-tulisan Swantoro memberi aktualitas dapat terbaca sebagi “pijakan historis untuk mencermati dan mengkritisi kekuasaan.” Sejak mula, ia memang cenderung menulis sejarah berkaitan politik. Pada saat politik mutakhir di Indonesia “berantakan”, kita seperti mendapat bisikan untuk membaca lagi tulisan-tulisan warisan Swantoro. Tulisan-tulisan dokumentatif, sajian tak (pernah) basi bagi pembaca jeli. Swantoro meninggalkan kita dalam situasi politik pelik tapi “menemani” dengan buku-buku jadi acuan.
Pada saat politik mutakhir di Indonesia “berantakan”, kita seperti mendapat bisikan untuk membaca lagi tulisan-tulisan warisan Swantoro. Tulisan-tulisan dokumentatif, sajian tak (pernah) basi bagi pembaca jeli.
Di sela mengurusi hal atau berita aktual, Swantoro “tenggelam” di kubangan buku-buku tua. Ia bermasa lalu buku, memihak ke buku-buku untuk memberi ke masa depan bagi kaum pembaca. Ketekunan membaca buku-buku menghasilan tulisan-tulisan mengandung sejarah dan biografi. Tulisan-tulisan itu menjadi buku berjudul Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002). Swantoro, manusia emoh capek saat menjalani hari-hari sebagai pensiunan. Ia justru membuka ingatan-ingatan dan “mengumbar” buku-buku lawas untuk tersajikan sebagai bacaan reflektif ke sidang pembaca.
Di sampul buku garapan Rully Susanto, kita melihat Swantoro berbaju batik dan rambut sudah putih. Duduk untuk ibadah membaca buku. Di atas meja, tumpukan buku. Secangkir minuman untuk pembaca berkelana ke masa lalu “terjauh”. Punggung buku berjudul Gellustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie dipamerkan mengajak ke ingatan pustaka masa kolonial. Pesan di sampul buku: lelaki tua dan buku tua. Kita jangan cemberut atau minder. Tulisan-tulisan bersumber dari biografi dan buku-buku tua malah sengaja diberikan ke “anak” dan “cucu”. Kita menganggap diri sebagai “anak” atau “cucu” untuk menjadi pembaca. Buku itu warisan, tak jemu-jemu dibaca meski hari-hari terus berganti.
Kita membaca buku dalam hening dan mengistirahatkan gawai. Hari-hari selalu ramai dan cerewet gara-gara benda di genggaman. Swantoro mengantar kita ke hening kesejarahan dan mengenali biografi si penulis berpredikat “kakek”. Swantoro menerangkan: “Si Kakek pun harus mengendalikan alur memorinya agar jangan sampai menjadi terlalu liar. Ia tidak boleh menuruti ajakannya untuk berkelana sejauh dan seluas mungkin jangkauannya. Ingatan yang satu memang biasanya memanggil-manggil ingatan yang lain. Kalau ini terjadi, penulisan buku ini tidak akan kunjung selesai…” Buku-buku tua terlalu memikat. Swantoro seperti terkena “sihir” sejarah dengan aroma buku dan tampilan buku dari masa lalu. Ia sedang berada di ketakziman, tak ingin direpotkan “zaman ramai” atau “zaman komentar” di hari-hari bermedia sosial.
Swantoro seperti terkena “sihir” sejarah dengan aroma buku dan tampilan buku dari masa lalu. Ia sedang berada di ketakziman, tak ingin direpotkan “zaman ramai” atau “zaman komentar” di hari-hari bermedia sosial.
St Sularto di Kompas, 12 Agustus 2019, menulis cara Swantoro mengerjakan Dari Buku ke Buku dengan menggunakan ratusan buku lawas: “Buku itu tak dipinjam dari perpustakaan, tetapi dicari lewat perantaraan atau blusukan ke pasar loak. Lewat buku ini, ia ingin bercerita tentang sejarah manusia. Ia melakukan penulisan sejarah ‘dari bawah’. Sejarah memberi perspektif dalam kerja jurnalistik.” Pada 14 Agustus 2019, Kompas memuat berita berjudul “Swantoro Telah Menjadi Sejarah”. Petikan pujian Sindhunata untuk Swantoro sebagai jurnalis tangguh di Kompas. Swantoro itu teladan bahwa wartawan harus membaca buku. Swantoro pun berjasa “membuat jurnalisme Kompas sebagai jurnalisme sejarah”.
Kaum buku abad XXI mungkin mengandaikan menjadi pembaca buku seperti Swantoro, memegang atau berhadapan dengan buku-buku autentik terbit di masa lalu. Sekian buku malah berusia ratusan tahun. Buku-buku garapan para sarjana lama, sastrawan, dan sejarawan dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Indonesia menjadi bacaan memicu penasaran tak habis-habis. Di pegangan Swantoro, ada buku-buku garapan Blumberger, Brandes, Brugmans, Achmad Djajadiningrat, Gericke, Roorda, Pigeaud, Poerbatjaraka, dan lain-lain.
Swantoro mewajibkan diri menguasai bahasa asing, selain bahasa Indonesia dan Jawa. Buku-buku lama berbahasa Belanda bakal terus membisu sampai akhir zaman jika tak ada pembaca mampu berbahasa Belanda. Di mata Swantoro saat bocah, buku-buku itu “tidak lebih daripada sekadar buku bergambar”. Situasi berhadapan buku mengesahkan niat Swantoro belajar bahasa Belanda: “Dengan pengetahuan baru tersebut semua buku dan juga majalah-majalah lama yang ditulis dalam bahasa Belanda lantas menjadi ‘benda hidup’.” Ia menjadi pembaca dengan capain-capaian keintelektualan dan kesejarahan.
Kita berhak menganggap Swantoro adalah “teladan” bagi kaum buku di abad XXI. Berhadapan dengan buku-buku tua sering membikin capek dalam misi mengisahkan sejarah dan mengetahui situasi masa lalu. Buku-buku menjadi pemandu di “taman sejarah” memiliki bunga-bunga bermekaran makna. Kita beruntung berjalan digandeng oleh “kakek” dan mendapat cerita-cerita tak diperoleh di sekolah atau universitas. Buku-buku telanjur memberi pikat ketimbang kesibukan-kesibukan rebutan kekuasaan, duit, dan gengsi. Swantoro memberi petuah agar kita sanggup menjadi “kaum buku”, menghindari bebalisme sedang melanda setiap hari. Begitu.
Bandung Mawardi,
kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Коментарі