top of page
Cari
Majalah Basis

Jamu Bermasa Lalu

Bandung Mawardi


DI Indonesia, ada kelaziman omongan tokoh penting sering membikin ribut. Pada suatu hari, ada menteri mengatakan gamblang bahwa ada kalung penangkal Covid-19. Publik pun geger memberi komentar dan bergosip ngalor-ngidul. Menteri tak berurusan dengan kesehatan memberi penjelasan menghebohkan. Penjelasan itu tanpa teks seperti dalam pidato resmi. Beliau telanjur mengumumkan kalung “sakti mandraguna” tapi malah mendapat komentar-komentar bergelimang kritik ketimbang pujian. Tepuk tangan absen.


Di Solopos, 7 Juli 2020, kita membaca berita berjudul agak lucu: “Kemarin Antivirus, Sekarang Jadi Jamu.” Kritik-kritik berdatangan dari segala penjuru “manjur” memaksa pihak-pihak telah sesumbar untuk mengubah penjelasan dan klaim. Izin paten dan edar untuk kalung diproduksi oleh Balitbangtan Kementerian Pertanian adalah jamu. Izin dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Omongan berlebihan atau gegabah sudah memicu komentar-komentar beredar ke segala arah, menguak kesebalan publik atas kebijakan dan kerja pelbagai pihak di pemerintahan dalam menanggulangi wabah.


Omongan berlebihan atau gegabah sudah memicu komentar-komentar beredar ke segala arah, menguak kesebalan publik atas kebijakan dan kerja pelbagai pihak di pemerintahan dalam menanggulangi wabah.

Kritik termanjur tentu dari para ilmuwan. Kritik berpatokan bukti dan argumentasi. Komentar-komentar keras telanjur menambahi bobot kehebohan. Hari-hari menjadi semakin membingungkan saat kita ingin tak dihajar bias-bias pemberitaan. Kompas, 7 Juli 2020, mengingatkan sumber kehebohan: “Klaim produk itu dikeluarkan Kementan (Kementerian Pertanian) dalam siaran pers ‘Kementan Launching Antivirus Corona Berbahan Eucalyptus’, 8 Mei 2020. Disebutkan dalam siaran pers yang juga bisa ditemui di laman pertanian.go.id ini, produk inovasi ini hasil uji lab para peneliti pertanian yang dinilai mampu menangkal penyebaran virus”. Kita menanggungkan capek memikirkan kejutan-kejutan dari pemerintah. Semua berkaitan wabah.


Ralat telah diumumkan bahwa izin edar adalah jamu, bukan antivirus. Kita mendingkan berpikiran masa lalu saat jamu mulai dipertimbangkan pemerintah secara serius. Jamu sudah lama dikonsumsi orang-orang di Indonesia tapi belum mendapat pengakuan dalam kebijakan-kebijakan kesehatan dari pemerintah. Kita mulai mengingat dulu nasib jamu atau obat tradisional pada masa pendudukan Jepang. Kelangkaan obat memicu para dokter memikirkan warisan para leluhur untuk tetap menjadikan penduduk sehat dan kuat. Raden Mochtar menulis buku berjudul Obat-Obat dari Bahan-Bahan Negeri Sendiri (1945). Di situ, ada anjuran pendirian kebun-kebun tanaman obat sebagai usaha patriotik memasok bangsa dengan obat-obatan. Situasi sulit mengakibatkan obat-obat (modern) tak lagi tersedia. Para dokter pun beralih ke obat herbal dan penduduk memihak ke jamu (Hans Pols, Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, 2019).


Ikhtiar besar terus berlanjut meski tak lancar setelah industri obat mulai pulih kembali ketika Perang Dunia II berakhir. Kita mencatat kesinambungan pengenalan jamu dilanjutkan oleh Seno Sastroamidjojo dengan penulisan buku berjudul Obat Asli Indonesia (1948). Hans Pols menjelaskan obat-obat herbal di Indonesia masa lalu biasa disiapkan oleh kaum perempuan atau dukun tradisional. Tata cara hidup dengan mengonsumsi obat herbal itu masih sulit menandingi pengobatan Barat memiliki “pembenaran” dalam profesi dokter, rumah sakit, apotek, dan kebijakan-kebijakan resmi pemerintah. Kita diajak mengingat perdebatan obat asal Barat, jamu, atau obat herbal telah seru dan pelik sejak lama. Perdebatan diramaikan dengan iklan-iklan di surat kabar dan penerbitan buku-buku. Kita mencontohkan buku tipis terbitan Sadoe Boedi (Solo) berjudul Ratjikan Djampi Djawi Ingkang Winados (1942, cetakan kelima).


Pada masa Orde Baru, usaha mengenalkan jamu untuk dikonsumsi publik semakin gencar. Industri jamu maju. Di desa dan kota, kita biasa melihat ada depot-depot jamu. Periklanan jamu membesar di koran, majalah, radio, dan televisi. Buku penting beredar pada masa Orde Baru berjudul Jamu Jawa Asli (1984) susunan Soedarmilah Soeparto. Kemonceran jamu bersaing dengan iklan-iklan obat modern. Anggapan publik mengenai jamu dan obat “terbedakan” melalui penjelasan-penjelasan ilmiah dan pembuatan peraturan-peraturan dari pemerintah mengacu WHO.


Soedarmilah Soeparto menjelaskan: “Ikhwal jamu itu sendiri hakikatnya adalah sarana kesehatan yang didasarkan rasa kemanusiaan (welas asih), tetapi begitu memasuki area perdagangan, sifat jamu mengalami suatu percobaan besar. Kadang-kadang bukan rasa kemanusiaan lagi yang dicerminkan, melainkan sudah dianggap sebagai komoditi, yang dengan sendirinya berupaya mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sungguh pun demikian fungsi sosialnya masih ada, yaitu membawa kesehatan sebagaimana diharapan penderita. Makin cespleng, makin laris. Sampai tiba gilirannya bermunculan hasrat beberapa produsen untuk memberi kesan ‘manjur’ dan ‘mujarab’ dicampurinya dengan bahan kimia, di samping menggerakkan promosi besar-besaran”. Industri jamu memang membesar tapi kaidah-kaidah diwasiatkan para leluhur sering dilanggar berdalih bisnis. Pendapatan dalam industri jamu memang menggiurkan.


Industri jamu memang membesar tapi kaidah-kaidah diwasiatkan para leluhur sering dilanggar berdalih bisnis. Pendapatan dalam industri jamu memang menggiurkan.

Laporan khusus bertema jamu dimuat dalam Prisma edisi Februari 1984. Laporan itu mendokumentasi dan menanggapi laju industri jamu. Pada masa 1980-an, tercatat ada 343 perusahan jamu memiliki izin resmi pemerintah dengan memproduksi 1.572 jenis jamu terdaftar di Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan menjelaskan jamu-jamu itu berupa rajangan, serbuk, pil, kapsul, tablet, cairan, parem, dan salep. Semua jenis jamu diinformasikan laris di pasar. Sekian jamu mampu dijual ke pelbagai negara. Situasi pasar itu memunculkan sebutan kemenangan para “raja jamu” di masa Orde Baru. Keuntungan industri jamu berlimpahan. Kita mengenal ada Jamu Jago, Portret Njonja Meneer, Air Mancur, Sidomuncul, Jamu Iboe, dan lain-lain. Kebesaran industri jamu itu mendapat peringatan berkaitan dengan penelitian laboratorium mengenai efek samping. Pada masa 1980-an, penelitian-penelitian jamu masih lemah gara-gara membutuhkan dana besar dan waktu lama, berkemungkinkan malah merugikan perusahaan jamu.


Nasib jamu di masa Orde Baru berbeda dengan masa kolonial atau masa pemerintahan Soekarno. Tahun-tahun menjelang malapetaka 1965, industri jamu di Indonesia hampir punah. Keterangan itu diperoleh dari pembahasan jamu di Tempo, 4 Mei 1985. “Jamu Indonesia adalah istilah yang digunakan berdasarkan ketentuan tentang Pokok-Pokok Kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960. Undang-undang itu sebenarnya menyebut obat asli Indonesia, yaitu obat-obat yang didapat langsung dari bahan alamiah Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan dalam pengobatan tradisional,” tulis di Tempo.

Dulu, debat terjadi dalam sebutan dan pembuktian. Soedarmilah Soeparto menganggap “jamu itu jamu”. Ia mengetahui para dokter atau Departemen Kesehatan mulai cenderung mengatakan jamu itu obat tradisional. Soedarmilah Soeparto mengingatkan bahwa masa 1980-an belum ada sebutan resmi dan bisa dipertanggungjawabkan bahwa jamu itu obat tradisional. Industri jamu terus membesar tapi debat-debat berlangsung tanpa kejelasan.


Soedarmilah Soeparto mengingatkan bahwa masa 1980-an belum ada sebutan resmi dan bisa dipertanggungjawabkan bahwa jamu itu obat tradisional. Industri jamu terus membesar tapi debat-debat berlangsung tanpa kejelasan.

Pada 2020, kita berdebat lagi bertema jamu dan wabah. Kita belum berpikiran industri jamu tapi masalah omongan menteri, hasil kerja kementerian, komentar ilmuwan, dan anggapan publik. Sumber debat bukan berasal dari Kementerian Kesehatan tapi Kementerian Pertanian sedang diharapkan membuat kebijakan-kebijakan mendesak demi ketersediaan pangan selama dan setelah wabah. Sekian istilah diberikan untuk kalung hasil penelitian di Kementerian Pertanian. Menteri mengatakan itu penangkal virus. Para ahli mencukupkan sebutan aromaterapi untuk membantu meredakan gangguan pernapasan. Sekian pihak memastikan itu jamu mengacu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kesibukan berdebat terasa melelahkan tapi kita tergoda membuka halaman-halaman sejarah ketimbang ribut membikin “pusing” dan “marah-marah”. Begitu.


_________



Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut




55 tampilan

Comments