Hidup dan Mati Bersama Buku
“IA pasti berjalan berkeliling seraya tembok-tembok itu meninggi, mengulurkan ke si kuli sejilid Borges buat dipaskan di bawah kusen jendela, Vallejo untuk pintu, Kafka di atasnya, dan di sampingnya Kant, serta edisi sampul tebal Farewell to Arm-nya Hemingway; juga Cortazar dan Vergas Llosa, Aristoteles, Camus dengan Morosoli; dan Shakespeare lengket selamanya dengan Marlowe kena adukan semen; dan semuanya ditakdirkan untuk mendirikan tembok.”
Kengerian itu ditulis Carlos Maria Dominguez dalam novel Rumah Kertas untuk menceritakan Carlos Brauer saat mendirikan rumah di atas pasir di Rocha, La Paloma. Untuk kemari, seseorang harus menggunakan pedati karena rusaknya jalan dan jauh dari jalur utama. Sebelah-sebelah rumah Brauer hanya berdiri gubuk-gubuk reot milik nelayan miskin yang kadang diterjang banjir hingga betis.
Novel tipis 74 halaman ini diawali dengan kisah misteri ketika seorang dosen Universitas Cambridge menerima paket kiriman La linea de sombra, sebuah novel pendek berbasis di laut yang ditulis Joseph Conrad. Novel untuk rekan sekantor sekaligus sahabatnya, Bluma Lennon, yang meninggal beberapa waktu sebelumnya akibat tertabrak mobil saat ia sedang asik membaca Poems dari Emily Dickinson sambil menyeberang.
La linea de sombra ia terima dengan keadaan mengenaskan. Lembarannya sudah lusuh, juga terdapat bekas semen, kerikil, dan pasir, seperti buku yang tercebur adonan tukang bangunan. Hanya ada petunjuk perangko Uruguay tanpa surat apapun dan alamat jelas dari pengirim. Namun, ia menemukan tulisan Bluma: “Buat Carlos, novel ini telah menemaniku dari bandara ke bandara, demi mengenang hari-hari sinting di Monterrey itu. Sori, kalau aku bertingkah sedikit mirip penyihir buatmu dan seperti sudah kubilang sedari awal: kau takkan pernah melakukan apapun yang bisa mengejutkanku. 8 Juli 1996.”
Dalam pencariannya terhadap si pengirim yang misterius, ia menapaki lembar demi lembar tentang makna bias dan makna sungguhan dari buku. Ia merasa heran mengapa kebanyakan orang bisa demikian kecanduan buku. Tapi ia juga akhirnya tak tega menyingkirkan The Call of the Wind yang menyusun bata hidup kecilnya, atau Zobra the Greek yang mengakhiri masa remajanya dengan noda air mata. “Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya,” katanya.
Seperti kata reformis pendidikan Amerika Serikat, Horece Mann, “Rumah tanpa buku bagaikan ruangan tanpa jendela.” Ruangan itu gelap, pengap, dan sesak, seperti pikiran tanpa buku. Mortimer J. Adler dalam Cara Membaca Buku dan Memahaminya (1986) menilai membaca adalah kegiatan melakukan penemuan, mengantar dari tak paham menjadi lebih paham. Artinya, pribadi tanpa berbuku, pribadi tak berpemahaman.
Pecandu buku menuliskan waktu ia membaca sebuah buku, lainnya menuliskan namanya sebelum ia pinjamkan, membubuhkan stempel custom bak perpustakaan kota, bahkan membuat catatan judul apa yang dipinjam siapa. Kita lebih rela kehilangan benda lain: jam tangan atau cicin ketimbang sebuah buku yang mungkin tetap tidak terbaca meski tetap di lemari.
Tak melulu buku menyajikan karya intelektual dan rasa kemendalaman, hanya buku-buku payah yang dipromosikan habis-habisan oleh penerbit lewat anugerah sastra, film-film acakadut, atau pajangan terdepan toko buku yang berbayar. Penerbit mengeluhkan kurangnya penulis-penulis bagus. Penulis berujar penerbit menerbitkan buku kelas “tai kucing” saja. Semua marah dengan kedangkalan buku-buku.
Ketika rekan Bluma itu menelusur sampai kediaman Delgado, ia tercengang saat berada di lantai 5 dan melihat rak-rak kayu berkualitas berpintu kaca melajur dari lantai sampai atap, semua bersisi buku. Saat Delgado mengajaknya tur di lantai itu, ternyata rak sejenis ada di semua ruangan. “Saya tinggal di lantai atas, bersama istri dan putra saya,” kata Delgado yang mengamini dugaannya.
“Berapa jumlah buku yang Anda punya?” tanyanya. Delgado menjawab ia sudah tak menghitung lagi, tapi diperkirakan delapan belas ribu buku. Delgado bilang, seseorang menambah terus menerus lalu terlihat banyak, tapi menurutnya itu hanya ilusi. Karena ketika ia membaca sebuah buku, lalu sebuah bagiannya mengharuskan ia membaca buku-buku lain, hingga dua puluh buku lainnya untuk mendampingi buku itu. “Sialnya, berapa jam dalam sehari bisa saya peruntukkan buat membaca? Paling banter empat atau lima jam. Saya bekerja pukul delapan sampai pukul lima sore di sebuah jabatan yang tidak enteng tanggung jawabnya. Sepanjang waktu itu saya merindukan berada di ‘gua’ ini,” kata Delgado.
Tega-teganya orang memperlakukan buku sebagai perhiasan, menjadikan buku sebagai kesombongan intelektual. Seandainya saja bersedia menyisihkan sekejap waktu untuk mengulik penciptaan buku, mungkin saja orang-orang tidak sedemikian arogan memanfaatkan buku sekedar pajangan. Johannes Gutenberg sebagai penemu mesin cetak pada 1450 hanya penanda revolusi perbukuan. Orang Asiria (934 SM) menulis di lempengan tanah liat yang kemudian dijemur agar tak pecah (McDonald Education, Kertas dan Cetakan, 1980). Orang Mesir memetik dan menganyam tanaman papirus kemudian dipipihkan menjadi media pencatat sejarah mereka. Di tempat lain ada yang menggunakan perkamen, yaitu kulit hewan yang digosok hingga halus sebelum menjadi media tulis, perkamen banyak digunakan untuk menulis Injil. Saking berharganya buku berupa papirus dan perkamen, pemiliknya harus membuat kotak bergembok untuk melindunginya.
Kertas yang kita kenal hari ini merupakan ciptaan bangsa Cina yang terinspirasi oleh penggulungan sutra. Mereka melumatkan pakaian bekas mejadi bubur dan mencetaknya pada sebuah saringan. Hari produksi kertas modern berbahan baku dari kayu, jadi Delgado-Delgado nyata di dunia sebenarnya bukan menyimpan buku, melainkan gelondong-gelondongan kayu-kayu lunak. Demikian juga perpustakaan tanpa pembaca, pasar buku bekas yang tak laku-laku, juga gudang penerbit besar yang mencetak berlebih-lebihan.
Perlakuan setiap orang pada buku tentu berbeda-beda, bahkan dengan perbedaan yang ekstrem. Ada yang gemar membeli buku-buku terbaru yang masih tetap terbungkus rapi sepuluh tahun kemudian. “Akan kubaca saat tua nanti,” katanya, meski tua nyatanya belum tentu datang. Ada yang membeli buku-buku tebal semacam ensiklopedia berseri-seri untuk ia jajarkan di sebuah lemari kaca terkuci di ruang tamunya. “Aku sanggamai tiap-tiap buku, dan kalau belum ada bekas, artinya aku belum orgasme,” ucap Brauer yang gemar mencoret-coret buku-bukunya.
Buku adalah ungkapan seni, mulanya ditulis di batu atau lembaran papirus, hingga Johannes Gutenberg membuat mesin cetak pada 1450. Seperti mulanya yang hanya mencetak Kitab Suci, buku merupakan sebuah kesucian lain karena muncul dari penemuan-penemuan gagasan baru melalui olah pikir dan proses intelektual. Era awal perbukuan juga menunjukan strata sosial dan pendidikan, karena buku hanya dapat dipegang oleh orang-orang penting, kaum intelktual, atau pemimpin agama. Maka selain untuk melakukan penemuan baru dan mendapatkan informasi, buku juga sebagai properti sebuah pertunjukan keintelektualan seseorang.
Petualangan sahabat Bluma ini mengantarkannya pada ironi perbukuan ketika akhirnya ia hampir bertemu Carlos Brauer, sang pengirim La linea de sombra. Carlo berkali-kali lebih gila buku dari Delgado. Ia bukan kolektor buku, ia penikmat buku, atau malah, ia adalah buku itu sendiri. Sepanjang waktunya adalah untuk melahap lembar demi lembar, bab ke bab, buku satu ke lainnya. Hingga buku menjadi “manusia” dalam hidupnya: Breurer keberatan menaruh buku Borges di sebelah garcia Lorca karena keduanya pernah saling ejek. Ia juga tak bisa meletakkan Shakespeare bersanding dengan Marlowe karena tudingan plagiarisme keduanya. Bahkan, ia meletakkan anggur putih saat sedang makan malam, bukan di sebelahnya, tetapi di sebelah El Quijote yang ada di seberangnya. Lebih ekstrem, ia menyusun buku-buku di ranjangnya menyerupai tubuh manusia.
Untuk mengurangi kekisruhan hidupnya bersama “manusia” bernama buku itu, Brauer membuat indeks ciptaannya sendiri, tidak berdasarkan kategori tetapi berdasarkan saling keterkaitan tema, agar Shakespeare tak kelahi dengan Marlowe di rak bukunya. Hari ke hari, Brauer tapaki agar ia mudah mencari buku apa di mana. Dia mengabari Delgado bahwa indeksnya sudah hampir mutakhir dan disusul kabar tragedi tak lama setelahnya. Brauer lupa tak mematikan lilin di meja bacanya dan menjadikan abu indeksnya.
Kehilangan indeks bukan hal sepele bagi Brauer, bayangkan Anda memiliki kenangan-kenangan keceriaan masa kanak-kanak, kenakalan masa remaja, pembangkangan menjelang dewasa, perjumpaan-perjumpaan. Kenangannya masih, tapi Anda kehilangan urutan letaknya. Ketika ingin mencari gambar istri pertama Anda, yang diemukan malah sepatu yang remuk digigiti anjing. Ketika mencari wajah Ibu, Anda malah menemukan wajah petugas kepolisian yang tak ramah. Anda masih ingat dan semuanya masih ada, tapi Anda tak akan menemukan.
Itulah alasan Brauer memboyong seluruh bukunya ke ujung buminya, Rocha.Ia membayar kuli untuk menyemen satu per satu dirinya itu menjadi rumah. Brauer tak lagi berbuku, tapi ia masih bisa menjawab, “Mereka masih terus menemaniku. Memberiku perlindungan. Keteduhan di musim panas. Membentengiku dari angin. Buku masih menjadi rumahku.”
Hingga suatu saat ketika ia menempati rumah buku itu. Ia beranjak dan mengambil godam dan membenturkan mulanya di sisi depan, lalu berpindah di bawah jendela. Sampai para nelayan dari kejauhan menyadari Brauer tidak sedang membenahi rumahnya, Brauer sedang mencari sesuatu. Ketika yang ia cari ditemukan, ketika itu pula rumahnya menjadi reot dan nyaris ambruk.
La linea de sombra adalah benda yang ia cari itu dan merupakan pemberian Bluma Lennon ketika mereka bertemu di konferensi sastra Monterrey. Kedua pecandu buku ini bercumbu mesra di sela-sela malam konferensi. Kedua orang yang hidup bersama buku dan mati karena buku.
Yohanes Bara,
redaktur Majalah Utusan.
Opmerkingen