Hal Lain yang Hemingway Bicarakan Saat Memancing
PADA mulanya sebuah percakapan. Seorang lelaki pemburu gajah dengan antusiasme yang lebih mendekati sikap ngotot, bercerita kepada Ernest Hemingway tentang asyiknya berburu gajah dibanding sekadar memancing ikan. Berburu gajah dianggap memiliki risiko tinggi, antara hidup dan mati. Bagi pemburu, pilihannya cuma ada dua, menombak mati atau terlindas kaki gajah yang keras. Pemburu itu berkeyakinan “tidak ada olahraga kalau tidak ada bahaya besar”.
Berdialog dengan orang yang ngotot rasanya seperti melubangi batu dengan paku pinus. Hemingway merasa sulit menjelaskan padanya esensi dari memancing ikan tidaklah terletak pada mengalahkan atau mematikan buruannya. “Nanti akan kutulis,” tegas Hemingway tak mau hobi yang ia kagumi disepelekan begitu saja. Hemingway pun lalu menuliskan pengalaman berkesan memancing ikan trout dan marlin itu di koran-koran dan setelahnya dihimpun kembali dalam buku By-Line: Ernest Hemingway Selected Articles and Dispatches of Four Desades (Charles Scribnesr’s Son, 1967). Penerbit Circa menyortir beberapa artikel tersebut dan oleh An Ismanto diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lalu diterbitkan menjadi buku mungil berjudul Memancing: Sepilihan Karya Jurnalistik Ernest Hemingway (2018).
Hemingway merasa sulit menjelaskan padanya esensi dari memancing ikan tidaklah terletak pada mengalahkan atau mematikan buruannya.
Dengan gaya penulisan jurnalisme sastrawi, Hemingway menegaskan bahwa memancing bukan soal hobi sambilan. Pemancing sejati tahu, untuk bisa menghayati spirit memancing seseorang memerlukan keahlian, pengetahuan, dan ketepatan naluri. Memancing juga bukan semata menangkap ikan besar. Ada kenikmatan dan pertaruhan di sana. Hemingway bukan pemancing amatiran yang hanya memasang joran di sungai-sungai kecil dekat perumahan. Ikan punya habitatnya sendiri-sendiri. Dan inilah tantangannya, Hemingway mesti paham karakter ikan sepaket dengan tempat-tempat mereka biasa bersembunyi. Selain itu, kenikmatan memancing hanya memungkinkan didapat saat mereka berhadapan dengan ikan-ikan bertenaga kuat serta berdaging lezat, seperti ikan tuna, trout, dan marlin. Selalu diperlukan stamina yang kuat dan strategi menarik senar pancing dengan jitu agar "permainan" menangkap ikan menyisakan kepuasan dan kesan yang mendalam.
Dalam laporan berjudul Memancing Tuna di Spanyol, Hemingway paham betul ulah dan watak ikan tuna yang banyak dijumpai di sekitaran teluk di kota Vino, Spanyol. Pengalaman memancing tuna adalah pertaruhan kekuatan bagi lelaki. Memancing mirip pembuktian atas kekuatan lelaki. Lelaki sejati pantang keok di hadapan ikan tuna. Bagi Hemingway, “Kalau kita berhasil menangkap seekor ikan tuna besar setelah bertarung enam jam, bertarung melawannya sebagai seorang laki-laki melawan ikan dengan otot-otot lelah dan tegang tanpa henti, dan akhirnya menyeretnya ke samping perahu, dengan warnanya yang biru kehijauan dan perak di samudra yang lamban, kita akan disucikan dan tampil tanpa malu-malu di hadapan para dewa lamadan mereka akan menyambut kita.” Kesuksesan memancing bertendensi capaian spiritual. Hemingway ingin mengesahkan: antara memancing dan kelelakian punya relasi yang erat. Perjuangan berjam-jam bertarung dengan ikan menandai ada upaya bertanding secara adil dan berimbang. Hal semacam inilah yang Hemingway yakini sebagai watak seorang lelaki. Agak seksis memang. Tetapi inilah cara Hemingway memaknai ritual memancing tuna.
Pengalaman memancing tuna adalah pertaruhan kekuatan bagi lelaki. Memancing mirip pembuktian atas kekuatan lelaki. Lelaki sejati pantang keok di hadapan ikan tuna.
Hemingway juga mengajak pembaca lebih memahami aktivitas memancing lebih sebagai hobi dan olahraga. Dan di atas segalanya adalah proses. Memancing adalah olahraga, bukan sebuah peperangan atau upaya pembasmian. Perpaduan antara daya tahan tubuh dan kesabaran, itulah memancing yang sebenarnya. “Bertarung melawan ikan yang benar-benar besar, cepat dan tak dibantu siapa pun, tidak pernah istirahat, atau membiarkan ikan itu istirahat, bisa dibandingkan dengan pertarungan sepuluh ronde di ring tinju karena membutuhkan kondisi fisik yang bagus.” Memancing menggunakan cara-cara yang bakal mematikan ikan-ikan dengan segera oleh Hemingway sangat tidak dibenarkan. Edukasi semacam inilah yang Hemingway ingin tegaskan.
Di dunia Barat, memancing adalah aktifitas legal dan dilindungi undang-undang. Karenanya, perlu perhatian dan kesadaran dari semua kalangan, dari pemancing, penyedia jasa fasilitas, hingga negara. Jika perizinan memancing diselenggarakan secara sehat, pandangan memancing sebagai olahraga bisa terus dikampanyekan: “Tetapi selama perahu sewaan masih sangat mahal, dan pemandu maupun pemancing menginginkan hasil ketimbang hal-hal lain, memancing ikan besar akan lebih mirip perang total melawan ikan besar ketimbang olahraga.” Diperlukan kesadaran pemancing dan peran pemerintah atau penyedia jasa agar memancing tetap berada dalam pengertian yang Hemingway maksud.
Jika perizinan memancing diselenggarakan secara sehat, pandangan memancing sebagai olahraga bisa terus dikampanyekan.
Pengetahuan Hermingway yang mendalam tentang ikan membuat ia sanggup menulis laporan panjang dan mendetail. Apalagi jika sudah berkaitan dengan ikan marlin. Kisah penangkapan ikan marlin inilah yang kemudian Hemingway angkat menjadi premis novel Lelaki Tua dan Laut yang lantas mengantarkannya beroleh hadiah Nobel Sastra 1954. Caranya menulis reportase sangat mempertimbangkan bagaimana tiap peristiwa bergerak dan saling menjalin. Pola penulisan jurnalistik semacam ini membuat pembaca membayangkan secara lebih nyata proses terjadinya tiap peristiwa, dari mulai perjalanan mencari tempat berdiamnya banyak ikan besar, merasai arah angin yang berhembus, serta gerak-gerik tiap ikan saat bereaksi dengan umpan.
Salah satu penggambaran terbaik tentang ikan marlin bisa kita simak pada petikan berikut ini: “Ia akan melompat tinggi dan lama, menebar-nebarkan butiran air saat keluar dari air, dan menciptakan percikan seperti peluru saat ia terjun ke dalam air lagi. Lalu ia akan melompat lagi, terus-menerus, kadang ke salah satu sisi kapal, lalu menyeberang ke sisi lain dengan begitu cepat hingga kau bisa melihat senar yang membelah air sekencang tikungan ski pacuan.”
Penulisan reportase semacam itu tentu akan menjadikan cerita yang Hemingway tulis berumur panjang dan selalu menarik untuk dibaca dan dibaca lagi. Kriteria tulisan Hemingway mengamini apa yang pernah Fahri Salam singgung dalam pengantar buku Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme (2016). Menurut Fahri, prosa jurnalistik “mengangkat cara bertutur khas si pencerita sekaligus merangkai konteks terhadap subjek yang ditulisnya.” Penulisan semacam ini, tambah Fahri, adalah “upaya jurnalisme mengembangkan apa yang dianggap relevan ke dalam bentuk cerita yang menarik”. Sebagai cerita, tentu di sana “ada dialog, adegan, perjalanan waktu, konflik dan emosi, penerapan struktur cerita yang terjaga, karakter dalam sebuah peristiwa, dan kadang pula ia bisa mengungkap motif.” Semua unsur itulah yang menyebabkan laporan Hemingway tentang memancing ini tak pernah menjadi sekadar kisah memancing.
Widyanuari Eko Putra
Penggiat Kelab Buku Semarang.
Comentários