Gajah dan Kertas
top of page
Cari

Gajah dan Kertas

Hari-hari terus berganti, orang-orang sibuk hidup berselera digital. Segala hal ingin digital. Konon, semua bakal jadi gampang, murah, cepat, apik, dan bermutu. Orang-orang rajin berdoa agar betah dan girang menjalani hari-hari digital. Di dunia, mereka berdigital mungkin tak sabar mencipta “surga-surga”. Digital itu kebaikan, kemuliaan, dan keagungan. Konklusi sebelum berpikir selama seribu hari bersama renungan-renungan bijak mengacu ide-imajinasi para leluhur, sejak ribuan tahun lalu.


Di Republika, 10 April 2019, kita melihat sekian foto dan teks pendek oleh Prayogi. Tatapan sepintas: “Oh, itu gajah!” Seruan sambungan: “Oh, itu kertas!” Di kepala pembaca: “Gajah dan kertas?” Foto-foto memerlukan penjelasan. Tujuh foto dihasilkan dari kunjungan ke Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Penjelasan gajah “melahirkan” kertas: “Namun, sistem pencernaan hewan ini tergolong tidak efisien sehingga 40 persen serat yang masuk tidak tecerna. Kotoran yang dihasilkan gajah ini masih sangat kaya dengan serat. Dari bahan baku inilah kemudian diolah menjadi bahan kertas.”




Gajah itu kertas. Gajah berbeda peran dari film Dumba sedang diputar di bioskop-bioskop Indonesia, lagu merdu Tulus, atau gajah bernama Bona di majalah Bobo sedang berulang tahun ke-46. Gajah makan, gajah mengeluarkan kotoran. Kerakusan gajah makan menghasilkan serat-serat bagi pembuat kertas daur ulang. Kita mulai berani menghilangkan jijik pada kotoran gajah. Kotoran itu berfaedah bagi orang-orang masih berpikiran kertas, bukan melulu digital. Hasil pengolahan kotoran gajah adalah buku, amplop, kertas cetak, kartu undangan, dan bingkai foto.


Kita terlambat mengenali gajah itu kertas? Para pembaca buku-buku terbitan Marjin Kiri tentu mengingat ada gajah di situ. Buka saja di data buku bagian bawah! Kita membaca keterangan: “Dicetak oleh Gajah Hidup.” Nama perusahaan percetakan. Ingat percetakan buku, ingat kertas. Kita diajak pula mengingat gajah. Pembaca belum pernah mendapat penjelasan mengenai penggunaan nama gajah saat keranjingan membeli dan mengoleksi buku-buku terbitan Marjin Kiri. Kita anggap saja gajah di situ “membenarkan” berita di Republika mengenai gajah berkaitan kertas.


Para pendamba masa lalu mungkin mengingat gajah itu simbol ilmu-pengetahuan. Simbol digunakan di perguruan tinggi moncer di Bandung. Sejak ribuan tahun lalu, orang-orang di Nusantara mengenali gajah itu simbol ilmu-pengetahuan, mendapat sebutan Ganesha. Pada masa berbeda, ilmu-pengetahuan itu bekertas gara-gara kedatangan bangsa-bangsa asing dan pembesaran lakon kolonialisme. Di kertas-kertas dijilid menjadi buku, bumiputra melek ilmu-pengetahuan dan sanggup membentuk-memuliakan Indonesia. Kertas-kertas menentukan sejarah keintelektualan dan kekuasaan. Di kertas-kertas, sejarah dicantumkan, sejak pendirian Boedi Oetomo (1908) sampai penulisan teks proklamasi (1945). Kertas-kertas menggerakkan sejarah Indonesia terus bertambah meski sekian hilang. Kertas hilang berisi kalimat-kalimat dan tanda tangan terkenang sebagai Supersemar.


Penciptaan sejarah kolosal berlangsung di Indonesia pada 17 April 2019. Sekian ton kertas dinamai surat suara menentukan lakon demokrasi. Di kertas-kertas berisi nama, logo, foto, angka, dan lain-lain, jutaan orang dimintas untuk “merusak” dengan cara mencoblos. Tangan memegang benda dinamai paku untuk memberi suara. Peristiwa coblosan. Kertas besar itu sulit dilipat bagi orang-orang sering gemetaran, pemalu, dan bingung. Kertas-kertas dihitung menghasilkan menang-kalah. Demokrasi masih bekertas, tak mutlak digital. Kertas-kertas mengisahkan Indonesia melalui hari-hari bergemuruh politik. Kertas masih terlalu menentukan kita dan Indonesia.


Konon, kertas sering mengingatkan orang pada pohon dan hutan. Seruan-seruan dari para tokoh menginginkan pengurangan penggunaan kertas di pelbagai peristiwa keseharian demi keselamatan alam. Seruan itu masuk ke sekolah, kampus, rumah, kantor, dan perpustakaan. Orang-orang dituduh boros kertas. Tindakan “merugikan” Bumi. Puluhan argumentasi disodorkan agar pengurangan penggunaan kertas disahkan melalui kebijakan resmi pemerintah atau institusi partikelir. Kertas “agak” disalahkan bagi kita belum terlalu mengerti seruan-seruan bercap global. Kita pusing memikirkan kertas, ketimbang memikirkan politik.


Pusing itu reda saat kita mulai mengingat kertas itu gajah. Nasib gajah di hutan dan kebun binatang belum tentu selalu baik-baik saja. Ikhtiar mengolah kotoran gajah di pembuatan kertas bisa jadi acuan mengajarkan binatang dan kertas ke bocah-bocah mulai menggandrungi segala hal harus digital. Dulu, pengenalan bocah pada gajah adalah tatanan kata mengenai raga. Gajah dilihat bocah saat diajak piknik oleh guru atau bapak-ibu. Bocah pun ingin naik di atas gajah. Ia mungkin berimajinasi jadi raja, ksatria, atau putri dalam cerita-cerita masa lalu.


Pengajaran gajah itu gampang ketimbang pengajaran tentang kertas. Pada 1980, terbit buku untuk bocah berjudul Kertas dan Cetakan. Buku itu terjemahan diterbitkan Gramedia. Kita simak penjelasan di buku: “Untuk membuat bubur kertas diperlukan kayu banyak sekali. Untuk keperluan itu banyak ditanam pohon di hutan. Setiap menebang pohon, ditanam pohon baru, supaya selalu ada persediaan untuk kemudian hari.” Bocah-bocah di Indonesia tak terlalu sulit mengerti pohon dan kertas. Kini, pengetahuan pohon berkurang dan bocah-bocah di sekolah setiap hari membawa tas berat. Isi tas itu adalah sekian buku pelajaran tebal-besar dan buku tulis. Kertas-kertas telah membuat murid-murid capek demi memenuhi kebijakan pendidikan dari pemerintah dan mengesahkan industri buku pelajaran bergelimang untung.


Kita berharapan bocah-bocah masih gandrung buku. Ingat, buku selain buku pelajaran sebagai buku paling menjemukan seumur hidup! Bocah-bocah membaca buku berarti memiliki kemungkinkan belajar pohon, hutan, mesin cetak, dan lain-lain. Di tangan bocah, dua benda saling menggoda: buku dan gawai. Godaan bekertas mudah dikalahkan oleh pemanjaan mata melihat tampilan-tampilan di gawai. Kebiasaan itu turut memberi pengaruh ke pemerintah atau sekolah dengan mengadakan ujian tanpa soal-soal di kertas. Soal dan jawaban ditentukan benda di tangan dengan sentuhan-sentuhan jari. Mereka mulai diajak “bercerai” dari kertas. “Bercerai” pula dari pohon dan gajah. Begitu.


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi

136 tampilan
bottom of page