top of page
Cari
Majalah Basis

Epik Bocah Pembuat Peta


Judul : The Girl of Ink & Stars

Penulis : Kiran Milwood Hargrave

Penerjemah : Nadya Andwiani

Penerbit : Bhuana Sastra

Cetak : Pertama, 2020

Tebal : 241 halaman

ISBN : 978-623-216-633-2

PETUALANGAN dimiliki oleh laki-laki. Ingat saja abad besar menemukan tanah-tanah baru. Nama-nama laki-laki diingat dalam sejarah bergeraknya kapal, peta, dan tinta untuk memetakan tempat baru, perdagangan, dan kolonialisme; Kristoforus Kolumbus, Ferdinand Magellan, Vasco da Gama, atau Marco Polo. Dengan cara meramu petualangan, penemuan, dan keinginan enigmatik, Kiran Milwood Hargrave menulis novel The Girl of Ink & Stars (2020). Novel sempat diganjar penghargaan Waterstones Children’s Book Prize 2017 dan The British Book Awards’ Children’s Book of Year 2017.


Sudah terbabarkan sejak judul, tokoh petualang dalam novel justru seorang anak perempuan bernama Isabella Riosse. Ayah Isa seorang pembuat peta atau kartografer. Isa juga ingin menjadi kartografer. Ia mengagumi Pulau Joya, latar dalam novel yang mengingatkan pada negeri-negeri pemilik pelabuhan besar. Namun untuk alasan keamanan, “Gubernur Adori menutup pelabuhan-pelabuhan, dan mengubah hutan—yang membentang dari pantai ke pantai antara Desa Gromera serta seisi pulau—menjadi perbatasan, mengasingkan siapa pun yang menentang pemerintahannya ke sisi seberang. Gromera terputus dari seluruh Joya, dan hutannya dipasangi duri tebal serta lonceng raksasa untuk memperingatkan para pengawal kalau-kalau ada yang menyusup masuk” (hal. 12).


Dalam usia belia, karena kebiasaan berdekatan dengan bentangan tinta dan tanda, antara ayah dan anak sama-sama memiliki keinginan untuk bertualang, memetakan, mencari, sekaligus menemukan. Ayah Isa ingin mengisi kekosongan pada peta Amrica. Isa punya mimpi menyeberangi perbatasan hutan demi memetakan Wilayah Terlupakan. Batas ditentukan oleh pemerintah diktator Adori nantinya akan ditembus oleh kejadian yang melibatkan mitologi Joya.


Menjadi kartografer sepertinya telah digariskan. Di rumah, ada pusaka dari ibu Isa berupa selembar peta yang menampilkan seluruh pulau. Peta diwariskan bergenerasi seribu tahun lalu sejak masa Arinta, pahlawan mitologis Joya. Di rumah, bukan di sekolah, Isa belajar membaca langit sebagai ilmu dasar memetakan daratan, Bintang-bintang adalah peta-peta pertama, penunjuk arah paling presisi. Mereka bisa memberitahukan di mana kita berada dengan lebih baik daripada kompas—lagi pula, posisi mereka ada tepat di atas kita. Jika kau dapat belajar membaca bintang, kau tidak akan pernah tersesat. Sejak masa prasejarah, manusia telah membentangkan matanya pada langit. Para pelaut yang membutuhkan papan penunjuk arah, petani yang butuh petunjuk kapan mulai bercocok tanam. Pengetahuan tentang waktu diciptakan. Juga para ilmuwan meramalkan fenomena alam yang akan terjadi (David Bergamini, 1982).

Kartografi bukan diartikan sebagai pekerjaan. Sebelum membaca peta daratan atau lautan, manusia adalah peta bagi tubuhnya sendiri. Peta bagi laku, pikiran, dan perasaan. Kiran menulis, Setiap orang membawa peta kehidupan tersendiri di kulit masing-masing, dalam cara kita berjalan, bahkan dalam cara kita tumbuh besar, begitu Da sering berkata. Lihat di sini, lihat bagaimana urat nadi di pergelangan tanganku berwarna hitam, alih-alih biru? Ibumu selalu berkata bahwa itu tinta. Aku seorang kartografer sejati sampai ke jantungku” (hal. 13).


Menyamar

Petulangan yang dinantikan pun tiba meski dalam kondisi genting politik dan sosial Gromera. Pemberontakan memanas. Hal ini terjadi sejak seorang anak bernama Cata dibunuh ketika tengah disuruh Lupe, anak perempuan Adori, memetik buah naga di kebun buah yang terlarang dimasuki kecuali oleh para buruh. Lupe nekat ke Wilayah Terlarang untuk mencari pembunuh Cata dan menebus rasa bersalah kepada Isa.


Di sini, Isa menggantikan ayahnya yang pincang untuk memandu pengawal Adori mencari Lupe. Tentu, Kiran masih mengajukan paradoks. Isa sangat yakin mampu membaca peta, sialnya ia perempuan. Agar Adori percaya, Isa harus menyamar sebagai Gabo, kembaran laki-lakinya yang telah meninggal. Selain mencari Lupe, Isa bertekad memetakan Wilayah Terlarang yang begitu diingini. Isa akan keluar dari jalan-jalan sempit Gromera yang pernah dibayangkan sebagai rute mencari harta karun. Jalan sempit justru mengajari bahwa di luar ada keluasan. “Setelah mengosongkan tas selempang dari buku-buku, aku mulai mengisinya dengan peralatan kartografi: tinta, pena buluh, kertas, bantalan kulit untuk menandai jarak, sebuah kompas, getah pohon naga untuk memperbaiki sepatu dan peta yang koyak, dua pelples air minum. Kemudian senjatanya, yang Da beli dari Afrik: belati melengkung datar, pinggirannya bergerigi seperti gigi” (hal. 65).


Isa akan keluar dari jalan-jalan sempit Gromera yang pernah dibayangkan sebagai rute mencari harta karun. Jalan sempit justru mengajari bahwa di luar ada keluasan.

Menarik sekaligus mengerikan bahwa yang dihadapi penduduk Gromera sebagai pembunuh, ternyata bukan manusia. Mereka iblis api Yote yang pernah menyeret Joya ke dasar laut seribu tahun lalu, tapi berhasil dikalahkan oleh Arinta. Saat itu, Joya adalah pulau terapung yang mengarungi samudera seperti kapal hidup. Perjalanan epik Arinta begitu lekat dalam imajinasi Isa dan anak-anak di Gromera karena dikisahkan secara kolektif. Bahkan, Isa berhasil menemukan pedang Arinta yang tertanam dikarang untuk mengingatkan kembali janji Yote dahulu.


Kiran berhasil mencipta tokoh anak yang wajar dengan rasa ingin tahu dan bertualang tapi sekaligus mengerti rasanya mengalami ketakutan. Isa dan Lupe diciptakan untuk berani, tapi hidup ini juga ada babakan merasa putus asa tanpa harapan.

Kiran membawa Isa masuk dalam kisaran mitologi, persahabatan erat para bocah, ambisi kekuasaan politik orang semacam Adori, kemarahan kaum terasing pada pemerintah, dan pertarungan melawan Yote. Sepanjang petualangan menegangkan, cerita terbaca logis sekaligus ajaib. Kiran berhasil mencipta tokoh anak yang wajar dengan rasa ingin tahu dan bertualang tapi sekaligus mengerti rasanya mengalami ketakutan. Isa dan Lupe diciptakan untuk berani, tapi hidup ini juga ada babakan merasa putus asa tanpa harapan. Epik seribu tahun lalu dan di masa Isa tumbuh, bukanlah kepahlawanan sempurna tanpa mengalami kondisi dasariah yang lemah.

Petualangan Isa berakhir dengan keterbebasan Joya dari iblis api Yote. Joya kembali mengarungi samudera seolah kapal hidup. Kebebasan ini secara sangat personal mewakili kebocahan Isa yang ingin bergerak terus, “Dengan Joya terseret arus laut yang tidak diketahui, aku tidak akan pernah berdiri diam lagi.”


__________


SETYANINGSIH

Esais dan pengulas buku.

Menulis cerita anak, tapi lebih sering mengulas buku cerita anak.

kuncen Penerbit Babon IG: @penerbitbabon

89 tampilan

Comments